Rabu, 31 Desember 2008

Selamat Natal 2008

Gegap gempita Natal masih terasa. Berbagai acara, berbagai persiapan, berbagai ritual sudah dijalankan. Barangkali setiap gereja sudah melakukan hal-hal yang semakin meriah untuk menarik banyak umat agar tahun depan akan lebih banyak lagi yang hadir. Saya dan istri hadir di misa gereja Kotabaru, Jogjakarta jam 23:00, yang khusus untuk anak muda karena mengantar ketiga anakku yang masih muda. Di sekitar kita dapat kita saksikan bahwa semua sektor menyambut Natal dengan cara dan kepentingan sendiri-sendiri, misalnya sektor industri mainan maupun perdagangan. Satu benang merah dari berbagai kegiatan tahunan ini ialah bahwa kita baru saja merayakan penyambutan kelahiran Yesus Sang Penebus, Sang Jalan, Sang Anak Allah.

Dalam keadaan serba gegap gempita itu aku mencoba untuk merenungkan peristiwa natal dan Yesus yang sedang dirayakan ini dengan lebih hening ....

Yesus pernah mengatakan bahwa Dia-lah jalan menuju Allah Bapa. Interpretasi pernyataan itu bisa bermacam-macam. Seperti misalnya diartikan bahwa untuk hidup bahagia di sisi Allah Bapa setelah kita meninggal, kita harus melalui jalan Yesus, harus mencontoh perilakunya, atau paling tidak melakukan apa-apa yang diajarkannya. Namun untuk masuk ke dalam barisan pengikut Yesus, dalam tradisi gereja Kristen, harus diawali dengan sebuah proses permandian, baptis, sidi, seperti juga Yesus ketika dipermandikan oleh Yohanes Pembaptis. Setelah itu baru dapat menjadi sebuah keluarga besar pengikut Yesus -- yang sudah ditebus dosa-dosanya melalui kematian Yesus di kayu salib, dan mempunyai privilege bahwa kita sudah menjadi anak-anak Allah.

Interpretasi lain, Yesus adalah jalan menuju Allah. Sebuah jalan adalah sarana untuk lewat, sebuah sarana untuk menuju ke suatu tempat yang dituju. Namun, jalan bukanlah tujuan itu sendiri. Kebingungan orang Kristen dalam menentukan apakah jalan juga tujuan, menjadi perdebatan menarik dalam sejarah perkembangan gereja, yang kemudian melahirkan konsep Trinitas yang mencoba menempatkan Yesus pada posisi khusus dalam konteks hubungan antara manusia dan Allah Bapa.

Seperti yang dikatakan Buddha, jangan keliru memahami antara jari yang menunjuk ke arah bulan dengan bulan itu sendiri. Jika bulan adalah kebenaran hidup, maka jari yang menunjukkan ke arah bulan, bukanlah kebenaran itu sendiri. Dalam pemahaman kata-kata Yesus bahwa Dia adalah jalan menuju ke Allah Bapa di surga, maka Yesus bukanlah tujuan. Dia hanyalah jalan, yang menunjukkan arah ke Allah Bapa. Segala yang diajarkannya adalah rambu-rambu yang terdapat di sepanjang jalan, yang harus kita taati.

Namun Yesus pernah juga berkata, bahwa Dia adalah kebenaran itu, yang berarti bahwa segala yang diajarkannya adalah kebenaran. Misalnya, Dia menyebut Allah sebagai Bapa, sehingga dapat dipahami bahwa Dia adalah Anak Allah, dia adalah atman dari Brahman. Dalam pemahaman Hinduisme, setiap manusia adalah percikan dari Brahman sehingga setiap unsur yang ada pada atman adalah unsur yang juga ada pada Brahman. Setiap manusia adalah bagian dari Brahman, dari semesta, dari Allah Pencipta. Sufisme mempunyai pemahaman serupa bahwa Allah ada dalam diriku, sebuah konsep tentang wihdatul wujud, penyatuan, dan Allah maujud pada diriku. Ilmu pengetahuanpun membuktikan bahwa semua makhluk mempunyai elemen sama dengan semesta.

Jadi jika Yesus hanyalah jalan menuju Allah, haruskah pemahaman kita tentang Yesus Kristus dirubah, misalnya bahwa Dia bukanlah Anak Allah; Dia bukan kebenaran karena hanya jari telunjuk dan bukan bulan, hanya jalan bukan tujuan? Masalahnya tidaklah sesederhana itu, tidak hitam dan putih, tidak senaif pengertian bahwa a bukanlah b, either or.

Kearifan Yesus sangatlah dalam, karena sejalan dengan apa yang diajarkan Buddha, ajaran- ajarannya mengandung kebenaran yang tidak terbantahkan tentang kesejatian kehidupan ini. Misalnya interpretasi pemahaman bahwa setiap manusia adalah ‘anak Allah’. Jika kita ingin memahami Allah Bapa, maka pahamilah diri kita sendiri, pahamilah ‘anak Allah’ ini. Dalam diri kita yang serupa dengan semesta, kita diciptakan serupa dengan Allah. Kita dalah citra Allah. Dan seperti kata para sufi, kitalah Allah itu sendiri.

Vibrasi kesadaran Yesus demikian tinggi. Kesadaran yang jauh menembus kotak dunia materi, memberontak dari kungkungan dunia persepsi, dan membongkar struktur hasil cerapan inderawi, serta membebaskan diri dari dimensi ruang dan waktu. Sebuah pemberontakan yang kemudian dianggap membahayakan keteraturan kehidupan beragama saat itu, mengancam kedudukan para pemuka agama yang sudah mapan serta diakui oleh masyarakat banyak. Memang, tidak semua mampu dan berani melakukan apa yang dilakukan Yesus. Tidak semua mampu memahami apa yang dirasakan Yesus. Tidak semua mempunyai nyali untuk berontak kepada kemapanan dan keteraturan dalam kehidupan beragama seperti yang Yesus pernah lakukan.

Seperti sebelumnya, kita merayakan Natal dengan cara yang nyaris tidak berubah dari tahun ke tahun. Kita merayakan kelahiran Yesus melalui sebuah tradisi agama, melalui ritual yang hampir rigid. Kita beramai-ramai ke tempat ibadah melakukan doa demi doa, mendengar cerita demi cerita yang hampir menjadi acara sosial tahunan. Barangkali sudah saatnya kita lebih mendalami kehidupan dan ajaran Yesus melalui sepasang kacamata baru, dan keberanian yang pernah diajarkan Yesus sendiri untuk mempunyai kesadaran yang kritis.

Selamat Natal dan Tahun Baru 2009, semoga kebahagiaan sejati senantiasa beserta anda semua.

Jumat, 05 Desember 2008

Hidup tanpa keinginan?



Telpon di rumahku malam itu berdering, lalu kuangkat. Di ujung sana temanku menyapa slamat malam, dan kamipun terlibat dalam pembicaraan pembuka. Aku tahu bahwa bila selarut itu dia telpon, pasti ada sesuatu yang penting untuk disampaikan. Akupun menunggu dengan sabar.

Tak berapa lama, dia mulai menyatakan keperluannya sehingga malam itu dia menelpon. Suaranya terdengar lebih serius dibanding dengan dialog pembuka tadi. “Mas, apakah mungkin seseorang hidup tanpa mempunyai keinginan?” Selalu ada pertanyaan sulit seperti ini yang dia lemparkan kepadaku. Namun aku tahu, bahwa sewaktu pertanyaan seperti itu muncul, dia pasti berada dalam kebimbangan, dan memerlukan seorang teman untuk mendengarkan pengalamannya, ataupun seseorang yang dapat ikut memastikan bahwa apa yang dijalaninya merupakan jalan yang terbaik.

Aku mengenalnya sudah cukup lama, dan dari dialog-dialog denganku selama ini, dia sudah memahami bahwa keinginan senantiasa mempunyai sisi lain yang berupa kekecewaan. Seperti penjelasannya kepadaku malam itu, kekecewaan yang dia baru alami sangatlah menyakitkan hatinya. Diapun tahu bahwa dalam kehidupan ini ada tiga hal yang seringkali menjadi racun yang menyakitkan: keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin. Keinginan merupakan bentuk lebih lunak dari keserakahan, namun begitu, keinginan mempunyai potensi yang cukup besar untuk mendatangkan kekecewaan yang sungguh pedih.

Terdengar kata-katanya dengan pelan, “Itu yang baru terjadi denganku, mas. Aku merasakan sakit hati yang cukup dalam karena keinginanku tidak terpenuhi …” lalu lanjutnya, “apakah hidupku ini harus steril dari keinginan, biar aku tidak mengalami lagi kepedihan-kepedihan yang cukup banyak menyita energy dalam hidup ini?”
Dia terus melanjutkan bicaranya tetap dengan suara pelan dan teratur, “Tapi mas, aku juga heran bahwa aku bisa recover dengan cepat, hanya beberapa jam kemudian, kepedihan itu sudah banyak melemah intensitasnya. Dan sekarang sambil aku bicara dengan mas, aku rasakan kepedihan itu sudah berlalu. Kenapa bisa begitu ya mas?”

Aku masih terus mendengarkan dengan seksama semua ceritanya yang menarik itu. Aku tidak tahu apa yang menjadi akar permasalahnya, bentuk keinginannya. Dia tidak bermaksud mengungkap hal itu dalam pembicaraan kami, sehingga akupun tidak ingin mengetahuinya lebih jauh. Aku menghormati sikapnya. Namun aku juga memahami bahwa apapun bentuknya, penyebab penderitaannya masih masuk dalam kategori: keinginan, sebuah bentuk yang lebih lunak yang merupakan bagian dari keserakahan. Dan hal ini merupakan sisi dari sebuah mata uang yang sama dengan kekecewaan.

Kemudian kukatakan kepadanya:” Aku rasa keinginan merupakan sebuah pikiran yang manusiawi. Semua manusia mempunyai pikiran itu, disadari ataupun tidak disadari.” Dia masih terdiam, lalu kulanjutkan, “Pikiran demikian bisa berbeda tingkat intensitasnya, tergantung apakah kita memberi sedikit energy, atau memberi banyak energy sehingga seringkali menjadi tidak proposional.” Pikiran seseorang yang terkadang berupa keinginan senantiasa ada, dan itu tidak ada kaitannya apakah hal itu baik atau apakah hal itu buruk. Dia hanya ada dalam kesadaran kita. Tergantung kepada kemampuan kitalah untuk memahami keberadaannya itu.

Dia mengiyakan semua yang aku katakan tadi. Aku lalu melanjutkan penjelasanku, “ … Seringkali sebuah pikiran muncul dengan begitu saja, dan bagaimana sebuah pikiran muncul, masih banyak merupakan misteri. Keinginan adalah salah satu bentuk pikiran, seringkali muncul ke permukaan dengan begitu saja, dan seringkali pula kita tidak bisa membendung munculnya pikiran-pikiran tersebut. Artinya, sepemahamanku, hampir mustahil dalam sebuah kehidupan, seseorang steril dari keinginan.”

Dari gumamnya, aku kira dia memahami apa yang kumaksudkan.

“Yang penting barangkali adalah sejauh mana kita menyadari keberadaan sebuah keinginan dalam pikiran kita, dan juga memahami bahwa keinginan tersebut berpotensi untuk menimbulkan kekecewaan. Juga kesadaran tentang sifat pikiran-pikiran kita. Mereka timbul dan tenggelam, muncul dan kemudian pergi, ada dan kemudian tidak ada. Bagai gelembung busa sabun yang sewaktu muncul berkilau menarik, lalu meletus hilang dengan sendirinya.” Kesadaran seperti inilah yang perlu kita miliki.

“Jadi apa artinya, mas? Apakah kita biarkan keinginan itu ada dalam pikiran karena pada waktunya dia akan hilang dengan sendirinya?”. Aku lalu coba menjelaskan apa yang kuketahui, bahwa ada dua kutub ekstrim: ada keinginan di kutub satunya, dan ada penolakan di kutub yang lain. Namun seseorang tidak perlu hidup terpaku pada kutub-kutub ekstrim tersebut. Dia bisa hidup dengan lebih dewasa, karena dengan penuh kesadaran, dia bisa menari diantara dua kutub tersebut. Itulah tarian kehidupan kita. Dengan penuh kesadaran berarti mampu dengan jernih memahami bahwa: keinginan merupakan bagian dari kehidupan ini; keinginan mempunyai sisi lain yang disebut kekecewaan; dan sebagai bagian dari pikiran, keinginan mempunyai sifat seperti sebuah pikiran, keberadaannya tidaklah kekal.

Hanya dengan pengalaman-pengalaman hiduplah maka seseorang dapat mempertajam kesadaran tentang pikiran sendiri. Hanya dengan mengalami kekecewaan-lah maka seseorang mampu melihat sisi lain dari sebuah keinginan. Hanya dengan mengalami penderitaan maka seseorang dapat melihat sumber yang mengakibatkan deritanya. Tarian hidup dapat kita bawakan dengan lebih piawai.

“Aku rasa kau dapat dengan segera recover dari penderitaan, karena kau terlatih untuk melepaskan pikiranmu, terlatih untuk tidak terikat dan menggenggam keinginanmu, juga terlatih untuk tidak terkungkung pada kekecewaan dan derita akibat dari keinginanmu. Semakin cepat engkau kembali pulih dari deritamu, semakin mudah bagimu untuk membebaskan diri dari pikiran-pikiranmu dan kembali kepada kesadaran yang lebih dalam. Kesadaran yang tidak lagi mudah terombang-ambing dalam dualisme fenomena dalam hidup ini: senang-susah, sehat-sakit, terkenal-terkucil, bahkan hidup-mati ...”

Hari sudah cukup larut ketika kami saling menyampaikan salam perpisahan.


Agus Widianto
Desember 2008
sedang merenungkan sebuah keinginan yang muncul dengan kuat

Minggu, 30 November 2008

Cinta

Mencintai seseorang merupakan sebuah peristiwa yang luar biasa dalam keping sejarah hidup manusia. Dinamika energi yang terjadi pada saat tersebut merupakan peristiwa yang menggores ingatan dengan kejam, sehingga luka itu tidak mudah tersembuhkan. Apalagi ketika dalam mencintai, tidak terjadi seperti yang diharapkan, sebuah akhir yang membahagiakan.

Adakah sebuah akhir yang membahagiakan? Adakah harapan yang selalu terpenuhi dalam hidup ini? Adakah sebuah ikatan cinta yang selalu memberikan kebahagiaan?

Malam itu ingatanku melayang kembali kepada percakapan singkatku, meski dalam catatan telponku aku bercakap sekitar duapuluh menit, dengan seseorang yang dulu amat kucintai. Kisahku tidak seindah roman dalam novel cinta. Perpisahan dengannya terjadi dan masing-masing telah menjalani sisa hidup dalam jalan yang berbeda. Namun terkadang ingatan itu mengintip dan berbayang dalam bentuk samar, seolah menunggu adanya sebuah kesempatan yang membukakan pintu untuk maujud dalam pikiran.

Percakapan itu adalah pintu yang terbuka. Kisah yang dulu kembali maujud dalam bentuk ingatan. Luka akibat goresan itu seolah berdarah kembali.

Adakah akhir yang membahagiakan? Bisakah luka itu tertutup selamanya?

Aku renungkan dalam-dalam peristiwa percakapanku dengannya ...

Semakin lama aku renungkan kembali, maka semakin banyak membantuku menyembuhkan goresan luka yang selama ini ternyata tidak sembuh benar. "Cinta tidak harus memiliki", merupakan kata-kata klise yang sering digunakan untuk mengampuni sebuah kegagalan hubungan yang terikat dalam energi saling membutuhkan. Bagiku, kata-kata itu bisa dipahami lebih dalam ...

Mencintai dan memiliki bukan kata yang sama. Sebetulnya aku lebih senang menggunakan kata "bersama" daripada "memiliki". Sesungguh-sungguhnya tidak ada yang dapat kita miliki di dunia ini. Apapun itu. Kata "bersama" lebih lunak dan itu yang dapat dilakukan, kebersamaan secara fisik, dalam dunia materi. Aku bisa mencintai tanpa harus bersama, dan akupun bisa bersama tanpa harus mencintai. Dalam cintaku kepadanya, kesadaranku muncul bahwa "tidak bersama" bukan lagi dalam nafas apologetik. Bagiku, mencintai tanpa harus mengungkung yang dicintai, merupakan bentuk kasih yang sesungguhnya, karena tidak ada harapan yang timbul dari mencintai dia, tidak ada lagi kehendak apapun dari mencintainya. Yang ada adalah mengasihinya. Kasih yang membiarkan orang yang dikasihi hidup dalam kehidupannya, berkembang sesuai dengan jalan hidupnya, termasuk berkeluarga dan mencintai orang lain pula.

Barangkali sekarang seperti ini yang aku rasakan. Kasihku kepadanya akan tetap ada, sebuah rasa yang seringkali memberikan warna tersendiri dalam hidupku. Namun keinginanku untuk bersamanya telah kulepaskan samasekali ... kubiarkan batinku bebas dari sebentuk derita yang diam-diam tetap berada dalam pikiranku.

Kekasihku, hidup dan bertumbuhlah seperti yang engkau inginkan. Nafasmu adalah nafasku, ... kebahagiaanmu adalah juga kebahagiaanku.


Jakarta, 1 Desember 2008
Untuk kekasihku

Aku tidak imun

Ada seorang teman yang sudah beberapa tahun ikut kelas meditasiku. Dalam perjalanan hidupnya aku menganggap dia berhasil mengalami transformasi yang luar biasa, karena pemahaman tentang kehidupan yang makin matang dan dalam telah didapatnya. Ketenangan dan kedamaian hidup dicapainya, dan sering dikatakannya bahwa jiwanya telah menjadi lebih bebas ....

Kemarin ayahnya meninggal. Selama ayahnya sakit cukup lama, dia merasa heran karena dirinya satu-satunya dalam keluarga yang jarang menangis, merasa tegar, meski tetap merasa dekat dengan ayahnya. Setiap ada kesempatan, dia dampingi ayahnya dan diusahakan mengajak ngobrol meski semakin lama ayahnya semakin diam, dan seringkali banyak tidak sadarkan diri.

Ketika aku melayat ke rumahnya, dia cerita banyak tentang bagaimana dia mendampingi ayahnya dan menyaksikan proses kematiannya. Ketika sukma ayahnya akan lepas, dia meledak, hatinya berkeping-keping ... Dia lalu berkata kepadaku:" ... ternyata saya tidak imun, mas ..."

Aku cepat menjawab:" ... tidak ada yang imun ..."

Kedalaman spiritual seseorang tidak menjadikannya imun akan peristiwa-peristiwa yang dihadapinya. Pencerahan yang terjadi sebenarnya membuat seseorang lebih dapat menjaga kedamaian batinnya yang terdalam, sebuah inner peace. Peristiwa sehari-hari yang berada dalam tataran fenomena bagai riak-riak samudra yang turun naik, besar kecil, ada siklus timbul tenggelam ... dan itu akan dialami oleh siapapun. Namun bila pencerahan telah didapatkan oleh seseorang, maka dia berada dalam kedalaman samudra. Berada dalam sebuah ketenangan yang luar biasa. Gejolak ombak masih ada, namun tidak terlalu lama mengguncangnya.

Samudra itu akan kembali tenang, hening dan tetap menyimpan kekuatan.

Sahabatku, aku ikut dalam dukamu, semoga kematian menjadi guru terbaik untuk kita semua agar dapat menghargai dan mensyukuri kehidupan. Banyak yang dapat kita lakukan dalam hidup ini.



Jakarta, 30 November 2008, tengah malam
Catatan buat sahabatku yang sedang berduka

Kamis, 27 November 2008

Hari yang istimewa

Pagi ini ada sebuah lokakarya di sebuah hotel berbintang lima yang aku ikuti. Tiba-tiba ada sms masuk "maaf baru membalas. boleh tau ini siapa?" hatiku tersenyum.

Dua hari sebelumnya tanpa direncanakan aku berhasil mendapatkan nomor HP seorang teman lamaku, seseorang yang dulu pernah kucintai, dan sampai sekarangpun masih ada sebagian hatiku yang ditempatinya. Barulah hari ini ada kesempatan untuk mendapatkan balasan sms yang kukirimkan kemarin.

Adakah sesuatu yang tidak berubah dalam hidup ini? Pertanyaan itu lalu muncul ketika aku bercakap dengannya. Sebuah percakapan yang bagiku seolah membalik semua putaran waktu kembali ke tigapuluh tahun lalu, ketika aku mencintainya. Sebuah percakapan yang membongkar laci-laci ingatan dan mengaduk-aduk kembali semua isinya. Aku sejenak berada pada sebuah kondisi yang tidak kusadari sepenuhnya, namun sangat menyenangkan.

Dia sudah berkeluarga, demikian pula halnya dengan diriku. Peristiwa bersamanya-pun sudah jauh terjadi tigapuluh tahun lalu. Namun aku menyadari bahwa sebuah rasa yang teramat dalam berada di relung batin, tidak dapat dengan mudah berubah, oleh waktu, oleh situasi, oleh stimuli. Rasa yang ketika muncul kepermukaan sebagai sebuah kesadaran, memberikan kenyamanan meski sejenak. Rasa yang seringkali dirindukan oleh hampir semua manusia. Inikah yang mereka sebut sebagai cinta? Energi yang terkungkung dalam sudut hati, yang sering kita genggam agar tidak lepas, karena memberikan rasa nyaman.

Kubiarkan energi itu mengalir dalam diriku, namun aku sadari bahwa aku harus tetap menjaga kesadaran batinku, agar kekuatan energi itu tidak menghanyutkanku ...

Sebuah usaha yang tidak mudah.


Jakarta, 27 November 2008

Rabu, 15 Oktober 2008

Personifikasi Kristus

Ada yang menarik dalam buku Eckhart Tolle, “The Power of Now”, yang dalam satu kalimat singkat dikatakan: “ … Never personalize Christ …” Jangan pernah mem-personifikasi-kan Kristus. Kemudian dijelaskan bahwa mengidentifikasi para guru kehidupan seperti halnya Kristus menjadi sekedar sebuah sosok tubuh, dapat kehilangan makna ajarannya. Karena mereka yang telah tercerahkan-pun sebetulnya adalah manusia biasa saja, tidak lebih istimewa dibandingkan dengan manusia lainnya. Mereka menjadi besar dan lebih dibandingkan dengan manusia lain karena ada ‘pemujaan’ yang dibuat oleh para pengikutnya. Menurut saya, pendapat ini bertentangan dengan konteks ajaran Kristen, karena ide trinitas menempatkan Kristus di atas manusia biasa. Namun bisa juga pendapat ini dianggap memperkuat, karena ide trinitas adalah sebuah bentuk pemujaan terhadap Yesus oleh para pengikutnya. Agak berbeda dengan misalnya Buddha Gautama yang tidak mau dianggap sebagai super human, manusia adi kodrati, yang tidak sama dengan manusia lain. Gautama mengajarkan bahwa dia manusia biasa yang mendapat pengetahuan (pencerahan) tentang kehidupan. Dia juga mengakui tidak semua pengetahuan tentang kehidupan diketahuinya. Semua orang bisa mendapatkan pencerahan seperti dia, tidak terkecuali. Meninggalnyapun bukan sebuah peristiwa adi kodrati, melainkan karena keracunan makanan.

Lebih lanjut Tolle mengatakan, “ … Ketika anda tertarik oleh manusia yang telah tercerahkan, maka sebenarnya sudah ada pencerahan di dalam diri anda yang membuat anda mengenali pencerahan yang terjadi pada manusia lainnya. Hanya cahaya yang mengenali cahaya. Kegelapan tidak mengenal cahaya …”. Dengan demikian bagi saya, pengenalan Kristus bukan terbatas pada sosok tubuhnya, melainkan cahaya yang dipancarkannya, baik melalui perilakunya dan terutama melalui perumpamaan (sabda atau firman) yang sering diceritakannya. Seperti diperkuat dalam Yohanes 1:1 bahwa “… Pada awal mula Sabda itu ada dan Sabda itu ada pada Allah ...”. Bukan sebuah sosok tubuh, tapi “… Sabda itu telah menjadi daging … (Yoh 1:14)”. Namun selanjutnya Tolle juga lalu berkata, “ … janganlah percaya kepada hanya sebuah sosok kehidupan, karena kita akan kembali terjebak pada pemahaman bahwa cahaya berada di luar kita, atau cahaya hanya dapat menerangi dan mencapai diri kita melalui sebuah sosok saja. Cahaya itu sudah ada dalam diri kita, dan hanya dengannya-lah kita akan mampu menangkap cahaya yang dipancarkan manusia tercerahkan lainnya (seperti Kristus) ... ”. Ini sejalan dengan Yohanes yang berbicara tentang hidup adalah terang, dan terang sudah ada di dalam dunia. Bahkan hal ini juga pernah membuat kebingungan Petrus, seperti dalam Kisah Para Rasul 11:47 ketika dia dan kelompoknya mewartakan sabda Allah, disebutkan bahwa: “… Bolehkah kami mencegah orang-orang ini dibaptis dengan air, sedangkan mereka telah menerima Roh Kudus sama seperti kita?”

Bila kita mau masuk lebih dalam lagi untuk mengenali cahaya Kristus, maka pada akhirnya, kata-katapun tidak akan mampu menjelaskannya. Memegang erat kata demi kata secara harafiah (misalnya ayat demi ayat dalam sebuah kitab) hanya akan memenjarakan kita dalam keterbatasan pikiran manusia. Misalnya, kata “madu” bukanlah madu itu sendiri. Dengan hanya mengenali kata “madu”, kita belum mendapatkan esensi “madu” itu. Hanya dengan mencicipi madu-lah, maka kita mempunyai pengalaman untuk mengenali madu dengan jauh lebih baik. Dan setelah kita mencicipinya, maka kata “madu” menjadi tidak begitu penting. Dengan nama apapun dia akan tetap berupa madu. Pengalaman tercerahkan tidak dapat dibatasi hanya dengan kata-kata, dengan ayat-ayat, atau sebuah kitab. Seperti halnya kata “madu”, maka setelah mengalami pencerahan dalam batin kita, kata-kata, ayat-ayat, bahkan sebuah kitab, hanyalah menjadi tulisan, menjadi sebuah symbol yang menunjukkan kemana kita mengarah. Mereka merupakan telunjuk yang menunjukkan bulan, tapi bukan bulan itu sendiri.

Cahaya Kristus (yang adalah cahaya kasih sebagai inti ajarannya) hanya dapat dikenali, dipahami dan menyatu dalam kehidupan ketika kita menerima kehadirannya, mempersatukan cahayanya dengan cahaya kasih kita sendiri. Proses komuni (communion) dengan Kristus melalui penerimaan roti tanpa ragi di gereja mejadi sebuah simbolisasi belaka. Ketika roti disebut sebagai ‘tubuh Kristus’, bukan tubuh Kristus yang menjadi satu tubuh dengan tubuh kita. Bukan juga semata personifikasi Kristus yang menyatu dengan diri kita. Namun seluruh ajaran, semangat, dan cahaya Kristus yang tercerahkan yang menyatu dengan cahaya kita yang sudah ‘dilahirkan kembali’, yang (seharusnya juga) sudah tercerahkan, misalnya dalam tradisi Kristen melalui sakramen permandian. Maka yang boleh menerima roti tanpa ragi dalam komuni adalah mereka yang sudah tercerahkan melalui penerimaan sakramen permandian.

Kembali pada personifikasi Kristus. Barangkali menjadi lebih penting bahwa Kristus lebih dimaknai sebagai cahaya pencerahan yang penuh dengan energi kasih, energi Allah semesta yang berada pada sosok Yesus dari Nazareth. Komuni dengannya memerlukan keterbukaan dan penyamaan energi melalui pembangkitan kasih yang sudah ada dalam diri kita masing-masing. Semua bisa dilakukan dan dialami melalui keheningan, melalui pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan dan semesta.

Salam,

Agus Widianto

pertengahan Oktober 2008

Senin, 14 Juli 2008

SMS Bagus

...........

Aku menjerit kecil.

Kulihat papi yang duduk di depan bersama sopir menengok ke arahku dengan pandangan bertanya, namun tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Aku merasakan kepalaku berdenyut, dan pandanganku mulai nanar. SMS itu kubaca sekali lagi, dan kembali kurasakan sebuah tusukan tajam di ulu hatiku.

Sesampai di rumah, papi baru berani menanyakan apa yang terjadi. Aku sebenarnya malas menjawab, tapi karena dia mendesak akhirnya kuceritakan sms yang dikirim Bagus. Sebenarnya sore itu aku merencanakan ketemu dengan Bagus untuk yang pertama kali, setelah dua rencana pertemuan sebelumnya batal karena acaraku dengan papi yang selalu sibuk dengan teman-temannya, dan aku selalu diminta papi untuk mendampinginya. Permintaannya selalu tidak dapat kutolak, karena dia satu-satunya yang kumiliki sekarang ini, sejak berpulangnya mami tiga tahun lalu dan kematian suamiku awal tahun ini. Papi sebagai seorang petinggi sebuah angkatan, selalu sibuk dengan jejaringnya.

Bagus pasti merasa sudah ketiga kalinya ini dikecewakan, dan menurutku, karena hal itulah dengan seenaknya dia memutuskan untuk tidak mau ketemu denganku lagi karena dia sudah cukup dikecewakan dan dipermalukan, “ … seperti orang tolol yang duduk di café tanpa tahu apa yang harus diperbuat …”. Aku tahu siang ini dia sengaja datang langsung dari luar kota ke tempat kami berencana mau bertemu, di bilangan Setiabudi. Belakangan kutahu hampir dua jam lebih dia berusaha sampai ke Setiabudhi agar tepat waktu, tapi harus kukecewakan lagi karena aku mendadak ada pertemuan kantor yang harus aku hadiri, dan setelah itu papi minta diantar ke bandara karena harus berangkat ke Australia bersama teman-temannya. Aku juga tahu kalau Bagus menunggu kata kepastianku selama dua jam di tempat janjian kami. Tapi seperti permintaan papi yang lalu-lalu, aku tidak bisa menolak untuk mengantarnya ke bandara. Aku tahu, Bagus pasti sangat kecewa.

Kepalaku tambah pening memikirkan sms yang sungguh mengecewakanku. Di rumah, papi berkata sesuatu tentang komunikasiku dan hubunganku dengan Bagus meski aku tidak begitu paham apa maksudnya, namun itu malah semakin memicu kemarahanku. Aku marah kepada Bagus yang tidak mau mengetahui keadaanku yang sangat tergantung kepada papi. Aku marah kepada papi yang selalu menuntut aku menuruti kemauan dan jadwal sibuknya, dan hampir selalu merusak acara pribadiku. Aku marah kepada diriku sendiri karena sejak kematian suamiku enam bulan lalu, aku tidak berdaya dan semakin larut tenggelam ke dalam sebuah palung kesepian yang mencekam. Aku marah kepada suamiku yang mendadak meninggalkanku, di pagi itu setelah dia mengeluh sakit di dadanya. Kepergiannya yang begitu tiba-tiba membuatku linglung kehilangan pijakan untuk berdiri, dan pegangan untuk berjalan menapaki hidup, aku kehilangan separuh jiwaku. Aku tidak mampu menghindari cekaman kesepian yang menggigit batinku.

Kehadiran Bagus dalam hidupku, meski baru bertukar sms dan saling telepon yang cukup intensif, telah memberikan secercah cahaya yang menerangi kegelapan batinku dan memberikan kehangatan dalam kebekuan palung hatiku. Aku seperti menemukan sebuah sandaran yang membantuku untuk merambat berdiri kembali. Aku marah kepada diriku sendiri karena tidak berdaya masuk kedalam energi Bagus yang menyejukkan meski ada ketakutan bahwa ini adalah sebuah jebakan. Akupun juga marah kepada ketakutanku sekaligus ketidakberdayaanku untuk menerima kenyataan bahwa Bagus sudah beristri dan beranak tiga.

Kemarahan yang terpicu oleh sebuah keadaan, dan pada saat itu menjadi sebuah energi besar dan menguasai seluruh sistem dalam badan dan pikiranku. Aku merasakan sebuah kekuatan besar untuk menghancurkan simbol-simbol yang mewakili energi yang menekan hidupku selama ini. Aku mulai melempar semua foto-fotoku dan almarhum suamiku yang terpajang di dinding kamarku. Aku datangi akuarium papi, dan dengan sekali pukul menggunakan bangku kecil di ruang tamu itu, akuarium itu hancur berantakan, dan ikan arwana kesayangan papi menggelepar meregang nyawa. Tiket pesawat papi ke Australia yang tadi kubelikan, dengan sekali renggut kusobek. Aku ingin papi tahu bahwa salah satu sebab aku menerima sms Bagus yang menghancurkan tadi adalah perintahnya untuk mengantarkannya ke bandara sore ini. Aku ingin semua tahu keadaanku, aku ingin mereka memahami kepedihanku, kesepianku, ketidakberdayaanku, dan kehancuran batinku. Aku ingin semua mengerti keterpurukanku.

Aku berlari masuk kembali ke kamarku di lantai dua dekat kolam renang, dan sambil menyeka air mataku yang terus membanjir, kuambil beberapa baju dan baju dalamku. Lalu bergegas turun, keluar melewati papi yang terpaku berdiri di dekat pintu. Kulirik papi yang kulewati, dan sejenak sempat kutangkap cahaya lemah yang berasal dari pantulan setitik air mata di sudut bawah matanya. Tapi hatiku begitu sakit untuk menyadari semua itu. Aku tidak tahu harus kemana, saat itu yang penting aku ingin lari dari sebuah kepengapan kungkungan jiwa, sebuah penjara yang sungguh sangat mewah secara materi namun tidak memberikan kebebasan jiwa, sebuah tekanan terhadap pikiranku karena semua orang tidak dapat memahami apa yang aku inginkan. Malam itu rasanya rumah papi yang mewah ibarat sebuah akuarium emas namun tidak pernah diganti airnya, dan aku bagai ikan yang megap-megap mencari kesegaran oksigen dari udara di luar akuarium mewah itu. Aku ingin keluar dari jaring papi yang mengungkungku bagai seorang anak buahnya. Aku berteriak kepada pembantuku untuk mengambilkan kunci salah satu mobil yang diparkir di deretan paling luar.

Aku mampir ke sebuah hotel mewah dekat rumah untuk mendapatkan sebotol minuman yang kuharapkan dapat membantu melupakan kepedihan hatiku. Aku tidak pernah minum sebelumnya, tapi entah pikiran dari mana, malam itu aku ingin melakukannya. Dengan sekali teguk isi botol kecil itu mengalir menghangati kerongkongan dan perutku, semua kulakukan tanpa ragu. Sambil kupacu mobilku masuk jalan tol, kurasakan kehangatan mengalir dalam darahku dan memberi rasa ringan yang membantuku mendapatkan sedikit udara kebebasan yang kuinginkan. Rasa ringan itu semakin intens. Jalan tol di gelap malam itu terlihat begitu sempit mengerucut di depan sana, aku tidak tahu ada di jalur mana, tapi rasanya mobil-mobil di kiri kanan terlihat jauh lebih kecil dan berlalu lalang seperti mainan. Lampu-lampu jalan tol seolah berkedip ketika kulewati satu demi satu. Selama perjalanan, beberapa kali kudengar suara keras karena rasanya mobilku menghantam pembatas jalan. Setelah berjuang beberapa lama, akhirnya aku bisa sampai ke rumah temanku, Kiki, di bilangan Kelapa Gading. Dia temanku yang kuanggap paling memahami karakterku. Dia pernah mendapatiku dalam keadaan sedih pada saat kematian suamiku, namun aku yakin dia pasti tahu bahwa yang kali ini jauh lebih parah. Aku dipapahnya ke tempat tidur kamarnya, rambutku yang basah kuyup karena kusiram air di jalan tadi agar tetap sadar, dilapnya dengan handuk kering, dan dibiarkannya aku berbaring menenangkan diri.

Baru beberapa saat, kudengar HPku bergetar, ada sms masuk. Kulihat di layar, dari Bagus.

‘apa kabar?’ sebuah pertanyaan bodoh yang amat sangat tidak tepat waktu dalam kondisi yang sedang kualami. Sebuah pertanyaan yang tidak tahu diri, yang seolah tidak bersalah sehabis menghancurkan hati seseorang sepertiku. Aku tercenung, namun pelan-pelan timbul keinginan yang tak dapat kubendung untuk menjawab pertanyaan konyol tadi.

‘abang sama sekali tidak mempunyai perasaan, dengan mengirim sms seperti tadi. Aku sdh hancur skrg,’

‘kenapa? Bukankah kau tdk mau lg bertemu dgku?’

‘abang sdh mnghancurkan aku, saaakkiiit’

‘aku minta maaf, bukan itu maksudku. Tapi sdh ketiga kali ini aku kau kecewakan. Makanya aku bilang ya sudah mgkn tidak perlu kita berhubungan lg, krn kau tdk pernah memberiku wkt utk ketemu’

‘aku kan sdh bilang, aku mendadak hrs ikut rapat dan papi minta diantar ke bandara setelah itu, dan kubilang abang pulang saja istirahat dulu’

‘ya sdh, kan. Terus turutilah papimu itu. Aku hanya minta wkt satu jam saja tidak kau beri, aku sdh tunggu dua jam dan seperti org tolol duduk sendirian di café itu. Seenaknya kau batalkan janjimu sendiri, dan coba ingat, kau sama sekali tdk minta maaf kpdku.’

Sms demi sms secara intens membentuk dialog yang terus mengalir lewat udara. Alat kecil yang disebut telpon selular ini begitu canggih dan mampu menghancurkan hati seseorang sepertiku. Tanpa wajah, tanpa emosi dan tanpa hati. Serasa aku ingin membanting alat keparat itu. Tapi sekarang ini, alat itulah yang menghubungkan aku dengan Bagus. Sebuah alat yang kubenci namun sangat kubutuhkan.

‘kau menang bang … kau berhasil menghancurkan hidupku’

‘aku tidak tahu maksudmu, dan aku tidak merasa memenangkan apapun’

‘hub aku’

Aku dengar telponku bergetar, pasti Bagus sudah ada di ujung sana. Aku hanya kuasa untuk mengangkat alat kecil itu dan menempelkannya di telingaku sambil berbaring. Tidak ada kata keluar dari mulutku, hanya suara tangisku. Di sana Baguspun juga tidak berkata apapun, aku yakin dia sedang mendengarkanku. Ada sekitar setengah jam kutumpahkan kepedihanku melalui isak tangisku, terkadang dengan keluhanku. Bagus tidak berkata sepatahpun, tapi aku yakin dia mendengarkan dengan seksama, karena sebentar kemudian dia berbisik halus: “… sudahlah, beristirahatlah … “

Aku merasakan sebuah kehangatan yang pelan tapi pasti mengalir dari telapak kakiku, ke atas keseluruh tubuhku dan wajahku. Rasa yang nyaman. Pelan-pelan aku berbisik: “ … semua orang tidak peduli denganku, abangpun ternyata juga tidak peduli denganku … mereka tidak tahu apa yang aku inginkan” isak tangisku makin menjadi sejalan dengan makin kosongnya batinku. Rasanya aku berbaring di atas sebuah lubang besar yang hampa dan siap menelanku dan melumatku.

“Itulah yang bikin kau menderita”, kudengar Bagus berkata dengan hangat. “Selama kau pusatkan semua kepada dirimu, kepada keinginanmu, maka di situlah awal dari penderitaanmu. Pernahkah kau coba untuk memikirkan orang lain? Pernahkah kau memikirkan perasaan papi? Pernahkah kau bahkan memikirkan kekecewaanku?” Kepalaku yang terasa berat tidak mampu mencerna kata-katanya. Aku memang menderita, dan derita itu nyata. Aku juga tahu kalau semua orang tidak tahu apa yang kuinginkan, dan itu juga nyata. Tapi aku tidak paham apa yang Bagus katakan tentang penyebab penderitaanku. Pikiranku semakin keruh, mataku berat, dan yang kuinginkan hanya tidur untuk melupakan semua yang baru saja kualami. “… bang, aku ingin tidur,” bisikku, masih ditengah isak tangisku yang semakin melemah. Kembali kudengar kata-kata lembutnya, “ … ya sudah, tidurlah …” Lalu dengan susah payah kutekan tombol bergambar telpon merah itu. Dan kesadaranku hilang.

Kurasakan goyangan dikakiku. Dengan setengah membuka mata, samar-samar kulihat Kiki duduk di tepi tempat tidurku, sambil tersenyum dia bilang bahwa papi sudah menunggu di bawah. Aku yakin papi dengan mudah dapat menemukanku meski aku tidak pernah bilang kemana aku akan pergi, terutama setelah kejadian malam tadi. Kemarahanku kepada papi masih menyisakan rasa pedih di dalam dadaku, seperti sebuah bekas sayatan pisau. Aku diam tak bergerak sambil tetap berbaring. Kepalaku masih berdenyut meski tidak seintens semalam. Pandanganku masih agak kabur, namun sudah bisa menangkap senyuman tipis di bibir Kiki yang kelihatan sudah disaput lipstik merah muda warna kesukaannya. Kurasakan kelembutan kehangatan sinar matahari yang menyeruak lewat jendela.

Setelah sekitar sepuluh menit aku berbaring diam, pelan-pelan kutegakkan badanku, lalu kubersihkan wajahku di kamar mandi. Dengan pakaian seadanya aku turun untuk menemui papi. Begitu melihatku, papi menundukkan kepalanya dan kulihat beberapa kali menyeka matanya dengan punggung telapak tangannya. Jarang aku lihat papi menangis, dan pemandangan seperti itu membuatku ikut meneteskan air mataku. Pelan-pelan kuhampiri papi, dan kami berpelukan sambil melepas kepedihan masing-masing. Sejak mami meninggalkan kami tiga tahun lalu, papi merasa bahwa dia harus menjalankan tugas sebagai mami juga, dan barangkali karena itu, disamping juga karena kematian suamiku, papi menjadi semakin protektif. Aku merasa papi ingin melindungiku, namun entah dari apa. Barangkali karena kejandaanku yang orang selalu bilang sebagai sebuah status yang rawan terhadap godaan. Aku seorang janda yang menurut ukuran orang sangat diminati, selain wajahku yang tidak jelek, juga kekayaan materi yang kupunyai dan pangkatku yang cukup terpandang di sebuah instansi pemerintah. Barangkali karena alasan itu pula papi, tanpa disadarinya, telah menyimpanku dalam sebuah sangkar emas, yang sekarang semakin kurasakan sebagai sebuah jerat di leherku.

Papi membawaku ke rumah sakit terdekat untuk memeriksakan kondisiku. Dokter yang nampak baik itu hanya mengatakan bahwa aku habis mabuk, sambil memberi secarik resep. Akupun lalu dibawa pulang kembali ke rumah papi, kembali ke sangkar emasku. Terkadang aku merasa rindu untuk kembali ke sangkar ini. Di situ aku menemukan sebuah rasa aman, sebuah pegangan yang sangat aku butuhkan, sebuah penopang dalam menjalankan hidup, ada seseorang yang peduli terhadapku meski dengan caranya sendiri. Sangkar itu meski membelenggu namun seolah membentengiku dari gangguan luar, gangguan sebuah kota besar seperti Jakarta, gangguan yang potensial muncul kepada seorang janda sepertiku. Kemewahan sangkar itu sering membuaiku sehingga aku merasa seperti seorang puteri yang disanjung oleh siapapun yang kenal papi, dituruti semua kemauanku, dan dipenuhi semua kebutuhan materiku.

Namun ternyata gelembung ruang kosong dalam batinku semakin nyata kurasakan, apalagi ketika sms Bagus seolah membangunkanku dari keterlenaanku dalam sangkar emas tadi. Sms yang langsung menusuk ke dalam jantungku, langsung membunyikan dentang kepedihan dalam ruang batinku yang kerontang. Yang membangunkan tidur lelap kesadaranku, sekaligus meruntuhkan semua benteng yang kubangun untuk menutupi kekosongan kamar jiwaku. Kini aku sudah merasa telanjang, rapuh, haus dan pasrah. Apalagi yang bisa aku pertahankan? Sms itu telah memberikan sebuah kesadaran yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, sms itu menghancurkan namun juga merubah hidupku.

Kerapuhan batinku menjadi jelas terlihat sebagai sebuah bentuk yang menyerupaiku setiap kali aku bercermin. Kulihat di cermin, mataku dengan jelas bercerita tentang kekosongan jiwaku. Kulihat juga di cermin seluruh sisa-sisa bara yang panas menghauskan tersebar di sekujur tubuhku. Namun ada sesuatu yang lain yang juga ikut muncul dalam cermin. Sebuah semburat cahaya lemah disekitar tubuhku yang menyelimutiku dan memberi kesejukan. Kesejukan yang seolah pelan tapi pasti menyiramku dengan percikan air kesegaran di kerontang lembah jiwaku. Barangkali ini merupakan pantulan kesadaran baruku yang sedikit demi sedikit menyegarkan kehausanku.

Kepasrahanku merupakan titik nadir dalam perjuanganku dan harapanku untuk mendapatkan cinta seseorang yang mustahil kudapatkan. Kepasrahan yang membenturkan kepalaku ke lantai dengan keras dan menyadarkanku. Rasa pasrah yang timbul setelah semua ledakan kemarahanku-pun tidak mampu membantu merubah dunia di sekitarku untuk menuruti kemauanku. Titik nadir tadi lalu memberikan daya lenting untuk bangkit kembali dengan kesegaran baru, dengan pemahaman baru tentang kehidupan yang secara intensif Bagus tuntunkan kepadaku terutama sewaktu melewati masa kritis malam itu. Perubahan dunia luar yang kutuntut, ternyata tidak terjadi. Namun perubahan diriku, pelan dan pasti, sudah terjadi setelah melewati titik nadir hidupku. Dan perubahan dalam diriku itu pelan tapi pasti, ternyata ikut merubah pandanganku terhadap papi, terhadap Kiki, Bagus, dan dunia di luar diriku. Barangkali inikah yang disebut Bagus untuk mulai mengarahkan perhatianku kepada orang lain, dan bukan hanya kepada diriku sendiri, kepada keinginanku, kepada kemarahanku, kepada kekecewaanku dan penderitaanku?

Aku tercenung, perlukah aku berterimakasih kepada Bagus yang pernah menghancurkanku?

Jakarta, Juli 2008

Kamis, 29 Mei 2008

Tuhan itu Energi?

Sore itu kami janjian ketemu di sebuah warung kopi di bilangan Pancoran. Aku datang duluan, dan baru sekitar limabelas menit kemudian kulihat dia masuk warung. Dia minta maaf karena harus sholat dulu. Kami lalu pindah dari tempat dudukku, dan memilih sofa yang lebih enak untuk ngobrol. Kupesan kopi moka dingin kegemaranku, dan dia memesan teh rasa strawberry, yang selalu terdengar aneh buatku. Warung kopi ini selalu ramai, meski harga segelas minuman di sini bisa membuat dahi berkerut bagi kebanyakan orang. Namun entah mengapa selalu ada keinginan untuk kembali ke warung ini, barangkali ini yang disebut sebagai kecanduan terhadap kafein. Atau barangkali orang kembali karena ingin ikut menikmati imaji yang disandang oleh warung kopi mahal ini.

Seperti biasa, perempuan yang duduk di depanku ini kelihatan menarik, matanya selalu hidup memancarkan kecerdasan pikirnya dan sebuah sikap yang penuh rasa percaya diri yang besar, sampai terkadang menjadi terasa agak merendahkan kawan bicaranya. Sore itu bibirnya yang tipis kelihatan agak basah, barangkali menggunakan lip-gloss agak berlebih. Kami mengobrol sana sini tentang teman-teman lain, dan selalu ada kenyamanan ketika menertawakan teman-teman lainnya, entah karena kelucuan ataupun keanehan mereka. Memang terkadang keanehan sama dan sebangun dengan kelucuan.

Kemudian mendadak, ada sedikit jeda dalam obrolan kami. Lalu dengan suara yang sedikit direndahkan, seolah khawatir orang lain ikut mendengar, dia bertanya: ”Mas, apakah betul pendapat bahwa Tuhan itu sebuah energi?” Aku hanya terdiam ketika melihatnya menatapku lekat dengan wajah menunggu. Tanpa bermaksud berpretensi, aku sejenak sempat bertanya dalam hati, apakah dia bertanya atau mengajukan sebuah pendapat dan menginginkan aku menyetujui pendapatnya. Setelah beberapa lama, aku kembali bertanya kepadanya, apa yang dia ketahui tentang energi. “Yah, energi, … sebuah kekuatan yang maha dahsyat sehingga dia mempunyai kekuasaan tak terhingga atas kita manusia. Makanya kita harus tunduk dan pasrah pada kehendaknya.”

Aku masih terdiam mendengarkan penjelasannya. Kembali sepintas rasa itu ada, bahwa dia mempunyai sebuah konsep tentang Tuhan, dan pertanyaannya kepadaku adalah untuk membenarkan dan memperkuat pandangannya tentang konsep itu. Perasaanku itu membuatku menjadi berhati-hati dalam mencoba menjawabnya.

Aku lalu bercerita tentang hal yang kuketahui tentang energi semesta, yang kadang disebut rei-ki, prana, dan Brahman. Dan kemudian juga kuceritakan bahwa segala sesuatu yang ada di bumi ini yang pada dasarnya adalah energi. Bahkan dalam teori sub-atomik atau yang disebut Super String Theory, elemen paling dasar dari semua materi terdiri dari dawai sepanjang satuan Plank yang senantiasa bergetar, dan getaran itulah energi. Jika semua elemen dalam hidup ini adalah energi, maka kehidupan ini hanya terdiri dari energi, tidak ada yang lain. Baju inipun energi yang termanifestasi dalam bentuk sebuah baju. Meja, air kopi, tubuh manusia, kertas tisu, semuanya adalah energi yang berbeda-beda manifestasinya. Kulihat dia mendengarkan dengan seksama.

“Jadi betul kan mas bahwa Tuhan itu energi, tapi yang jauh lebih besar dari semua energi di dunia ini.” Sebuah pernyataan yang ingin mendapat pembenaran dariku. Aku masih belum menanggapi pernyataan itu secara langsung, karena ada sesuatu yang masih memerlukan pemahaman lebih lanjut: pembedaan energi yang besar dan energi yang kecil, dan energi besar itu lalu disebut Tuhan dan yang kecil itu bukan Tuhan. Ada semacam dualisme yang terciptakan.

Aku lanjutkan ceritaku kepadanya. Bila kita memahami bahwa energi itu merupakan elemen dari semua yang ‘ada’ di dunia ini, maka sebenarnya tidak ada perbedaan antara satu bentuk dengan bentuk lainnya. Hanya manifestasi dari elemen itu yang tercerap oleh inderawi kita, dan itu yang membedakan satu dengan lainnya. Seperti tubuh kita, atau wajahmu yang cantik itu, kataku. Seseorang mampu mengindera wajah itu karena kapasitas sensor penglihatan kita terbatas pada spektrum gelombang tertentu, sehingga manifestasi energi yang diobservasi tergantung dari kemampuan alat observasinya. Seekor elang yang mempunyai kemampuan observasi berbeda dari sensor inderawi kita, akan melihat wajah yang menurut kita cantik, berbeda pula. Seekor anjing akan melihat wajah kita juga berbeda, tidak sama dengan apa yang manusia cerap lewat mata kita. Dengan begitu, jika kita berbicara tentang realitas atau kenyataan dalam hidup ini, maka sebenarnya tidak ada realitas itu, karena semua menjadi relatif. Sesuatu yang relatif, bukanlah sebuah realitas. Namun jika energi itu adalah elemen dasar dari semua eksistensi di dunia ini, maka barangkali energi itulah sebuah realitas karena dia tidaklah relatif.

Dia masih diam mendengarkan, dan masih dengan tatapan matanya yang berkilat.

“Nah, sekarang kembali kepada pertanyaanmu semula, apakah Tuhan itu energi?”, kataku. “Jika ada kepercayaan dalam dirimu bahwa Tuhan itu energi, maka semua yang ada di dunia ini adalah Tuhan. Tuhan ada di mana-mana dan menjadi elemen dari setiap eksistensi. Yang tercerap oleh kita hanyalah manifestasi elemen-elemen tersebut, manifestasi Tuhan. Tuhan sendiri, atau elemen itu sendiri, tidak pernah mampu kita persepsikan dengan kemampuan sensorik kita.” Lalu lanjutku, kitapun harus mengingat bahwa elemen sub-atomik itupun masih berupa teori,dan banyak orang mengatakan keberadaan alam sub-atomik itu merupakan fantasi para ilmuwan semata.

“Lalu apa hubungannya antara elemen dasar tadi dengan kekuasaan Tuhan yang demikian besar? Bukankah kita harus tunduk pada kekuasaannya?”

Aneh, perasaan bahwa dia hanya mengemukakan pendapatnya dan aku diperlukan untuk memperkuat pendapatnya itu, muncul kembali. Maka dari itu, aku cuma tersenyum mendengar pertanyaannya.

Barangkali karena ketidakmampuan kita untuk mencerap dan mencerna elemen dasar kehidupan yang bernama energi ini, namun kita mengetahui bahwa ada sebuah kekuatan yang menghidupi, yang menjadi elemen dari setiap fenomena dalam hidup ini, maka manusia menggambarkannya sebagai sebuah kekuatan besar, sosok Tuhan. Dalam perjalanannya, sosok ini semakin sulit dipahami, namun tetap mempunyai kekuatan hidup yang besar, sehingga kita perlu berlutut menyembahnya. Sembah, sebuah gerak yang sangat manusiawi ketika keberdayaan kita tidaklah mampu mengatasi keberdayaan sebuah kekuatan di luar diri kita. Barangkali inilah masalahnya, bahwa kita menganggap kekuatan itu berada di luar diri kita, bukan menyatu dalam hidup ini, bukan menjadi elemen dari apa yang kita sebut ‘diri’ ini, bukan menjadi elemen setiap sel dalam kehidupan ini.

Rencana yang semula hanya ngobrol setengah jam karena dia mempunyai kesibukan lain, tidak terasa menjadi hampir tiga jam. Setelah kopi dan teh di gelas kami masing-masing seluruhnya pindah tempat ke perut kami, kamipun saling bersalaman untuk berpisah.

Kunikmati Gending2 Palaran Nyi Condrolukito dari kaset player VW kombiku, sambil pelan-pelan jalan kembali ke rumah. Terdengar alunan suaranya yang bening dalam sekar dandhanggula, “ …. Roso kang satuhu, … rasaning rasa punika, upayanen, darapon sampurna, ugi ing kahuripan nira …”

Rasaning rasa, sumber rasa, inti dari segala rasa dalam diri manusia merupakan suatu energi yang perlu ditemukan. Karena hanya dengan menemukannya-lah maka sumber energi dalam diri bisa terpelihara untuk memberikan kebahagiaan hidup. Energi semesta ada dimana-mana, bahkan dalam diri manusia ini. Unsur-unsur yang ada dalam diri manusia adalah sama dengan elemen2 di dalam klehidupan sehari-hari, di dalam ruang di luar diri. Tubuh ini sering disebut sebagai jagat kecil, bagian dari jagat besar. Namun dalam jagat kecil ini terdapat segala sesuatu yang kita perlukan untuk hidup dalam habitat yang terbentuk di luar namun memberikan daya dukung untuk kehidupan manusia itu sendiri.

Agus Widianto, Jakarta, September 2007

Selasa, 22 April 2008

Suatu Pagi di Lembur Pancawati

Lembur Pancawati adalah tempat penginapan yang terletak di kabupaten Bogor, kira-kira 3 km masuk dari pasar Cikreteg yang terletak di jalan dari Ciawi kearah Sukabumi. Sebuah tempat yang sangat sesuai untuk acara pertemuan kelompok.

Pagi itu seperti pagi yang lain, saat mentari belum juga timbul di ufuk timur. Udara masih terasa dingin karena jarum jam masih menunjuk sebelum angka lima. Yang membedakan pagi di Pancawati dengan pagi di Jakarta adalah kesunyiannya, juga udara bersihnya. Suara katak masih terdengar satu-satu, kokok ayam sayup-sayup menimpalinya. Udara yang agak basah terasa bening ketika melewati rongga hidung, bersih, memberi energi yang menyehatkan seluruh sel dalam tubuh ini.

Pelan-pelan kubuka pintu kamar dengan harap agar teman sekamarku tidak terbangun karena derik engsel yang mungkin jarang terminyaki. Dengan pelan aku menuju sebuah tempat yang telah menjadi kesenanganku selama dua hari ini, sebuah balkon sederhana dari jajaran bambu utuh yang menghadap ke lembah dan berseberangan dengan kebun terbuka di seberang lembah. Lampu di atas balkon tidak lagi menyala, sehingga gelap masih meliputi balkon itu. Langit masih menyimpan pekat meski semburat tipis cahaya mulai tergambar di ujung bukit di kejauhan.

Kududuk dengan posisi lotus, kubangun kesadaranku, kuperhatikan nafasku, serta kusatukan diriku dengan semesta. Kedamaian merayap menyelimutiku sehingga kehangatan energinya dapat kurasakan di sekujur tubuhku. Kesejukan angin pagi yang semilir semakin lama semakin tidak terasa. Sebuah ketentraman yang nyaman dan selalu menakjubkan.

Pagi itu adalah pagi kedua dalam acara sebuah retreat kantor kami, Yayasan Bina Usaha Lingkungan.

Retreat, yang memang bertujuan untuk berhenti sejenak, melihat kembali organisasi ini sampai ke ruh-nya yang paling dalam. Dengan panduan para fasilitator INSPIRIT yang sungguh piawai mendampingi dan mengarahkan kami, mbak Budhsi, mas Danni, mbak Dudu, mbak Gege, mas Dendy, kami menjalani proses selama dua hari dengan penuh semangat dan kegembiraan. Sebuah proses penting yang kami yakini akan mewarnai kehidupan berorganisasi kami di masa-masa selanjutnya.

Pada akhir retreat, kami merasa menemukan kembali ruh organisasi yang sudah lama pergi. Kami merasa menemukan kembali kebersamaan yang menggembirakan, semangat untuk bangkit dari kelayuan yang selama ini telah mewarnai organisasi yang kami cintai ini.

Ruh yang telah kembali lagi, telah memberikan keberanian bagi kami semua untuk berubah. Sebuah perubahan yang mungkin menyakitkan, namun harus kami lalui. Seperti tahap transformasi pada kehidupan seekor elang, yang menyakitkan namun memungkinkan dia untuk hidup lebih lama, dengan semangat yang baru, sebaru seorang bayi yang dilahirkan kembali …

Terimakasih para fasilitator, semoga transformasi ini akan berlanjut, menggumpal dan terus mengembang menjadi kekuatan baru untuk terus berbakti pada bangsa ini.


Lembur Pancawati,
April 2008

Selasa, 01 April 2008

PASKAH DALAM KEMAJEMUKAN

Paskah merupakan sebuah peristiwa penting bagi peningkatan keimanan Kristen, terutama karena kebangkitan Yesus menunjukkan kelebihan dan kebesaranNya dibandingkan dengan manusia biasa seperti saya, anda, kita, dan semua yang hidup dan pernah hidup di muka bumi ini. Ada hukum alam yang disangkal, yaitu hukum kematian. Hukum alam yang merupakan keniscayaan bagi segenap kehidupan, namun tidak berlaku bagi Yesus. Di situlah Yesus menunjukkan kelebihanNya dibanding dengan manusia yang hidup dalam siklus alam. Di situlah Yesus dianggap sebagai makhluk yang lebih besar keilahiannya, yang mampu lepas bebas dari hukum alam. Yesus bukan bagian dari alam ini, yang juga digambarkan dengan berbagai mukjijat yang diperbuatNya. Nilai keilahian yang diukur dengan bebas dari kematian inilah yang menjadi dasar keimanan Kristiani dalam memandang Yesus sebagai Anak Allah. Hanya dengan tingkat keilahian demikianlah maka hanya Yesus yang mampu menebus segala dosa manusia. Hanya melalui Yesus maka manusia bebas dari dosa dan siap masuk ke surga duduk di sebelah kanan Allah Bapa.

Kitab Suci juga bercerita tentang inti ajaran Yesus, yaitu cinta kasih. Tidak sekedar cinta, namun kasih yang tanpa syarat, bebas dari pamrih, dan tidak mementingkan diri sendiri. Kasih yang diajarkan Yesus ini sama dengan kasih yang diajarkan Buddha Gautama, meskipun dalam kehidupan sehari-hari manusia biasa seperti kita ini, seringkali sukar dipahami namun bisa dilakukan. Kasih yang sesungguhnya teramat besar ditunjukkanNya ketika “menyerahkan nyawanya bagi sesama”. Paulus yang telah mendapat pencerahan mencoba memahami jenis kasih yang demikian ini, dan mencoba menuangkannya dalam definisi menurut alam pikiran manusia sepertinya. Maka kemudian timbul ‘sifat-sifat’ kasih, seperti tertulis dalam surat pertamanya kepada umat di Korintus: “… kasih itu sabar, kasih itu murah hati, ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan … dan seterusnya. Meskipun definisi-definisi itu tidaklah cukup menggambarkan kasih yang sesungguhnya.

Sehingga, paling tidak ada dua hal yang esensial dari Kitab Suci: pertama, keilahian Yesus yang membedakan sosok Yesus dari manusia biasa melalui pembebasannya dari kematian; dan kedua, inti ajaran Yesus yang adalah kasih.

Dalam kehidupan yang mempunyai tatanan sosial yang majemuk, konsep penebusan Yesus melalui kematian dan kebangkitannya menjadi agak sukar dipahami. Karena, konsep demikian meninggalkan banyak pertanyaan, misalnya, apakah semua orang harus mempunyai iman Kristiani untuk sampai pada ajaran tentang kasih, atau dengan kata lain, dapatkah seseorang langsung memahami inti ajaran Yesus – kasih – tanpa harus menjadi seorang Kristen. Juga pertanyaan misalnya, apakah ajaran Yesus hanya berlaku untuk manusia beragama Kristen.

Jika ajaran Yesus mendunia dan berlaku untuk semua manusia di dunia ini karena pada dasarnya semua manusia mempunyai kemampuan untuk mengasihi, maka benarkah bahwa konsep penebusan Yesus melalui peristiwa Paskah menjadi tidak mutlak harus terjadi, dan harus menjadi dasar kita mengasihi?

Akhirnya, kasih seharusnya tidaklah harus selalu dikaitkan dengan agama, karena Allah yang menjadi sumber kasih ternyata tidak beragama.


Agus Widianto
Paskah, 2008

Apakah Yang Disebut Realitas?

Realitas menurut David Bohm, UC Berkely, 1977

Reality is what we take to be true. What we take to be true is what we believe. What we believe is based upon our perceptions. What we perceive depends upon what we look for. What we look for depends on what we think. What we think depends on what we perceive. What we perceive determines what we believe. What we believe determines what we take to be true. What we take to be true is our reality.


Terjemahan bebasnya kira-kira:

Realitas adalah apa yang kita anggap benar. Yang kita anggap benar adalah apa yang kita yakini. Yang kita yakini berdasar atas persepsi kita. Apa yang kita persepsikan tergantung dari apa yang kita cari. Yang kita cari tergantung dari apa yang kita pikirkan. Yang kita pikirkan tergantung dari apa yang kita persepsikan. Yang kita persepsikan menentukan apa yang kita yakini. Yang kita yakini menentukan apa yang kita anggap benar. Yang kita anggap benar adalah realitas kita.

Bagaimana Mencapai Hidup Bahagia?


Ilmu bahagia, meski ada yang mengatakan “ ..There are no scientific ways to achieve happiness or to improve it..” adalah merupakan sebuah ilmu (kalau boleh disebut sebagai ilmu) spiritual. Olah pikiran (minds) merupakan salah satu pelajaran yang terpenting, dan justru dari situlah dasarnya. Mutu kehidupan yang biasanya diukur dari segi materi (kesehatan, makan minum, latihan badan) tidak serta merta memberikan anugerah kebahagiaan.

Men do not live by bread alone. Seringkali manusia memang lupa bahwa mereka adalah makhluk amphibi, hidup di dua alam: materi dan spiritual. Kita adalah manusia spiritual yang hidup dalam dimensi materi, bukan sebagai manusia material yang mempunyai sisi spiritual. Pemahaman tentang realitas seringkali diterjemahkan dengan hal-hal yang terlihat, berwujud, bisa dicerap dengan panca indera. Persepsi tentang esensi hidup yang hanya berdasar atas kerja inderawi yang demikian seringkali menyesatkan, karena ukuran-ukuran tentang kehidupan yang dibentuk, misalnya: kebahagiaan, adalah ukuran yang hanya terpersepsikan oleh indera kita.

Kebahagiaan sendiri setahu saya bukanlah kata benda, melainkan kata kerja. Artinya, desiderata, strive to be happy, memang benar adanya. Kebahagiaan tidak datang begitu saja sebagai suatu kondisi, namun harus dilatih untuk mengalaminya. Kebahagiaan juga bukan merupakan pemberian dari siapapun, suatu anugerah, tapi harus secara aktif kita capai. Banyak metoda latihan yang dapat membantu mendatangkan kebahagiaan ini, dan yang pasti, tidak dalam bentuk kebahagiaan eksternal, namun merupakan kebahagiaan internal.

Hanya, kekeliruan juga potensial timbul ketika ada pendapat bahwa semakin keras kita berusaha (mencari, mencari dan mencari), semakin mudah kita mendapatkan kebahagiaan. Menurut pengetahuan saya, mengejar kebahagiaan dengan menggendong expectation (harapan) akan selalu berakhir dengan kekecewaan. Paradigma hidup perlu dirombak dari ‘expectation’ menjadi ‘acceptance’, karena hanya dengan meningkatkan ‘acceptance’ lah maka kekecewaan dapat diperkecil. Harapan biasanya selalu diboncengi oleh ego, meski dalam tingkatan yang sangat-sangat subtle. Pikiran kita biasanya bersifat tricky. Sehingga, selama kerja keras kita untuk mendapatkan kebahagiaan tetap diboncengi oleh ego, dan selama usaha kita itu (termasuk ‘doa’) tetap menggendong harapan untuk kebahagiaan (kesenangan) ego, maka potensi kekecewaan sudah menjadi bagian integral dalam usaha kita tersebut. Apabila mau bersikap obyektif, maka dapat kita lihat bahwa hampir setiap doa yang kita lantunkan bersifat meminta, dan dalam permintaan selalu ada peranan ego yang terselipkan. Coba amati dan periksa dengan teliti, pernahkah kita berdoa untuk orang lain, dan hanya untuk orang lain?

Kebahagiaan adalah fluktuatif dan relatif. Kebahagiaan demikian biasanya disebut sebagai kebahagiaan eksternal, dan bila lebih didalami, sebenarnya hanya merupakan kesenangan, bukan kebahagiaan sejati. Kebahagiaan eksternal (kesenangan yang bersifat sesaat) yang demikian, masih tergantung kepada faktor-faktor eksternal dari luar diri kita. Misalnya: kalau aku kaya, maka aku akan bahagia; kalau aku menjadi direktur perusahaan singkong, maka aku akan bahagia; kalau aku punya teman banyak, maka aku akan bahagia; kalau istriku yang cantik itu tetap mencintaiku, aku akan bahagia …, dan seterusnya. Kebahagiaan (atau kesenangan) kita ditentukan oleh faktor-faktor pendukung yang berasal dari luar diri kita, sehingga disebut sebagai kebahagiaan eksternal. Bila faktor-faktor pendukung tersebut runtuh satu persatu karena sifatnya yang tidak kekal, maka kebahagiaan eksternal-pun ikut tergoyahkan atau bahkan runtuh sama sekali.

Harapan, yang menjadi syarat untuk “berbahagia” mendatangkan hasilnya yang berupa kekecewaan. Kebahagiaan sejati adalah kebahagiaan internal, kebahagiaan yang bersumber dari dalam diri kita sendiri. Tidak ada faktor luar yang mempengaruhinya, sehingga bersifat lebih tetap dan tidak fluktuatif. Kebahagiaan sejati seperti ini bisa kita peroleh, dengan cara: membangkitkan Kerajaan Allah yang bersemayam dalam diri kita; membangunkan Buddha yang hidup dalam diri kita; menjadikan atman atau spirit sebagai pedoman hidup; membangkitkan sifat ke-ilahi-an dalam diri kita dan kita jadikan panglima dalam membimbing kehidupan kita ………

Salah satu ciri kebahagiaan internal adalah kebebasan dalam pikiran kita sendiri. Barangkali hal ini yang kemudian menjadikan kebahagiaan sebagai hak asasi manusia. Hak untuk mendapatkan kebebasan dalam berpikir. Kebebasan yang tidak lagi dikemudikan oleh ego, tidak lagi dibatasi oleh dogma tradisi, tidak lagi dikotakkan dalam batas materi, dan tidak lagi dikekang oleh ritual semata. Kebebasan berpikir yang ada merupakan penggunaan kesempatan dan kemampuan untuk menyelam ataupun mendaki ke dalam diri kita, membersihkan unsur-unsur diri kita, baik itu: persepsi, perasaan, wadag, konstruksi mental, maupun kesadaran. Proses purifikasi ini hanya mungkin dilakukan apabila kita berada dalam keheningan pikiran, dan bukan kesibukan atau gegap gempita ‘usaha’ kita untuk mencari kebahagiaan.

Sehingga memang benar bahwa, “Kebahagiaan makin dicari makin menjauh, makin elusif, makin lolos, makin lepas”. Saya juga percaya bahwa kebahagiaan diri bukanlah hanya merupakan “produk samping dari hal-hal lain”. Kebahagiaan seharusnya merupakan keadaaan yang paling tinggi dalam kehidupan kita, yang perlu kita alami. Karena, kebahagiaan sejati merupakan surga dalam kehidupan kita yang dapat kita dekati dan alami pada masa sekarang ini, tidak perlu menunggu setelah kita mati.

Akhirnya, adalah omong kosong kalau kita bisa membahagiakan orang lain, bila membahagiakan diri sendiri saja belum mampu.


Agus Widianto
Jakarta, 1 Juli 2005

Rabu, 19 Maret 2008

Ketakutan

Disarikan dari A Heart of Stillness, David A. Cooper

Ketakutan adalah mekanisme dasar untuk bertahan yang ada dalam diri makhluk kidup. Ada dua macam ketakutan (mekanisme dasar ini): pertama, yang ada dalam semua makhluk hidup. Bila ada ancaman, reaksinya adalah “melawan atau lari”. Kategori kedua adalah yang hanya dimiliki oleh manusia: kecemasan yang ditimbulkan dan diciptakan oleh imajinasi, dan disuburkan oleh pengalaman hidup. Imajinasi ini dipelihara untuk mempertahankan hidup.

Misalnya, setiap orang pernah jatuh. Namun tidak banyak yang jatuh dari gedung tingkat tinggi. Meski demikian, dengan mudah kita berimajinasi apa akibat jatuh dari gedung tinggi. Sehingga, imajinasi ini mencegah kita melompat dari gedung tinggi. Ketakutan ini disebut sebagai common sense, yang kita gunakan sebagai alat untuk bertahan hidup. Anak biasanya kurang rasa takutnya, karena belum banyak pengalaman yang merangsang imajinasi.

Ada kalanya, bahwa imajinasi melampaui batas-batas kewajaran. Ini terjadi ketika pikiran kita sedang bingung karena stress, menderita sakit, atau karena obat-obatan. Namun juga dapat terjadi kapan saja ketika ada peningkatan emosi. Saat itu kepribadian orang bisa berubah karena diselimuti sepenuhnya oleh imajinasi, dan common sense menjadi tidak berfungsi. Akibatnya, realitas hidup ini menyebabkan kita merasa sangat rentan, sangat rapuh dalam kehidupan dunia yang serba kejam. Sebaliknya, kitapun dapat merasa sangat berani dan bertindak diluar batas-batas kewajaran, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian kita atau orang lain. Misalnya, ngebut pada kecepatan tinggi.

Pada saat kita mulai meditasi, dan kita meneliti pikiran kita sendiri, ternyata banyak pikiran kita yang terdominasi oleh kecemasan dan ketakutan. Hanya sedikit yang wajar, sedangkan kebanyakan, melampaui batas-batas kewajaran. Semua ini diciptakan oleh pikiran kita sendiri.

Ketakutan sangat erat kaitannya dengan perasaan tidak aman. Selalu akan ada kecemasan dan ketakutan, apabila kita merasa tidak aman dalam perkawinan, tidak aman dalam pekerjaan, dalam jabatan, dalam tanggungjawab, tidak aman dalam pemikiran (ide), dalam kepercayaan, dalam hubungan kita dengan sesama maupun Tuhan. Tepat pada saat kita mencari ‘keamanan’ dalam sesuatu, secara pasti, timbullah ketakutan.

Dengan kata lain, bila kita ingin menggenggam rasa aman dalam dunia yang selalu berubah, maka pasti ada kecemasan yang terus menerus terciptakan. Keberanian untuk menerima perubahan adalah sangat penting. Apabila kita menerima “ketidak amanan” dalam kehidupan sebagai suatu kebenaran, maka kecemasan dan ketakutan niscaya akan hilang dengan sendirinya.

Pendekatan lain untuk mengatasi ketakutan adalah pasrah total kepada Tuhan. Tidak ada tingkat ketakutan yang lebih tinggi dari ketakutan kita kepada Tuhan. Ketakutan akan Tuhan berarti menyerahkan keheningan pikiran kita kepadaNya. Tuhan memberikan rumah perlindungan kepada kita.

Salah satu metode dalam meditasi: jangan pernah kita menyebutkan “saya takut” atau “kecemasan saya”. Jangan pernah mengikatkan diri kita kepada rasa takut, rasa cemas. Melainkan, kita perlu mengamati pikiran kita dan berkata: “sedang ada pikiran takut”, atau “rasa cemas sedang muncul”. Sekali kita bisa memisahkan diri dari pikiran takut dan cemas, maka pengalaman emosi itu dapat menjadi alat untuk menyatu dengan Tuhan, Yang Maha Satu.

11/01/2003

Selasa, 18 Maret 2008

PERUBAHAN dan PENDERITAAN

Sore itu saya berjalan di jembatan yang melintas di atas ujung Danau Laut Tawar di Takengon, Aceh Tengah. Udara mulai menusuk tulang, jaket jeans yang saya kenakan masih dengan mudah ditembus sentuhan dinginnya udara sore itu. Suasana danau begitu tenang, seperti terlihat dalam gambar di sebelah ini. Satu dua lampu mulai menyala, seolah mengisyaratkan sedang terjadinya sebuah proses pergantian antara siang menuju malam, antara terang menuju gelap. Matahari menyurutkan intensitas cahayanya untuk memberikan kesempatan kepada sejuknya cahaya bulan menemani sebagian makhluk hidup di bumi ini untuk berhenti sejenak memulihkan energi kehidupan yang sudah terkuras di siang hari. Sebuah jeda yang diperlukan untuk memperbaiki milyaran sel dalam tubuh yang rusak, mengganti milyaran sel yang mati dengan sel hidup, agar tubuh kembali siap keesokan harinya, menjalani masa kehidupan yang baru. Proses di luar tubuh kita maupun proses di dalam tubuh kita terus berlangsung tanpa henti. Perubahan demi perubahan senantiasa kita alami. Tidak ada setu sel-pun yang berhenti berproses, semuanya berubah, semuanya timbul dan tenggelam, semuanya hidup dan mati. Kehidupan dan kematian senantiasa terjadi setiap saat, sepanjang masa. Energi kehidupan senantiasa berdenyut dan bergetar tanpa henti, baik dalam siklus nano detik dalam sebuah atom sampai siklus milyar tahun di semesta. Tidak ada yang tidak berubah, tidak ada yang abadi. Hanya perubahan itulah yang abadi.

Perubahan merupakan hal yang alamiah, sebuah proses yang tidak dapat dikurangi, dihindari, apalagi dicegah dan dihentikan. Maka sangatlah tepat bahwa salah satu dari tiga pilar kehidupan dalam prinsip yang diajarkan Buddha adalah perubahan (impermanence), selain dua lainnya: dukkha (penderitaan) dan annatta (tanpa diri). Perubahan adalah tanda kehidupan. Bahkan yang disebut “kematian” dalam konsep manusia, sebenar-benarnya hanyalah sebuah perubahan dari konsep “kehidupan” ke konsep “kematian”. Dan yang dipahami sebagai “kematian” oleh manusia, sebenarnya adalah kehidupan dalam bentuk yang lain. Misalnya, bentuk hidupan baru berupa belatung, dekomposisi oleh bakteri yang tetap hidup, tubuh yang berubah menjadi cairan nutrisi yang menghidupkan tanaman, dan bentuk-bentuk hidupan lain. Jadi, kematian adalah perubahan dari kehidupan berbentuk manusia ke kehidupan dalam bentuk lain. Kematian, yang dipahami sebagai sebuah perhentian proses kehidupan, bukanlah sebuah kebenaran, namun hanyalah konsep dalam pikiran manusia.

Meskipun demikian, ternyata tidak sedikit manusia yang ingin menggenggam kehidupan tanpa mau mengalami perubahan. Segala upaya dilakukan untuk mempertahankan kehidupan yang tetap dan tak berubah. Baik dalam dimensi jasmani, ataupun dimensi lain misalnya kekayaan, pangkat, ide, dan hal lain yang sebenarnya hanya ilusi, dan yang pasti mengalami proses perubahan juga. Banyak orang yang takut berubah, karena perubahan selalu menuju ke suatu titik baru yang tidak dikenal sebelumnya, dan meninggalkan titik lama yang sudah dikenal dan sudah memberikan rasa nyaman selama ini. Terdapat banyak kecemasan dan ketakutan untuk masuk ke dalam kondisi yang belum pernah dialami sebelumnya. Ketakutan demi ketakutan terus terkumpul dan mengendap dalam segenap sel di tubuh kita.

Keinginan untuk menggenggam kehidupan dan menghindari perubahan merupakan pengingkaran terhadap hukum alam, merupakan sebuah ilusi. Hidup ibarat air terjun yang terus mengalir, dan manusia berusaha menggenggam air terjun itu. Sebuah kemustahilan yang melelahkan dan menimbulkan derita. Manusia yang merupakan bagian dari alam sudah seharusnya menerima segala hukum alam yang berlaku, dan hidup selaras dengannya. Pengingkaran terhadap hukum alam tersebut mendatangkan beban dan penderitaan yang besar. Inilah awal dari derita berkepanjangan yang seringkali tidak kita sadari.

Jakarta, 10 Maret 2008