Rabu, 19 Maret 2008

Ketakutan

Disarikan dari A Heart of Stillness, David A. Cooper

Ketakutan adalah mekanisme dasar untuk bertahan yang ada dalam diri makhluk kidup. Ada dua macam ketakutan (mekanisme dasar ini): pertama, yang ada dalam semua makhluk hidup. Bila ada ancaman, reaksinya adalah “melawan atau lari”. Kategori kedua adalah yang hanya dimiliki oleh manusia: kecemasan yang ditimbulkan dan diciptakan oleh imajinasi, dan disuburkan oleh pengalaman hidup. Imajinasi ini dipelihara untuk mempertahankan hidup.

Misalnya, setiap orang pernah jatuh. Namun tidak banyak yang jatuh dari gedung tingkat tinggi. Meski demikian, dengan mudah kita berimajinasi apa akibat jatuh dari gedung tinggi. Sehingga, imajinasi ini mencegah kita melompat dari gedung tinggi. Ketakutan ini disebut sebagai common sense, yang kita gunakan sebagai alat untuk bertahan hidup. Anak biasanya kurang rasa takutnya, karena belum banyak pengalaman yang merangsang imajinasi.

Ada kalanya, bahwa imajinasi melampaui batas-batas kewajaran. Ini terjadi ketika pikiran kita sedang bingung karena stress, menderita sakit, atau karena obat-obatan. Namun juga dapat terjadi kapan saja ketika ada peningkatan emosi. Saat itu kepribadian orang bisa berubah karena diselimuti sepenuhnya oleh imajinasi, dan common sense menjadi tidak berfungsi. Akibatnya, realitas hidup ini menyebabkan kita merasa sangat rentan, sangat rapuh dalam kehidupan dunia yang serba kejam. Sebaliknya, kitapun dapat merasa sangat berani dan bertindak diluar batas-batas kewajaran, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian kita atau orang lain. Misalnya, ngebut pada kecepatan tinggi.

Pada saat kita mulai meditasi, dan kita meneliti pikiran kita sendiri, ternyata banyak pikiran kita yang terdominasi oleh kecemasan dan ketakutan. Hanya sedikit yang wajar, sedangkan kebanyakan, melampaui batas-batas kewajaran. Semua ini diciptakan oleh pikiran kita sendiri.

Ketakutan sangat erat kaitannya dengan perasaan tidak aman. Selalu akan ada kecemasan dan ketakutan, apabila kita merasa tidak aman dalam perkawinan, tidak aman dalam pekerjaan, dalam jabatan, dalam tanggungjawab, tidak aman dalam pemikiran (ide), dalam kepercayaan, dalam hubungan kita dengan sesama maupun Tuhan. Tepat pada saat kita mencari ‘keamanan’ dalam sesuatu, secara pasti, timbullah ketakutan.

Dengan kata lain, bila kita ingin menggenggam rasa aman dalam dunia yang selalu berubah, maka pasti ada kecemasan yang terus menerus terciptakan. Keberanian untuk menerima perubahan adalah sangat penting. Apabila kita menerima “ketidak amanan” dalam kehidupan sebagai suatu kebenaran, maka kecemasan dan ketakutan niscaya akan hilang dengan sendirinya.

Pendekatan lain untuk mengatasi ketakutan adalah pasrah total kepada Tuhan. Tidak ada tingkat ketakutan yang lebih tinggi dari ketakutan kita kepada Tuhan. Ketakutan akan Tuhan berarti menyerahkan keheningan pikiran kita kepadaNya. Tuhan memberikan rumah perlindungan kepada kita.

Salah satu metode dalam meditasi: jangan pernah kita menyebutkan “saya takut” atau “kecemasan saya”. Jangan pernah mengikatkan diri kita kepada rasa takut, rasa cemas. Melainkan, kita perlu mengamati pikiran kita dan berkata: “sedang ada pikiran takut”, atau “rasa cemas sedang muncul”. Sekali kita bisa memisahkan diri dari pikiran takut dan cemas, maka pengalaman emosi itu dapat menjadi alat untuk menyatu dengan Tuhan, Yang Maha Satu.

11/01/2003

Selasa, 18 Maret 2008

PERUBAHAN dan PENDERITAAN

Sore itu saya berjalan di jembatan yang melintas di atas ujung Danau Laut Tawar di Takengon, Aceh Tengah. Udara mulai menusuk tulang, jaket jeans yang saya kenakan masih dengan mudah ditembus sentuhan dinginnya udara sore itu. Suasana danau begitu tenang, seperti terlihat dalam gambar di sebelah ini. Satu dua lampu mulai menyala, seolah mengisyaratkan sedang terjadinya sebuah proses pergantian antara siang menuju malam, antara terang menuju gelap. Matahari menyurutkan intensitas cahayanya untuk memberikan kesempatan kepada sejuknya cahaya bulan menemani sebagian makhluk hidup di bumi ini untuk berhenti sejenak memulihkan energi kehidupan yang sudah terkuras di siang hari. Sebuah jeda yang diperlukan untuk memperbaiki milyaran sel dalam tubuh yang rusak, mengganti milyaran sel yang mati dengan sel hidup, agar tubuh kembali siap keesokan harinya, menjalani masa kehidupan yang baru. Proses di luar tubuh kita maupun proses di dalam tubuh kita terus berlangsung tanpa henti. Perubahan demi perubahan senantiasa kita alami. Tidak ada setu sel-pun yang berhenti berproses, semuanya berubah, semuanya timbul dan tenggelam, semuanya hidup dan mati. Kehidupan dan kematian senantiasa terjadi setiap saat, sepanjang masa. Energi kehidupan senantiasa berdenyut dan bergetar tanpa henti, baik dalam siklus nano detik dalam sebuah atom sampai siklus milyar tahun di semesta. Tidak ada yang tidak berubah, tidak ada yang abadi. Hanya perubahan itulah yang abadi.

Perubahan merupakan hal yang alamiah, sebuah proses yang tidak dapat dikurangi, dihindari, apalagi dicegah dan dihentikan. Maka sangatlah tepat bahwa salah satu dari tiga pilar kehidupan dalam prinsip yang diajarkan Buddha adalah perubahan (impermanence), selain dua lainnya: dukkha (penderitaan) dan annatta (tanpa diri). Perubahan adalah tanda kehidupan. Bahkan yang disebut “kematian” dalam konsep manusia, sebenar-benarnya hanyalah sebuah perubahan dari konsep “kehidupan” ke konsep “kematian”. Dan yang dipahami sebagai “kematian” oleh manusia, sebenarnya adalah kehidupan dalam bentuk yang lain. Misalnya, bentuk hidupan baru berupa belatung, dekomposisi oleh bakteri yang tetap hidup, tubuh yang berubah menjadi cairan nutrisi yang menghidupkan tanaman, dan bentuk-bentuk hidupan lain. Jadi, kematian adalah perubahan dari kehidupan berbentuk manusia ke kehidupan dalam bentuk lain. Kematian, yang dipahami sebagai sebuah perhentian proses kehidupan, bukanlah sebuah kebenaran, namun hanyalah konsep dalam pikiran manusia.

Meskipun demikian, ternyata tidak sedikit manusia yang ingin menggenggam kehidupan tanpa mau mengalami perubahan. Segala upaya dilakukan untuk mempertahankan kehidupan yang tetap dan tak berubah. Baik dalam dimensi jasmani, ataupun dimensi lain misalnya kekayaan, pangkat, ide, dan hal lain yang sebenarnya hanya ilusi, dan yang pasti mengalami proses perubahan juga. Banyak orang yang takut berubah, karena perubahan selalu menuju ke suatu titik baru yang tidak dikenal sebelumnya, dan meninggalkan titik lama yang sudah dikenal dan sudah memberikan rasa nyaman selama ini. Terdapat banyak kecemasan dan ketakutan untuk masuk ke dalam kondisi yang belum pernah dialami sebelumnya. Ketakutan demi ketakutan terus terkumpul dan mengendap dalam segenap sel di tubuh kita.

Keinginan untuk menggenggam kehidupan dan menghindari perubahan merupakan pengingkaran terhadap hukum alam, merupakan sebuah ilusi. Hidup ibarat air terjun yang terus mengalir, dan manusia berusaha menggenggam air terjun itu. Sebuah kemustahilan yang melelahkan dan menimbulkan derita. Manusia yang merupakan bagian dari alam sudah seharusnya menerima segala hukum alam yang berlaku, dan hidup selaras dengannya. Pengingkaran terhadap hukum alam tersebut mendatangkan beban dan penderitaan yang besar. Inilah awal dari derita berkepanjangan yang seringkali tidak kita sadari.

Jakarta, 10 Maret 2008

Selasa, 04 Maret 2008

Mendengarkan

Disarikan dari berbagai sumber

Seringkali kita melihat bahwa dalam suatu pembicaraan, lawan (teman) bicara kita sudah menyiapkan suatu jawaban meski kita belum selesai bicara. Dia juga tidak memperlihatkan tanda-tanda sedang mendengarakan dengan baik. Misalnya lagi dalam suatu diskusi, ketika kita bicara, yang lain tidak mendengarkan, bahkan bicara sendiri dengan kawan sebelahnya. Apa yang kita rasakan menghadapi suasana seperti itu? Jengkel, marah, benci, kecewa, merupakan beberapa perasaan yang biasanya muncul.

Untuk mampu menciptakan hubungan yang lebih berarti dengan orang lain, diperlukan ketrampilan dalam “mendengarkan”, karena mendengarkan merupakan unsur yang penting bagi hubungan yang sehat dan positif dengan orang lain, dengan Tuhan, alam, atau apapun yang anda inginkan. Mendengarkan dengan baik memerlukan latihan sungguh-sungguh. Diperlukan ketenangan dan kesabaran, misalnya, tidak serta merta menjawab setiap pertanyaan, namun berhenti sejenak dan memeriksa bagaimana perasaan kita terhadap pertanyaan tersebut. Dalam sebuah pembicaraan, diperlukan ‘diam’ yang sebenarnya sama pentingnya dengan ‘bicara’.

Menurut berbagai studi, kita menggunakan 50% dari waktu ‘bangun’ (awake) kita sehari-hari untuk mendengarkan. Baik mendengarkan orang tua, teman kantor, penjaga toko, atasan, radio, telpon, dan sebagainya. Jadi kalau kita tidak mampu mendengarkan dengan baik, kita telah menghabiskan dengan percuma 50% dari waktu kita sehari-hari. Biaya atas ‘mendengarkan dengan buruk’ juga bisa besar, misalnya dokter yang melakukan malpraktek karena salah diagnosis akibat ketidakmampuan dia mendengarkan keluhan pasiennya. Dokter itu lebih senang membayar tinggi pengacara, daripada mendengarkan dengan baik kepada pasiennya, yang tidak memerlukan biaya apapun. Begitu pentingnya mendengarkan dengan baik, mendengarkan dengan penuh kesadaran, karena bisa membuat hidup kita menjadi jauh lebih berarti.

‘Mendengar’ dan ‘mendengarkan’ adalah dua hal yang berbeda. ‘Mendengar’ adalah kegiatan fisik dimana ada gelombang suara yang sampai ke gendang telinga dan merangsang saraf pendengaran. ‘Mendengarkan’ merupakan kegiatan yang jauh lebih kompleks. Huruf Cina untuk ‘mendengarkan’ merupakan gabungan dari tiga huruf: ‘telinga’, ‘mata’ dan ‘hati’. Ini merupakan gambaran dari kompleksnya kegiatan ‘mendengarkan’, yang secara aktif terdiri dari: penuh kesadaran, mendengar, melihat isyarat, memilih dan menyusun informasi, mengartikan komunikasi, menjawab, dan mengingat. Ketiga organ tubuh tersebut (telinga, mata dan hati) harus selalu aktif untuk dapat mendengarkan dengan baik.

Pada dasarnya ada tiga kualitas yang diperlukan dalam mendengarkan dengan baik (mendengarkan dengan ‘dalam’). Pertama, memahami bahwa hening, diam, adalah penting. Anda tidak bisa mendengarkan bila anda berbicara, meski pembicaraan yang anda lakukan itu berada dalam kepala anda sendiri. Kualitas kedua adalah refleksi. Harus ada refleksi tentang apa yang sudah dikatakan dan apa artinya. Apa nuansa kalimat yang tadi diucapkan? Apakah kalimat yang diucapkan itu sama artinya dengan apa yang dimaksud? Apakah ada arti yang tersembunyi? Kualitas ketiga adalah kehadiran yang utuh. Anda tidak akan dapat mendengarkan bila anda tidak berada di sana secara utuh. Kalau pikiran anda kemana-mana, berarti anda tidak hadir di sana secara utuh, dan dengan begitu anda tidak mampu mendengarkan dengan baik.

Mendengarkan dengan baik tidak selalu kepada orang lain. Kita juga harus bisa menerapkan hal yang sama untuk mendengarkan diri kita sendiri. Kita perlu berlatih mendengarkan kata hati kita sendiri, berkomunikasi dengan jati diri, inner sanctum, spirit, atman yang berada dalam diri kita, dengan penuh kecintaan. Setelah mampu, barulah kita bisa mendengarkan orang lain dengan lebih baik dan penuh kecintaan. Hanya dari mendengarkan dengan baik itulah dapat tercipta hubungan yang baik dengan diri sendiri, dengan orang lain, dengan Tuhan, dengan alam, atau dengan siapapun dan apapun. Hidup kitapun akan tambah berarti.

Meditasi bermanfaat untuk melatih diri agar dapat mendengarkan dengan baik. Karena dalam meditasi, kita melatih banyak hal: menciptakan keheningan dalam pikiran, berada pada saat sekarang, hadir secara utuh baik pikiran dan tubuh, konsentrasi dalam jangka waktu relatif lama, dan mampu mencermati hal-hal yang keluar masuk ke dalam pikiran. Sehingga dalam banyak ajaran seringkali disebutkan, mendengarkan merupakan praktek meditasi yang dalam.

15 April 2004

Pengalaman Bertemu Tuhan

Pengalaman bertemu dengan Tuhan sangatlah pribadi sifatnya. Banyak contoh yang sudah ditulis dalam berbagai buku. Ada satu pertanyaan yang cukup menggelitik ketika aku berbincang dengan rekanku, seorang doktor di bidang lingkungan.

Siang itu kami duduk-duduk di kantor, di ruang rapat. Pembicaraan mulai dari pekerjaan,sampai akhirnya menyentuh ritual keagamaan karena sebentar lagi umat Islam merayakan hari besar Iedul Fitri. Pembicaraan tentang agama selalu menarik bagiku, entah kenapa, barangkali karena selalu aku merasa bahwa banyak hal yang perlu dikritisi dalam agama. Sikap kritis ini bagiku penting karena bagi banyak orang, agama sangat mempengaruhi kehidupan mereka, dan tidak sedikit yang kemudian menyalahpahami hakikat sebuah agama.

Dalam praktek kehidupan sehari-hari, banyak terbukti bahwa penerapan hakikat agama tidaklah sebaik apa yang diajarkan oleh para pelopor agama. Mungkin benar artikel dalam sebuah harian bahwa ada semacam pemisahan antara ritual keagamaan dengan praktek hidup sehari-hari, dan keduanya tidaklah saling mempengaruhi. Misalnya, seseorang sangat rajin dalam menjalankan ritual keagamaan dan mengenakan/mempertontonkan simbol-simbol keagamaan, namun perilakunya bisa jauh dari aturan-aturan agama, misalnya korupsi dan merugikan serta menyakiti banyak orang lain. Ada juga perlakuan yang mengatasnamakan agama namun untuk menyengsarakan bahkan membunuh orang lain. Bentuk paling ‘lunak’ dari kesalahpahaman hakikat keagamaan ini adalah menganggap bahwa agamanya adalah yang paling benar. Namun, bentuk paling lunak ini sangat berpotensi untuk menjadi kejahatan kemanusiaan yang amat besar.

Siang itu, pembicaraan kami tentang agama semakin lengkap, sampai pada ide tentang Tuhan, dan bagaimana seseorang bertemu dengan Tuhannya. Kami sepakat bahwa agama mempunyai dimensi personal. Sebuah dimensi dari banyak dimensi agama, misalnya: simbol, kelompok, spiritual, mistik, kultural, dan sebagainya. Pertemuan dengan Tuhan merupakan pengalaman yang sangat pribadi, karena menyangkut kerangka referensi (frame of reference) dari masing-masing orang. Seseorang bisa bertemu dengan Tuhan ketika berada pada penderitaannya yang sangat, atau berada pada perasaan bahagia yang elatif.

Pengalaman pertemuan dengan Tuhan begitu personalnya, sehingga tidak dapat digeneralisiasi menjadi sebuah pertemuan berjemaah, atau pertemuan kelompok. Sehingga, ritual keagamaan yang senantiasa dilakukan berkelompok, tidaklah menjamin bahwa pesertanya dapat mengalami apa yang disebut sebagai penyatuan antara ‘kawula-Gusti’, pengalaman manunggal dalam energi kasih ilahi, pengalaman dalam penyatuan diri dengan Tuhan. Adalah sebuah ilusi bahwa jika kita masuk ke dalam sebuah rumah peribadatan (yang biasanya disucikan), lalu kita berpikir masuk ke dalam rumah Tuhan dan akan bertemu dengan yang empunya rumah, Tuhan sendiri. Rumah ibadat bukanlah rumah Tuhan, itu merupakan bangunan semata. Juga adalah ilusi bahwa semakin banyak jumlah manusia meminta sesuatu kepada Tuhan, maka Tuhan akan semakin ‘terdesak’ dan makin merasa kasihan, lalu mengabulkan permintaan para pemintanya. Bagiku, konsep ‘jumlah’ yang dianut oleh manusia tidaklah relevan dengan ke’maha’an Tuhan.

Tuhan tidak berada dalam rumah peribadatan. Tuhan tidaklah relevan bila dibandingkan dan disandingkan dengan dimensi ruang dan waktu manusia, apalagi hanya sebatas sebuah bentuk bangunan atau jumlah kelompok manusia. Dia ada dan hidup dalam pikiran serta batin seseorang, sudah ada sejak semula dan akan ada selamanya sebagai elemen dasar spiritualitas manusia dan segenap makhluk serta apapun di dunia ini, bahkan di semesta ini. Dia merupakan keberadaan itu sendiri. Dia tidak memerlukan sembah sujud, penghormatan, pembelaan, dan kasih manusia. Dialah sumber dari segala sumber kesucian di bumi ini, sumber segala kasih.

Dalam Buddhisme dikenal bahwa: ‘kesucian tidak muncul dari suatu tradisi atau dari sebuah metoda atau dari sebuah agama. Hanya ada satu kesucian dasar yang diajarkan Buddha, kesucian yang membebaskan, dan itu adalah kesucian pikiran, kebebasan dari keserakahan, kebencian dan kegelapan batin.’ Hanya dengan kesucian seperti itulah maka manusia akan bertemu dengan Tuhannya, bertemu dengan Hyang Agung, dengan sumber semesta, dengan kebahagiaan sejati.

Agus Widianto – Oktober 2007