Rabu, 15 Oktober 2008

Personifikasi Kristus

Ada yang menarik dalam buku Eckhart Tolle, “The Power of Now”, yang dalam satu kalimat singkat dikatakan: “ … Never personalize Christ …” Jangan pernah mem-personifikasi-kan Kristus. Kemudian dijelaskan bahwa mengidentifikasi para guru kehidupan seperti halnya Kristus menjadi sekedar sebuah sosok tubuh, dapat kehilangan makna ajarannya. Karena mereka yang telah tercerahkan-pun sebetulnya adalah manusia biasa saja, tidak lebih istimewa dibandingkan dengan manusia lainnya. Mereka menjadi besar dan lebih dibandingkan dengan manusia lain karena ada ‘pemujaan’ yang dibuat oleh para pengikutnya. Menurut saya, pendapat ini bertentangan dengan konteks ajaran Kristen, karena ide trinitas menempatkan Kristus di atas manusia biasa. Namun bisa juga pendapat ini dianggap memperkuat, karena ide trinitas adalah sebuah bentuk pemujaan terhadap Yesus oleh para pengikutnya. Agak berbeda dengan misalnya Buddha Gautama yang tidak mau dianggap sebagai super human, manusia adi kodrati, yang tidak sama dengan manusia lain. Gautama mengajarkan bahwa dia manusia biasa yang mendapat pengetahuan (pencerahan) tentang kehidupan. Dia juga mengakui tidak semua pengetahuan tentang kehidupan diketahuinya. Semua orang bisa mendapatkan pencerahan seperti dia, tidak terkecuali. Meninggalnyapun bukan sebuah peristiwa adi kodrati, melainkan karena keracunan makanan.

Lebih lanjut Tolle mengatakan, “ … Ketika anda tertarik oleh manusia yang telah tercerahkan, maka sebenarnya sudah ada pencerahan di dalam diri anda yang membuat anda mengenali pencerahan yang terjadi pada manusia lainnya. Hanya cahaya yang mengenali cahaya. Kegelapan tidak mengenal cahaya …”. Dengan demikian bagi saya, pengenalan Kristus bukan terbatas pada sosok tubuhnya, melainkan cahaya yang dipancarkannya, baik melalui perilakunya dan terutama melalui perumpamaan (sabda atau firman) yang sering diceritakannya. Seperti diperkuat dalam Yohanes 1:1 bahwa “… Pada awal mula Sabda itu ada dan Sabda itu ada pada Allah ...”. Bukan sebuah sosok tubuh, tapi “… Sabda itu telah menjadi daging … (Yoh 1:14)”. Namun selanjutnya Tolle juga lalu berkata, “ … janganlah percaya kepada hanya sebuah sosok kehidupan, karena kita akan kembali terjebak pada pemahaman bahwa cahaya berada di luar kita, atau cahaya hanya dapat menerangi dan mencapai diri kita melalui sebuah sosok saja. Cahaya itu sudah ada dalam diri kita, dan hanya dengannya-lah kita akan mampu menangkap cahaya yang dipancarkan manusia tercerahkan lainnya (seperti Kristus) ... ”. Ini sejalan dengan Yohanes yang berbicara tentang hidup adalah terang, dan terang sudah ada di dalam dunia. Bahkan hal ini juga pernah membuat kebingungan Petrus, seperti dalam Kisah Para Rasul 11:47 ketika dia dan kelompoknya mewartakan sabda Allah, disebutkan bahwa: “… Bolehkah kami mencegah orang-orang ini dibaptis dengan air, sedangkan mereka telah menerima Roh Kudus sama seperti kita?”

Bila kita mau masuk lebih dalam lagi untuk mengenali cahaya Kristus, maka pada akhirnya, kata-katapun tidak akan mampu menjelaskannya. Memegang erat kata demi kata secara harafiah (misalnya ayat demi ayat dalam sebuah kitab) hanya akan memenjarakan kita dalam keterbatasan pikiran manusia. Misalnya, kata “madu” bukanlah madu itu sendiri. Dengan hanya mengenali kata “madu”, kita belum mendapatkan esensi “madu” itu. Hanya dengan mencicipi madu-lah, maka kita mempunyai pengalaman untuk mengenali madu dengan jauh lebih baik. Dan setelah kita mencicipinya, maka kata “madu” menjadi tidak begitu penting. Dengan nama apapun dia akan tetap berupa madu. Pengalaman tercerahkan tidak dapat dibatasi hanya dengan kata-kata, dengan ayat-ayat, atau sebuah kitab. Seperti halnya kata “madu”, maka setelah mengalami pencerahan dalam batin kita, kata-kata, ayat-ayat, bahkan sebuah kitab, hanyalah menjadi tulisan, menjadi sebuah symbol yang menunjukkan kemana kita mengarah. Mereka merupakan telunjuk yang menunjukkan bulan, tapi bukan bulan itu sendiri.

Cahaya Kristus (yang adalah cahaya kasih sebagai inti ajarannya) hanya dapat dikenali, dipahami dan menyatu dalam kehidupan ketika kita menerima kehadirannya, mempersatukan cahayanya dengan cahaya kasih kita sendiri. Proses komuni (communion) dengan Kristus melalui penerimaan roti tanpa ragi di gereja mejadi sebuah simbolisasi belaka. Ketika roti disebut sebagai ‘tubuh Kristus’, bukan tubuh Kristus yang menjadi satu tubuh dengan tubuh kita. Bukan juga semata personifikasi Kristus yang menyatu dengan diri kita. Namun seluruh ajaran, semangat, dan cahaya Kristus yang tercerahkan yang menyatu dengan cahaya kita yang sudah ‘dilahirkan kembali’, yang (seharusnya juga) sudah tercerahkan, misalnya dalam tradisi Kristen melalui sakramen permandian. Maka yang boleh menerima roti tanpa ragi dalam komuni adalah mereka yang sudah tercerahkan melalui penerimaan sakramen permandian.

Kembali pada personifikasi Kristus. Barangkali menjadi lebih penting bahwa Kristus lebih dimaknai sebagai cahaya pencerahan yang penuh dengan energi kasih, energi Allah semesta yang berada pada sosok Yesus dari Nazareth. Komuni dengannya memerlukan keterbukaan dan penyamaan energi melalui pembangkitan kasih yang sudah ada dalam diri kita masing-masing. Semua bisa dilakukan dan dialami melalui keheningan, melalui pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan dan semesta.

Salam,

Agus Widianto

pertengahan Oktober 2008