Senin, 14 Juli 2008

SMS Bagus

...........

Aku menjerit kecil.

Kulihat papi yang duduk di depan bersama sopir menengok ke arahku dengan pandangan bertanya, namun tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Aku merasakan kepalaku berdenyut, dan pandanganku mulai nanar. SMS itu kubaca sekali lagi, dan kembali kurasakan sebuah tusukan tajam di ulu hatiku.

Sesampai di rumah, papi baru berani menanyakan apa yang terjadi. Aku sebenarnya malas menjawab, tapi karena dia mendesak akhirnya kuceritakan sms yang dikirim Bagus. Sebenarnya sore itu aku merencanakan ketemu dengan Bagus untuk yang pertama kali, setelah dua rencana pertemuan sebelumnya batal karena acaraku dengan papi yang selalu sibuk dengan teman-temannya, dan aku selalu diminta papi untuk mendampinginya. Permintaannya selalu tidak dapat kutolak, karena dia satu-satunya yang kumiliki sekarang ini, sejak berpulangnya mami tiga tahun lalu dan kematian suamiku awal tahun ini. Papi sebagai seorang petinggi sebuah angkatan, selalu sibuk dengan jejaringnya.

Bagus pasti merasa sudah ketiga kalinya ini dikecewakan, dan menurutku, karena hal itulah dengan seenaknya dia memutuskan untuk tidak mau ketemu denganku lagi karena dia sudah cukup dikecewakan dan dipermalukan, “ … seperti orang tolol yang duduk di café tanpa tahu apa yang harus diperbuat …”. Aku tahu siang ini dia sengaja datang langsung dari luar kota ke tempat kami berencana mau bertemu, di bilangan Setiabudi. Belakangan kutahu hampir dua jam lebih dia berusaha sampai ke Setiabudhi agar tepat waktu, tapi harus kukecewakan lagi karena aku mendadak ada pertemuan kantor yang harus aku hadiri, dan setelah itu papi minta diantar ke bandara karena harus berangkat ke Australia bersama teman-temannya. Aku juga tahu kalau Bagus menunggu kata kepastianku selama dua jam di tempat janjian kami. Tapi seperti permintaan papi yang lalu-lalu, aku tidak bisa menolak untuk mengantarnya ke bandara. Aku tahu, Bagus pasti sangat kecewa.

Kepalaku tambah pening memikirkan sms yang sungguh mengecewakanku. Di rumah, papi berkata sesuatu tentang komunikasiku dan hubunganku dengan Bagus meski aku tidak begitu paham apa maksudnya, namun itu malah semakin memicu kemarahanku. Aku marah kepada Bagus yang tidak mau mengetahui keadaanku yang sangat tergantung kepada papi. Aku marah kepada papi yang selalu menuntut aku menuruti kemauan dan jadwal sibuknya, dan hampir selalu merusak acara pribadiku. Aku marah kepada diriku sendiri karena sejak kematian suamiku enam bulan lalu, aku tidak berdaya dan semakin larut tenggelam ke dalam sebuah palung kesepian yang mencekam. Aku marah kepada suamiku yang mendadak meninggalkanku, di pagi itu setelah dia mengeluh sakit di dadanya. Kepergiannya yang begitu tiba-tiba membuatku linglung kehilangan pijakan untuk berdiri, dan pegangan untuk berjalan menapaki hidup, aku kehilangan separuh jiwaku. Aku tidak mampu menghindari cekaman kesepian yang menggigit batinku.

Kehadiran Bagus dalam hidupku, meski baru bertukar sms dan saling telepon yang cukup intensif, telah memberikan secercah cahaya yang menerangi kegelapan batinku dan memberikan kehangatan dalam kebekuan palung hatiku. Aku seperti menemukan sebuah sandaran yang membantuku untuk merambat berdiri kembali. Aku marah kepada diriku sendiri karena tidak berdaya masuk kedalam energi Bagus yang menyejukkan meski ada ketakutan bahwa ini adalah sebuah jebakan. Akupun juga marah kepada ketakutanku sekaligus ketidakberdayaanku untuk menerima kenyataan bahwa Bagus sudah beristri dan beranak tiga.

Kemarahan yang terpicu oleh sebuah keadaan, dan pada saat itu menjadi sebuah energi besar dan menguasai seluruh sistem dalam badan dan pikiranku. Aku merasakan sebuah kekuatan besar untuk menghancurkan simbol-simbol yang mewakili energi yang menekan hidupku selama ini. Aku mulai melempar semua foto-fotoku dan almarhum suamiku yang terpajang di dinding kamarku. Aku datangi akuarium papi, dan dengan sekali pukul menggunakan bangku kecil di ruang tamu itu, akuarium itu hancur berantakan, dan ikan arwana kesayangan papi menggelepar meregang nyawa. Tiket pesawat papi ke Australia yang tadi kubelikan, dengan sekali renggut kusobek. Aku ingin papi tahu bahwa salah satu sebab aku menerima sms Bagus yang menghancurkan tadi adalah perintahnya untuk mengantarkannya ke bandara sore ini. Aku ingin semua tahu keadaanku, aku ingin mereka memahami kepedihanku, kesepianku, ketidakberdayaanku, dan kehancuran batinku. Aku ingin semua mengerti keterpurukanku.

Aku berlari masuk kembali ke kamarku di lantai dua dekat kolam renang, dan sambil menyeka air mataku yang terus membanjir, kuambil beberapa baju dan baju dalamku. Lalu bergegas turun, keluar melewati papi yang terpaku berdiri di dekat pintu. Kulirik papi yang kulewati, dan sejenak sempat kutangkap cahaya lemah yang berasal dari pantulan setitik air mata di sudut bawah matanya. Tapi hatiku begitu sakit untuk menyadari semua itu. Aku tidak tahu harus kemana, saat itu yang penting aku ingin lari dari sebuah kepengapan kungkungan jiwa, sebuah penjara yang sungguh sangat mewah secara materi namun tidak memberikan kebebasan jiwa, sebuah tekanan terhadap pikiranku karena semua orang tidak dapat memahami apa yang aku inginkan. Malam itu rasanya rumah papi yang mewah ibarat sebuah akuarium emas namun tidak pernah diganti airnya, dan aku bagai ikan yang megap-megap mencari kesegaran oksigen dari udara di luar akuarium mewah itu. Aku ingin keluar dari jaring papi yang mengungkungku bagai seorang anak buahnya. Aku berteriak kepada pembantuku untuk mengambilkan kunci salah satu mobil yang diparkir di deretan paling luar.

Aku mampir ke sebuah hotel mewah dekat rumah untuk mendapatkan sebotol minuman yang kuharapkan dapat membantu melupakan kepedihan hatiku. Aku tidak pernah minum sebelumnya, tapi entah pikiran dari mana, malam itu aku ingin melakukannya. Dengan sekali teguk isi botol kecil itu mengalir menghangati kerongkongan dan perutku, semua kulakukan tanpa ragu. Sambil kupacu mobilku masuk jalan tol, kurasakan kehangatan mengalir dalam darahku dan memberi rasa ringan yang membantuku mendapatkan sedikit udara kebebasan yang kuinginkan. Rasa ringan itu semakin intens. Jalan tol di gelap malam itu terlihat begitu sempit mengerucut di depan sana, aku tidak tahu ada di jalur mana, tapi rasanya mobil-mobil di kiri kanan terlihat jauh lebih kecil dan berlalu lalang seperti mainan. Lampu-lampu jalan tol seolah berkedip ketika kulewati satu demi satu. Selama perjalanan, beberapa kali kudengar suara keras karena rasanya mobilku menghantam pembatas jalan. Setelah berjuang beberapa lama, akhirnya aku bisa sampai ke rumah temanku, Kiki, di bilangan Kelapa Gading. Dia temanku yang kuanggap paling memahami karakterku. Dia pernah mendapatiku dalam keadaan sedih pada saat kematian suamiku, namun aku yakin dia pasti tahu bahwa yang kali ini jauh lebih parah. Aku dipapahnya ke tempat tidur kamarnya, rambutku yang basah kuyup karena kusiram air di jalan tadi agar tetap sadar, dilapnya dengan handuk kering, dan dibiarkannya aku berbaring menenangkan diri.

Baru beberapa saat, kudengar HPku bergetar, ada sms masuk. Kulihat di layar, dari Bagus.

‘apa kabar?’ sebuah pertanyaan bodoh yang amat sangat tidak tepat waktu dalam kondisi yang sedang kualami. Sebuah pertanyaan yang tidak tahu diri, yang seolah tidak bersalah sehabis menghancurkan hati seseorang sepertiku. Aku tercenung, namun pelan-pelan timbul keinginan yang tak dapat kubendung untuk menjawab pertanyaan konyol tadi.

‘abang sama sekali tidak mempunyai perasaan, dengan mengirim sms seperti tadi. Aku sdh hancur skrg,’

‘kenapa? Bukankah kau tdk mau lg bertemu dgku?’

‘abang sdh mnghancurkan aku, saaakkiiit’

‘aku minta maaf, bukan itu maksudku. Tapi sdh ketiga kali ini aku kau kecewakan. Makanya aku bilang ya sudah mgkn tidak perlu kita berhubungan lg, krn kau tdk pernah memberiku wkt utk ketemu’

‘aku kan sdh bilang, aku mendadak hrs ikut rapat dan papi minta diantar ke bandara setelah itu, dan kubilang abang pulang saja istirahat dulu’

‘ya sdh, kan. Terus turutilah papimu itu. Aku hanya minta wkt satu jam saja tidak kau beri, aku sdh tunggu dua jam dan seperti org tolol duduk sendirian di café itu. Seenaknya kau batalkan janjimu sendiri, dan coba ingat, kau sama sekali tdk minta maaf kpdku.’

Sms demi sms secara intens membentuk dialog yang terus mengalir lewat udara. Alat kecil yang disebut telpon selular ini begitu canggih dan mampu menghancurkan hati seseorang sepertiku. Tanpa wajah, tanpa emosi dan tanpa hati. Serasa aku ingin membanting alat keparat itu. Tapi sekarang ini, alat itulah yang menghubungkan aku dengan Bagus. Sebuah alat yang kubenci namun sangat kubutuhkan.

‘kau menang bang … kau berhasil menghancurkan hidupku’

‘aku tidak tahu maksudmu, dan aku tidak merasa memenangkan apapun’

‘hub aku’

Aku dengar telponku bergetar, pasti Bagus sudah ada di ujung sana. Aku hanya kuasa untuk mengangkat alat kecil itu dan menempelkannya di telingaku sambil berbaring. Tidak ada kata keluar dari mulutku, hanya suara tangisku. Di sana Baguspun juga tidak berkata apapun, aku yakin dia sedang mendengarkanku. Ada sekitar setengah jam kutumpahkan kepedihanku melalui isak tangisku, terkadang dengan keluhanku. Bagus tidak berkata sepatahpun, tapi aku yakin dia mendengarkan dengan seksama, karena sebentar kemudian dia berbisik halus: “… sudahlah, beristirahatlah … “

Aku merasakan sebuah kehangatan yang pelan tapi pasti mengalir dari telapak kakiku, ke atas keseluruh tubuhku dan wajahku. Rasa yang nyaman. Pelan-pelan aku berbisik: “ … semua orang tidak peduli denganku, abangpun ternyata juga tidak peduli denganku … mereka tidak tahu apa yang aku inginkan” isak tangisku makin menjadi sejalan dengan makin kosongnya batinku. Rasanya aku berbaring di atas sebuah lubang besar yang hampa dan siap menelanku dan melumatku.

“Itulah yang bikin kau menderita”, kudengar Bagus berkata dengan hangat. “Selama kau pusatkan semua kepada dirimu, kepada keinginanmu, maka di situlah awal dari penderitaanmu. Pernahkah kau coba untuk memikirkan orang lain? Pernahkah kau memikirkan perasaan papi? Pernahkah kau bahkan memikirkan kekecewaanku?” Kepalaku yang terasa berat tidak mampu mencerna kata-katanya. Aku memang menderita, dan derita itu nyata. Aku juga tahu kalau semua orang tidak tahu apa yang kuinginkan, dan itu juga nyata. Tapi aku tidak paham apa yang Bagus katakan tentang penyebab penderitaanku. Pikiranku semakin keruh, mataku berat, dan yang kuinginkan hanya tidur untuk melupakan semua yang baru saja kualami. “… bang, aku ingin tidur,” bisikku, masih ditengah isak tangisku yang semakin melemah. Kembali kudengar kata-kata lembutnya, “ … ya sudah, tidurlah …” Lalu dengan susah payah kutekan tombol bergambar telpon merah itu. Dan kesadaranku hilang.

Kurasakan goyangan dikakiku. Dengan setengah membuka mata, samar-samar kulihat Kiki duduk di tepi tempat tidurku, sambil tersenyum dia bilang bahwa papi sudah menunggu di bawah. Aku yakin papi dengan mudah dapat menemukanku meski aku tidak pernah bilang kemana aku akan pergi, terutama setelah kejadian malam tadi. Kemarahanku kepada papi masih menyisakan rasa pedih di dalam dadaku, seperti sebuah bekas sayatan pisau. Aku diam tak bergerak sambil tetap berbaring. Kepalaku masih berdenyut meski tidak seintens semalam. Pandanganku masih agak kabur, namun sudah bisa menangkap senyuman tipis di bibir Kiki yang kelihatan sudah disaput lipstik merah muda warna kesukaannya. Kurasakan kelembutan kehangatan sinar matahari yang menyeruak lewat jendela.

Setelah sekitar sepuluh menit aku berbaring diam, pelan-pelan kutegakkan badanku, lalu kubersihkan wajahku di kamar mandi. Dengan pakaian seadanya aku turun untuk menemui papi. Begitu melihatku, papi menundukkan kepalanya dan kulihat beberapa kali menyeka matanya dengan punggung telapak tangannya. Jarang aku lihat papi menangis, dan pemandangan seperti itu membuatku ikut meneteskan air mataku. Pelan-pelan kuhampiri papi, dan kami berpelukan sambil melepas kepedihan masing-masing. Sejak mami meninggalkan kami tiga tahun lalu, papi merasa bahwa dia harus menjalankan tugas sebagai mami juga, dan barangkali karena itu, disamping juga karena kematian suamiku, papi menjadi semakin protektif. Aku merasa papi ingin melindungiku, namun entah dari apa. Barangkali karena kejandaanku yang orang selalu bilang sebagai sebuah status yang rawan terhadap godaan. Aku seorang janda yang menurut ukuran orang sangat diminati, selain wajahku yang tidak jelek, juga kekayaan materi yang kupunyai dan pangkatku yang cukup terpandang di sebuah instansi pemerintah. Barangkali karena alasan itu pula papi, tanpa disadarinya, telah menyimpanku dalam sebuah sangkar emas, yang sekarang semakin kurasakan sebagai sebuah jerat di leherku.

Papi membawaku ke rumah sakit terdekat untuk memeriksakan kondisiku. Dokter yang nampak baik itu hanya mengatakan bahwa aku habis mabuk, sambil memberi secarik resep. Akupun lalu dibawa pulang kembali ke rumah papi, kembali ke sangkar emasku. Terkadang aku merasa rindu untuk kembali ke sangkar ini. Di situ aku menemukan sebuah rasa aman, sebuah pegangan yang sangat aku butuhkan, sebuah penopang dalam menjalankan hidup, ada seseorang yang peduli terhadapku meski dengan caranya sendiri. Sangkar itu meski membelenggu namun seolah membentengiku dari gangguan luar, gangguan sebuah kota besar seperti Jakarta, gangguan yang potensial muncul kepada seorang janda sepertiku. Kemewahan sangkar itu sering membuaiku sehingga aku merasa seperti seorang puteri yang disanjung oleh siapapun yang kenal papi, dituruti semua kemauanku, dan dipenuhi semua kebutuhan materiku.

Namun ternyata gelembung ruang kosong dalam batinku semakin nyata kurasakan, apalagi ketika sms Bagus seolah membangunkanku dari keterlenaanku dalam sangkar emas tadi. Sms yang langsung menusuk ke dalam jantungku, langsung membunyikan dentang kepedihan dalam ruang batinku yang kerontang. Yang membangunkan tidur lelap kesadaranku, sekaligus meruntuhkan semua benteng yang kubangun untuk menutupi kekosongan kamar jiwaku. Kini aku sudah merasa telanjang, rapuh, haus dan pasrah. Apalagi yang bisa aku pertahankan? Sms itu telah memberikan sebuah kesadaran yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, sms itu menghancurkan namun juga merubah hidupku.

Kerapuhan batinku menjadi jelas terlihat sebagai sebuah bentuk yang menyerupaiku setiap kali aku bercermin. Kulihat di cermin, mataku dengan jelas bercerita tentang kekosongan jiwaku. Kulihat juga di cermin seluruh sisa-sisa bara yang panas menghauskan tersebar di sekujur tubuhku. Namun ada sesuatu yang lain yang juga ikut muncul dalam cermin. Sebuah semburat cahaya lemah disekitar tubuhku yang menyelimutiku dan memberi kesejukan. Kesejukan yang seolah pelan tapi pasti menyiramku dengan percikan air kesegaran di kerontang lembah jiwaku. Barangkali ini merupakan pantulan kesadaran baruku yang sedikit demi sedikit menyegarkan kehausanku.

Kepasrahanku merupakan titik nadir dalam perjuanganku dan harapanku untuk mendapatkan cinta seseorang yang mustahil kudapatkan. Kepasrahan yang membenturkan kepalaku ke lantai dengan keras dan menyadarkanku. Rasa pasrah yang timbul setelah semua ledakan kemarahanku-pun tidak mampu membantu merubah dunia di sekitarku untuk menuruti kemauanku. Titik nadir tadi lalu memberikan daya lenting untuk bangkit kembali dengan kesegaran baru, dengan pemahaman baru tentang kehidupan yang secara intensif Bagus tuntunkan kepadaku terutama sewaktu melewati masa kritis malam itu. Perubahan dunia luar yang kutuntut, ternyata tidak terjadi. Namun perubahan diriku, pelan dan pasti, sudah terjadi setelah melewati titik nadir hidupku. Dan perubahan dalam diriku itu pelan tapi pasti, ternyata ikut merubah pandanganku terhadap papi, terhadap Kiki, Bagus, dan dunia di luar diriku. Barangkali inikah yang disebut Bagus untuk mulai mengarahkan perhatianku kepada orang lain, dan bukan hanya kepada diriku sendiri, kepada keinginanku, kepada kemarahanku, kepada kekecewaanku dan penderitaanku?

Aku tercenung, perlukah aku berterimakasih kepada Bagus yang pernah menghancurkanku?

Jakarta, Juli 2008