Minggu, 30 November 2008

Cinta

Mencintai seseorang merupakan sebuah peristiwa yang luar biasa dalam keping sejarah hidup manusia. Dinamika energi yang terjadi pada saat tersebut merupakan peristiwa yang menggores ingatan dengan kejam, sehingga luka itu tidak mudah tersembuhkan. Apalagi ketika dalam mencintai, tidak terjadi seperti yang diharapkan, sebuah akhir yang membahagiakan.

Adakah sebuah akhir yang membahagiakan? Adakah harapan yang selalu terpenuhi dalam hidup ini? Adakah sebuah ikatan cinta yang selalu memberikan kebahagiaan?

Malam itu ingatanku melayang kembali kepada percakapan singkatku, meski dalam catatan telponku aku bercakap sekitar duapuluh menit, dengan seseorang yang dulu amat kucintai. Kisahku tidak seindah roman dalam novel cinta. Perpisahan dengannya terjadi dan masing-masing telah menjalani sisa hidup dalam jalan yang berbeda. Namun terkadang ingatan itu mengintip dan berbayang dalam bentuk samar, seolah menunggu adanya sebuah kesempatan yang membukakan pintu untuk maujud dalam pikiran.

Percakapan itu adalah pintu yang terbuka. Kisah yang dulu kembali maujud dalam bentuk ingatan. Luka akibat goresan itu seolah berdarah kembali.

Adakah akhir yang membahagiakan? Bisakah luka itu tertutup selamanya?

Aku renungkan dalam-dalam peristiwa percakapanku dengannya ...

Semakin lama aku renungkan kembali, maka semakin banyak membantuku menyembuhkan goresan luka yang selama ini ternyata tidak sembuh benar. "Cinta tidak harus memiliki", merupakan kata-kata klise yang sering digunakan untuk mengampuni sebuah kegagalan hubungan yang terikat dalam energi saling membutuhkan. Bagiku, kata-kata itu bisa dipahami lebih dalam ...

Mencintai dan memiliki bukan kata yang sama. Sebetulnya aku lebih senang menggunakan kata "bersama" daripada "memiliki". Sesungguh-sungguhnya tidak ada yang dapat kita miliki di dunia ini. Apapun itu. Kata "bersama" lebih lunak dan itu yang dapat dilakukan, kebersamaan secara fisik, dalam dunia materi. Aku bisa mencintai tanpa harus bersama, dan akupun bisa bersama tanpa harus mencintai. Dalam cintaku kepadanya, kesadaranku muncul bahwa "tidak bersama" bukan lagi dalam nafas apologetik. Bagiku, mencintai tanpa harus mengungkung yang dicintai, merupakan bentuk kasih yang sesungguhnya, karena tidak ada harapan yang timbul dari mencintai dia, tidak ada lagi kehendak apapun dari mencintainya. Yang ada adalah mengasihinya. Kasih yang membiarkan orang yang dikasihi hidup dalam kehidupannya, berkembang sesuai dengan jalan hidupnya, termasuk berkeluarga dan mencintai orang lain pula.

Barangkali sekarang seperti ini yang aku rasakan. Kasihku kepadanya akan tetap ada, sebuah rasa yang seringkali memberikan warna tersendiri dalam hidupku. Namun keinginanku untuk bersamanya telah kulepaskan samasekali ... kubiarkan batinku bebas dari sebentuk derita yang diam-diam tetap berada dalam pikiranku.

Kekasihku, hidup dan bertumbuhlah seperti yang engkau inginkan. Nafasmu adalah nafasku, ... kebahagiaanmu adalah juga kebahagiaanku.


Jakarta, 1 Desember 2008
Untuk kekasihku

Aku tidak imun

Ada seorang teman yang sudah beberapa tahun ikut kelas meditasiku. Dalam perjalanan hidupnya aku menganggap dia berhasil mengalami transformasi yang luar biasa, karena pemahaman tentang kehidupan yang makin matang dan dalam telah didapatnya. Ketenangan dan kedamaian hidup dicapainya, dan sering dikatakannya bahwa jiwanya telah menjadi lebih bebas ....

Kemarin ayahnya meninggal. Selama ayahnya sakit cukup lama, dia merasa heran karena dirinya satu-satunya dalam keluarga yang jarang menangis, merasa tegar, meski tetap merasa dekat dengan ayahnya. Setiap ada kesempatan, dia dampingi ayahnya dan diusahakan mengajak ngobrol meski semakin lama ayahnya semakin diam, dan seringkali banyak tidak sadarkan diri.

Ketika aku melayat ke rumahnya, dia cerita banyak tentang bagaimana dia mendampingi ayahnya dan menyaksikan proses kematiannya. Ketika sukma ayahnya akan lepas, dia meledak, hatinya berkeping-keping ... Dia lalu berkata kepadaku:" ... ternyata saya tidak imun, mas ..."

Aku cepat menjawab:" ... tidak ada yang imun ..."

Kedalaman spiritual seseorang tidak menjadikannya imun akan peristiwa-peristiwa yang dihadapinya. Pencerahan yang terjadi sebenarnya membuat seseorang lebih dapat menjaga kedamaian batinnya yang terdalam, sebuah inner peace. Peristiwa sehari-hari yang berada dalam tataran fenomena bagai riak-riak samudra yang turun naik, besar kecil, ada siklus timbul tenggelam ... dan itu akan dialami oleh siapapun. Namun bila pencerahan telah didapatkan oleh seseorang, maka dia berada dalam kedalaman samudra. Berada dalam sebuah ketenangan yang luar biasa. Gejolak ombak masih ada, namun tidak terlalu lama mengguncangnya.

Samudra itu akan kembali tenang, hening dan tetap menyimpan kekuatan.

Sahabatku, aku ikut dalam dukamu, semoga kematian menjadi guru terbaik untuk kita semua agar dapat menghargai dan mensyukuri kehidupan. Banyak yang dapat kita lakukan dalam hidup ini.



Jakarta, 30 November 2008, tengah malam
Catatan buat sahabatku yang sedang berduka

Kamis, 27 November 2008

Hari yang istimewa

Pagi ini ada sebuah lokakarya di sebuah hotel berbintang lima yang aku ikuti. Tiba-tiba ada sms masuk "maaf baru membalas. boleh tau ini siapa?" hatiku tersenyum.

Dua hari sebelumnya tanpa direncanakan aku berhasil mendapatkan nomor HP seorang teman lamaku, seseorang yang dulu pernah kucintai, dan sampai sekarangpun masih ada sebagian hatiku yang ditempatinya. Barulah hari ini ada kesempatan untuk mendapatkan balasan sms yang kukirimkan kemarin.

Adakah sesuatu yang tidak berubah dalam hidup ini? Pertanyaan itu lalu muncul ketika aku bercakap dengannya. Sebuah percakapan yang bagiku seolah membalik semua putaran waktu kembali ke tigapuluh tahun lalu, ketika aku mencintainya. Sebuah percakapan yang membongkar laci-laci ingatan dan mengaduk-aduk kembali semua isinya. Aku sejenak berada pada sebuah kondisi yang tidak kusadari sepenuhnya, namun sangat menyenangkan.

Dia sudah berkeluarga, demikian pula halnya dengan diriku. Peristiwa bersamanya-pun sudah jauh terjadi tigapuluh tahun lalu. Namun aku menyadari bahwa sebuah rasa yang teramat dalam berada di relung batin, tidak dapat dengan mudah berubah, oleh waktu, oleh situasi, oleh stimuli. Rasa yang ketika muncul kepermukaan sebagai sebuah kesadaran, memberikan kenyamanan meski sejenak. Rasa yang seringkali dirindukan oleh hampir semua manusia. Inikah yang mereka sebut sebagai cinta? Energi yang terkungkung dalam sudut hati, yang sering kita genggam agar tidak lepas, karena memberikan rasa nyaman.

Kubiarkan energi itu mengalir dalam diriku, namun aku sadari bahwa aku harus tetap menjaga kesadaran batinku, agar kekuatan energi itu tidak menghanyutkanku ...

Sebuah usaha yang tidak mudah.


Jakarta, 27 November 2008