Kamis, 05 November 2009

Manunggaling Kawula Gusti dan Mekanika Kuantum

Siti Jenar, para sufi, dan banyak pelaku spiritual mengatakan bahwa "manunggaling kawula Gusti", manunggalnya manusia dan Allah, wihdatul wujud (atau ada yang bilang wihdatul tauhid), merupakan sebuah pencapaian dalam hidup yang sudah seharusnya, meski banyak orang menganggap “ilmu” ini berada pada tataran yang "tinggi", karena dianggap berada dalam tataran hakekat, bukan lagi di tataran syariat.

Dalam Islam, ada yang disebut sebagai tingkatan-tingkatan ilmu surgawi, misalnya pada mashab Nakshabandiyah (Naqshbandi Muhibeen), yang terdiri dari tingkatan (dari yang paling rendah ke yang paling tinggi): syariat, tarikat, makrifat, dan hakikat, lalu ada azimat. Derajat ketinggian ilmu ini dapat dilihat dalam huruf Arab: “Allah”, dimana huruf Aliff berdiri sendiri dan lam-lam-ha menyatu. Dalam syariat, Allah masih berada di luar lam, di situ dipelajari bahwa Allah adalah Pencipta dan Muhammad adalah rasul Allah. Allah adalah awal dari segala yang ada. Pada hakikat ada pertemuan antara Lam dan Aliff, dimana dipelajari realitas Sayidina Muhammad yang merupakan Lam sebagai perwujudan dari Aliff. Dan akhirnya, pada Azimat dipelajari bahwa Aliff membuka dan menjadi, dimana tidak ada awal dan tidak ada akhir, seperti sebuah lingkaran, alpha dan omega menyatu.

Terlepas dari tingkatan-tingkatan itu, banyak diantara orang Islam yang rata-rata mengatakan bahwa hakikat, ataupun ajaran sufi, adalah ajaran tinggi yang hanya dipelajari oleh orang-orang yang hidupnya hanya untuk Allah. Mereka selalu bilang, “saya kan masih orang biasa, ilmu saya belum sampai ke sana, masih dalam tataran syariat. Para sufi itu kan orang yang sudah dapat membuka rahasia alam, sehingga di banyak hal ajaran mereka tidak boleh disebarluaskan”. Jawaban seperti ini sangat tipikal. Ketika ditanyakan lebih lanjut misalnya, bukankah untuk menjadi “manusia biasa” kita harus memahami rahasia alam? Bukankah untuk melihat secara "apa adanya" di dunia ini, kita harus memahami hakikat semesta, bahwa fenomena adalah perwujudan dari “Allah”? Jadi, bukankah seharusnya hakikat-lah yang diajarkan agar kita menjadi manusia biasa, bukannya sekedar syariat yang lebih banyak mengatur bagaimana manusia bersikap dalam hidup ini?

Dalam mekanika kuantum, ada beberapa hal menarik yang agaknya nyambung dengan manunggaling kawula-Gusti ini. Mekanika kuantum merupakan ilmu yang mencoba mempelajari dunia sub-atomik. Banyak hal terungkap bahwa misalnya, pandangan atom sebagai dasar keberadaan segala sesuatu di dunia ini ternyata sampai sekarang tidak dapat dipahami oleh manusia. Tidak ada seorangpun yang pernah melihat atom. Apalagi dunia sub-atom yang masih berupa imajinasi para ilmuwan.

Mengikuti pandangan-pandangan para ilmuwan tentang dunia per-atom-an ini, melalui teori-teori yang dikembangkan, akhirnya bermuara pada pendapat bahwa “realitas” di luar tidak berdiri dengan sendirinya. Manusia sebagai pengamat mempengaruhi segala bentuk dan pemahaman tentang “realitas” dunia luar. Alat observasi kita merupakan portal hubungan antara obyek yang diamati dan subyek pengamat. Tanpa ada pengamat, realitas tidak ‘meng-ada’. Sehingga, kitalah sebetulnya yang menciptakan realitas itu. Jika realitas di luar kita beri judul ‘dunia’, maka kitalah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Manusia bukan lagi menjadi bagian dari dunia, tapi sebagai Pencipta.

Sebagai pencipta realitas, apakah kita Tuhan?

Sebagaimana dikatakan oleh Siti Jenar, akulah Allah?

Inikah yang dimaksud dengan manunggaling kawula gusti?

Pada pemahaman azimat, bahwa Aliff membuka dan menjadi, dimana tidak ada awal dan tidak ada akhir, seperti sebuah lingkaran, alpha dan omega menyatu?

Pertanyaan seperti itu seharusnya disampaikan dengan lirih, karena masih banyak di luar sana yang mendengar dan lantas menghakimi: “… itu hujatan, dosa, murtad …”


Sebuah renungan malam hari,
Jakarta, 5 Oktober 2009

Sabtu, 17 Oktober 2009

Hari Yang Istimewa

Siang itu segala urusan pekerjaanku di kota ini sudah selesai. Setiap aku pergi ke kota ini, selalu kurasakan adanya dorongan yang kuat untuk mencoba bertemu dengannya. Dia masih tinggal di kota ini, dan sekarang menduduki jabatan yang cukup tinggi di sebuah bank swasta internasional. Dorongan itu lebih merupakan kerinduan, atau barangkali masih merupakan kemelekatan, akan masa-masa yang kuanggap sangat berpengaruh dalam kehidupanku. Masa sudah lebih dari 30 tahun lalu.


Dia kuanggap kekasih pertamaku, yang waktu itu benar-benar kucintai. Akupun merasa bahwa dia mempunyai anggapan yang sama. Memang tidak sedikit teman perempuan yang pernah singgah dalam hidupku, namun yang satu ini lain. Dulu, masih kuingat selalu kurasakan ada energi yang sama dan mampu menyambung dua batin kami, sehingga setiap pertemuan dengannya selalu menimbulkan rasa nyaman. Memori tentang kenyamanan, kenikmatan, terkadang bisa secara traumatik berada dalam ingatan untuk jangka waktu yang lama. Sekarang setelah masa lama itu kami lalui, kami hidup dalam dunia masing-masing, dalam ikatan keluarga masing-masing, namun rasa yang timbul dari masa lalu itu tidak mudah hilang, meski barangkali sudah bertransformasi menjadi sebuah bentuk kasih yang jauh lebih longgar. Bukan sebuah bentuk cinta yang ingin memiliki dan menguasai secara fisik, ataupun bentuk keinginan seksual semata.


‘bagaimana kalau ketemu di kantorku di …’ dan disebutlah sebuah jalan besar di kota ini. Langsung sms itu aku jawab ‘ya’ dengan sukacita. Beberapa kali aku ke kota ini dan setiap kali pula, wajah yang dulu sangat kukenal itu selalu maujud dalam pikiran. Masa lalu yang menempati salah satu dari banyak sudut pikiranku ini tidak mau juga lepas begitu saja dan menghilang dalam lubang hitam ingatan berupa lupa. Barangkali karena aku tidak mau kehilangan ingatan tentangnya itu.


Waktu sudah agak sore, hujan sedikit membasahi jalanan kota ini, ketika aku masuk ke parkiran kantornya. Setelah dipersilahkan duduk oleh resepsionis, aku menunggu dengan berbagai pikiran yang muncul silih berganti. Masih samakah penampilannya dengan dia dulu yang kukenal, masih ingatkah dia denganku yang secara fisik sudah banyak berubah ini, bagaimana reaksi ketika kami ketemu nanti, aku berharap ada acara cium pipi, … dan semua fantasi yang berebut menyeruak keluar menjadikan kepalaku sungguh berisik. Kudiamkan pikiran-pikiran ini, hanya kuamati dan aku sadari keberadaan mereka. Lalu pelan-pelan aku alihkan, dan aku mulai mengamati detil ruangan besar tempat tamu menunggu ini, dimana aku duduk di salah satu sofanya yang lembut dan suhu ruangan yang mampu membuatku bersedekap menahan dingin. Sebuah bank internasional yang menunjukkan kekuatannya, terekspresikan dalam pilihan unggul perangkat dan desain keseluruhan di ruangan ini.


Rasanya waktu bergerak terlalu lambat. Namun tidak lama kemudian, muncullah sosok yang pada awalnya hampir tidak kukenali karena tidak tertangkap detilnya, mungkin karena jarak yang agak jauh dan pandanganku tidak lagi sempurna. Tergopoh dia jalan ke arahku, dan baru kemudian tertangkap beberapa elemen wajah yang sudah aku kenal dengan baik. Aku berdiri menyambut uluran tangannya yang bersih dan kulihat ada beberapa cincin di beberapa jarinya, baik di tangan kanan maupun kiri. Jam di tangan kanannya sepertinya jam yang mahal. Ada dua gelang batu di tangan kirinya. Jabat tangan itu tidak terlalu keras, namun kurasakan kehangatannya. Aku menduga bahwa itu adalah sebuah jabat tangan yang sering dilatih untuk seorang pejabat yang sering bertemu dengan client. Terlepas dari dugaanku, aku menikmati genggamannya.


Kami duduk di salah satu dari tiga ruang rapat seperti akuarium berbentuk segi enam, dan dia menawarkan minuman. Dari caranya minta minuman ke office girl yang sangat deskriptif dan detail untuk menyebut ‘kopi hitam tanpa krim’, menunjukkan sikapnya yang perfeksionis, dan sedikit ada kekuasaan yang ditunjukkan, meski semuanya disampaikan dalam tata bahasa dan kosa kata yang sangat sopan.


Kuamati sosok istimewa di depanku ini. Rambutnya jauh berbeda dari yang aku imajinasikan sebelumnya. Ada sedikit tone buatan warna kemerahan, bentuknya rapih, lurus tidak lagi keriting, dipotong pendek, seperti layaknya rambut perempuan modern masa sekarang, namun entah mengapa aku merasakannya sebagai menjadi agak kaku dan ada kesan kurang bebas. Pada awal-awal pembicaraan, matanya tidak pernah menatapku lama-lama. Mata yang dulu kukenal. Hidungnya yang agak besar dan mancung masih juga kukenal. Wajahnya bersih dan terawat dengan sangat baik. Di bawah matanya sudah mulai nampak garis samar kantung tanda kelelahan, barangkali juga usia yang seingatku berada di awal empatpuluhan. Bibir itu yang masih melekat dalam ingatan, kini disaput pemerah warna muda, namun masih mengingatkanku pada saat pertama kami berciuman. Malam itu aku menyanyi sepanjang jalan pulang ke rumah ..


Tanpa diminta dia lalu mengakui badannya agak gemuk, pernyataan ini keluar begitu saja mungkin sebagai sebuah reaksi kegelisahan, karena aku terus mengamatinya. Saat itu tidak ada kaidah tatakrama dalam benakku dalam cara memandang wajah seseorang, yang ada hanya keinginan untuk menatapnya lekat. Barangkali dia merasa gerah dipandang lekat, karena mulai kurasakan ketidaknyamanannya. Namun aku tidak mau kehilangan kesempatan baik ini, dan ingin terus mengamati detil wajahnya, dan tubuhnya. Sebuah wajah yang selama ini terkadang muncul dalam kesadaranku, mewakili sebuah masa cukup panjang dalam segmen kehidupan masa laluku. Sebuah kenangan yang diam-diam menempati batinku sekian lama. Kesempatan itu kucoba manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Saat-saat itu seolah sejenak menenggelamkanku ke sebuah kolam yang mampu menggelitik permukaan pikiran melalui sensor penglihatanku. Ruang segi enam dan kantor besar itu menjadi kabur, hanya ada sebuah lingkaran energi yang menyambung antara kami berdua. Aku sungguh merasa nyaman, sebuah kenyamanan yang tidak asing bagiku, yang dulu pernah kualami.


Barangkali karena semakin kurasakan kegelisahannya, pelan-pelan aku coba sadari keberadaanku di ruangan itu, dan kulepaskan segala pikiran yang ramai mewarnai benakku. Suasana rasanya menjadi lebih rileks dan longgar. Aku samasekali tidak bermaksud untuk mendominasi pertemuan ini dengan mencoba menggenggamnya kembali. Kesadaran itu membuatku membiarkannya berada dalam kebebasan yang mengurangi kegelisahannya.


Kami lalu terlibat dalam pembicaraan yang lebih banyak pada kondisi sosial masyarakat sekarang. Tidak ada pembicaraan tentang masa lalu. Dia tidak mulai dan akupun tidak tertarik untuk membicarakannya. Suasana yang semakin longgar itu aku coba nikmati dengan baik. Aku menikmati kehadirannya di satu ruangan bersamaku, hanya berbatas sebuah meja. Aku larutkan diriku, pikiranku dan batinku dalam suasana yang terbangun, dan kurasakan semakin lama dia merasa semakin ringan dan lepas dari kekakuan yang ada di saat-saat awal pertemuan kami tadi. Sosok yang pernah kukenal ini kembali lagi dalam suasana yang rasanya sama dengan masa lebih dari tiga puluh tahun lalu itu. Dia masih menarik, hampir dalam segala hal.


Topik demi topik mengalir dengan lebih rileks. Karena permintaanku, dia tunjukkan foto anak perempuan satu-satunya yang berada di telpon genggamnya. Sejenak aku tenggelam dalam foto itu. Wajah yang cantik, namun menurutku tidak banyak unsur wajah ibunya yang menurun kepadanya. Barangkali anak ini lebih mirip ayahnya. Pasti ayahnya tampan. Topik demi topik pembicaraan terus berganti, misalnya dia mengaku membaca buku tentang berbagai agama, tentang korupsi, nilai-nilai masyarakat, dan sebagainya. Sampai setelah hampir satu jam, dia mulai melirik ke luar ruangan beberapa kali. Aku menyadari bahwa waktuku berbincang dengannya sudah selesai. Diapun mengatakan sudah sedikit korupsi waktu kerja. Sebuah indikasi profesionalisme dan loyalitas. Aku pamit, dan dia mengantarku sampai pintu ke luar. Tidak ada ciuman di pipi yang masih kuharapkan, hanya sebuah jabat tangan erat untuk perpisahan hari itu. Aku tersenyum memahami kekecewaanku.


Keesokan harinya, aku merasa jauh lebih ringan. Sebuah energi bernama “keinginan bertemu dengannya” sudah mulai terlepas. Energi yang berbentuk rasa penasaran, fantasi, imajinasi, sudah terpenuhi dan terlepas dengan sendirinya. Pertemuanku dengannya merupakan momen yang istimewa bagiku. Sebuah momen yang membawaku ke masa lalu yang tersimpan dalam ingatan, dan menggugah rasa yang masih ada, rasa nyaman ketika bersamanya. Namun juga menjadi istimewa karena melepaskanku dari pelukan energi yang penuh dengan imajinasi. Yang tertinggal adalah sebuah rasa yang tidak ingin menguasainya, sebuah rasa yang hanya mendekatinya, mengasihinya, tidak lebih dan tidak kurang. Aku senang dengan rasa ini.


Aku berterimakasih kepadanya karena memberiku waktu untuk bertemu dengannya. Aku biarkan rasa kasih ini tetap berada dalam batinku, dan membiarkannya tetap berada dalam sebuah ikatan energi semesta, agar ikatan batin ini menjadi lebih bebas, tidak harus saling memiliki dan menjadi dominatif, sehingga tetap terjaga keindahannya.


Terimakasih kekasihku ..



Menara BII Thamrin, Pain de France Café

13 Oktober 2009

Sabtu, 12 September 2009

Mas Dokter: Dimana Peran Tuhan?

Kami janjian ketemu malam ini, dan dia akan menjemputku. Sekitar jam 20:30, teman lamaku, mas Dokter datang menjemput aku dan saudara2ku, dan berempat kamipun berangkat ke sebuah warung kopi sederhana untuk ngopi, ngobrol dan melepas rindu. Sudah lama kami tidak berjumpa, dan kebetulan beberapa hari ini aku di kota kelahiranku untuk sebuah tugas. Mengetahui aku di kota ini, diapun langsung kirim sms mengatakan ingin berjumpa dan ngobrol. Kafe itu cukup banyak dikunjungi anak2 muda, yang ketika kami masuk, rasanya banyak yang menatap kami, mungkin terheran karena usia yang tidak setara dengan mereka. Beberapa teh jahe dan kopi kami pesan, mendampingi camilan ringan, dan obrolanpun langsung dimulai.

Mas Dokter banyak berbagi cerita tentang pengalaman-pengalaman dari profesi yang digelutinya, sebagai seorang ahli kandungan terkenal di kota ini. Obrolan semakin rame ketika dia cerita tentang seorang TKI yang menyewakan rahimnya untuk mengandung anak dari sepasang suami istri orang Singapura. Kami mencoba memahami mengapa hal tersebut bisa terjadi. Berbagai alasan disampaikan, misalnya barangkali karena desakan ekonomi, sehingga motivasinya adalah imbalan uang belaka. Pertanyaan yang muncul adalah, etiskah itu? Berdosakah itu dilihat dari kacamata agama?

Etika peristiwa itu juga menyangkut pandangan bahwa rahim seseorang diperlakukan sebagai sebuah petri-dish, sebuah cawan laboratorium untuk pembesaran janin. Begitu berkuasakah uang dalam membentuk sebuah kehidupan? Diskusi semakin hangat ketika pembahasan mencoba mendasari peristiwa itu dengan kaidah agama. Berdosakah si ibu yang menyewakan rahim demi uang? Dimana peranan Tuhan dalam mekanisme sewa menyewa tersebut? Dahulu, anak selalu dianggap sebagai anugerah Tuhan, namun dalam konteks sewa rahim, masihkah ada konsep anugerah Tuhan? Mas Dokter menjadi bingung sewaktu harus menuliskan akte kelahiran, karena sebenarnya anak siapakah si jabang bayi? De jure barangkali hasil pembuahan suami istri orang Singapura, namun de facto dia keluar dari rahim ibu TKI. Dia juga bercerita bahwa perdebatan antar dokter-pun tidak bisa dihindari.

Peran Tuhan dalam sebuah proses reproduksi manusia semakin hangat didiskusikan ketika sudah ada kemampuan rekayasa manusia untuk memilih apakah bayi yang dilahirkan lelaki atau perempuan. Ada sebuah proses yang pada dasarnya adalah pembilasan kromosom. Jika ingin bayi perempuan, maka kromosom Y dibilas sehingga yang ada hanyalah kromosom X, dan pembuahan dilakukan dengan sistem in fitro. Demikian pula kalau ingin bayi lelaki, tinggal kromosom X dibilas dan meninggalkan kromosom Y. Pembilasan adalah pembunuhan sel sperma. Pertanyaannya kembali kepada, dimanakah peran Tuhan dalam proses konsepsi tersebut? Menentukan kromosom yang berhak hidup dan yang tidak, bukankah itu peran Tuhan, bukan seorang dokter?

Diskusi merembet ke masalah stem cell yang sedang ramai diperdebatkan. Dalam proses kelahiran, stem cell bisa didapat dengan mengambilnya dari ari-ari. Sekarang ini ada mekanisme penyimpanan stem cell yang sedang digemari oleh para empunya. Sewa “bank stem cell - Cordlife” mencapai puluhan juta rupiah, yang tentu hanya bisa tersentuh oleh para empunya. Kekhawatiran semakin muncul ketikan pertanyaan2 seperti: di bank itu, diapakan saja stem cell yang disimpan? Adakah kemungkinan menyalahgunakan stem cell yang tersimpan sebelum diambil kembali dan dimanfaatkan oleh si empunya? Pertanyaan lalu menggelembung dengan pemikiran tentang siapakah raksasa (baca pengusaha atau penguasa besar) yang berdiri dibalik mekanisme penyimpanan stem cell tersebut.

Saya merasakan bahwa ada kegalauan di batin mas Dokter tentang peran Tuhan dalam proses konsepsi manusia, atau bahkan juga dalam proses konsepsi makhluk di bumi ini. Sebuah kegundahan yang pelan tapi pasti merasuk dalam batin mas Dokter, bahkan dalam batin setiap manusia. Misalnya tentang Dolly seekor domba hasil kloning, peternakan ayam dan bebek yang sudah menjadi sebuah industri - sebuah pabrik, perkawinan silang anggrek yang bertujuan untuk memenuhi selera keindahan manusia, jagung hibrida bahkan GMO (genetically modified organism) untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia, dan masih banyak lagi. Namun, mas Dokter masih mempunyai harapan terhadap kekuasaan Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki, manipulasi itu akan sukses, namun kalau tidak, Tuhan masih bisa mencabut nyawa hasil manipulasi itu. Kematian menjadi kunci kekuasaan Tuhan, dan hanya Dia yang mempunyai 'ijin' memberi atau menghilangkan kehidupan.

Diskusi yang sangat mendasar karena menyentuh sebuah proses hakiki tentang asal-muasal kehidupan yang selama ini disakralkan karena dihubungkan dengan “ke-Maha Pencipta-an” Tuhan sebagai pemegang otoritas tertinggi. Layaknya sebuah komando kehidupan semesta. Kesakralan tersebut sudah menjadi dogma, keyakinan yang tidak perlu dipertanyakan ulang. Namun kenyataan sekarang seolah menantang ke-maha pencipta-an Tuhan, dan peran Tuhan seolah diambil alih oleh manusia. Kesakralan otoritas tertinggi pencipta kehidupan mulai dipertanyakan dan bahkan diperebutkan.

Malam itu materi diskusi yang sangat berisi dibicarakan dengan gelak tawa dan suasana cewawakan yang lepas. Ketawa menggelegar seperti mau meruntuhkan bilik2 di kafe itu. Kelompok para orang tua ini ternyata jauh lebih rame dibanding dengan para pemuda di sekitar meja kami. Sungguh sebuah suasana yang membuat rindu akan adanya pertemuan-pertemuan serupa berikutnya. Tiba-tiba mas Dokter ditelpon anaknya disuruh pulang, yang hanya ditimpali dengan ketawanya yang lepas dan khas. Belakangan kami baru tahu bahwa telpon itu sebenarnya terjadi pada saat ada guncangan gempa, dan orang rumah mengkhawatirkan keberadaannya. Kami tidak merasakan dan tidak memahami apa yang dirasakan orang rumah mas Dokter.

Barangkali seperti itu juga semua pemeran manipulasi proses konsepsi manusia yang rame kami diskusikan ... tidak merasa dan memahami kehadiran Tuhan.


Jakarta, September 12, 2009

Rabu, 22 Juli 2009

Perjalanan Spiritual ke Baduy, 18 - 20 Juli 2009


Hari itu sehari setelah para pengecut meledakkan bom di JW Marriott dan Ritz Carlton. Di pelataran parkir motor Sarinah Thamrin, jarum jam sudah menunjukkan waktu 7:30, saat kami harus berangkat. Masih ada seorang peserta, dari ke 11 orang keseluruhan, yang baru muncul setelah 10 menit kemudian. Para pemandu sebetulnya ingin membatalkan perjalanan kali ini karena kurangnya peserta, namun dengan semangat bahwa acara ini adalah ‘temu darat’ dari kelompok cyber yang sesama mencintai perjalanan petualangan, maka rencana ke Baduy tetap dilanjutkan. Setelah berdoa bersama, dan melakukan ‘toss’, kamipun masuk ke mobil Elf biru, yang harus mengorbankan satu deret tempat duduk paling depan untuk tumpukan ransel dan berbagai peralatan seperti sleeping bags dan makanan.

Perkenalan antar peserta sudah dilakukan pada saat briefing seminggu lalu, dan pemandu kami kali ini terdiri dari Epoy, Bagol dan Kelik. Mereka bertiga sudah lebih sepuluh tahun bergaul dengan saudara2 di Baduy, dan banyak dikenal oleh kalangan “porter” atau orang-orang Baduy Dalam yang rumahnya sering dikunjungi para pelancong, sebut saja di Cibeo ada: Naldi, Sangsang, Karmain, Sapri, atau Narpa di Cikeusik. Rombongan terdiri dari mayoritas perempuan: Uti, Meniek, Oming, Joe, Yani, Rien, Neny, dan aku satu-satunya lelaki. Kami mempunyai persepsi yang sama bahwa kunjungan ke Baduy bukanlah wisata kultural semata, namun lebih kepada bertamu ke desa para saudara kita yang mempunyai adat yang masih kuat dijalani.

Sesuai dengan rencana, kami sampai di Pasar Karoya lewat tengah hari. Route yang diambil dimulai dari Cikeusik tempat kami rencana bermalam, lalu hari kedua perjalanan panjang akan kami tempuh melalui desa Cikartawarna Baru, dan Cibeo untuk makan siang, lalu diteruskan ke Gajeboh di Baduy Luar untuk bermalam. Hari ketiga kami tinggal menjalani sisa perjalanan sedikit dari Gajeboh ke Ciboleger dimana mobil kami sudah akan siap menunggu.

Setelah unload barang bawaan kami di huma kang Narpa, kami akhirnya memutuskan untuk bermalam di situ. Joe dengan sepasang mata arsiteknya yang jeli mengamati bentuk huma (gubug) kang Narpa yang menurutnya sangat arif. Bangunan yang rendah dimaksudkan untuk menjaga kehangatan diwaktu malam, serta disesuaikan dengan bentuk badan orang Baduy yang relatif lebih kecil dibanding manusia kota. Sebuah rumah adalah cerminan manusianya, demikian kata Joe. Bubungan atap yang ditutup ijuk mencerminkan kecerdasan, dan beranda yang tertutup atap luas menandakan kecerdikan untuk mendapatkan kesejukan pada siang hari. Demikian juga keseimbangan huma yang berdiri di tanah berkontur tetap terjaga melalui perhitungan konstruksi yang pandai.

Waktu selanjutnya kami lewatkan untuk berjalan-jalan di lembur (desa) Cikeusik yang hanya berjarak seperempat jam berjalan. Tidak lupa kami bawa sekantong manik-manik yang kami beli di Jakarta sebagai buah tangan buat para remaja di desa itu. Menyaksikan para remaja berkerumun saling membagi manik-manik, dan raut wajah mereka yang senang namun malu untuk mengekspresikannya, merupakan anugerah bagiku. Beberapa dari mereka menggenggam kantong-kantong plastik berisi manik-manik dengan erat, dan senyuman polos mereka tersembul dengan cantiknya.

Yani tidak kuasa menahan keinginannya mendatangi dua gadis kecil yang dari kejauhan memandang penuh rasa ingin tahu pada kerumunan teman-temannya, dan bermaksud mengajak mereka untuk bergabung. Namun dia diingatkan bahwa dia sudah melampaui tanda sebatang bambu besar yang digantungkan dari sebuah rumah ke rumah lain, yang ternyata adalah batas dimana orang luar Baduy tidak lagi diperbolehkan menginjak tanah di seberang bambu itu. Tanah itu merupakan ‘kompleks’ para pemuka desa, dengan rumah seorang Puun (ketua adat) di ujungnya. Teman kami surut ke belakang sambil minta maaf. Kami kembali ke huma ketika hari sudah menjadi gelap, dan dengan perut minta diisi. Makanan yang disiapkan Epoy menyambut kedatangan kami dengan baunya yang menggoda.

Lauk pauk sederhana kami nikmati menemani nasi ladang dari Baduy yang menjadikan paket itu sungguh nikmat, apalagi ditemani dengan semilirnya udara dingin yang mulai menggigit badan kami yang sudah kelelahan. Beberapa saat kemudian Jaro Nalim datang karena undangan para pemandu kam. Sebetulnya ingin kami temui di rumah beliau namun waktu itu sedang pergi. Sebuah kesempatan yang sungguh baik untuk bertemu dan berbincang dengan kepala desa yang diangkat secara adat oleh masyarakat setempat. Aku bergabung dengan beliau mencicipi sirih dan pinangnya. Semenit setelah kunyahan pertama, sensasi hangat di sekujur tubuh mulai terasa. Energi hangat menyebar ke seluruh tubuh, keringat keluar, dan kepala rasanya ringan. Kunyahan demi kunyahan terus menambah sensasi tersebut. Aku diam sejenak untuk kembali ke kondisi semula, lalu kuludahkan sirih di luar huma.

Jaro Nalim membuka diri untuk diajak berbincang tentang banyak hal, yang terkadang harus diterjemahkan oleh Bagol, salah seorang pemandu kami. Beberapa yang menarik dicatat adalah pengakuan bahwa Baduy mengalami perubahan, terutama dari pertumbuhan penduduk. Mereka menyadari hal ini. Tanah Baduy tidak pernah berkembang, namun penduduk berkembang sehingga tanah garapan terasa semakin sempit. Variasi hasil pertanian tidak banyak berkembang karena salah satunya adanya larangan untuk menanam jenis tumbuhan tertentu seperti singkong yang sebetulnya dapat menjadi alternatif sumber karbohidrat nabati, namun memang dapat merusak struktur tanah. Juga ternak kambing dan sapi ditabukan. Kami belajar banyak dari diskusi malam itu, meski ada pertanyaan yang sempat membuat Bagol tidak nyaman menerjemahkan ketika kami menanyakan apakah orang Baduy percaya kepada Tuhan.

Kang Naldi dan aku menuju sungai di lembah untuk mandi. Dalam gelapnya malam diterangi seberkas cahaya senter, ketelanjangan di alam bebas ternyata menjadi sebentuk rasa kebebasan. Setelah mandi, aku dan Yani menyempatkan diri untuk bermeditasi di halaman, beratap langit berbintang dan bulan yang baru membuat cahaya dalam sebentuk sabit, berselimut udara malam yang dingin menggigit dan diiringi nyanyian hewan malam. Kami menyatu dengan semesta di tanah suci itu. Malam itu kami lewati dengan tidur nyenyak seolah melepas kebekuan kaki dan badan kami setelah hampir lima jam meringkuk di tempat duduk mobil yang sempit itu. Kang Narpa mengiringi tidur kami dengan dentingan kecapinya, yang berkawat bekas rem sepeda motor. Dentingan yang sangat kontras dengan lembutnya desir angin malam, namun menjadi pelengkap yang mampu menambah kenyamanan dengkur kami.

Jam sudah menunjukkan pukul 6 pagi ketika Epoy membangunkan kami dari kelelapan. Di pagi yang berkabut itu kami akan ke pasar Karoya untuk mencoba mengambil gambar para gadis Baduy yang berbelanja. Di pasar orang banyak menjajakan segala keperluan harian masyarakat setempat, dari tembakau padat, ikan pindang sampai sampo dan golok. Seorang pedagang bisa mewakili sebuah supermarket. Kamera kami langsung mengincar gadis2 Baduy Dalam yang kebanyakan memakai baju blacu putih berselendang putih atau hitam, dan berkain hitam. Pria-pria baduy juga berbaju blacu putih atau hitam, berikat kepala putih, berkain hitam bergaris halus warna putih. Hanya ada dua warna, putih dan hitam, tidak ada warna lain atau warna diantaranya. Dua warna dasar yang kontras cerminan dua kutub ekstrim dalam kehidupan ini. Kesederhanaan yang justru merupakan simbolisasi keseimbangan hidup, sebuah penerimaan apa adanya terhadap kedua energi dalam fenomena kehidupan: hitam – putih, buruk – baik, salah – benar, panas – dingin, yin dan yang.

Warna lain sedikit muncul dalam hiasan gelang tangan, kalung di leher yang berupa untaian manik-manik beraneka rupa dan warna. Demikian juga pada gincu di bibir para gadis muda itu. Aneka warna asesori berlatar belakang hitam dan putih seolah mencerminkan aneka warna fenomena kehidupan yang muncul di atas sifat dasar kehidupan berupa kutub energi yang berseberangan.

Gadis-gadis muda yang berbelanja di hari pasar yang hanya ada di setiap hari Minggu itu seolah menghadiri sebuah pesta, mereka bersolek dengan sungguh-sungguh cantik dan menarik. Perpaduan antara perilaku yang lugu, malu-malu, dan pakaian sederhana putih dan hitam, dengan gincu merah, bedak cukup tebal, hiasan manik-manik berwarna-warni, sungguh merupakan pemandangan yang eksotis. Aku merasa berada di sebuah negara yang jauh dari Indonesia. Frame demi frame foto kami habiskan di pasar Karoya yang menyajikan pemandangan eksotis itu.

Hampir menjelang tengah hari kami kembali ke Cijahe, tempat kami sarapan bersama. Sewaktu kami ke pasar, beberapa orang Baduy dan Epoy mengatur sarapan dan membawa semua perlengkapan kami ke Cijahe. Sarapan pagi itu terasa enak sekali, meski berupa paduan sederhana antara telur bumbu kecap dan mie goreng instan dan nasi. Epoy sungguh kreatif membuat perpaduan makanan dari bahan sederhana yang tersedia. Setelah pamit ke kang Narpa, kami melanjutkan perjalanan ke desa Cibeo, melewati Batu Beulah dan Cikartawarna Baru. Batu Beulah merupakan pusat pembuatan golok, dan aku membeli salah satunya.

Perjalanan selanjutnya merupakan episode yang menarik, sebuah simponi alam yang lengkap. Ada tanjakan maupun turunan, hutan maupun ladang, jalan licin berkerikil lepas maupun berbongkah batu, panas terik yang menguras keringat maupun gemericik sejuknya pancuran dan aliran sungai yang jernih bebas dari pencemaran. Sebuah perpaduan hitam dan putih, seperti disimbolkan dalam pakaian mereka.

Satu jam lewat tengah hari, kami tiba di Cibeo, desa di mana kang Naldi, Sangsang dan Sapri berasal. Beberapa teman langsung tergolek di dalam rumah kang Sangsang. Beberapa memutuskan untuk mandi di siang itu untuk mendinginkan panasnya tubuh karena sengatan matahari di sepanjang perjalanan tadi. Epoy kembali sibuk menyiapkan makan siang yang kali itu merupakan paduan antara sayur asem, kentang keripik pedas dan ikan asin goreng tipis. Kembali juru masak kami menunjukkan kepiawaiannya dalam memilih paduan menu, yang mampu membuat kami makan seperti berbuka setelah puasa dua hari tanpa henti. Hal menarik yang aku amati adalah volume nasi yang ekstra besar yang selalu menjadi menu setiap orang Baduy, setiap kali makan. Meski lauk tinggal sesendok, mereka bisa melengkapinya dengan nasi tigapuluh sendok. Nasi yang merupakan satu-satunya sumber karbohidrat nampaknya menjadi asupan utama untuk menjadi bahan bakar bagi mobilitas orang Baduy yang dilakukan hanya dengan berjalan kaki.

Sekitar jam tiga sore, kami mulai perjalanan episode kedua, ke arah Gajeboh yang jaraknya sekitar tiga jam perjalanan normal. Kondisi badan kami sudah berkurang sekitar 50%, sehingga sisa tenaga harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Pemandangan sepanjang perjalanan rasanya lebih indah dari episode sebelumnya. Barangkali karena matahari sudah mulai mengurangi intensitas panasnya, sehingga cuaca menjadi lebih bersahabat. Namun juga karena kami banyak melewati rimbunnya hutan. Paling tidak dua tanjakan merupakan jalur panjang non-stop dengan sudut sekitar 30 derajat. Dua turunan juga merupakan jalur panjang serupa. Tanjakan dan turunan, hitam dan putih.

Kami menyeberangi jembatan untuk masuk di Gajeboh sudah lepas maghrib, dan langsung menuju rumah Ceu Rokayah yang merupakan rumah terbesar di Gajeboh, karena suaminya bekerja sebagai pengepul barang kerajinan dari berbagai produsen di Baduy Luar. Setelah melepas lelah, mandi di sungai, kamipun berkumpul untuk mengadakan evaluasi perjalanan ini. Hampir semua mengamini bahwa segala sesuatunya berjalan lancar, dan para pemandu kami merupakan orang yang cocok karena banyak dikenal di kalangan keluarga porter di Baduy Dalam. Misalnya, pertemanan Bagol dengan beberapa orang Baduy yang menyertai kami, seperti kang Naldi, sudah berjalan dua puluh tahun, dan Epoy-pun sudah dikenal sejak lima belas tahun lalu.

Malam itu aku tawarkan sesi meditasi. Beberapa tertarik untuk mencoba: Epoy, Bagol, Rien, Neny, Yani dan aku. Malam semakin gelap ketika kami selesai meditasi, namun Rien, Neny dan Yani tetap terjaga dan terlibat dalam diskusi banyak hal tentang kehidupan. Hampir tengah malam diskusi baru berhenti. Sejenak kemudian Oming bangun dan mengeluh dada serta tenggorokannya sakit, dan tidak bisa tidur. Minyak telon terus digosokkan namun nampaknya tidak mengurangi rasa sakitnya. Aku menjadi khawatir, lalu kutawarkan terapi pijat refleksi, dan dia mengangguk mengiyakan. Hampir satu jam dia terus mengerang, meringis dan mengatupkan bibir menahan sakit ketika bagian-bagian tertentu kakinya kusentuh. Bajunya basah karena keringat dan pipinya basah karena air mata. Selewat tengah malam, baru dia bisa tidur untuk beberapa jam dan segar kembali di keesokan harinya.

Ternyata Joe juga mengeluh sakit kepala yang sangat, sampai semalam tidak dapat memicingkan mata. Pagi itu kembali aku buka praktek refleksi untuk Joe, yang juga hampir satu jam bergoyang kesana kemari menahan sakit. Setelah itu dia merasa agak baikan. Sarapan pagi itu berupa nasi dan dendeng ikan serta mie instan rebus. Menu yang selalu menarik komposisinya, dan selalu tandas pada akhir ritual mengisi perut. Setelah itu, warung kerajinan Ceu Rokayah dibuka dan acara belanja kain dimulai. Setelah acara buka dasar kain bak di Tanah Abang selesai, kamipun berkemas untuk menuju pos terakhir, Ciboleger.

Perjalanan episode terakhir sekitar satu setengah jam ternyata tidak juga lebih ringan. Tanjakan non-stop lebih setengah kilometer kembali kami temui, hanya bedanya, di tengah tanjakan ada penjaja yang menawarkan minuman dingin. Uti adalah peserta terakhir yang sampai di ujung tanjakan, dan kami bersama-sama menyemangatinya agar terus maju. Sisa-sisa tenaga kami kuras untuk mencapai Kaduketug, dimana kami secara resmi berpamitan dengan para pemilik rumah yang kami kunjungi, pendamping, porter, teman bercanda, sekaligus guru-guru kami, dan saudara-saudara kami yang baru, orang-orang Baduy.

Sekitar tengah hari, Elf biru membawa kami keluar dari terminal Ciboleger, keluar dari sebuah peradaban unik yang tidak banyak tersisa di muka bumi ini, kembali ke peradaban yang kami anggap normal, modern, praktis, dan jauh lebih berwarna bukan sekedar hitam dan putih. Peradaban yang kami semua agungkan sebagai sebuah dunia yang maju, namun penuh dengan segala konsekuensi “kemajuan” yang ada, seperti pembunuhan sesama manusia yang baru kita saksikan dalam bom bunuh diri, penghancuran lingkungan dan sumberdaya alam, polusi, krisis ekonomi global, permainan politik, tindak kriminal, kekerasan, narkoba, dan segala jenis komplikasi kehidupan yang penuh aneka warna.

Bagiku, orang-orang Baduy yang mendasarkan hidupnya pada warna hitam dan putih, kesederhanaan falsafah hidup, merupakan sebuah “kemajuan” pada dimensi lain di kehidupan ini. Keteguhan pada aturan adat, ketahanan terhadap berbagai stimuli dari dunia luar, dan konsistensi pada perilaku, mengajarkan banyak kearifan hidup yang seringkali perlu direnungkan. Aku kembali masuk ke Baduy untuk kedua kali ini barangkali merupakan manifestasi sebuah kerinduan, sebuah kebutuhan seorang manusia untuk mengenali kembali dimensi-dimensi dasar kehidupan: hitam dan putih, yang menyatu pada simbol di seperangkat pakaian. Kerinduan akan hadirnya guru alam, yang mampu memberikan gambar kearifan bagaimana seharusnya manusia berhubungan dengan ibunya, dengan alam semesta, secara apa adanya.

Agenda di hatiku sudah tercatat untuk sekali waktu kembali kepada saudara-saudaraku dan guru-guruku di pedalaman Baduy sana: Narpa, Karmain, Sapri, Naldi, Sangsang, Jaro Nalim ….

Agus Widianto
23 Juli 2009

Minggu, 05 Juli 2009

Cinta dan Perkawinan

"
‘qt ktmu jm 3, aq di kamar 205’

Sms itu aku kirimkan kepadanya. Aku kebetulan datang di kota itu, dan aku ingin sekali ketemu dengannya. Sudah hampir dua minggu aku kontak dengannya melalui telpon dan sms, namun belum pernah bertemu secara fisik. Awalnya terjadi ketika aku harus menelpon teman kerjaku yang baru, Widarti, untuk minta berkas-berkas pengiriman para TKI agar dapat diserahkan ke kantor pusat paling lambat pertengahan bulan Juni ini. Karena aku tidak punya nomor telponnya, aku minta kepada sekretaris kantor Pusat. Ketika nomor telpon pemberian sekretaris itu aku putar, tak terduga yang menjawab seorang lelaki. Lelaki itu mengaku bernama Wibowo. Ke-salah-an ataupun ke-betul-an dalam hidup, tergantung dari mana memandangnya, terkadang terjadi dengan aneh.

Empat tahun lalu suamiku yang mengawiniku secara siri, menceraikanku, atau lebih tepat, meninggalkanku begitu saja. Tidak ada proses perceraian secara hukum negara, karena perkawinan siri bukan urusan negara, tapi urusan pada tingkat paling bawah yang keabsahannya bisa menjadi sangat situasional. Dua tahun bersamanya seperti sebuah mimpi yang merupakan rangkaian cerita roman picisan. Dia sudah beristri, dan menjadi istri ‘siri’nya harus pandai-pandai menguasai diri, pandai-pandai mengatur waktu untuk menyalurkan hasratku dan terlebih hasratnya. Barangkali benar bahwa perkawinan ‘siri’ dibuat untuk sekedar menyalurkan hasrat dasar manusia, hasrat menikmati hubungan perkelaminan. Sebuah hasrat yang mustahil disalurkan dengan terbuka karena dianggap sebagai sebuah dosa, sehingga perlu dibungkus dengan kemasan berbau agama untuk mempunyai kekuatan keilahian yang dianggap mengubahnya menjadi halal. Absurditas, kemunafikan, dan kedangkalan pemahaman bergabung menjadi satu, dan lunas diganti dengan beberapa lembaran rupiah bagi tokoh pengabsah. Meski aku mempunyai pandangan seperti itu, namun aku jalani juga perkawinan itu, karena kebutuhanku untuk dukungan moral dan material dalam membesarkan anak-anakku.

Cerita roman picisanku dengannya memang akhirnya hanya seputar birahi, seputar ranjang, permainan petak-umpet menghindari pelacakan istri sahnya, dan manipulasi rasa yang ada diantara dua kutub: kebencian dan kerinduan. Benci karena dia bukan sepenuhnya milikku yang seharusnya memberikan segala waktu dan perhatiannya padaku, namun menjadi sebuah kemewahan yang mustahil kudapatkan. Banyak waktu dimana aku membutuhkan kehadirannya, namun dia tidak dapat memenuhinya. Rindu karena setiap kehadirannya mampu mengisi kesepianku dalam menjanda lebih dari dua tahun, setelah suamiku yang pertama kuceraikan akibat memelihara perempuan sialan yang akhirnya hubungan mereka kupergoki di sebuah hotel di kota besar dekat desaku itu.

Dua tahun sudah aku kembali menjanda setelah berakhirnya romanku dengan suami siriku. Kerinduanku akan belaian, pelukan dan pemenuhan hasratku kembali menggantung dalam kehidupanku. Sebuah kerinduan akan kehidupan yang dulu pernah aku nikmati sehingga membuahkan dua anak2ku yang sekarang kupelihara dengan sepenuh hati meskipun semakin hari menjadi semakin tidak mudah. Namun begitu, keduanya adalah bagian sejarah hidupku, keduanya adalah kepingan kebahagiaan yang dulu pernah aku nikmati bersama suamiku yang pertama. Sekarang sering aku gugat hidupku yang lalu, benarkah keduanya adalah keping kebahagiaan, atau keduanya adalah akibat dari pemenuhan hasrat alamiah kami berdua. Seandainya mereka adalah buah dari kebahagiaan, mengapa sekarang terasa menjadi beban yang harus aku pikul sendiri? Benarkah kebahagiaan dapat berubah menjadi beban dan bahkan derita sejalan dengan waktu? Adakah kebahagiaan hidup yang abadi? Dimanakah keadilan dalam berbagi kebahagiaan dan beban hidup pada sepasang suami istri?

Janjian ketemu dengannya sekitar setengah jam lagi. Sempat kurenungkan awal kenalanku dengannya. Kesalahan nomor telpon akibat kecerobohan sekretaris kantor pusat. Namun dalam beberapa kali pembicaraan telpon dengan Wibowo, aku dapat merasa sebagai seorang perempuan yang terisi kembali kebutuhan hidupku. Entah kenapa kekosongan batinku dapat sejenak terpenuhi dengan sesuatu yang aku sendiri tidak pahami, namun terasa nyaman. Aku belum pernah bertemu dengan Wibowo, dan aku tidak banyak tahu tentang kehidupannya. Namun setiap kata yang diucapkan dalam telpon terasa memberi energi yang membuatku hanyut dalam sebuah aliran yang terasa sejuk, penuh, dan nyaman.

Aku sedikit kaget ketika kudengar ketukan di pintu kamarku. Kubuka pintu kamar hotelku, dan kudapati seorang pria setengah baya, dengan rambut tersisir ke belakang dengan rapi, beberapa helai uban terlihat kontras dengan rambut hitamnya. Jalur-jalur uban itu seolah memberi aksen yang kontras, putih di atas hitam, sebagai alur yang seolah menunjukkan kebijaksanaan. Badannya sedikit lebih tinggi dari padaku, perawakannya tegap untuk pria seumurnya. Wajahnya tidak terlalu tampan namun cukup menarik. Sore itu dia mengenakan kemeja kerja dan menjinjing sebuah tas sederhana yang nampak berat yang kuduga berisi komputer jinjing.

Aku persilahkan dia masuk, dan sambil duduk di tempat tidur ukuran king-size, obrolan sedikit demi sedikit mulai mengalir. Udara pengap di kamar mulai mencair dan membebaskan rasa. Kesesakan hatiku karena berbagai gambaran dan keinginan untuk bertemu dengan pria ini pelan-pelan menguap dan kamar terasa menjadi jauh lebih luas menembus dinding-dinding bercat coklat muda itu. Ada kehangatan yang menyeruak ke dalam tubuhku, mengurangi dinginnya ruangan akibat pengatur suhu. Kehangatan yang rasanya sangat intim, sangat tidak asing, yang bahkan menjadi bagian dari diriku yang pernah hilang beberapa tahun terakhir ini.

Obrolan santai mulai merambah pada kehidupan pribadiku dan kehidupan pribadinya. Suasana menjadi sangat cair, menjadi sangat akrab, dan aku sangat tergoda untuk memeluknya agar rasa nyaman ini tidak hilang, agar kehangatan ini menjadi sebuah kenyataan, agar energi ini menyatu dengan diriku. Hasratku untuk memilikinya menjadi semakin kuat. Kamipun lalu bercinta. Segenap kegairahanku yang tadi kurasakan berdesakan di seluruh pintu pori-pori kulitku, kini seolah seluruh pintu itu terbuka sehingga sel-sel gairahku terbebaskan dan menari dengan semakin liar. Tarian itu saling bersambut dan diakhiri dengan sebuah rasa kepuasan yang memenuhi seluruh saraf paling primitif dalam tubuhku.

Rasa lapar menyergapku setelah aku membersihkan diriku. Aku ajak Bowo, begitu dia minta dipanggil, ke bawah untuk mencari makanan. Sambil menikmati bakmi sederhana di warung dekat hotelku, kami berbincang banyak. Rasanya tidak ada lagi tembok penghalang dalam komunikasi kami, segala batasan runtuh bersama gelegak nafas kami di kamar tadi. Pembicaraan berbagai topik banyak membuka batinku, karena seperti anggapanku pada saat perkenalan dengannya melalui telpon, Bowo mempunyai sesuatu yang tidak semua orang miliki. Aku rasa itu karena dia mempunyai sebuah keluasan cakrawala pandang tentang berbagai sendi kehidupan ini, yang bebas menembus segala dogma dan kaidah umum, bahkan akidah agama yang kuimani. Sebuah dimensi yang menarik dan baru buat pemahamanku yang sederhana ini.

Salah satu yang sampai kini membekas di kepalaku adalah pandangannya tentang cinta dan perkawinan. Kami sempat berdebat, ketika kukatakan bahwa aku jauh lebih tahu tentang perkawinan dan cinta daripada dia karena sudah pernah dua kali kawin, dengan dua cara yang berbeda. Aku seharusnya lebih berpengetahuan dan berpengalaman daripadanya. Namun pendapatnya tentang cinta dan perkawinan mampu meruntuhkan seluruh bangunan pemahamanku. Menurutnya, mencintai orang lain sebenarnya mencintai diri sendiri. Menurutnya sangat jarang perkawinan yang dilandasi oleh rasa cinta yang selalu kita idolakan dan kita fantasikan. Fantasi keindahan cinta hanya ada di buku-buku novel, katanya. Menurutnya lagi, perkawinan sebenarnya hanya sebatas sebuah janji, yang karena takut tidak ditepati, lalu diberi embel-embel suci, sehingga menjadi janji suci. Aku terperangah, dan mengingat bahwa kedua perkawinanku yang berantakan, pernyataannya menjadi sangat masuk akal. Dimanakah kesucian sebuah perkawinan? Gugatanku kepada perkawinanku kembali tergambar jelas dalam benakku.

Mencintai orang pada dasarnya adalah mencintai diri sendiri. Kata-katanya membuatku menegangkan seluruh saraf pendengaranku untuk menangkap pesannya lebih lanjut. Jika aku mencintai dia, katanya, maka aku hanya mencintai rasa yang kudapatkan darinya ketika dia berada di dekatku. Aku hanya mencintai energi yang diberikannya kepadaku, yang membuatku merasa nyaman, merasa penuh, utuh, dan lebih hidup. Rasa itu yang aku cintai, dan kupertahankan dengan segenap cara, yang sering juga disebut pengorbanan, agar rasa itu tidak hilang. Dia adalah sumber energiku. Ketika sumber itu meredup karena berbagai hal, misalnya mengalihkan tujuannya kepada orang lain seperti yang dilakukan oleh suami pertamaku, maka aku merasakan kehilangan, merasakan ketimpangan, ketidakseimbangan yang sangat tidak nyaman. Kurasa dia ada benarnya.

Esoknya, aku harus kembali ke kota kecilku. Dalam perjalanan pulang, pengalaman singkat bebrsama Bowo kemarin ternyata sangat membekas dalam hatiku. Tidak hanya kesenangan yang telah kudapatkan, namun juga pemahaman baru yang dia berikan. Rasanya aku kembali berenergi dan mampu melangkah dengan ringan. Aku merasa nyaman. Barangkali, rasa seperti ini yang dia maksudkan, ketika rasanya aku mulai mencintai Bowo.

Peristiwa kebetulan dalam sebuah kehidupan dapat terjadi di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja, seperti terjadi padaku seminggu lalu itu. Tapi, adakah kebetulan dalam hidup ini? Betulkah Bowo datang begitu saja dalam hidupku? Ataukah dia membantuku memahami kegagalan perkawinanku yang selama ini menjadi beban yang semakin berat dalam menghadapi hidupku? Benarkah dia membantuku memahami kehampaan hidupku, dan memberikan petunjuk bagaimana mengatasinya? Rasanya, masih, aku inginkan sumber energi itu selalu berada di dekatku …

Sumedang - Jakarta, medio Juni 2009

Kamis, 14 Mei 2009

Agama, Teras Dari Sebuah Rumah

Saya sebenarnya pernah dibaptis secara katolik, dengan nama Thomas. Saya sendiri tidak tahu kenapa dulu memilih nama itu, barangkali karena kedengaran keren, dan dulu juga Thomas Cup sedang menjadi banyak perhatian banyak orang. Thomas, seseorang yang tidak percaya kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Barangkali belakangan ini nama itu banyak kebenarannya. Kepercayaan saya, termasuk kepada dogma dan iman dalam agama, banyak saya kritisi. Termasuk tentang Tuhan yang selalu kita sembah sambil memohon-mohon.

Dalam banyak diskusi tentang agama, saya senang menggunakan analogi sebuah rumah berbentuk kubah yang besar, mempunyai banyak pintu dengan teras (beranda) di masing-masing pintu. Mungkin sudah banyak teman yang mendengar cerita ini, tapi ijinkan saya mengulanginya. Dalam analogi itu, orang-orang senang berada di teras-teras pintu tersebut, duduk-duduk sambil mengagumi teras mereka sendiri-sendiri. Hampir dengan cara narsistik. Mereka lalu pamer keindahan teras ini kepada yang berada di teras lain sambil berkata:”Lihatlah terasku yang paling indah dibanding segala teras lain di muka bumi ini. Mari, bergabung dengan kami, karena hanya teras ini yang paling indah dan paling diberkati.”

Orang-orang yang duduk di teras sebelah juga pamer tentang hal yang sama, dengan cara yang sama. Demikian juga kelompok orang yang duduk di teras-teras lain. Mereka sangat menikmati keindahan teras masing-masing. Sayangnya, mereka tidak mau masuk ke dalam rumah besar itu, meski rumah itu adalah milik mereka bersama. Selama mereka ada di teras, mereka tidak dapat merasakan kebersamaan di dalam rumah.

Menurut saya, agama adalah teras-teras itu. Mereka memang berbeda satu sama lain. Agama juga berbeda, tergantung banyak faktor yang menciptakannya, seperti sejarah, tokoh utama, latar belakang budaya, waktu, tempat, dan juga dimensi mistisnya. Jadi, ungkapan semua agama sama saja, menurut saya keliru. Agama tidak sama, karena teras-teras itu juga tidak sama satu sama lain.

Yang sama adalah rumahnya. Rumah yang menjadi milik bersama. Rumah yang sebenarnya menjadi inti dari keseluruhan tempat tinggal. Teras hanya pintu gerbang untuk masuk rumah. Bila kita hanya duduk di teras tanpa masuk ke dalam rumah, maka kita akan tetap merasa berbeda. Kita terjebak dalam konsep kelompok, dalam konsep kebenaran semu karena tergantung dari dimensi empiris.

Cobalah masuk ke dalam rumah besar itu. Maka kita akan merasakan kebersamaan, karena kitalah pemilik rumah itu. Semua sama, karena semua adalah penghuni rumah besar itu. Komunikasi sebagai sesama pemilik rumah akan tercipta dengan baik, perbedaan akan hilang dengan sendirinya, dogma agama sudah lewat dan berada di belakang, karena begitu kita masuk rumah, teras sudah ada di belakang kita. Nafsu untuk lebih unggul dari lainnya menjadi tidak relevan lagi. Inilah tahap hakekat dari sebuah agama. Inilah sisi spiritual dari agama. Inilah kebenaran bagi semua makhluk, kebenaran yang melampaui kebenaran yang dogmatis. Di sini berlaku hukum ‘inter-beings’, hukum tentang inter-connectedness, tentang saling berhubungan satu sama lain. Sebuah hukum tentang ke-fitri-an makhluk dan semesta, bahwa di hadapan Allah semua sama. Hukum yang tidak membedakan saya dan selain saya. Tidak ada dualism, semua adalah satu dan satu adalah semua. Ini ada karena itu.

Saya memahami kehidupan seperti rumah besar itu, dan saya memahami agama seperti sebuah teras dari rumah besar itu. Selama anda berada di teras dan tidak mau masuk ke dalam rumah, maka anda akan hidup berkelompok dan merasa nyaman di dalam kelompok itu, namun sukar menyeberang ke teras lain karena segala kondisinya akan berbeda. Anda juga terjebak dalam aturan-aturan yang berlaku di teras anda sendiri, yang tentu tidak sama dengan aturan-aturan yang berlaku di teras lain.

Jadi, sudah saatnya ada keberanian untuk masuk ke dalam rumah. Apakah sinar matahari beragama Islam dan hanya menyinari orang Islam? Apakah hujan beragama Kristen dan hanya menyirami sawahnya orang Kristen? Apakah oksigen beragama Buddha dan hanya menghidupi orang Buddha? Molekul oksigen yang saya hirup dan menghidupi saya lalu saya kelurkan, dan dihirup orang Buddha dan menghidupi mereka, lalu di hirup babi dan menghidupi babi, lalu dihirup orang Islam dan menghidupi orang Islam. Begitu seterusnya. Tidak bisalah kita memisahkan oksigen yang haram dan halal, yang kafir dan yang bukan.

Jika seseorang sudah masuk ke dalam rumah, maka akan diperoleh kebebasan dalam dirinya, kedamaian dalam batinnya, dan pengetahuan tentang kehidupan yang jauh lebih luas, yang akhirnya membahagiakan hidupnya.