Sabtu, 12 September 2009

Mas Dokter: Dimana Peran Tuhan?

Kami janjian ketemu malam ini, dan dia akan menjemputku. Sekitar jam 20:30, teman lamaku, mas Dokter datang menjemput aku dan saudara2ku, dan berempat kamipun berangkat ke sebuah warung kopi sederhana untuk ngopi, ngobrol dan melepas rindu. Sudah lama kami tidak berjumpa, dan kebetulan beberapa hari ini aku di kota kelahiranku untuk sebuah tugas. Mengetahui aku di kota ini, diapun langsung kirim sms mengatakan ingin berjumpa dan ngobrol. Kafe itu cukup banyak dikunjungi anak2 muda, yang ketika kami masuk, rasanya banyak yang menatap kami, mungkin terheran karena usia yang tidak setara dengan mereka. Beberapa teh jahe dan kopi kami pesan, mendampingi camilan ringan, dan obrolanpun langsung dimulai.

Mas Dokter banyak berbagi cerita tentang pengalaman-pengalaman dari profesi yang digelutinya, sebagai seorang ahli kandungan terkenal di kota ini. Obrolan semakin rame ketika dia cerita tentang seorang TKI yang menyewakan rahimnya untuk mengandung anak dari sepasang suami istri orang Singapura. Kami mencoba memahami mengapa hal tersebut bisa terjadi. Berbagai alasan disampaikan, misalnya barangkali karena desakan ekonomi, sehingga motivasinya adalah imbalan uang belaka. Pertanyaan yang muncul adalah, etiskah itu? Berdosakah itu dilihat dari kacamata agama?

Etika peristiwa itu juga menyangkut pandangan bahwa rahim seseorang diperlakukan sebagai sebuah petri-dish, sebuah cawan laboratorium untuk pembesaran janin. Begitu berkuasakah uang dalam membentuk sebuah kehidupan? Diskusi semakin hangat ketika pembahasan mencoba mendasari peristiwa itu dengan kaidah agama. Berdosakah si ibu yang menyewakan rahim demi uang? Dimana peranan Tuhan dalam mekanisme sewa menyewa tersebut? Dahulu, anak selalu dianggap sebagai anugerah Tuhan, namun dalam konteks sewa rahim, masihkah ada konsep anugerah Tuhan? Mas Dokter menjadi bingung sewaktu harus menuliskan akte kelahiran, karena sebenarnya anak siapakah si jabang bayi? De jure barangkali hasil pembuahan suami istri orang Singapura, namun de facto dia keluar dari rahim ibu TKI. Dia juga bercerita bahwa perdebatan antar dokter-pun tidak bisa dihindari.

Peran Tuhan dalam sebuah proses reproduksi manusia semakin hangat didiskusikan ketika sudah ada kemampuan rekayasa manusia untuk memilih apakah bayi yang dilahirkan lelaki atau perempuan. Ada sebuah proses yang pada dasarnya adalah pembilasan kromosom. Jika ingin bayi perempuan, maka kromosom Y dibilas sehingga yang ada hanyalah kromosom X, dan pembuahan dilakukan dengan sistem in fitro. Demikian pula kalau ingin bayi lelaki, tinggal kromosom X dibilas dan meninggalkan kromosom Y. Pembilasan adalah pembunuhan sel sperma. Pertanyaannya kembali kepada, dimanakah peran Tuhan dalam proses konsepsi tersebut? Menentukan kromosom yang berhak hidup dan yang tidak, bukankah itu peran Tuhan, bukan seorang dokter?

Diskusi merembet ke masalah stem cell yang sedang ramai diperdebatkan. Dalam proses kelahiran, stem cell bisa didapat dengan mengambilnya dari ari-ari. Sekarang ini ada mekanisme penyimpanan stem cell yang sedang digemari oleh para empunya. Sewa “bank stem cell - Cordlife” mencapai puluhan juta rupiah, yang tentu hanya bisa tersentuh oleh para empunya. Kekhawatiran semakin muncul ketikan pertanyaan2 seperti: di bank itu, diapakan saja stem cell yang disimpan? Adakah kemungkinan menyalahgunakan stem cell yang tersimpan sebelum diambil kembali dan dimanfaatkan oleh si empunya? Pertanyaan lalu menggelembung dengan pemikiran tentang siapakah raksasa (baca pengusaha atau penguasa besar) yang berdiri dibalik mekanisme penyimpanan stem cell tersebut.

Saya merasakan bahwa ada kegalauan di batin mas Dokter tentang peran Tuhan dalam proses konsepsi manusia, atau bahkan juga dalam proses konsepsi makhluk di bumi ini. Sebuah kegundahan yang pelan tapi pasti merasuk dalam batin mas Dokter, bahkan dalam batin setiap manusia. Misalnya tentang Dolly seekor domba hasil kloning, peternakan ayam dan bebek yang sudah menjadi sebuah industri - sebuah pabrik, perkawinan silang anggrek yang bertujuan untuk memenuhi selera keindahan manusia, jagung hibrida bahkan GMO (genetically modified organism) untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia, dan masih banyak lagi. Namun, mas Dokter masih mempunyai harapan terhadap kekuasaan Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki, manipulasi itu akan sukses, namun kalau tidak, Tuhan masih bisa mencabut nyawa hasil manipulasi itu. Kematian menjadi kunci kekuasaan Tuhan, dan hanya Dia yang mempunyai 'ijin' memberi atau menghilangkan kehidupan.

Diskusi yang sangat mendasar karena menyentuh sebuah proses hakiki tentang asal-muasal kehidupan yang selama ini disakralkan karena dihubungkan dengan “ke-Maha Pencipta-an” Tuhan sebagai pemegang otoritas tertinggi. Layaknya sebuah komando kehidupan semesta. Kesakralan tersebut sudah menjadi dogma, keyakinan yang tidak perlu dipertanyakan ulang. Namun kenyataan sekarang seolah menantang ke-maha pencipta-an Tuhan, dan peran Tuhan seolah diambil alih oleh manusia. Kesakralan otoritas tertinggi pencipta kehidupan mulai dipertanyakan dan bahkan diperebutkan.

Malam itu materi diskusi yang sangat berisi dibicarakan dengan gelak tawa dan suasana cewawakan yang lepas. Ketawa menggelegar seperti mau meruntuhkan bilik2 di kafe itu. Kelompok para orang tua ini ternyata jauh lebih rame dibanding dengan para pemuda di sekitar meja kami. Sungguh sebuah suasana yang membuat rindu akan adanya pertemuan-pertemuan serupa berikutnya. Tiba-tiba mas Dokter ditelpon anaknya disuruh pulang, yang hanya ditimpali dengan ketawanya yang lepas dan khas. Belakangan kami baru tahu bahwa telpon itu sebenarnya terjadi pada saat ada guncangan gempa, dan orang rumah mengkhawatirkan keberadaannya. Kami tidak merasakan dan tidak memahami apa yang dirasakan orang rumah mas Dokter.

Barangkali seperti itu juga semua pemeran manipulasi proses konsepsi manusia yang rame kami diskusikan ... tidak merasa dan memahami kehadiran Tuhan.


Jakarta, September 12, 2009