Kamis, 14 Mei 2009

Agama, Teras Dari Sebuah Rumah

Saya sebenarnya pernah dibaptis secara katolik, dengan nama Thomas. Saya sendiri tidak tahu kenapa dulu memilih nama itu, barangkali karena kedengaran keren, dan dulu juga Thomas Cup sedang menjadi banyak perhatian banyak orang. Thomas, seseorang yang tidak percaya kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Barangkali belakangan ini nama itu banyak kebenarannya. Kepercayaan saya, termasuk kepada dogma dan iman dalam agama, banyak saya kritisi. Termasuk tentang Tuhan yang selalu kita sembah sambil memohon-mohon.

Dalam banyak diskusi tentang agama, saya senang menggunakan analogi sebuah rumah berbentuk kubah yang besar, mempunyai banyak pintu dengan teras (beranda) di masing-masing pintu. Mungkin sudah banyak teman yang mendengar cerita ini, tapi ijinkan saya mengulanginya. Dalam analogi itu, orang-orang senang berada di teras-teras pintu tersebut, duduk-duduk sambil mengagumi teras mereka sendiri-sendiri. Hampir dengan cara narsistik. Mereka lalu pamer keindahan teras ini kepada yang berada di teras lain sambil berkata:”Lihatlah terasku yang paling indah dibanding segala teras lain di muka bumi ini. Mari, bergabung dengan kami, karena hanya teras ini yang paling indah dan paling diberkati.”

Orang-orang yang duduk di teras sebelah juga pamer tentang hal yang sama, dengan cara yang sama. Demikian juga kelompok orang yang duduk di teras-teras lain. Mereka sangat menikmati keindahan teras masing-masing. Sayangnya, mereka tidak mau masuk ke dalam rumah besar itu, meski rumah itu adalah milik mereka bersama. Selama mereka ada di teras, mereka tidak dapat merasakan kebersamaan di dalam rumah.

Menurut saya, agama adalah teras-teras itu. Mereka memang berbeda satu sama lain. Agama juga berbeda, tergantung banyak faktor yang menciptakannya, seperti sejarah, tokoh utama, latar belakang budaya, waktu, tempat, dan juga dimensi mistisnya. Jadi, ungkapan semua agama sama saja, menurut saya keliru. Agama tidak sama, karena teras-teras itu juga tidak sama satu sama lain.

Yang sama adalah rumahnya. Rumah yang menjadi milik bersama. Rumah yang sebenarnya menjadi inti dari keseluruhan tempat tinggal. Teras hanya pintu gerbang untuk masuk rumah. Bila kita hanya duduk di teras tanpa masuk ke dalam rumah, maka kita akan tetap merasa berbeda. Kita terjebak dalam konsep kelompok, dalam konsep kebenaran semu karena tergantung dari dimensi empiris.

Cobalah masuk ke dalam rumah besar itu. Maka kita akan merasakan kebersamaan, karena kitalah pemilik rumah itu. Semua sama, karena semua adalah penghuni rumah besar itu. Komunikasi sebagai sesama pemilik rumah akan tercipta dengan baik, perbedaan akan hilang dengan sendirinya, dogma agama sudah lewat dan berada di belakang, karena begitu kita masuk rumah, teras sudah ada di belakang kita. Nafsu untuk lebih unggul dari lainnya menjadi tidak relevan lagi. Inilah tahap hakekat dari sebuah agama. Inilah sisi spiritual dari agama. Inilah kebenaran bagi semua makhluk, kebenaran yang melampaui kebenaran yang dogmatis. Di sini berlaku hukum ‘inter-beings’, hukum tentang inter-connectedness, tentang saling berhubungan satu sama lain. Sebuah hukum tentang ke-fitri-an makhluk dan semesta, bahwa di hadapan Allah semua sama. Hukum yang tidak membedakan saya dan selain saya. Tidak ada dualism, semua adalah satu dan satu adalah semua. Ini ada karena itu.

Saya memahami kehidupan seperti rumah besar itu, dan saya memahami agama seperti sebuah teras dari rumah besar itu. Selama anda berada di teras dan tidak mau masuk ke dalam rumah, maka anda akan hidup berkelompok dan merasa nyaman di dalam kelompok itu, namun sukar menyeberang ke teras lain karena segala kondisinya akan berbeda. Anda juga terjebak dalam aturan-aturan yang berlaku di teras anda sendiri, yang tentu tidak sama dengan aturan-aturan yang berlaku di teras lain.

Jadi, sudah saatnya ada keberanian untuk masuk ke dalam rumah. Apakah sinar matahari beragama Islam dan hanya menyinari orang Islam? Apakah hujan beragama Kristen dan hanya menyirami sawahnya orang Kristen? Apakah oksigen beragama Buddha dan hanya menghidupi orang Buddha? Molekul oksigen yang saya hirup dan menghidupi saya lalu saya kelurkan, dan dihirup orang Buddha dan menghidupi mereka, lalu di hirup babi dan menghidupi babi, lalu dihirup orang Islam dan menghidupi orang Islam. Begitu seterusnya. Tidak bisalah kita memisahkan oksigen yang haram dan halal, yang kafir dan yang bukan.

Jika seseorang sudah masuk ke dalam rumah, maka akan diperoleh kebebasan dalam dirinya, kedamaian dalam batinnya, dan pengetahuan tentang kehidupan yang jauh lebih luas, yang akhirnya membahagiakan hidupnya.