Rabu, 22 Juli 2009

Perjalanan Spiritual ke Baduy, 18 - 20 Juli 2009


Hari itu sehari setelah para pengecut meledakkan bom di JW Marriott dan Ritz Carlton. Di pelataran parkir motor Sarinah Thamrin, jarum jam sudah menunjukkan waktu 7:30, saat kami harus berangkat. Masih ada seorang peserta, dari ke 11 orang keseluruhan, yang baru muncul setelah 10 menit kemudian. Para pemandu sebetulnya ingin membatalkan perjalanan kali ini karena kurangnya peserta, namun dengan semangat bahwa acara ini adalah ‘temu darat’ dari kelompok cyber yang sesama mencintai perjalanan petualangan, maka rencana ke Baduy tetap dilanjutkan. Setelah berdoa bersama, dan melakukan ‘toss’, kamipun masuk ke mobil Elf biru, yang harus mengorbankan satu deret tempat duduk paling depan untuk tumpukan ransel dan berbagai peralatan seperti sleeping bags dan makanan.

Perkenalan antar peserta sudah dilakukan pada saat briefing seminggu lalu, dan pemandu kami kali ini terdiri dari Epoy, Bagol dan Kelik. Mereka bertiga sudah lebih sepuluh tahun bergaul dengan saudara2 di Baduy, dan banyak dikenal oleh kalangan “porter” atau orang-orang Baduy Dalam yang rumahnya sering dikunjungi para pelancong, sebut saja di Cibeo ada: Naldi, Sangsang, Karmain, Sapri, atau Narpa di Cikeusik. Rombongan terdiri dari mayoritas perempuan: Uti, Meniek, Oming, Joe, Yani, Rien, Neny, dan aku satu-satunya lelaki. Kami mempunyai persepsi yang sama bahwa kunjungan ke Baduy bukanlah wisata kultural semata, namun lebih kepada bertamu ke desa para saudara kita yang mempunyai adat yang masih kuat dijalani.

Sesuai dengan rencana, kami sampai di Pasar Karoya lewat tengah hari. Route yang diambil dimulai dari Cikeusik tempat kami rencana bermalam, lalu hari kedua perjalanan panjang akan kami tempuh melalui desa Cikartawarna Baru, dan Cibeo untuk makan siang, lalu diteruskan ke Gajeboh di Baduy Luar untuk bermalam. Hari ketiga kami tinggal menjalani sisa perjalanan sedikit dari Gajeboh ke Ciboleger dimana mobil kami sudah akan siap menunggu.

Setelah unload barang bawaan kami di huma kang Narpa, kami akhirnya memutuskan untuk bermalam di situ. Joe dengan sepasang mata arsiteknya yang jeli mengamati bentuk huma (gubug) kang Narpa yang menurutnya sangat arif. Bangunan yang rendah dimaksudkan untuk menjaga kehangatan diwaktu malam, serta disesuaikan dengan bentuk badan orang Baduy yang relatif lebih kecil dibanding manusia kota. Sebuah rumah adalah cerminan manusianya, demikian kata Joe. Bubungan atap yang ditutup ijuk mencerminkan kecerdasan, dan beranda yang tertutup atap luas menandakan kecerdikan untuk mendapatkan kesejukan pada siang hari. Demikian juga keseimbangan huma yang berdiri di tanah berkontur tetap terjaga melalui perhitungan konstruksi yang pandai.

Waktu selanjutnya kami lewatkan untuk berjalan-jalan di lembur (desa) Cikeusik yang hanya berjarak seperempat jam berjalan. Tidak lupa kami bawa sekantong manik-manik yang kami beli di Jakarta sebagai buah tangan buat para remaja di desa itu. Menyaksikan para remaja berkerumun saling membagi manik-manik, dan raut wajah mereka yang senang namun malu untuk mengekspresikannya, merupakan anugerah bagiku. Beberapa dari mereka menggenggam kantong-kantong plastik berisi manik-manik dengan erat, dan senyuman polos mereka tersembul dengan cantiknya.

Yani tidak kuasa menahan keinginannya mendatangi dua gadis kecil yang dari kejauhan memandang penuh rasa ingin tahu pada kerumunan teman-temannya, dan bermaksud mengajak mereka untuk bergabung. Namun dia diingatkan bahwa dia sudah melampaui tanda sebatang bambu besar yang digantungkan dari sebuah rumah ke rumah lain, yang ternyata adalah batas dimana orang luar Baduy tidak lagi diperbolehkan menginjak tanah di seberang bambu itu. Tanah itu merupakan ‘kompleks’ para pemuka desa, dengan rumah seorang Puun (ketua adat) di ujungnya. Teman kami surut ke belakang sambil minta maaf. Kami kembali ke huma ketika hari sudah menjadi gelap, dan dengan perut minta diisi. Makanan yang disiapkan Epoy menyambut kedatangan kami dengan baunya yang menggoda.

Lauk pauk sederhana kami nikmati menemani nasi ladang dari Baduy yang menjadikan paket itu sungguh nikmat, apalagi ditemani dengan semilirnya udara dingin yang mulai menggigit badan kami yang sudah kelelahan. Beberapa saat kemudian Jaro Nalim datang karena undangan para pemandu kam. Sebetulnya ingin kami temui di rumah beliau namun waktu itu sedang pergi. Sebuah kesempatan yang sungguh baik untuk bertemu dan berbincang dengan kepala desa yang diangkat secara adat oleh masyarakat setempat. Aku bergabung dengan beliau mencicipi sirih dan pinangnya. Semenit setelah kunyahan pertama, sensasi hangat di sekujur tubuh mulai terasa. Energi hangat menyebar ke seluruh tubuh, keringat keluar, dan kepala rasanya ringan. Kunyahan demi kunyahan terus menambah sensasi tersebut. Aku diam sejenak untuk kembali ke kondisi semula, lalu kuludahkan sirih di luar huma.

Jaro Nalim membuka diri untuk diajak berbincang tentang banyak hal, yang terkadang harus diterjemahkan oleh Bagol, salah seorang pemandu kami. Beberapa yang menarik dicatat adalah pengakuan bahwa Baduy mengalami perubahan, terutama dari pertumbuhan penduduk. Mereka menyadari hal ini. Tanah Baduy tidak pernah berkembang, namun penduduk berkembang sehingga tanah garapan terasa semakin sempit. Variasi hasil pertanian tidak banyak berkembang karena salah satunya adanya larangan untuk menanam jenis tumbuhan tertentu seperti singkong yang sebetulnya dapat menjadi alternatif sumber karbohidrat nabati, namun memang dapat merusak struktur tanah. Juga ternak kambing dan sapi ditabukan. Kami belajar banyak dari diskusi malam itu, meski ada pertanyaan yang sempat membuat Bagol tidak nyaman menerjemahkan ketika kami menanyakan apakah orang Baduy percaya kepada Tuhan.

Kang Naldi dan aku menuju sungai di lembah untuk mandi. Dalam gelapnya malam diterangi seberkas cahaya senter, ketelanjangan di alam bebas ternyata menjadi sebentuk rasa kebebasan. Setelah mandi, aku dan Yani menyempatkan diri untuk bermeditasi di halaman, beratap langit berbintang dan bulan yang baru membuat cahaya dalam sebentuk sabit, berselimut udara malam yang dingin menggigit dan diiringi nyanyian hewan malam. Kami menyatu dengan semesta di tanah suci itu. Malam itu kami lewati dengan tidur nyenyak seolah melepas kebekuan kaki dan badan kami setelah hampir lima jam meringkuk di tempat duduk mobil yang sempit itu. Kang Narpa mengiringi tidur kami dengan dentingan kecapinya, yang berkawat bekas rem sepeda motor. Dentingan yang sangat kontras dengan lembutnya desir angin malam, namun menjadi pelengkap yang mampu menambah kenyamanan dengkur kami.

Jam sudah menunjukkan pukul 6 pagi ketika Epoy membangunkan kami dari kelelapan. Di pagi yang berkabut itu kami akan ke pasar Karoya untuk mencoba mengambil gambar para gadis Baduy yang berbelanja. Di pasar orang banyak menjajakan segala keperluan harian masyarakat setempat, dari tembakau padat, ikan pindang sampai sampo dan golok. Seorang pedagang bisa mewakili sebuah supermarket. Kamera kami langsung mengincar gadis2 Baduy Dalam yang kebanyakan memakai baju blacu putih berselendang putih atau hitam, dan berkain hitam. Pria-pria baduy juga berbaju blacu putih atau hitam, berikat kepala putih, berkain hitam bergaris halus warna putih. Hanya ada dua warna, putih dan hitam, tidak ada warna lain atau warna diantaranya. Dua warna dasar yang kontras cerminan dua kutub ekstrim dalam kehidupan ini. Kesederhanaan yang justru merupakan simbolisasi keseimbangan hidup, sebuah penerimaan apa adanya terhadap kedua energi dalam fenomena kehidupan: hitam – putih, buruk – baik, salah – benar, panas – dingin, yin dan yang.

Warna lain sedikit muncul dalam hiasan gelang tangan, kalung di leher yang berupa untaian manik-manik beraneka rupa dan warna. Demikian juga pada gincu di bibir para gadis muda itu. Aneka warna asesori berlatar belakang hitam dan putih seolah mencerminkan aneka warna fenomena kehidupan yang muncul di atas sifat dasar kehidupan berupa kutub energi yang berseberangan.

Gadis-gadis muda yang berbelanja di hari pasar yang hanya ada di setiap hari Minggu itu seolah menghadiri sebuah pesta, mereka bersolek dengan sungguh-sungguh cantik dan menarik. Perpaduan antara perilaku yang lugu, malu-malu, dan pakaian sederhana putih dan hitam, dengan gincu merah, bedak cukup tebal, hiasan manik-manik berwarna-warni, sungguh merupakan pemandangan yang eksotis. Aku merasa berada di sebuah negara yang jauh dari Indonesia. Frame demi frame foto kami habiskan di pasar Karoya yang menyajikan pemandangan eksotis itu.

Hampir menjelang tengah hari kami kembali ke Cijahe, tempat kami sarapan bersama. Sewaktu kami ke pasar, beberapa orang Baduy dan Epoy mengatur sarapan dan membawa semua perlengkapan kami ke Cijahe. Sarapan pagi itu terasa enak sekali, meski berupa paduan sederhana antara telur bumbu kecap dan mie goreng instan dan nasi. Epoy sungguh kreatif membuat perpaduan makanan dari bahan sederhana yang tersedia. Setelah pamit ke kang Narpa, kami melanjutkan perjalanan ke desa Cibeo, melewati Batu Beulah dan Cikartawarna Baru. Batu Beulah merupakan pusat pembuatan golok, dan aku membeli salah satunya.

Perjalanan selanjutnya merupakan episode yang menarik, sebuah simponi alam yang lengkap. Ada tanjakan maupun turunan, hutan maupun ladang, jalan licin berkerikil lepas maupun berbongkah batu, panas terik yang menguras keringat maupun gemericik sejuknya pancuran dan aliran sungai yang jernih bebas dari pencemaran. Sebuah perpaduan hitam dan putih, seperti disimbolkan dalam pakaian mereka.

Satu jam lewat tengah hari, kami tiba di Cibeo, desa di mana kang Naldi, Sangsang dan Sapri berasal. Beberapa teman langsung tergolek di dalam rumah kang Sangsang. Beberapa memutuskan untuk mandi di siang itu untuk mendinginkan panasnya tubuh karena sengatan matahari di sepanjang perjalanan tadi. Epoy kembali sibuk menyiapkan makan siang yang kali itu merupakan paduan antara sayur asem, kentang keripik pedas dan ikan asin goreng tipis. Kembali juru masak kami menunjukkan kepiawaiannya dalam memilih paduan menu, yang mampu membuat kami makan seperti berbuka setelah puasa dua hari tanpa henti. Hal menarik yang aku amati adalah volume nasi yang ekstra besar yang selalu menjadi menu setiap orang Baduy, setiap kali makan. Meski lauk tinggal sesendok, mereka bisa melengkapinya dengan nasi tigapuluh sendok. Nasi yang merupakan satu-satunya sumber karbohidrat nampaknya menjadi asupan utama untuk menjadi bahan bakar bagi mobilitas orang Baduy yang dilakukan hanya dengan berjalan kaki.

Sekitar jam tiga sore, kami mulai perjalanan episode kedua, ke arah Gajeboh yang jaraknya sekitar tiga jam perjalanan normal. Kondisi badan kami sudah berkurang sekitar 50%, sehingga sisa tenaga harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Pemandangan sepanjang perjalanan rasanya lebih indah dari episode sebelumnya. Barangkali karena matahari sudah mulai mengurangi intensitas panasnya, sehingga cuaca menjadi lebih bersahabat. Namun juga karena kami banyak melewati rimbunnya hutan. Paling tidak dua tanjakan merupakan jalur panjang non-stop dengan sudut sekitar 30 derajat. Dua turunan juga merupakan jalur panjang serupa. Tanjakan dan turunan, hitam dan putih.

Kami menyeberangi jembatan untuk masuk di Gajeboh sudah lepas maghrib, dan langsung menuju rumah Ceu Rokayah yang merupakan rumah terbesar di Gajeboh, karena suaminya bekerja sebagai pengepul barang kerajinan dari berbagai produsen di Baduy Luar. Setelah melepas lelah, mandi di sungai, kamipun berkumpul untuk mengadakan evaluasi perjalanan ini. Hampir semua mengamini bahwa segala sesuatunya berjalan lancar, dan para pemandu kami merupakan orang yang cocok karena banyak dikenal di kalangan keluarga porter di Baduy Dalam. Misalnya, pertemanan Bagol dengan beberapa orang Baduy yang menyertai kami, seperti kang Naldi, sudah berjalan dua puluh tahun, dan Epoy-pun sudah dikenal sejak lima belas tahun lalu.

Malam itu aku tawarkan sesi meditasi. Beberapa tertarik untuk mencoba: Epoy, Bagol, Rien, Neny, Yani dan aku. Malam semakin gelap ketika kami selesai meditasi, namun Rien, Neny dan Yani tetap terjaga dan terlibat dalam diskusi banyak hal tentang kehidupan. Hampir tengah malam diskusi baru berhenti. Sejenak kemudian Oming bangun dan mengeluh dada serta tenggorokannya sakit, dan tidak bisa tidur. Minyak telon terus digosokkan namun nampaknya tidak mengurangi rasa sakitnya. Aku menjadi khawatir, lalu kutawarkan terapi pijat refleksi, dan dia mengangguk mengiyakan. Hampir satu jam dia terus mengerang, meringis dan mengatupkan bibir menahan sakit ketika bagian-bagian tertentu kakinya kusentuh. Bajunya basah karena keringat dan pipinya basah karena air mata. Selewat tengah malam, baru dia bisa tidur untuk beberapa jam dan segar kembali di keesokan harinya.

Ternyata Joe juga mengeluh sakit kepala yang sangat, sampai semalam tidak dapat memicingkan mata. Pagi itu kembali aku buka praktek refleksi untuk Joe, yang juga hampir satu jam bergoyang kesana kemari menahan sakit. Setelah itu dia merasa agak baikan. Sarapan pagi itu berupa nasi dan dendeng ikan serta mie instan rebus. Menu yang selalu menarik komposisinya, dan selalu tandas pada akhir ritual mengisi perut. Setelah itu, warung kerajinan Ceu Rokayah dibuka dan acara belanja kain dimulai. Setelah acara buka dasar kain bak di Tanah Abang selesai, kamipun berkemas untuk menuju pos terakhir, Ciboleger.

Perjalanan episode terakhir sekitar satu setengah jam ternyata tidak juga lebih ringan. Tanjakan non-stop lebih setengah kilometer kembali kami temui, hanya bedanya, di tengah tanjakan ada penjaja yang menawarkan minuman dingin. Uti adalah peserta terakhir yang sampai di ujung tanjakan, dan kami bersama-sama menyemangatinya agar terus maju. Sisa-sisa tenaga kami kuras untuk mencapai Kaduketug, dimana kami secara resmi berpamitan dengan para pemilik rumah yang kami kunjungi, pendamping, porter, teman bercanda, sekaligus guru-guru kami, dan saudara-saudara kami yang baru, orang-orang Baduy.

Sekitar tengah hari, Elf biru membawa kami keluar dari terminal Ciboleger, keluar dari sebuah peradaban unik yang tidak banyak tersisa di muka bumi ini, kembali ke peradaban yang kami anggap normal, modern, praktis, dan jauh lebih berwarna bukan sekedar hitam dan putih. Peradaban yang kami semua agungkan sebagai sebuah dunia yang maju, namun penuh dengan segala konsekuensi “kemajuan” yang ada, seperti pembunuhan sesama manusia yang baru kita saksikan dalam bom bunuh diri, penghancuran lingkungan dan sumberdaya alam, polusi, krisis ekonomi global, permainan politik, tindak kriminal, kekerasan, narkoba, dan segala jenis komplikasi kehidupan yang penuh aneka warna.

Bagiku, orang-orang Baduy yang mendasarkan hidupnya pada warna hitam dan putih, kesederhanaan falsafah hidup, merupakan sebuah “kemajuan” pada dimensi lain di kehidupan ini. Keteguhan pada aturan adat, ketahanan terhadap berbagai stimuli dari dunia luar, dan konsistensi pada perilaku, mengajarkan banyak kearifan hidup yang seringkali perlu direnungkan. Aku kembali masuk ke Baduy untuk kedua kali ini barangkali merupakan manifestasi sebuah kerinduan, sebuah kebutuhan seorang manusia untuk mengenali kembali dimensi-dimensi dasar kehidupan: hitam dan putih, yang menyatu pada simbol di seperangkat pakaian. Kerinduan akan hadirnya guru alam, yang mampu memberikan gambar kearifan bagaimana seharusnya manusia berhubungan dengan ibunya, dengan alam semesta, secara apa adanya.

Agenda di hatiku sudah tercatat untuk sekali waktu kembali kepada saudara-saudaraku dan guru-guruku di pedalaman Baduy sana: Narpa, Karmain, Sapri, Naldi, Sangsang, Jaro Nalim ….

Agus Widianto
23 Juli 2009

Minggu, 05 Juli 2009

Cinta dan Perkawinan

"
‘qt ktmu jm 3, aq di kamar 205’

Sms itu aku kirimkan kepadanya. Aku kebetulan datang di kota itu, dan aku ingin sekali ketemu dengannya. Sudah hampir dua minggu aku kontak dengannya melalui telpon dan sms, namun belum pernah bertemu secara fisik. Awalnya terjadi ketika aku harus menelpon teman kerjaku yang baru, Widarti, untuk minta berkas-berkas pengiriman para TKI agar dapat diserahkan ke kantor pusat paling lambat pertengahan bulan Juni ini. Karena aku tidak punya nomor telponnya, aku minta kepada sekretaris kantor Pusat. Ketika nomor telpon pemberian sekretaris itu aku putar, tak terduga yang menjawab seorang lelaki. Lelaki itu mengaku bernama Wibowo. Ke-salah-an ataupun ke-betul-an dalam hidup, tergantung dari mana memandangnya, terkadang terjadi dengan aneh.

Empat tahun lalu suamiku yang mengawiniku secara siri, menceraikanku, atau lebih tepat, meninggalkanku begitu saja. Tidak ada proses perceraian secara hukum negara, karena perkawinan siri bukan urusan negara, tapi urusan pada tingkat paling bawah yang keabsahannya bisa menjadi sangat situasional. Dua tahun bersamanya seperti sebuah mimpi yang merupakan rangkaian cerita roman picisan. Dia sudah beristri, dan menjadi istri ‘siri’nya harus pandai-pandai menguasai diri, pandai-pandai mengatur waktu untuk menyalurkan hasratku dan terlebih hasratnya. Barangkali benar bahwa perkawinan ‘siri’ dibuat untuk sekedar menyalurkan hasrat dasar manusia, hasrat menikmati hubungan perkelaminan. Sebuah hasrat yang mustahil disalurkan dengan terbuka karena dianggap sebagai sebuah dosa, sehingga perlu dibungkus dengan kemasan berbau agama untuk mempunyai kekuatan keilahian yang dianggap mengubahnya menjadi halal. Absurditas, kemunafikan, dan kedangkalan pemahaman bergabung menjadi satu, dan lunas diganti dengan beberapa lembaran rupiah bagi tokoh pengabsah. Meski aku mempunyai pandangan seperti itu, namun aku jalani juga perkawinan itu, karena kebutuhanku untuk dukungan moral dan material dalam membesarkan anak-anakku.

Cerita roman picisanku dengannya memang akhirnya hanya seputar birahi, seputar ranjang, permainan petak-umpet menghindari pelacakan istri sahnya, dan manipulasi rasa yang ada diantara dua kutub: kebencian dan kerinduan. Benci karena dia bukan sepenuhnya milikku yang seharusnya memberikan segala waktu dan perhatiannya padaku, namun menjadi sebuah kemewahan yang mustahil kudapatkan. Banyak waktu dimana aku membutuhkan kehadirannya, namun dia tidak dapat memenuhinya. Rindu karena setiap kehadirannya mampu mengisi kesepianku dalam menjanda lebih dari dua tahun, setelah suamiku yang pertama kuceraikan akibat memelihara perempuan sialan yang akhirnya hubungan mereka kupergoki di sebuah hotel di kota besar dekat desaku itu.

Dua tahun sudah aku kembali menjanda setelah berakhirnya romanku dengan suami siriku. Kerinduanku akan belaian, pelukan dan pemenuhan hasratku kembali menggantung dalam kehidupanku. Sebuah kerinduan akan kehidupan yang dulu pernah aku nikmati sehingga membuahkan dua anak2ku yang sekarang kupelihara dengan sepenuh hati meskipun semakin hari menjadi semakin tidak mudah. Namun begitu, keduanya adalah bagian sejarah hidupku, keduanya adalah kepingan kebahagiaan yang dulu pernah aku nikmati bersama suamiku yang pertama. Sekarang sering aku gugat hidupku yang lalu, benarkah keduanya adalah keping kebahagiaan, atau keduanya adalah akibat dari pemenuhan hasrat alamiah kami berdua. Seandainya mereka adalah buah dari kebahagiaan, mengapa sekarang terasa menjadi beban yang harus aku pikul sendiri? Benarkah kebahagiaan dapat berubah menjadi beban dan bahkan derita sejalan dengan waktu? Adakah kebahagiaan hidup yang abadi? Dimanakah keadilan dalam berbagi kebahagiaan dan beban hidup pada sepasang suami istri?

Janjian ketemu dengannya sekitar setengah jam lagi. Sempat kurenungkan awal kenalanku dengannya. Kesalahan nomor telpon akibat kecerobohan sekretaris kantor pusat. Namun dalam beberapa kali pembicaraan telpon dengan Wibowo, aku dapat merasa sebagai seorang perempuan yang terisi kembali kebutuhan hidupku. Entah kenapa kekosongan batinku dapat sejenak terpenuhi dengan sesuatu yang aku sendiri tidak pahami, namun terasa nyaman. Aku belum pernah bertemu dengan Wibowo, dan aku tidak banyak tahu tentang kehidupannya. Namun setiap kata yang diucapkan dalam telpon terasa memberi energi yang membuatku hanyut dalam sebuah aliran yang terasa sejuk, penuh, dan nyaman.

Aku sedikit kaget ketika kudengar ketukan di pintu kamarku. Kubuka pintu kamar hotelku, dan kudapati seorang pria setengah baya, dengan rambut tersisir ke belakang dengan rapi, beberapa helai uban terlihat kontras dengan rambut hitamnya. Jalur-jalur uban itu seolah memberi aksen yang kontras, putih di atas hitam, sebagai alur yang seolah menunjukkan kebijaksanaan. Badannya sedikit lebih tinggi dari padaku, perawakannya tegap untuk pria seumurnya. Wajahnya tidak terlalu tampan namun cukup menarik. Sore itu dia mengenakan kemeja kerja dan menjinjing sebuah tas sederhana yang nampak berat yang kuduga berisi komputer jinjing.

Aku persilahkan dia masuk, dan sambil duduk di tempat tidur ukuran king-size, obrolan sedikit demi sedikit mulai mengalir. Udara pengap di kamar mulai mencair dan membebaskan rasa. Kesesakan hatiku karena berbagai gambaran dan keinginan untuk bertemu dengan pria ini pelan-pelan menguap dan kamar terasa menjadi jauh lebih luas menembus dinding-dinding bercat coklat muda itu. Ada kehangatan yang menyeruak ke dalam tubuhku, mengurangi dinginnya ruangan akibat pengatur suhu. Kehangatan yang rasanya sangat intim, sangat tidak asing, yang bahkan menjadi bagian dari diriku yang pernah hilang beberapa tahun terakhir ini.

Obrolan santai mulai merambah pada kehidupan pribadiku dan kehidupan pribadinya. Suasana menjadi sangat cair, menjadi sangat akrab, dan aku sangat tergoda untuk memeluknya agar rasa nyaman ini tidak hilang, agar kehangatan ini menjadi sebuah kenyataan, agar energi ini menyatu dengan diriku. Hasratku untuk memilikinya menjadi semakin kuat. Kamipun lalu bercinta. Segenap kegairahanku yang tadi kurasakan berdesakan di seluruh pintu pori-pori kulitku, kini seolah seluruh pintu itu terbuka sehingga sel-sel gairahku terbebaskan dan menari dengan semakin liar. Tarian itu saling bersambut dan diakhiri dengan sebuah rasa kepuasan yang memenuhi seluruh saraf paling primitif dalam tubuhku.

Rasa lapar menyergapku setelah aku membersihkan diriku. Aku ajak Bowo, begitu dia minta dipanggil, ke bawah untuk mencari makanan. Sambil menikmati bakmi sederhana di warung dekat hotelku, kami berbincang banyak. Rasanya tidak ada lagi tembok penghalang dalam komunikasi kami, segala batasan runtuh bersama gelegak nafas kami di kamar tadi. Pembicaraan berbagai topik banyak membuka batinku, karena seperti anggapanku pada saat perkenalan dengannya melalui telpon, Bowo mempunyai sesuatu yang tidak semua orang miliki. Aku rasa itu karena dia mempunyai sebuah keluasan cakrawala pandang tentang berbagai sendi kehidupan ini, yang bebas menembus segala dogma dan kaidah umum, bahkan akidah agama yang kuimani. Sebuah dimensi yang menarik dan baru buat pemahamanku yang sederhana ini.

Salah satu yang sampai kini membekas di kepalaku adalah pandangannya tentang cinta dan perkawinan. Kami sempat berdebat, ketika kukatakan bahwa aku jauh lebih tahu tentang perkawinan dan cinta daripada dia karena sudah pernah dua kali kawin, dengan dua cara yang berbeda. Aku seharusnya lebih berpengetahuan dan berpengalaman daripadanya. Namun pendapatnya tentang cinta dan perkawinan mampu meruntuhkan seluruh bangunan pemahamanku. Menurutnya, mencintai orang lain sebenarnya mencintai diri sendiri. Menurutnya sangat jarang perkawinan yang dilandasi oleh rasa cinta yang selalu kita idolakan dan kita fantasikan. Fantasi keindahan cinta hanya ada di buku-buku novel, katanya. Menurutnya lagi, perkawinan sebenarnya hanya sebatas sebuah janji, yang karena takut tidak ditepati, lalu diberi embel-embel suci, sehingga menjadi janji suci. Aku terperangah, dan mengingat bahwa kedua perkawinanku yang berantakan, pernyataannya menjadi sangat masuk akal. Dimanakah kesucian sebuah perkawinan? Gugatanku kepada perkawinanku kembali tergambar jelas dalam benakku.

Mencintai orang pada dasarnya adalah mencintai diri sendiri. Kata-katanya membuatku menegangkan seluruh saraf pendengaranku untuk menangkap pesannya lebih lanjut. Jika aku mencintai dia, katanya, maka aku hanya mencintai rasa yang kudapatkan darinya ketika dia berada di dekatku. Aku hanya mencintai energi yang diberikannya kepadaku, yang membuatku merasa nyaman, merasa penuh, utuh, dan lebih hidup. Rasa itu yang aku cintai, dan kupertahankan dengan segenap cara, yang sering juga disebut pengorbanan, agar rasa itu tidak hilang. Dia adalah sumber energiku. Ketika sumber itu meredup karena berbagai hal, misalnya mengalihkan tujuannya kepada orang lain seperti yang dilakukan oleh suami pertamaku, maka aku merasakan kehilangan, merasakan ketimpangan, ketidakseimbangan yang sangat tidak nyaman. Kurasa dia ada benarnya.

Esoknya, aku harus kembali ke kota kecilku. Dalam perjalanan pulang, pengalaman singkat bebrsama Bowo kemarin ternyata sangat membekas dalam hatiku. Tidak hanya kesenangan yang telah kudapatkan, namun juga pemahaman baru yang dia berikan. Rasanya aku kembali berenergi dan mampu melangkah dengan ringan. Aku merasa nyaman. Barangkali, rasa seperti ini yang dia maksudkan, ketika rasanya aku mulai mencintai Bowo.

Peristiwa kebetulan dalam sebuah kehidupan dapat terjadi di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja, seperti terjadi padaku seminggu lalu itu. Tapi, adakah kebetulan dalam hidup ini? Betulkah Bowo datang begitu saja dalam hidupku? Ataukah dia membantuku memahami kegagalan perkawinanku yang selama ini menjadi beban yang semakin berat dalam menghadapi hidupku? Benarkah dia membantuku memahami kehampaan hidupku, dan memberikan petunjuk bagaimana mengatasinya? Rasanya, masih, aku inginkan sumber energi itu selalu berada di dekatku …

Sumedang - Jakarta, medio Juni 2009