Sabtu, 17 Oktober 2009

Hari Yang Istimewa

Siang itu segala urusan pekerjaanku di kota ini sudah selesai. Setiap aku pergi ke kota ini, selalu kurasakan adanya dorongan yang kuat untuk mencoba bertemu dengannya. Dia masih tinggal di kota ini, dan sekarang menduduki jabatan yang cukup tinggi di sebuah bank swasta internasional. Dorongan itu lebih merupakan kerinduan, atau barangkali masih merupakan kemelekatan, akan masa-masa yang kuanggap sangat berpengaruh dalam kehidupanku. Masa sudah lebih dari 30 tahun lalu.


Dia kuanggap kekasih pertamaku, yang waktu itu benar-benar kucintai. Akupun merasa bahwa dia mempunyai anggapan yang sama. Memang tidak sedikit teman perempuan yang pernah singgah dalam hidupku, namun yang satu ini lain. Dulu, masih kuingat selalu kurasakan ada energi yang sama dan mampu menyambung dua batin kami, sehingga setiap pertemuan dengannya selalu menimbulkan rasa nyaman. Memori tentang kenyamanan, kenikmatan, terkadang bisa secara traumatik berada dalam ingatan untuk jangka waktu yang lama. Sekarang setelah masa lama itu kami lalui, kami hidup dalam dunia masing-masing, dalam ikatan keluarga masing-masing, namun rasa yang timbul dari masa lalu itu tidak mudah hilang, meski barangkali sudah bertransformasi menjadi sebuah bentuk kasih yang jauh lebih longgar. Bukan sebuah bentuk cinta yang ingin memiliki dan menguasai secara fisik, ataupun bentuk keinginan seksual semata.


‘bagaimana kalau ketemu di kantorku di …’ dan disebutlah sebuah jalan besar di kota ini. Langsung sms itu aku jawab ‘ya’ dengan sukacita. Beberapa kali aku ke kota ini dan setiap kali pula, wajah yang dulu sangat kukenal itu selalu maujud dalam pikiran. Masa lalu yang menempati salah satu dari banyak sudut pikiranku ini tidak mau juga lepas begitu saja dan menghilang dalam lubang hitam ingatan berupa lupa. Barangkali karena aku tidak mau kehilangan ingatan tentangnya itu.


Waktu sudah agak sore, hujan sedikit membasahi jalanan kota ini, ketika aku masuk ke parkiran kantornya. Setelah dipersilahkan duduk oleh resepsionis, aku menunggu dengan berbagai pikiran yang muncul silih berganti. Masih samakah penampilannya dengan dia dulu yang kukenal, masih ingatkah dia denganku yang secara fisik sudah banyak berubah ini, bagaimana reaksi ketika kami ketemu nanti, aku berharap ada acara cium pipi, … dan semua fantasi yang berebut menyeruak keluar menjadikan kepalaku sungguh berisik. Kudiamkan pikiran-pikiran ini, hanya kuamati dan aku sadari keberadaan mereka. Lalu pelan-pelan aku alihkan, dan aku mulai mengamati detil ruangan besar tempat tamu menunggu ini, dimana aku duduk di salah satu sofanya yang lembut dan suhu ruangan yang mampu membuatku bersedekap menahan dingin. Sebuah bank internasional yang menunjukkan kekuatannya, terekspresikan dalam pilihan unggul perangkat dan desain keseluruhan di ruangan ini.


Rasanya waktu bergerak terlalu lambat. Namun tidak lama kemudian, muncullah sosok yang pada awalnya hampir tidak kukenali karena tidak tertangkap detilnya, mungkin karena jarak yang agak jauh dan pandanganku tidak lagi sempurna. Tergopoh dia jalan ke arahku, dan baru kemudian tertangkap beberapa elemen wajah yang sudah aku kenal dengan baik. Aku berdiri menyambut uluran tangannya yang bersih dan kulihat ada beberapa cincin di beberapa jarinya, baik di tangan kanan maupun kiri. Jam di tangan kanannya sepertinya jam yang mahal. Ada dua gelang batu di tangan kirinya. Jabat tangan itu tidak terlalu keras, namun kurasakan kehangatannya. Aku menduga bahwa itu adalah sebuah jabat tangan yang sering dilatih untuk seorang pejabat yang sering bertemu dengan client. Terlepas dari dugaanku, aku menikmati genggamannya.


Kami duduk di salah satu dari tiga ruang rapat seperti akuarium berbentuk segi enam, dan dia menawarkan minuman. Dari caranya minta minuman ke office girl yang sangat deskriptif dan detail untuk menyebut ‘kopi hitam tanpa krim’, menunjukkan sikapnya yang perfeksionis, dan sedikit ada kekuasaan yang ditunjukkan, meski semuanya disampaikan dalam tata bahasa dan kosa kata yang sangat sopan.


Kuamati sosok istimewa di depanku ini. Rambutnya jauh berbeda dari yang aku imajinasikan sebelumnya. Ada sedikit tone buatan warna kemerahan, bentuknya rapih, lurus tidak lagi keriting, dipotong pendek, seperti layaknya rambut perempuan modern masa sekarang, namun entah mengapa aku merasakannya sebagai menjadi agak kaku dan ada kesan kurang bebas. Pada awal-awal pembicaraan, matanya tidak pernah menatapku lama-lama. Mata yang dulu kukenal. Hidungnya yang agak besar dan mancung masih juga kukenal. Wajahnya bersih dan terawat dengan sangat baik. Di bawah matanya sudah mulai nampak garis samar kantung tanda kelelahan, barangkali juga usia yang seingatku berada di awal empatpuluhan. Bibir itu yang masih melekat dalam ingatan, kini disaput pemerah warna muda, namun masih mengingatkanku pada saat pertama kami berciuman. Malam itu aku menyanyi sepanjang jalan pulang ke rumah ..


Tanpa diminta dia lalu mengakui badannya agak gemuk, pernyataan ini keluar begitu saja mungkin sebagai sebuah reaksi kegelisahan, karena aku terus mengamatinya. Saat itu tidak ada kaidah tatakrama dalam benakku dalam cara memandang wajah seseorang, yang ada hanya keinginan untuk menatapnya lekat. Barangkali dia merasa gerah dipandang lekat, karena mulai kurasakan ketidaknyamanannya. Namun aku tidak mau kehilangan kesempatan baik ini, dan ingin terus mengamati detil wajahnya, dan tubuhnya. Sebuah wajah yang selama ini terkadang muncul dalam kesadaranku, mewakili sebuah masa cukup panjang dalam segmen kehidupan masa laluku. Sebuah kenangan yang diam-diam menempati batinku sekian lama. Kesempatan itu kucoba manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Saat-saat itu seolah sejenak menenggelamkanku ke sebuah kolam yang mampu menggelitik permukaan pikiran melalui sensor penglihatanku. Ruang segi enam dan kantor besar itu menjadi kabur, hanya ada sebuah lingkaran energi yang menyambung antara kami berdua. Aku sungguh merasa nyaman, sebuah kenyamanan yang tidak asing bagiku, yang dulu pernah kualami.


Barangkali karena semakin kurasakan kegelisahannya, pelan-pelan aku coba sadari keberadaanku di ruangan itu, dan kulepaskan segala pikiran yang ramai mewarnai benakku. Suasana rasanya menjadi lebih rileks dan longgar. Aku samasekali tidak bermaksud untuk mendominasi pertemuan ini dengan mencoba menggenggamnya kembali. Kesadaran itu membuatku membiarkannya berada dalam kebebasan yang mengurangi kegelisahannya.


Kami lalu terlibat dalam pembicaraan yang lebih banyak pada kondisi sosial masyarakat sekarang. Tidak ada pembicaraan tentang masa lalu. Dia tidak mulai dan akupun tidak tertarik untuk membicarakannya. Suasana yang semakin longgar itu aku coba nikmati dengan baik. Aku menikmati kehadirannya di satu ruangan bersamaku, hanya berbatas sebuah meja. Aku larutkan diriku, pikiranku dan batinku dalam suasana yang terbangun, dan kurasakan semakin lama dia merasa semakin ringan dan lepas dari kekakuan yang ada di saat-saat awal pertemuan kami tadi. Sosok yang pernah kukenal ini kembali lagi dalam suasana yang rasanya sama dengan masa lebih dari tiga puluh tahun lalu itu. Dia masih menarik, hampir dalam segala hal.


Topik demi topik mengalir dengan lebih rileks. Karena permintaanku, dia tunjukkan foto anak perempuan satu-satunya yang berada di telpon genggamnya. Sejenak aku tenggelam dalam foto itu. Wajah yang cantik, namun menurutku tidak banyak unsur wajah ibunya yang menurun kepadanya. Barangkali anak ini lebih mirip ayahnya. Pasti ayahnya tampan. Topik demi topik pembicaraan terus berganti, misalnya dia mengaku membaca buku tentang berbagai agama, tentang korupsi, nilai-nilai masyarakat, dan sebagainya. Sampai setelah hampir satu jam, dia mulai melirik ke luar ruangan beberapa kali. Aku menyadari bahwa waktuku berbincang dengannya sudah selesai. Diapun mengatakan sudah sedikit korupsi waktu kerja. Sebuah indikasi profesionalisme dan loyalitas. Aku pamit, dan dia mengantarku sampai pintu ke luar. Tidak ada ciuman di pipi yang masih kuharapkan, hanya sebuah jabat tangan erat untuk perpisahan hari itu. Aku tersenyum memahami kekecewaanku.


Keesokan harinya, aku merasa jauh lebih ringan. Sebuah energi bernama “keinginan bertemu dengannya” sudah mulai terlepas. Energi yang berbentuk rasa penasaran, fantasi, imajinasi, sudah terpenuhi dan terlepas dengan sendirinya. Pertemuanku dengannya merupakan momen yang istimewa bagiku. Sebuah momen yang membawaku ke masa lalu yang tersimpan dalam ingatan, dan menggugah rasa yang masih ada, rasa nyaman ketika bersamanya. Namun juga menjadi istimewa karena melepaskanku dari pelukan energi yang penuh dengan imajinasi. Yang tertinggal adalah sebuah rasa yang tidak ingin menguasainya, sebuah rasa yang hanya mendekatinya, mengasihinya, tidak lebih dan tidak kurang. Aku senang dengan rasa ini.


Aku berterimakasih kepadanya karena memberiku waktu untuk bertemu dengannya. Aku biarkan rasa kasih ini tetap berada dalam batinku, dan membiarkannya tetap berada dalam sebuah ikatan energi semesta, agar ikatan batin ini menjadi lebih bebas, tidak harus saling memiliki dan menjadi dominatif, sehingga tetap terjaga keindahannya.


Terimakasih kekasihku ..



Menara BII Thamrin, Pain de France Café

13 Oktober 2009