Kamis, 05 November 2009

Manunggaling Kawula Gusti dan Mekanika Kuantum

Siti Jenar, para sufi, dan banyak pelaku spiritual mengatakan bahwa "manunggaling kawula Gusti", manunggalnya manusia dan Allah, wihdatul wujud (atau ada yang bilang wihdatul tauhid), merupakan sebuah pencapaian dalam hidup yang sudah seharusnya, meski banyak orang menganggap “ilmu” ini berada pada tataran yang "tinggi", karena dianggap berada dalam tataran hakekat, bukan lagi di tataran syariat.

Dalam Islam, ada yang disebut sebagai tingkatan-tingkatan ilmu surgawi, misalnya pada mashab Nakshabandiyah (Naqshbandi Muhibeen), yang terdiri dari tingkatan (dari yang paling rendah ke yang paling tinggi): syariat, tarikat, makrifat, dan hakikat, lalu ada azimat. Derajat ketinggian ilmu ini dapat dilihat dalam huruf Arab: “Allah”, dimana huruf Aliff berdiri sendiri dan lam-lam-ha menyatu. Dalam syariat, Allah masih berada di luar lam, di situ dipelajari bahwa Allah adalah Pencipta dan Muhammad adalah rasul Allah. Allah adalah awal dari segala yang ada. Pada hakikat ada pertemuan antara Lam dan Aliff, dimana dipelajari realitas Sayidina Muhammad yang merupakan Lam sebagai perwujudan dari Aliff. Dan akhirnya, pada Azimat dipelajari bahwa Aliff membuka dan menjadi, dimana tidak ada awal dan tidak ada akhir, seperti sebuah lingkaran, alpha dan omega menyatu.

Terlepas dari tingkatan-tingkatan itu, banyak diantara orang Islam yang rata-rata mengatakan bahwa hakikat, ataupun ajaran sufi, adalah ajaran tinggi yang hanya dipelajari oleh orang-orang yang hidupnya hanya untuk Allah. Mereka selalu bilang, “saya kan masih orang biasa, ilmu saya belum sampai ke sana, masih dalam tataran syariat. Para sufi itu kan orang yang sudah dapat membuka rahasia alam, sehingga di banyak hal ajaran mereka tidak boleh disebarluaskan”. Jawaban seperti ini sangat tipikal. Ketika ditanyakan lebih lanjut misalnya, bukankah untuk menjadi “manusia biasa” kita harus memahami rahasia alam? Bukankah untuk melihat secara "apa adanya" di dunia ini, kita harus memahami hakikat semesta, bahwa fenomena adalah perwujudan dari “Allah”? Jadi, bukankah seharusnya hakikat-lah yang diajarkan agar kita menjadi manusia biasa, bukannya sekedar syariat yang lebih banyak mengatur bagaimana manusia bersikap dalam hidup ini?

Dalam mekanika kuantum, ada beberapa hal menarik yang agaknya nyambung dengan manunggaling kawula-Gusti ini. Mekanika kuantum merupakan ilmu yang mencoba mempelajari dunia sub-atomik. Banyak hal terungkap bahwa misalnya, pandangan atom sebagai dasar keberadaan segala sesuatu di dunia ini ternyata sampai sekarang tidak dapat dipahami oleh manusia. Tidak ada seorangpun yang pernah melihat atom. Apalagi dunia sub-atom yang masih berupa imajinasi para ilmuwan.

Mengikuti pandangan-pandangan para ilmuwan tentang dunia per-atom-an ini, melalui teori-teori yang dikembangkan, akhirnya bermuara pada pendapat bahwa “realitas” di luar tidak berdiri dengan sendirinya. Manusia sebagai pengamat mempengaruhi segala bentuk dan pemahaman tentang “realitas” dunia luar. Alat observasi kita merupakan portal hubungan antara obyek yang diamati dan subyek pengamat. Tanpa ada pengamat, realitas tidak ‘meng-ada’. Sehingga, kitalah sebetulnya yang menciptakan realitas itu. Jika realitas di luar kita beri judul ‘dunia’, maka kitalah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Manusia bukan lagi menjadi bagian dari dunia, tapi sebagai Pencipta.

Sebagai pencipta realitas, apakah kita Tuhan?

Sebagaimana dikatakan oleh Siti Jenar, akulah Allah?

Inikah yang dimaksud dengan manunggaling kawula gusti?

Pada pemahaman azimat, bahwa Aliff membuka dan menjadi, dimana tidak ada awal dan tidak ada akhir, seperti sebuah lingkaran, alpha dan omega menyatu?

Pertanyaan seperti itu seharusnya disampaikan dengan lirih, karena masih banyak di luar sana yang mendengar dan lantas menghakimi: “… itu hujatan, dosa, murtad …”


Sebuah renungan malam hari,
Jakarta, 5 Oktober 2009