Rabu, 17 November 2010

Konsep Kematian

Aku datang ke rumahnya lepas tengah hari. Kulihat dia masih sibuk menyalami para tamu yang datang, dan ketika melihatku mendekat, dia memelukku erat-erat. Kubisikkan kata-kata seadanya yang muncul begitu saja di kepalaku: "tetap tabah ya" .. tidak ada lagi kosa kata lain yang mengalir dari mulutku. Dia juga menjawab pendek dengan sedikit terisak: "yang terbaik baginya".

Berita lewat SMS siang tadi menyebar bahwa istrinya meninggal pagi hari. Sakitnya sudah cukup lama dan terakhir aku menjenguknya di ruang high care unit, dia sudah setengah sadar. Aku ingat waktu itu sempat kutemani teman baikku ini sambil ngobrol sampai tengah malam di rumah sakit.

Dia terbaring damai, dengan riasan menarik karena memang kuakui dia masih cantik dalam usianya yang menjelang setengah abad. Kuamati rambutnya yang sudah mulai ada yang berwarna keperakan. Pakaian yang dikenakan berwarna merah menyala dengan rangkaian bunga di tangannya. Aku berdiri diam di samping peti jenazah tempatnya terbaring. Pelan kurasakan sebentuk kesedihan yang cukup dalam. Aku tidak tahu benar mengapa aku bersedih. Barangkali itu merupakan refleksi energi yang menggumpal berat di ruangan itu. Mungkin aku sedang berbagi rasa dengan temanku yang kehilangan kekasihnya. Atau barangkali aku sedang berpikir tentang kematian yang selalu disambut dengan kesedihan, dan pikiran itu lalu maujud begitu saja menjadi rasa.

Apapun itu, rasa itu begitu nyata dan hadir dalam batinku. Kubiarkan dia muncul dan mewarnai diriku pada saat itu. Energi itu mengalir dan seolah berhenti di ulu hati, membuat ruang gerak paru-paruku seolah menyempit dan aliran nafasku sedikit sesak karenanya.

Pelan-pelan tapi pasti, aku sadari bahwa aku berada di ruangan itu, dan kuamati segala sesuatunya yang ada, juga orang-orang yang silih berganti berdoa di samping peti. Kunikmati pertunjukan slide di tembok tentang jalan hidup almarhumah sejak kecilnya, sesekali tersenyum melihat wajah temanku semasa remaja, yang masih kuingat benar ketika kami satu sekolah di SMP dan SMA. Pengalihan kesadaran membuatku menjadi merasa lebih ringan, tidak terbebani oleh beratnya kesedihan yang semula mengeras di ulu hati.

Setelah mengikuti misa kudus pemberkatan jenazah, aku pamit pulang ke rumah.

Pengalaman siang tadi ikut memperkaya diriku, karena sempat mengalami berbagai rasa dalam batin. Seringkali aku baca dari berbagai artikel bahwa kematian hanyalah merupakan konsep manusia. Sering aku berdiskusi bahwa kematian terjadi setiap saat, bahkan dalam tubuh kita sendiri. Dalam semenit, berapa milyar sel yang mati dan digantikan oleh sel baru dalam tubuh ini. Sekarang ini aku sedang mengalami kematian dan kehidupan, siklus yang tanpa henti, terus berubah, terus berlangsung, terus ber-reinkarnasi. Hidup dan mati menjadi sebuah siklus alamiah yang sudah kita alami terus menerus. Kematian seluruh tubuh karena tidak berfungsinya organ-organ vital akan terjadi pada setiap makhluk yang hidupnya ditopang oleh organ-organ tadi.

Jenis kehidupan ini adalah yang sedang aku jalankan sekarang. Namun di dalam jenis kehidupan inipun ada jenis kehidupan lain, baik kehidupan dari sel2 tubuh, bakteri2 dalam tubuh, maupun makhluk-makhluk mikroskopis lain seperti kutu yang menjadi pendukung seluruh sistem tubuhku ini. Misalnya kutu2 pemakan kulit ari yang hidup di sekujur tubuh yang membantu menjaga selalu bersihnya kulit kita.

Ketika tubuhku mati, jenis hidupan lainnya masih hidup, dan tubuh yang beku inipun akan bertransformasi menjadi jenis-jenis hidupan baru. Dekomposisi tubuh akan menjadi wahana awal untuk bentuk hidupan baru yang akan melarut dengan bumi dan melahirkan kehidupan lain. Siklus itu terus terjadi. Energi kehidupan akan terus ada dalam wujud yang berubah dan berganti-ganti. Energi kehidupan yang merupakan elemen dasar dari 'keberadaan' akan terus ada.

Lalu, sejatinya, adakah kematian itu?




ieduladha
sorehari
17november2010

Kamis, 11 November 2010

Derita di Gerimis Sore

Sore itu gerimis kecil turun. Aku baru saja keluar dari sebuah gedung di bilangan Blok M, dan kulihat beberapa orang berlari kecil menyeberang jalan di depan gedung sambil menutup kepala mereka dengan apa saja yang bisa digunakan. Beberapa anak berpayung berdiri di depan pintu gedung menawarkan jasa payung mereka, menunggu penyewa dadakan. Udara terasa hangat meski hujan mulai membasahi jalanan.

Aku berusaha mencari taksi, namun entah kenapa, di tempat itu jarang kulihat taksi kosong melintas. Karena rasanya terlalu lama menunggu dan tidak satupun ada taksi muncul, aku memutuskan untuk menggunakan transportasi umum yang lebih murah, bus TransJakarta. Blok M adalah terminal akhir yang besar. Setelah membeli tiket masuk, sambil berjalan ke arah shelter penungguan bus, kuamati kondisi gang yang membawaku ke sana. Betapa kotor dan sangat seadanya. Penjaga gerbang masuk terlihat terkantuk lelah dan bosan memperhatikan setiap orang yang memasukkan tiket ke slot di gerbang itu. Beberapa pengemis (masih muda2) duduk di tangga mengacungkan tangan atau gelas plastik bekas air mineral, meminta-minta. Shelter penungguan bus tidak kalah kotornya. Di ruang sempit panjang itu udara terasa pengap, ventilasi udara tidak berjalan baik, lampu tidak ada yang menyala untuk menerangi ruang yang mulai temaram, dan para calon penumpang semakin berdesakan karena berkelompok, tidak antri dalam barisan.

Rasa menyesal mulai muncul karena ketidaksabaranku tadi untuk menunggu taksi sedikit lebih lama, dan sekarang terjebak dalam sebuah sistem angkutan umum yang kelasnya jauh di bawah taksi. Ah, mestinya aku tunggu sedikit lama lagi, aku bisa kok bayar yang lebih mahal daripada tiket TransJakarta ini. Tapi itu hanya penyesalan masa lalu, dan disinilah aku sekarang. Aku terjebak dalam antrian yang sesak, pengap, gelap, bau keringat, dan saat itu pula berbagai pikiran negatif mendadak berebut muncul dan serta-merta mengidentifikasi berbagai fenomena di luar sebagai negatifitas.

Penghakiman mulai muncul dalam pikiran, bahwa semua hal negatif ini disebabkan oleh korupnya rejim pemerintahan DKI Jakarta. Berbagai pertanyaan dan juga gugatan mulai muncul, seperti, mengapa mereka tidak memperhatikan kebutuhan dasar warga berupa transportasi publik yang memadai dan bertarif murah, padahal itu adalah sebuah kewajiban mereka sebagai pelayan publik? Mengapa rejim sekarang tidak mau memelihara dan memperbaiki moda transportasi yang sudah diawali oleh rejim sebelumnya? Kemana saja uang rakyat yang sudah disetor melalui pajak? Mana bukti bahwa rejim ini adalah ahli dalam mengurus ibukota jika menyediakan transportasi layakpun tidak becus?

Pikiranku terus mengejar seseorang atau sesuatu, sebagai yang dapat dijadikan hulu dari segala kesalahan dan ke-negatif-an kondisi yang aku hadapi sekarang ini. Gambar Gubernur DKI yang bentuk kumis dan senyumnya yang menjadi tidak lucu, melintas di pikiranku. Seolah fenomena di sekitarku berdiri sendiri sebagai sebuah kenyataan dan berupa sekelompok hal negatif yang harus aku hadapi pada saat itu. Seolah rasa penderitaanku adalah akibat dari dosa besar yang berasal dari perbuatan sekelompok atau seseorang, paling tidak Gubernur.

Penghakiman seperti ini terus berlangsung dalam pikiranku. Rasanya aku berada di pihak yang benar. Rasanya aku mempunyai hak untuk menghakimi para pengurus ibukota ini, para pengurus negri ini. Rasanya aku mempunyai hak untuk menunjukkan ketidakbecusan kerja mereka sesuai dengan ukuran-ukuran yang kupunyai, paling tidak saat itu.

Pikiranku yang sibuk menambah rasa pengap shelter di Blok M ini. Kemarahan lalu muncul dari rasa frustasi. Kemarahan karena aku merasa diperlakukan tidak adil. Frustasi karena aku dipaksa harus menerima kondisi yang tidak kusukai. Waktu tunggu terasa begitu lama.

Akhirnya bus yang kutunggu datang juga, setelah lewatnya beberapa bus yang langsung dipenuhi antrian di depanku. Akupun masuk bus dan berdiri berpegangan gantungan tangan. Di dalam bus yang jauh lebih sejuk dibanding dengan shelter yang baru saja aku tinggalkan, beberapa pikiran masih menggantung, terutama melihat kondisi bus yang sudah mulai terlihat tidak dirawat dengan baik. Kondisi bus terlihat compang-camping. Gantungan yang aku pegang-pun talinya sudah mulai terkoyak sedikit di sana sini. Penghakiman-pun makin menjadi dalam pikiranku. Sungguh, pikiranku sangat sibuk dan aku tidak lagi memperhatikan sekelilingku.

Beberapa saat kemudian, barulah aku sadari bahwa pikiranku telah jauh dibawa kesana-kemari. Pikiranku dibawa oleh sebuah ketidaksadaran yang melompat kesana kemari, dan cenderung menghakimi segala sesuatu, yang dalam skenario yang kuciptakan menjadi penyebab sebuah kondisi yang kusebut sebagai “derita” yang ternyata juga kuciptakan sendiri. Ya, derita itu kuciptakan sendiri, sebagai turunan dari hasil penghakiman yang kubuat. Ini terbukti bahwa beberapa orang di sekitarku masih bisa bercanda, meski berada dalam kondisi yang sama dengan yang sedang aku alami. Mereka bisa tertawa lepas, dan kuat dugaanku bahwa mereka tidak merasakan apa yang aku rasakan sebagai penderitaan. Aku yakin bahwa semua kondisi yang mereka alami sama dengan yang aku alami. Namun ada beda dalam mem-persepsikan-nya. Barangkali mereka menerimanya dengan ikhlas, sudah biasa, atau tidak berprasangka buruk, bahkan tidak menghakimi siapapun. Mereka menerima keadaan apa adanya.

Kesadaranku terus berkembang dalam perjalanan pulang di atas bus. Dan betul, deritakupun berangsur hilang dengan sendirinya.

Dalam kehidupan, banyak derita yang terciptakan oleh pikiran sendiri. Banyak pula setelah itu, kesalahan dilimpahkan kepada seseorang, sesuatu, bahkan Tuhan yang berada di luar dirinya, untuk minta pertanggungjawaban karena menciptakan derita yang kita rasakan. Banyak orang berpendapat bahwa deritanya adalah kehendak Allah. Sebuah penghakiman yang disampaikan secara lebih sopan, meski esensinya sama.

Namun aku yakin, disinilah awal kesadaran kita untuk berbahagia dalam kehidupan, dengan memahami apa itu penderitaan, dan bagaimana sebuah derita mengada.


Harikunjunganobamakeindonesia
Kemacetandimanamana
9november2010

Jumat, 05 November 2010

Ibu Pertiwi

Berbagai berita tersebar melalui layar kaca, koran, internet, telepon selular dan sebagainya. Bencana Jogja menyita perhatian hampir semua warga Indonesia, bahkan manca negara. Para pengungsi yang terlantar, ketakutan, kesakitan, meninggal, banyak mendominasi berita beberapa hari terakhir ini.

Hati terguncang dan mata tergenang.

Rasanya belum lama negeri ini diramaikan berbagai berita tentang korupsi, gambaran ketamakan para pejabat publik akan uang haram, karena berasal dari keringat rakyat yang seharusnya dilayani. Belum lama juga negeri ini semarak oleh berita tentang kekerasan manusia yang beragama terhadap manusia lainnya, gambaran kesombongan manusia yang mengkapling kebenaran dan menghujat keberagaman, yang justru merupakan kearifan alam.

Begitu banyak berita yang menggambarkan para manusia yang tidak menyadari apa yang sedang dilakukan. Cerminan nyata dari ketidaksadaran kolektif tentang kebersamaan dalam keberagaman, tentang perlunya saling mengasihi dan memperhatikan manusia lainnya terlepas dari kotak-kotak dan kapling-kapling kebenaran semu yang disebut agama. Ketidaksadaran manusia akan nilai-nilai universal yang menembus batas-batas sosial, ekonomi, dan religi. Ketidaksadaran manusia akan hubungannya dengan bumi, dengan Ibu Pertiwi yang melahirkan segala kehidupan di haribaannya. Ketidaksadaran manusia akan hubungannya dengan energi semesta.

Aku hanya merenung menyaksikan dan membaca segala kejadian yang sedang berlangsung begitu nyata, begitu menyentuh rasa dan menggugah kesadaran batin.

Sedikit teguran dari bumi melalui mulut Merapi mengingatkan bahwa manusia semua sama dihadapan Ibu Pertiwi. Kaya - miskin, laki - perempuan, tua - muda, besar - kecil, semua berhubungan dengannya. Sentuhan lengan dan jemari panas Merapi menyentil kesadaran manusia bahwa seharusnya manusia sungguh merupakan bagian sangat kecil dari seluruh sistem semesta. Sendawa Merapi menyadarkan manusia bahwa semestinya manusia hidup senafas dengan Pertiwi. Aliran energi dahsyat Merapi menyadarkan manusia bahwa seharusnya kehidupan kita mengalir dan selaras dengan energi alam semesta.

Bumi adalah sosok Ibu yang hidup, mempunyai kebajikan dalam memberi nafas kehidupan anak-anaknya, dengan semangat memberi segala kebaikan dan menerima segala keburukan. Betapa kekayaan bumi terbukti mampu menghidupi segala isinya selama jutaan masa. Betapa kearifan Pertiwi terbukti mampu menerima segala keburukan yang diciptakan anak-anaknya dan kemudian menyeimbangkan dengan berbagai cara yang sungguh diluar jangkauan nalar manusia.

Namun apa yang sudah diperbuat oleh manusia terhadap sang Ibu? Manusia tetap berada pada ketakutan egotistik, berada pada kebodohan dan kegelapan batin dalam merespon kasih yang ditawarkan sang Ibu. Segala kebodohan manusia kemudian mengeras dan berubah bentuk menjadi kesombongan bahwa bumi berada dalam genggaman kekuasaannya. Ketakaburan luar biasa yang menghilangkan kerendahan hati dalam berhubungan dengan sang Ibu Pertiwi. Sang Ibu tetap mengasihi dan menegur dengan caranya sendiri. Berbagai kesombongan manusia tidak pernah mampu menahan teguran sang Ibu. Gedung dan bangunan megah, peralatan mutakhir, kecerdasan otak, kepandaian para pemimpin masyarakat, kekayaan materi, bahkan doa-doa dalam agama yang dipercaya sebagai sabda Tuhan. Semua tidak mampu membendung dan membelokkan teguran dan jamahan Ibu.

Dalam sejarah kehidupan manusia, teguran-teguran Pertiwi selalu ada. Selalu berulang dan selalu memberikan ruang untuk merenungkan segala perilaku manusia dalam rentang masa sekarang ini. Namun adakah perbaikan dalam pikiran, kesadaran dan perilaku manusia, terutama ketika manusia secara intens berinteraksi dengan sang Ibu? Rasanya tidak.

Perusakan habitat hidup terus menerus dilakukan bahkan dalam skala yang mengerikan. Pengurangan kemampuan daya dukung lingkungan terus menerus digerogoti dengan sistematis tanpa diimbangi dengan perbaikan dan pemulihan. Demi apakah semua ini dilakukan? Rasanya hanya ketamakan sebagai muaranya. Ketamakan yang berdasar pada rasa ketakutan akan kehilangan kenikmatan hidup, meski pada akhirnya kenikmatan hidup adalah ilusi dan fantasi ketika daya dukung dilemahkan dengan sengaja. Sebuah lingkaran iblis yang meracuni pikiran manusia, dan menimbulkan kebodohan yang diturunkan dari generasi ke generasi sehingga beranak-pinak secara subur bagai kanker yang liar berkembang di permukaan bumi.

Masih adakah kata yang tersisa untuk mengutuk Ibu Pertiwi setelah kita memperkosa Ibu kita sendiri?





masihtersisaairmata
menjelangtengahmalam
5november2010

Sabtu, 30 Oktober 2010

Hubungan DenganNya Karena Ketakutan?

Bencana demi bencana menggetarkan hati setiap manusia di negri ini. Bandang di tanah Papua mengingatkan beberapa bah yang menghanyutkan banyak nyawa seperti halnya di lembah Gunung Leuser. Letusan Merapi menggedor rasa takut yang sudah lama bersembunyi di balik kalbu. Tsunami Mentawai membangkitkan trauma yang terasa baru minggu lalu terjadi di Aceh. Puting beliung, rob, dan berbagai bentuk bencana lainnya mampu menjangkau dan mengaduk-aduk rasa takut yang disimpan jauh di relung kalbu.

Serentak terdengar nyanyian bersama, atau keluhan, atau bisikan halus di hati. Tuhan sedang murka. Allah sedang menghantamkan azabNya. Sedang menunjukkan kekuasaanNya, sedang pamer keperkasaanNya, kemahakuasaanNya. Ancaman-ancaman dari mulut para pandai agama berlontaran dan menambah ciutnya nyali manusia kepada Tuhan. Ternyata menurut gambaran mereka, Allah bisa menjadi sangat menakutkan, sangat membahayakan jiwa manusia, bahkan sangat kejam dalam memberi hukuman.

Hubungan berwarna ketakutan lalu terciptakan. Manusia dibuat dan diciptakan oleh Allah untuk menjadi takut kepadaNya. Manusia diciptakan untuk menyembahNya, agar namaNya tetap agung. Manusia diciptakan untuk jatuh tersungkur dihadapNya karena kemahakuatanNya. Manusia harus bertekuk-lutut dihadapanNya bagai sekelompok tawanan perang yang siap untuk dijatuhi hukuman apapun sesuai kehendakNya. Tidak ada posisi tawar yang diwariskan kepada manusia oleh penciptanya.

Bagiku, semua ini menjadi sebuah skema penciptaan yang aneh.

Jika Tuhan memang ingin dihormati dan diagungkan melalui sembahan ciptaanNya, maka dalam ukuran manusia, Tuhan sangat egotistik dan gila hormat. Tidak ada sebutan lain. Jika Tuhan menciptakan manusia untuk mempunyai rasa takut terhadapNya, maka dalam ukuranku, Tuhan sudah sakit jiwa.

Bagiku, Tuhan tidak berada dalam skema seperti itu. Dia terlalu rendah untuk digambarkan dalam pola penciptaan yang hirarkis, egotistik, kejam dan gila hormat. Hanya manusia-manusia yang sakit jiwa-lah yang mempunyai gambaran yang penuh sakit jiwa.

Tuhan, seandainya betul ada dan merupakan pencipta segala, adalah maha ada, maha kasih, maha bijaksana. Ke-mahakasih-an itu tercipta dan jelas tergambar dalam segala fenomena, baik dalam gerak sel dalam tubuh makhluk hidup, perilaku lebah, kicauan merdu seekor burung, secangkir kopi, berkembangnya janin, kedahsyatan gempa bumi, letupan magma, lontaran nuklir matahari, dan ke-takterhingga-an struktur alam semesta.

Manusia hanya sebentuk sel dalam gambaran tubuh semesta ciptaanNya. Tidak selayaknya pikiran sempit manusia melontarkan penghakiman yang penuh kebodohan dan sakit jiwa untuk mengukur Tuhan. Tidak pada tempatnya Tuhan dibelenggu dalam pemahaman picik otak manusia yang penuh ketakutan.

Karena ketakutan hanya menghasilkan gambaran Tuhan yang maha kejam.




lewattengahmalam
akhiroktober2010

Minggu, 24 Oktober 2010

Tuanku yang Pemarah

Beberapa bulan terakhir ini aku rasakan sebuah bara yang diam tapi pasti, menggumpal di dalam diriku. Aku tidak tahu persisnya di mana, namun rasa itu terus menerus membara bagai sekam merah menyala. Dia ada jauh di dalam diri bagai magma yang bersembunyi jauh dari permukaan bumi. Barangkali orang lain melihat diriku dari luar yang nampak sangat biasa, namun bara itu ada, dan dapat kurasakan kehadirannya.

Pada waktu tertentu, bara dalam diriku panasnya mampu terasa sampai kulit ariku. Terutama apabila ada satu atau dua hal yang mampu memancing bara tadi untuk langsung mencari jalan dalam nadiku, keluar dan meledak di setiap lubang pada tubuhku. Ledakan itu nyata terlihat dimataku yang memerah dan membara, di lubang nafasku yang menjadi tersengal, di mulutku yang mampu melontarkan kata-kata nistaan, di lubang telingaku yang menjadi penyumbat hingga tidak mau lagi mendengar kata-kata orang lain, sekasar apapun, atau selembut apapun.

Betapa bara itu membuatku menderita.

Aku tidak mampu mengendalikannya, apalagi memadamkannya. Dia begitu perkasa, pada saatnya muncul dan menguasai seluruh pikiranku, dia terasa bagai seorang tuan yang membawa cambuknya yang berapi. Aku hanya mampu memasrahkan diriku di bawah injakan kakinya. Aku hanya mampu membiarkan dia membakar seluruh nadi dan sendiku sampai meleleh tanpa daya. Aku hanya mampu membiarkan lubang mulutku melontarkan cacian dan makian berapi bagi orang-orang di sekitarku.

Sel-sel perasa dalam diriku seolah lumpuh. Tidak mampu lagi merasakan batin orang-orang di sekitarku yang kunista dan kuaniaya. Pikiranku menjadi gelap, penuh dengan kabut asap dari sekam yang membara di sekujur tubuhku.

Tuanku yang pemarah dalam diriku begitu kuat menguasai seluruh sistem dalam diriku. Meski dia membuatku menderita, namun aku tidak tahu bagaimana membiarkannya pergi. Aku bahkan pelihara tuanku ini, kubiarkan dia tinggal dalam batinku.

Aku sudah berusaha untuk mengusir tuanku yang pemarah ini dengan banyak cara, dengan banyak tipudaya. Namun dia hanya sembunyi dibalik pikiran-pikiranku, dibalik perasaan-perasaanku, yang seringkali gelap tertutup asap sekam yang membara. Dia tidak mau pergi meninggalkanku. Atau aku tidak mau dia meninggalkanku. Perbedaan keduanya ternyata sangat halus dan aku tidak tahu yang mana yang terjadi. Karena barangkali tuanku adalah bayangan diriku sendiri. Entahlah.

Aku sadar bahwa aku memerlukan sebuah uluran tangan yang membantuku berdiri kembali dari injakan tuanku yang pemarah. Aku perlu sebuah sandaran tempatku mencurahkan derita dari batinku yang hangus dibakar tuanku yang pemarah. Aku butuh uluran tangan seseorang untuk memberiku seteguk air jernih untuk memadamkan kobaran api milik tuanku yang pemarah ini. Namun aku juga sadar bahwa seringkali orang lain tidak benar-benar mengenali tuanku ini. Sebuah sikap yang muncul karena ke-putusasa-an dan kebingungan.

Namun begitu, jauh di dasar kesadaranku, sebetulnya aku tahu bahwa aku juga harus menerangi setiap relung pikiran dan batinku untuk menemukan tuanku yang sedang bersembunyi, mengenalinya dengan lebih baik, dan mengajaknya berbincang agar aku mampu memahami asal-muasalnya. Aku harus membawanya ke luar dari kegelapan asap pekat bara hatiku, agar segenap wujudnya nampak jelas di bawah penerangan cahaya batinku. Aku tahu, tuanku yang pemarah lebih senang tinggal dalam kegelapan pikiranku, dan tidak menyukai cahaya terangnya batinku. Dia akan merasa ditelanjangi, merasa diteliti dan merasa dikuliti sehingga akan nampak wajah bengisnya, bahkan akan nampak jelas belitan akar yang menghidupinya.

Hanya dengan mengenalinya, maka aku bisa sambil tersenyum memintanya untuk meninggalkan diriku.




menjelangtengahmalam
dirumah, 24oktober2010

Jumat, 15 Oktober 2010

Rindu

Rasa rindu itu datang menyergap sejak semalam. Dalam meditasi malamku, kuamati dan kusadari rasa yang aneh ini. Pagi ini intensitasnya sudah jauh mengendur, tinggal sayup seolah melambai mengucapkan selamat tinggal.

Namun, dari mana rasa rindu itu muncul, sehingga bisa datang tiba-tiba?

Dari apa rasa rindu itu terbentuk, sehingga mampu menggumpal dan menyesakkan dada?

Mengapa kita merindukan seseorang, sesuatu, semasa?

Rindu adalah sebuah rasa yang seolah kosong dan menginginkan isi dari sumber lain untuk memenuhinya. Sering kurasa dia seolah ada tapi tidak lengkap dan menginginkan bagian lain untuk membuatnya utuh. Sebuah rasa yang kerontang dan menanti setetes air dari luar untuk membasahinya. Sebuah penantian, sebentuk keinginan, segenggam harapan, barangkali sebuah derita ..

Benarkah sebuah kerinduan akan selalu terpuaskan oleh energi luar yang diinginkannya untuk mengisi kekosongan ruang batinnya? Benarkah kerinduan hanya berakhir dengan kesenangan sesaat - rasa penuh, nyaman, nikmat? Benarkah pikiran betul-betul akan lebih penuh setelah kerinduan sembuh?

Benarkah obat derita dalam pikiran harus berasal dari kekuatan luar diriku? Ataukah sebenarnya aku sendiri yang menciptakan kekuatan luar untuk menyembuhkan derita dalam batinku? Jika derita itu kuciptakan sendiri, bukankah lebih mudah untuk menyembuhkannya dengan tidak menciptakannya?

Aku masih duduk di coffee shop sebuah hotel di kota itu.

Kupandangi bekas hujan tadi pagi di dedaunan di halaman hotel ini. Adakah kerinduan di pepohonan itu, yang mereka ciptakan sendiri? Atau baginya, kerinduan bukan untuk sebuah kesenangan, tapi sungguh sebuah garis antara hidup dan mati .. ketika mereka merindukan hujan seperti pagi tadi. Aku yakin, kerinduannya sudah terpuaskan dan kehidupannya sudah kembali.

Aku ragu, bahwa kerinduanku padanya sebesar makna hidup dan mati.

Kubiarkan dia melambai pergi ..



kedatonhabissarapan
16oktober2010

Rabu, 13 Oktober 2010

Takut di Umur Empat Puluh

Siang itu para peserta lokakarya makan bersama. Seorang teman lama dari Jawa Timur bergabung di mejaku. Kami banyak ngobrol tentang kehidupan, dan karena dia sudah mengenalku, maka obrolan masuk ke hal-hal yang lebih pribadi.

"Kenapa ya saya dalam setahun terakhir ini, terutama setelah masuk di usia 40, selalu merasa takut?"

"Takut apa?". tanyaku

"Tidak tahu .. misalnya kalau saya harus memilih untuk pergi ke dua tempat, saya akan memilih yang lebih dekat, agar resiko tidak terlalu besar dan dapat kembali ke rumah lebih cepat."

Aku amati wajahnya, dan dia tidak bercanda.

"Ketakutan itu muncul ketika umurku mencapai 40, dan kudengar bahwa umur 40 merupakan puncak kematangan seseorang dalam hidupnya. Di usia itu katanya energi manusia berada di tingkat paling tinggi, sampai ada istilah puber kedua .. "

"Jadi, mengapa takut pada puncak kehidupan?" selidikku lagi.

"Entahlah .. tapi ketakutan itu nyata dan ada."

Sejenak aku berkaca pada diriku sendiri, apakah pada ulang tahunku yang ke 40 aku juga dulu merasa takut? Aku sama sekali tidak ingat.

"Kalau dari ceritamu bahwa kau selalu ingin cepat kembali ke rumah, rasanya ada ketakutan berada di luar rumah dan merasa aman ketika berada dalam rumah .."

"Ya, seperti itulah rasanya .."

Aku tidak dapat memahami ketakutannya, namun kucoba tawarkan sebuah pemahaman tentang rasa takut.

"Biasanya orang takut akan kematian .." lalu kuamati reaksi wajahnya. Ada sedikit gerakan kepalanya, dan kulihat dia menatapku lekat.

".. barangkali itu benar .." katanya pelan.

"Tapi pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa kematian selalu menakutkan .. ?" tanyaku, dan dia terdiam sambil menatapku seolah mencari jawabannya di wajahku.

".. menurut yang kupahami, paling tidak ada tiga alasan mengapa manusia takut akan kematian. Pertama, kematian merupakan peristiwa yang tidak dapat diperbaiki. Beda misalnya dengan sakit yang bisa sembuh .. jatuh yang bisa bangun kembali .. sedih yang dapat bergembira lagi. Mati tidak dapat hidup kembali."

Kulihat dia mendengarkan dengan diam sambil sesekali menganggukkan kepalanya dengan pelan.

"Alasan kedua, kematian merupakan kondisi yang belum pernah kita ketahui sebelumnya, karena itu menakutkan. Coba bayangkan ketika kita masuk ke sebuah gua, atau bahkan masuk ke sebuah kota, yang belum pernah kita ambah, kita alami, pasti ada rasa takut itu .."

"Alasan ketiga, dan ini yang paling menakutkan, adalah anihilasi .."

"Apa maksudmu dengan anihilasi?" sergahnya.

"Anihilasi merupakan penghilangan keberadaan. Kematian menghilangkan seseorang. Hari ini ada, besok sudah tidak ada dan tidak dapat ditemui sosoknya. Eksistensi menjadi hilang, tidak ada, musnah .. tidak lagi dapat tercerap oleh sensor inderawi kita. Hilangnya eksistensi ini yang paling memberikan rasa takut karena berarti akan hilang pula semua kenangan, semua pengalaman, usaha, dan kepemilikan terhadap segala sesuatu yang pernah dikumpulkan semasa hidup. Kehilangan eksistensi berarti kehilangan referensi yang selama hidupnya menjadi identitas, misalnya: aku profesor, aku orang kaya, aku seorang direktur, aku seorang ayah dalam sebuah keluarga baik-baik .. dan sebagainya. Kelekatan ini akan hilang sejalan dengan hilangnya eksistensi diri."

Lanjutku, "Kehilangan eksistensi menjadi sebuah titik dimana sebuah imaji yang pernah cemerlang menjadi kosong, hampa, tidak berguna, tidak ada .."

"Diam-diam, ketakutan itu terus mengeras dalam pikiran ketika kita menyaksikan orang-orang yang mati di sekitar kita .."

"Lalu, bagaimana cara mengatasi ketakutan besar itu ya?", tanyanya.

Sayang, waktu makan siang sudah habis dan kami harus kembali lagi ke ruang diskusi untuk melanjutkan sesi berikut ..



lewattengahmalam
14oktober2010

Kamis, 07 Oktober 2010

Sore Itu Di Restoran Ayam Goreng

Badanku terasa penat, barangkali sepenat sopir mikrolet yang membawaku ke daerah Tebet, melalui kemacetan luar biasa malam itu, yang ditingkahi oleh hujan salah musim yang akhir-akhir ini sering membanjiri ibukota.

Pikiranku-pun terpecah dan terberai ke setiap sudut kepalaku. Sungguh, malam itu aku tidak sepenuhnya menyadari apa yang aku sedang jalani. Sebentar pikiranku melayang ke Bambang, calon suamiku. Bulan depan kami berencana mengikatkan diri dalam perkawinan gereja. Bambang bukan orang baru dalam hidupku, dia kukenal sejak kami di sekolah dasar, bertahun lalu. Tanpa sengaja kami bertemu lagi dalam acara reuni, dan sejak itu tumbuh rasa cintaku kepadanya. Entah apa yang menggiring hal itu terjadi, namun berbincang dan bersamanya membuatku seolah berada dalam mangkok sup energi yang sungguh menyenangkan.

Sebentar kemudian pikiranku hinggap di rumahku, seolah sedang mendengarkan ocehan papa dan mamaku. Menurutku, sejak kepulangannya dari ibadah haji tiga tahun lalu, ada perubahan aneh. Barangkali itu hanya perasaanku saja, namun keduanya seolah hidup diantara dua sisi: harus menjadi suci di hadapan Allah melalui gencarnya ritual keagamaan yang dilakukannya untuk mengumpulkan pahala; dan ketakutan akan hukuman Allah yang menjadikannya menutup diri dari interaksi bebas dengan manusia yang tidak sejalan dalam agamanya karena dianggap bisa membahayakan surganya kelak. Dua sisi ini merubah perilaku dan warna interaksi mereka dengan orang lain, termasuk dengan diriku, termasuk dengan Bambang.

Pelan-pelan di dalam mikrolet dan derasnya hujan di luar, kurasakan hangatnya air mataku yang mengalir tanpa dapat kucegah. Air mata yang mampu membuatku menahan beban batin yang menghimpitku sampai ke sumsum tulangku. Air mata yang dapat memberiku energi untuk kembali kepada kesadaranku, meski tubuhku terasa semakin lelah. Aku baru tersadar ketika penumpang sebelahku mengetuk atap mikrolet minta berhenti di kawasan Tebet, dekat tempat tujuanku, restoran ayam goreng.

Di restoran itu aku akan dilamar oleh keluarga Bambang.

Dari luar restoran kulihat abangku, istrinya, dan saudara sepupuku, sudah duduk berhadapan dengan keluarga Bambang. Kulihat dia duduk di ujung deretan kursi yang didepannya masih kosong, yang pasti disediakan untukku. Cepat kuusap air mataku. Kurapikan rambutku, dan kukibaskan butiran air di bajuku. Sejenak kepedihan menyayat batinku, namun sejenak itu pula kucoba tekan hatiku agar tidak berdarah karenanya.

Begitu kududuk ditempatku, acara lamaran-pun dimulai. Intinya, kakak lelakiku menerima lamaran keluarga Bambang, dan semua pihak akan membantu agar pernikahanku bulan depan dapat berjalan dengan baik.

Kurasakan bibirku tertutup rapat, membendung gejolak hatiku. Kubayangkan rumah orangtuaku yang mewah, dan kugambarkan kejadian ini berada di sana, penuh ceria dan sukacita orangtuaku. Sejenak kemudian kusadari aku duduk di kursi keras sederhana ini, di depan sajian ayam goreng, sayuran, tempe tahu goreng, lalapan dan sambal. Kusadari bahwa orangtuaku tidak hadir dalam peristiwa teramat penting dalam hidupku ini. Kusadari kekosongan hatiku berada dalam keramaian kelompok kecil ini. Hanya sayup kutangkap obrolan dan canda tawa dua keluarga ini.

Pikiranku kembali sibuk. Pertanyaan demi pertanyaan muncul silih berganti. Mengapa Allah menciptakan agama kalau hanya untuk memisahkan aku dan orangtuaku? Mengapa Tuhan tidak mampu mengakui perbedaan agama umat ciptaannya dan tetap menyambungkan tali silaturahmi umatnya yang beraneka agama? Mengapa Tuhan begitu kejam menghukumku melalui orangtuaku yang tidak lagi mengakui aku sebagai anaknya ketika tahu aku pindah agama mengikuti calon suamiku? Mengapa Tuhan begitu membenciku sehingga aku merasakan batinku tercerai berai, terinjak oleh iman sebuah agama ciptaannya?

Mengapa aku tidak boleh berbeda?

Mengapa perbedaan bisa menimbulkan kebencian yang teramat dalam?

Semakin banyak pertanyaan yang hilir mudik dalam kepalaku membuatku semakin merasakan kelelahan yang sangat. Di mobil dalam perjalanan pulang ke rumah calon suamiku, aku terlelap di pundaknya.



7/10/2010

Senin, 04 Oktober 2010

Menghargai Perempuan

Wajahnya kusut dan bibir yang biasanya nampak penuh dan menarik, sore itu tertutup dan berkerut, kedua ujungnya seolah tertarik dengan paksa ke arah berlawanan. Aku tahu itu karena bibirnya adalah salah satu bagian menarik dari wajahnya yang selalu kuamati pertama kali setiap kami bertemu. Dan aku juga tahu bahwa itulah gambaran dari hatinya.

.. aku gak mau sholat di masjid itu lagi, rajuknya
.. kenapa? selidikku
.. waktu sembahyang Ied, yang sudah aku tunggu setahun sekali, perempuan di taruh di baris belakang hampir di luar masjid, tidak dialasi karpet seperti para lelaki, tapi tikar plastik yang kumuh, dan waktu gerimis datang, sebagian kami harus menghambur ke dalam karena kebasahan, jelasnya dengan berapi-api
.. kenapa perempuan diperlakukan seperti manusia kelas dua? lanjutnya, masih berapi-api

Aku tidak dapat segera menjawabnya, dan barangkali tidak berguna untuk temanku yang masih berapi hatinya ini.

.. coba jelaskan, apa bedanya lelaki dan perempuan di hadapan Allah? Hanya karena yang satu ber-penis dan yang lain ber-vagina? Hanya karena itukah kedua jenis manusia ini berbeda dihadapanNya? Apakah Allah memperlakukan manusia berbeda karena alat kelaminnya dan bukan batinnya? Demikian rendahkah Allah dalam memperlakukan ciptaanNya sendiri terutama bagi para perempuan? Betulkah perempuan harus menjadi manusia nomor dua karena kodratnya? Kalau begitu, dimana keadilan Allah?

Terus terang aku tidak mampu berkata selain diam dan mendengarkannya dengan baik.

.. aku betul2 tidak mau lagi ke masjid itu, bahkan aku tidak mau lagi sholat berjamaah dengan para lelaki sombong dan mau menang sendiri itu. Suaranya masih berapi dan bahkan terasa lebih panas dari sebelumnya.

Ada kekesalan dan kemarahan dalam suaranya. Dalam nada halus, ada kepedihan yang terdengar sayup dalam gelegak nada suaranya. Ada tangis dalam kemarahannya. Ada kekecewaan dalam protesnya. Ada ratapan dalam keberaniannya menentang aturan.

Aturan?

Siapakah yang mengeluarkan aturan itu?

Barangkali aturan itu dibuat berdasar kebiasaan sebuah masyarakat di sebuah negri yang membedakan peran dan tingkat sosial perempuan dalam masyarakat. Barangkali aturan itu dibuat berdasar ketakutan para lelaki akan kelebihan perempuan, baik itu kekuatan fisik, pandangan yang menyeluruh, kepekaan perasaan, kehalusan budi, sikap melindungi, hasrat memelihara, ataupun kehangatan jiwa.

.. pokoknya aku gak mau lagi sholat berjamaah dengan para lelaki yang merasa dirinya lebih tinggi daripada perempuan, yang menyimpan kemunafikan dalam kopiah mereka, dan membungkus ketakutan dalam baju koko mereka ..

Aku tidak dapat berkata lagi, karena sudah ada 'pokoknya'. Namun diam-diam aku sungguh menghargai perempuan ini, sepenuh hatiku.




menjelangtengahmalam
4oktober2010

Selasa, 28 September 2010

Kasih Injil Yohannes

Sebuah cerita dari sahabatku.

Aku merasa paham atas apa yang ditulis di kitab suci. Kitab yang menjadi panduan dalam hidupku, dan menjadi perlindunganku dalam segala kesukaran hidup. Di dalam ayat-ayat itulah aku menyandarkan pengetahuanku tentang segala dimensi kehidupan ini.

Di situ diceritakan tentang Yesus yang mengajarkan kasih, sebagai inti dari semua ajarannya. Seandainya kitab suci bisa diperas maka akan keluar setetes embun bernama ‘kasih’ .. hanya itu.

Kata pemimpin agamaku, kasih itu datangnya dari Allah, bukan dari manusia karena manusia sejak lahirnya sudah cacat membawa dosa asal dari Adam. Hanya dengan melakukan dan menyatu dengan Allah-lah maka kasih dariNya dapat kita peroleh. Satu-satunya penyatuan antara manusia, Yesus dan Allah dibahas dalam injil Yohannes. Bukan oleh penulis2 injil lainnya. Salah satu contoh misalnya, “ .. Pada waktu itulah kamu akan tahu, bahwa aku di dalam Bapa-Ku dan kamu di dalam aku dan aku di dalam kamu ..” (Yoh 14:20).

Penggambaran Yesus lebih lanjut tentang penyatuan diri ini ada di ayat selanjutnya, bahwa kita manusia seperti ranting anggur yang harus menyatu dengan pokoknya agar dapat berbuah. Yesus adalah pokok anggur, dan kita adalah ranting2nya (Yoh 15:4 -5). Aku juga tahu bahwa sebagai seorang Kristen, aku harus menyatukan diriku dengan Allah, dengan Kristus. Usaha penyatuan itu digambarkan dengan konsekrasi dan penerimaan komuni di perayaan ekaristi. Sebuah komunion, penyatuan, penerimaan tubuh (dan darah) Kristus ke dalam diri kita masing-masing.

Lebih jauh Yesus mengatakan, “.. Jikalau kamu menuruti perintahKu, kamu akan tinggal di dalam kasihKu, seperti Aku menuruti perintah BapaKu dan tinggal dalam kasihNya (Yoh 15:10).

.. aku dalam kamu, kamu ada di dalam aku ..
.. kamu tinggal dalam kasihku ..
.. aku tinggal dalam kasih Bapa ..
.. bagai pokok anggur, kamu tidak berbuah kalau tidak tinggal dalam aku ..
.. di luar aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa ..

Barangkali sudah puluhan kali ayat2 itu aku baca ulang, aku coba pahami lagi, aku coba kaji kembali. Kata-kata dalam alkitab yang seharusnya menuntunku menemukan kebenaran sejati, semakin lama malah terasa menjadi sebuah konsep. Kata-kata itu menjadi kalimat yang menarik dalam bahasa namun membingungkan dalam arti, sehingga terasa ada sebuah jarak diantara keduanya yang memberi ruang untuk interpretasi, menurut siapapun yang membacanya.

Namun pertanyaanku masih terus menggantung, bagaimana caranya seseorang menyatukan dirinya dengan Allah? Alkitab hanya mengatakan apa, bukan bagaimana. Aku masih ingin mendapatkan sebuah ketrampilan untuk melakukan apa yang diamanatkan dalam buku suci itu. Ketrampilan untuk menemukan arti sejati dari amanat itu, kemudian menerjemahkannya ke dalam konteks kehidupan sehari-hari, tanpa harus bersusah payah membentuk kondisi pendukungnya.

Akhirnya aku kenal seseorang, yang dalam perjalanan hidupku bersahabat dengannya, memberikan banyak jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penting dalam hidupku yang masih menggantung. Dia membawa sebuah kesadaran baru yang jauh lebih pragmatis, realistis, sederhana, namun sangat dalam pada dimensi spiritual …

Darinya, ada sebuah kesadaran baru yang kuperoleh. Sebuah kesadaran bahwa penyatuan dengan Allah yang banyak diajarkan oleh banyak agama di dunia ini, merupakan sebuah bentuk kesadaran tertinggi bahwa ‘kerajaan Allah ada dalam diri manusia, dalam diriku’. Allah bersemayam dalam diri masing-masing manusia. Sehingga kini aku menyadari bahwa aku tinggal menemukan kerajaan itu, bagaikan Bima menemukan Dewa Ruci. Kerajaan itu tidak di’luar’ sana, tidak di tanah suci di permukaan bumi ini, tidak di bangunan gereja atau masjid, tidak di pohon atau di gua-gua yang disucikan, namun ada di dalam hatiku. Sudah ada sejak awal jaman. Tinggal menemukannya.

Perubahan sudut pandang, yang masih sangat sejalan dengan bunyi ayat-ayat alkitab di atas, membalik seluruh pertanyaanku menjadi jawaban. Rasanya tidak diperlukan lagi interpretasi tambahan untuk dapat memahami apa yang ditulis dalam injil Yohannes.

Allah ada dalam diriku, karena batinku adalah kerajaanNya ..
Komunion denganNya terjadi setiap saat, tidak hanya pada hari Minggu dalam perayaan ekaristi ..
Kurasakan energiNya dalam diriku, kusyukuri kehadiranNya dalam batinku ..

Terimakasih sahabatku.



Lewattengahmalam
29/9/2010

Sabtu, 18 September 2010

(Bukan) Agama Baru?

Aku pernah beragama. Demikian katanya. Sekarang aku tidak tahu, apakah hidupku beragama atau tidak.

Dia meneruskan ceritanya padaku.

Dulu, beragama bagiku adalah rajin mengunjungi rumah ibadah, mengikuti setiap acara ritual di rumah ibadah itu, setia berdoa tepat waktu, melantunkan doa-doa dengan bertasbih, berpakaian terbaik ketika mengunjungi rumah ibadah, selalu mencoba membaca alkitab untuk memahami cerita dan menghafal ayat-ayat yang penting, sangat menghormati para pemimpin agamaku ...

Dalam hatiku, aku merasa nyaman ketika semua kewajiban sudah kulaksanakan. Sekali tidak ke rumah ibadah, rasanya ada sesuatu yang kurang dan harus ditebus .. untuk mengembalikan rasa nyaman tadi. Aku bisa menangis ketika melantunkan doa-doa yang menyentuh hatiku. Aku bisa terhanyut mendengar alunan doa dan nyanyian rohani yang mendayu syahdu. Aku bisa mendapat energi baru ketika mengunjungi tempat-tempat ziarah yang disucikan oleh umat dalam agamaku.

Aku merasa nyaman, merasa aman dalam kelompokku, dan merasa bahwa ada jaminan keselamatan akan kehidupanku kelak setelah kematian ...

Aku masih mendengarkan dengan seksama ceritanya yang sungguh menarik ini.

Suatu ketika aku berubah.

Berubah? tanyaku.

Dia melanjutkan ceritanya. Ya, aku berubah. Ada sebuah peristiwa dalam kehidupanku yang membuatku mempertanyakan peran agama dalam kehidupanku. Ada sebuah titik yang membuatku menggugat seluruh bangunan keyakinan yang selama ini kugenggam teguh dan kubungkus dengan kain putih bertuliskan "iman". Ada sebuah lantai marmer tempat kepalaku dibenturkan untuk mendapatkan kesadaran baru dalam kehidupanku.

Semua peristiwa itu terjadi akibat dari sebuah kondisi kehidupan yang sebelumnya tidak pernah dihadapkan kepadaku dengan gamblang, sangat mendasar, telak menampar wajahku dan merontokkan seluruh kenyamanan yang melingkupiku, sebuah kenyamanan semu yang selama ini tercipta akibat dari penanaman sugestif yang kulakukan berulang melalui ritual keagamaan. Semua gambaran semu yang terus menerus kubuat untuk membentuk sebuah benteng pengaman dari godaan diluar keyakinanku, yang dicap sebagai setan, iblis penggoda iman oleh kelompok agamaku.

Perubahan apa yang kau alami? selidikku.

Sebuah perubahan yang amat sangat mendasar, yang mampu membongkar seluruh dasar "iman" ku dalam beragama. Perubahan yang mampu mengkritik peran Tuhan atau Hyang Maha. Perubahan ini begitu menyakitkan batinku, seolah membungkam degup jantungku. Perubahan yang mampu menguliti otak dan pikiranku sehingga menemukan keinginan2 yang bersembunyi di dalam kepalaku. Semua itu berproses. Namun memang proses itu seolah mencekik seluruh saraf kesadaranku, sehingga aku berusaha untuk tetap sadar dengan menggapai-gapai untuk mendapatkan energi kehidupan. Sungguh, sebuah proses yang teramat menyiksa segenap sel dalam diriku. Sebuah proses yang membawa rasa takutku yang terdalam, ke permukaan, dan kurasakan secara nyata.

Namun, peristiwa itu ternyata merupakan sebuah transformasi batin yang membongkar bangunan lama keagamaanku dan membentuk sebuah bangunan baru yang jauh lebih terbuka, tidak kaku oleh ritual dan iman, tidak terkungkung oleh proteksi dogma. Bangunan baru ini seperti sebuah energi yang tidak berstruktur kaku, tapi luwes, adaptif terhadap stimuli apapun, seolah menyatu dengan batin dan pikiranku, serta memberi energi berlimpah ke dalam kehidupanku.

Apakah itu sebuah agama baru bagimu? kucoba untuk memahami lebih jauh.

Aku tidak tahu apakah ini sebuah agama baru. Aku tidak lagi melakukan banyak ritual untuk memahami dan mengalaminya. Aku hanya perlu mengheningkan seluruh sistem dalam badan, pikiran dan batinku. Keheningan yang sangat kini, sehingga konsep waktu melarut dan memudar, tidak ada lagi masa lalu dan masa depan. Keheningan yang berada di sini, sehingga tidak ada lagi konsep ruang selain di sini. Sebuah kondisi yang amat sangat menenangkan, berenergi, amat sangat membebaskan, dan ternyata sangat membahagiakan.

Aku tidak tahu benar apa yang terjadi, namun rasanya agama yang pernah kuanut dan sempat memberiku rasa keselamatan dan proteksi, menjadi tidak berarti .. aku tidak lagi merasakan ketakutan atau kecemasan tentang dosa, tidak juga merasakan adanya ancaman apapun dalam hidup ini. Tidak ada rasa khawatir terhadap masa depan, konsep surga dan neraka setelah kematian, karena seperti kataku tadi, waktu yang ada hanya masa kini, masa depan adalah sebuah fantasi ...

Kalau kau tanya aku sekarang, apa agamamu, aku tidak mampu menjawabnya, karena apa yang kualami pasti tidak masuk dalam kategori agama yang kau miliki.

Tapi, aku tidak peduli lagi dengan aturan-aturan yang sekarang masih terus kau ikuti dan jalani. Itu semua adalah masa laluku yang kini telah mati dan pergi entah kemana.

Mendengar ceritanya, aku hanya terdiam. Apalagi yang bisa kulakukan selain itu?



tengah hari,
di rumah, 19/9/2010

Senin, 06 September 2010

FITRAH

"Selamat Iedul Fitri, mohon maaf lahir dan batin .."

Kalimat itu merupakan standard ucapan di saat umat Islam memperingati hari selesai berpuasa, hari akhir bulan Ramadhan. Hari yang menurut mereka adalah hari kemenangan setelah sebulan penuh mengendalikan hawa nafsu. Hari itu umat Islam merasakan sebagai manusia baru, manusia yang mampu kembali ke fitrah, sebuah kondisi bersih bagai bayi yang baru lahir.

Seperti disampaikan oleh Abu Hurairah: " .. Rasulullah bersabda bahwa tidak ada anak yang lahir kecuali dalam Al-fitra dan kemudian orangtuanya menjadikan mereka Yahudi, Kristen atau Magian (Zoroatrian), seperti halnya binatang melahirkan binatang yang sempurna: kau lihatkah bayi binatang itu yang bagian badannya terpotong? " (Sahih al Bukhari, buku 23)

Fitrah adalah kondisi dimana kemanusiaan kita sempurna bagai bayi, tidak ada kedengkian, tidak ada ketakutan, kemarahan, ketamakan .. yang ada adalah kondisi seorang manusia yang utuh jasmani - rohani, murni, bahkan bayi-pun masih terhubung erat dengan dimensi spiritualitas mereka.

Hari raya iedul fitri memang tepat untuk merenungkan kembali kefitrian manusia. Hari yang diperlukan, paling tidak beberapa hari dalam setahun, untuk mengembalikan manusia kepada nilai-nilai kemanusiaannya. Nilai-nilai yang mengatakan bahwa semua manusia adalah sama, seperti kesamaan bayi-bayi yang baru lahir. Nilai-nilai yang membebaskan manusia dari sekat-sekat yang dibuatnya sendiri yang berasal dari: agama, kebangsaan, keturunan, ekonomi, politik, dan masih banyak lagi. Sekat-sekat yang ternyata telah membatasi gerak batin manusia dalam berkomunikasi dengan sesama, dengan alam semesta, bahkan dengan Tuhannya, sumber kehidupannya. Sekat-sekat yang ternyata telah mengasingkan manusia dari sisi kemanusiaannya.

Semoga hari Iedul Fitri 1431 H ini tidak hanya merupakan hari penyelesaian puasa, pembagian zakat karena kewajiban, mudik bertemu sanak keluarga; namun mudah-mudahan hari besar ini dapat mempunyai makna yang lebih dalam di kehidupan kita semua. Makna bahwa kita dapat kembali kepada nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar, kembali kepada kebebasan manusia dari sekat-sekat yang membelenggu dan mengurangi kebebasan gerak batin kita untuk saling menyapa, bersilaturahmi, bersatu.

Membuka pintu maaf bagi diri sendiri dan bagi orang lain tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Namun memaafkan diri sendiri dan orang lain adalah awal dari pendobrakan sekat-sekat yang membelenggu kemanusiaan kita sendiri, yang diperlukan untuk usaha kita kembali kepada nilai-nilai kesejatian kita sebagai manusia. Kembali kepada fitrah kita.

"Selamat Iedul Fitri 1431 H, semoga dibukakan pintu maaf lahir dan batin ..."



agus widianto
7 september 2010

Minggu, 05 September 2010

Surgaku Di Sini Dan Sekarang Ini

" .. kau tahu, hidup di dunia ini kan sementara, sedangkan kehidupan sesungguhnya adalah hidup kekal kelak setelah kita mati .."

Begitulah aku dan temanku memulai pembicaraan sore itu, di sebuah restoran di pinggiran kota Jakarta. Kami sudah lama berteman, dia tinggal jauh di ujung Borneo. Sore itu kebetulan bisa bertemu untuk melepaskan kerinduan berbincang dari hati ke hati.

Awan di Jakarta berwarna jingga seolah menjadi isyarat terakhir dari matahari bahwa sebentar lagi dia akan digantikan oleh bulan, setelah siang tadi setiap detik tanpa henti memberikan cahaya dan energinya kepada seluruh hidupan di seluruh planet di galaksinya. Namun, sesungguhnya sinar matahari tidak pernah tergantikan. Dia akan terus memancar, terus memberi dan menghidupi, tanpa pamrih. Sebuah sumber energi maha dahsyat dalam ukuran manusia, yang bahkan ketika malam-pun, pertikel elementernya, neutrinos, mampu menerobos ketebalan bumi dengan kecepatan cahaya seolah massa bumi ini tiada. Banyak renungan tentang matahari dan segala perilakunya yang memberi perspektif universal dalam kehidupan manusia yang semakin sempit di-kotak-kotakkan sendiri.

Aku masih terdiam dan menyeruput kopi di hadapanku. Temanku ini pemeluk agama yang kuat, seorang yang dapat menjadi contoh bagaimana menjalankan agama dengan baik. Sore ini dia hanya pesan teh panas manis. Beberapa keping biskuit ada di tengah meja, sebagian sudah kami nikmati.

".. maka, seluruh energi kita harus diarahkan pada kehidupan kekal itu. Apa yang kita perbuat dalam hidup sekarang ini kan sebenarnya ajang berinvestasi untuk kehidupan kelak. Sekarang dalam menghimpun investasi ini, kehidupan masih bisa kita kendalikan dan pilih mana yang baik dan buruk, namun kelak .. " ada jeda sejenak, dan kulihat dia menarik nafas dalam, ".. kita tidak akan mempunyai kesempatan dan keleluasaan lagi untuk memperbaiki hidup, semuanya sudah akan serba terlambat .."

".. kelak tinggal masa penghakiman, dan kita harus terima apa yang menjadi keputusan Sang Maha Hukum dan konsekuensinya, yang semuanya didasarkan pada segala catatan kehidupan kita sekarang ini .."

Aku masih mendengarkan dengan seksama setiap katanya. Ada perasaan aneh ketika pikiranku seolah memutar sebuah kaset lama. Lagunya itu-itu saja, liriknya mirip atau sama, hanya penyanyinya yang berbeda-beda. Lagu itu terus-menerus didendangkan, di-salawat-kan, bahkan menjadi kredo bagi sebagian manusia, menjadi syahadat. Lagu itu seolah sudah menjadi lagu kebangsaan umat manusia, yang ketika dinyanyikan harus disertai sikap sempurna, tegak dan penuh hormat.

Aku tidak tahu benar, dari mana lagu itu berasal, dan siapa pengarangnya.

Sejenak kembali ada jeda. Warna kemerahan di awan Jakarta sudah mulai meredup. Dewa Surya akan segera beristirahat masuk ke peraduan, dan Dewi Ratri akan menggantikannya menemani umat manusia di belahan bumi ini. Suara jengkerik dan burung malam mulai terdengar sayup. Suara katak yang terdengar satu-satu juga menjadi semakin jelas. Halaman rumah ini luas sekali, banyak pepohonan besar yang sudah sangat jarang ditemui di Jakarta, bahkan di wilayah cincin sub-urbannya. Udara mulai berganti dengan menghembuskan kesejukan senja, seolah semua pohon di situ bersama-sama meniupkan nafas harum dan sejuknya agar membantu manusia mengistirahatkan dirinya.

".. bagaimana kau berhubungan dengan sesama, dengan makhluk lain, dengan alam semesta, bahkan dengan dirimu sendiri .. pada kehidupan sekarang ini? .." tanyaku memecah kesunyian jeda tadi. Sebuah pertanyaan yang kemudian aku rasakan terlalu panjang dan seolah menghamburkan seluruh pikiranku dalam sebuah urutan kalimat. Sedikit gerakan kepalanya menandakan usahanya menangkap arti pertanyaanku.

Kemudian jawabnya, ".. semuanya hanya sementara, paling untung hanya 80 tahunan, dan setelah kematian, barulah kita masuk ke kehidupan kekal, abadi. Jadi, semua kehidupan ini hanyalah sarana kita untuk menggapai Allah, sarana untuk melakukan investasi agar kita kelak mendapatkan surga. Agar kelak raport kita tidak merah. Hidup sekarang harus baik dan benar, baik terhadap diri sendiri, sesama, lingkungan dan semesta .."

Terdengar sedikit desahan nafasnya setelah mengungkapkan semua argumentasi, sebuah pidato yang seolah sudah lama dipersiapkan dalam benaknya, bahkan dalam setiap sel di tubuhnya.

".. rasanya ada sedikit perbedaan dari cara kita bersikap dalam hidup ini ..", kataku.

".. bagiku, semua 'dunia' di luar diriku, baik itu sesama, makhluk lain maupun lingkungan dan semesta, merupakan kesatuan yang disebut kehidupan. Aku tidak pernah menganggap sesamaku sebagai alat untuk menggapai Allah ..", lanjutku.

".. meskipun barangkali perlakuan kita sama baiknya kepada sesama dan lingkungan, namun rasanya kebaikan yang aku lakukan .. dan aku masih terus mencoba untuk hidup baik .. adalah karena aku merasa mereka adalah bagian hidupku. Aku tidak dapat hidup tanpa mereka. Hubunganku dengan mereka tidak bersifat sub-ordinasi, bahwa aku punya wewenang atas mereka, bahwa aku adalah penjaga mereka, aku adalah khalifah mereka, aku diberi wewenang oleh Allah untuk menjaga dan memanfaatkan mereka. Tidak seperti itu .. Aku adalah mereka, dan mereka adalah aku .."

Sekarang giliran dia yang terdiam. Saat itu aku hanya mengharap dia dapat memahami kata-kataku.

".. Coba lihatlah secangkir kopi yang kuminum ini. Aku bisa menikmati lezatnya kopi ini karena jutaan manusia terlibat di dalamnya. Para petani penanam kopi, pekerja pabrik pembuat cangkir yang menarik ini, pengolah kopi, petani penanam tebu untuk bahan gula, pembuat kompos dan pupuk, sinar matahari, pegawai pengolah air, pegawai listrik untuk menjalankan mesin kopi .. dan terus .. dan terus .."

Dia masih terdiam dan memandangku. Dalam keremangan senja, bulatan hitam matanya seolah membesar.

".. Jadi, kopi yang kemudian kunikmati dan menyatu dengan diriku ini, merupakan sebuah hasil kerja besar dari banyak unsur semesta, termasuk manusia yang tidak pernah kukenal secara pribadi. Adakah aku lalu menganggap mereka adalah sarana untuk mencapai surgaku? Sama sekali tidak .. Aku hanya merasakan bahwa mereka adalah bagian dari hidupku. Aku hanya merasakan bahwa merekalah surgaku, yang sekarang ini berupa kenikmatan secangkir kopi .. "

".. inilah surgaku, menikmati suara2 makhluk senja di sekitar kita, merasakan sejuknya semilir angin malam di tempat seindah ini, ditemani secangkir kopi hasil kerja keras jutaan manusia, dan berbagi pengetahuan dengan kamu, teman baikku .." kulihat sekilas bibirnya bergerak menyunggingkan sebentuk senyum.

".. Surgaku sedang kualami sekarang ini, disini, di tempat ini, bukan nanti kalau aku sudah mati .."




buat temanku terkasih,
yang sedang berinvestasi untuk surganya kelak
jakarta, 6 september 2010

Kamis, 02 September 2010

Manusia Yang Lemah

Dia memandangku lekat-lekat. Kami baru saja berbincang mengenai birahi sebagian manusia yang muncul hanya karena melihat patung Tiga Mojang di Bekasi. Ada sinyalemen bahwa peristiwa itu menunjukkan betapa manusia-manusia itu mempunyai intelektualitas lebih rendah dari rata-rata, karena tidak dapat membedakan buah dada manusia dan buah dada patung.

Dia masih memandangku lekat-lekat, dan dengan pelan kemudian berkata: “.. manusia memang makhluk yang lemah, banyak keinginan daging yang seringkali tidak dapat kita kendalikan ..”

Aku diam sejenak dan mencoba menangkap pesan yang disampaikan di balik susunan kata yang terucap. Ada paling tidak tiga hal: pertama, manusia adalah makhluk yang lemah; kedua, keinginan daging; dan ketiga, kemampuan untuk mengendalikan keinginan daging.

“.. mengapa kau menganggap manusia itu lemah?”, tanyaku.

“ .. hanya Tuhan yang sempurna, manusia tidak sesempurna sepertiNya”, dia mencoba membuat sebuah perbandingan, yang menurutku hanya membandingkan dua fantasi.

“ .. meski aku tidak tahu Tuhan, tapi bukankah manusia itu sempurna?”

“ .. tidak, karena manusia tidak berkuasa menghindari kematian, sedangkan Tuhan bebas dari maut”.

“ .. menurut skenario manusia, memang seharusnya Tuhan tidak mati, karena jika dia mati, maka tidak akan ada rasa hormat manusia kepadaNya, yang seharusnya superior karena diyakini sebagai pencipta. Bagaiman Pencipta dikalahkan oleh siklus yang diciptakannya? Kematian yang digunakan sebagai faktor pembanding rasanya menjadi tidak adil. Namun intinya, pada saat manusia hidup, bagiku dia sempurna. Dia adalah hasil evolusi lebih dari dua ratus ribu tahun, dan evolusi ini menjadikan manusia sebagai sesosok organisme hidup yang sesuai dengan habitatnya ..” aku mencoba membela spesies-ku sendiri.

Kembali dia memandangku lekat, dan kulihat ada sedikit gerakan kepalanya seperti sebuah tanda keterperanjatan atas jawaban yang mungkin tidak pernah terpikirkan. Dia terdiam menunggu kata-kataku selanjutnya.

“ .. jika kau pahami mekanisme tubuh manusia, perkembangan otak manusia, kemampuan sensorik, sistem hormonal, kekebalan tubuh dan lainnya, kau akan bisa mengapresiasi kemampuan tubuh kita ini. Demikian juga kemampuan pikiran, kemampuan spiritual manusia yang bisa tidak terbatas, sangatlah memukau ..”

“ .. apresiasi demikian diperlukan agar manusia dapat menghargai dirinya sendiri, karena hanya dengan begitulah dia dapat menghargai manusia lain, menghargai makhluk lain, dan menghargai penciptaNya .. Hanya manusia yang tidak dapat menghargai dirinya-lah yang tidak dapat menghargai penciptaNya ..” lanjutku.

Dia masih diam, pandangannya seolah sedang mencari sebuah pegangan agar kata-kataku tidak menjerumuskannya ke sebuah lubang yang penuh ketidakpastian. Sebuah perangkap yang akan membahayakan keyakinannya.

“ .. tapi keinginan daging merupakan sisi kelemahan manusia, karena kita selalu tidak bisa mengendalikannya. Coba lihat, puasa makan minum saja sukar sekali, selalu ada dorongan untuk batal. Keinginan seksual merupakan indikator paling nyata, bahwa manusia tanpa seks rasanya tidak bisa hidup .. sewaktu keinginan seksual ada, betapa sukar mengendalikannya ..” dia masih mencoba mengulang dan memperkuat argumentasi tentang kelemahan manusia, “.. dan juga tidak hanya keinginan seksual saja, tapi keinginan-keinginan daging lainnya ..”

“ .. aku rasa ada benarnya bila pikiran kita mengendalikan seluruh sistem tubuh, yang kau sebut sebagai keinginan daging ..”

“.. maksudmu? “ dia mencoba memahami apa yang kukatakan.

“ .. semua berasal dari pikiran kita, termasuk segala keinginan, segala kebencian dan ketidak-pahaman. Pikiran yang muncul itu lalu menjadi lokomotif yang menggandeng seluruh sistem tubuh. Misalnya, meski tubuh ini sudah lelah, namun pikiran masih mempunyai keinginan pergi ke sebuah mall, maka tubuh lelah ini diseret-seret memenuhi keinginan pikiran ..”

Nampaknya dia sedang membayangkan kejadian yang kugambarkan.

“.. jadi, bukan keinginan daging yang ada, namun pikiran kita. Selama kita tidak bisa mengendalikan pikiran, maka daging akan terus menerus diseret untuk menuruti keinginannya. Demikian juga keinginan seksual.”

“.. lalu, dimana kesempurnaan tubuh yang tadi kau katakan?”

“ .. tubuh mempunyai kebijaksanaan sendiri, punya siklus sendiri. Coba bayangkan, siklus kehidupan dan kematian milyaran sel setiap hari yang tidak bisa kita cegah. Misalnya lagi, kerja jantung yang terus menerus memompa ribuan liter darah setiap hari tanpa kita suruh. Gerak paru2 sewaktu bernafas yang terus menerus tanpa kita sadari. Kalau pekerjaan2 penting dan vital dalam tubuh itu tergantung kepada pikiran kita, maka bisa-bisa kita lupa menyuruh jantung berdenyut, atau lupa menyuruh paru-paru bernafas pada waktu kita tidur .. “, kulihat dia sedikit tersenyum, lalu kulanjutkan khotbahku, “ .. namun begitu, pikiran dan tubuh adalah satu kesatuan, tidak bisa dipisahkan, saling mempengaruhi, yang satu adalah refleksi yang lain .. keduanya adalah mekanisme hidup yang ajaib dan sungguh sempurna ..”

Sambil sedikit mencondongkan tubuhku ke arahnya untuk memberinya keyakinan, kusudahi diskusi sore itu, “.. pikiran dan tubuh .. keduanya menyatu dalam keseimbangan yang saling membutuhkan, saling bekerjasama. Jika kau pahami keseimbangan ini, hidupmu akan jauh lebih bahagia karena tidak ada konflik diantara keduanya .. harmoni dan ketenangan akan tercipta dengan sendirinya ..”

Kulihat dia terdiam, namun ada seberkas cahaya samar dimatanya yang membuat pandangannya terlihat lebih hidup.



jakarta,
menjelang tengah malam
2 september 2010

Rabu, 01 September 2010

Korupsi Manifestasi Ketakutan

Pemberitaan di media massa akhir-akhir ini seolah menemukan menu utama yang pasti laku disuguhkan: korupsi. Berbagai dimensi korupsi sudah banyak dibahas dan dilemparkan ke pikiran khalayak untuk dilahap, bahkan saking getolnya melempar masalah, terjadi manipulasi berita seperti sinyalemen seorang penulis beberapa waktu lalu (R. Kristiawan, Simulasi Kebohongan Televisi, KOMPAS 17 April 2010). Semuanya untuk memenuhi gairah pembaca dan pemirsa berita, sebuah euforia baru. Saya masih ingin menambahkan sebuah dimensi tentang korupsi, bahwa dia merupakan manifestasi rasa takut yang dalam (deep fear).

Dalam kehidupan, manusia selalu mengalami perubahan-perubahan yang sifatnya alamiah, baik perubahan dalam diri maupun perubahan di luar diri. Perubahan dalam tubuh misalnya berupa kematian milyaran sel tubuh dan digantikan dengan milyaran sel baru; ataupun perubahan fisiologi akibat terkungkung oleh gaya gravitasi; juga semakin menurunnya daya dukung tubuh yang diakhiri dengan kematian. Diri manusia merupakan sebuah aliran sungai yang terus menerus berubah dan berganti setiap saat, bukan merupakan patung yang kaku dan tetap tidak berubah.

Perubahan-perubahan juga terjadi di luar dirinya, misalnya perubahan cuaca (climate change); perubahan struktur tanah akibat deforestasi maupun kontaminasi racun kimiawi; perubahan kekuatan sebuah rumah; kesehatan - kehidupan - kematian sanak keluarga; runtuhnya jabatan; kecelakaan; dan sebagainya. Perubahan-perubahan di luar diri manusiapun merupakan aliran sungai yang senantiasa berganti setiap saat. Bumi dan isinya adalah organisme hidup yang terus menerus berubah, bukan benda mati. Dialah ibu yang hidup, berubah, melahirkan dan menerima kematian setiap makhluk yang hidup bersamanya, termasuk manusia. Semua perubahan ini merupakan pengalaman yang sangat alamiah dan kodrati.

Banyak manusia yang merasa bahwa hidupnya kini adalah sebuah kenikmatan, baik kenikmatan materi maupun yang disebut sebagai kenikmatan ‘rohani’. Kenikmatan-kenikmatan ini seringkali disalahartikan sebagai kebahagiaan. Misalnya, seseorang merasa bahagia (nikmat hidupnya) bila dia mempunyai banyak harta berupa rumah mewah, mobil mewah dan banyak, pembantu lebih dari lima, tabungan di bank melebihi 10 digit, tanah hak milik lebih luas dari lapangan Monas, dan sebagainya. Demikian juga seseorang merasa bahagia (nikmat hidupnya) bila dia mempunyai istri tercantik di Indonesia atau suami terganteng dan terkuat masa kini, dianugerahi anak-anak yang nampak lucu, mempunyai jumlah teman sebanyak di face book, berpangkat direktur utama atau profesor, selalu sehat wal-afiat, dan lainnya.

Semua gambaran tentang “kebahagiaan” ini menjadi dorongan bagi banyak orang untuk menjadi “sukses”, yang ukurannya adalah kriteria-kriteria seperti di atas. Nilai kesuksesan (kebahagiaan) hidup ini lalu menjadi nilai masyarakat (social values), yang di-amin-i oleh semua golongan masyarakat. Bahkan dalam doa juga seringkali disebut-sebut: “ .. Terimakasih ya Allah atas segala kenikmatan yang kau anugerahkan kepadaku ..” Orientasi hidup kemudian menjadi mempertahankan dan menambah kenikmatan.

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidup ini tidak bisa ditawar, dan tidak dapat diprediksi. Karena sifat-sifat perubahan demikian itulah, manusia menjadi takut menghadapinya. Ketakutan akan kehilangan kenikmatan hidupnya, atau ketakutan akan runtuhnya ‘kebahagiaan’ yang ditopang oleh banyak faktor dan ukuran-ukuran yang sudah menjadi kesepakatan dalam masyarakat, yang merupakan indikator ‘hidup yang sukses’.
Korupsi adalah mengambil dan menimbun banyak hal dengan paksa dan tanpa mengindahkan akibatnya buat sesama atau lingkungannya, untuk mempertahankan atau menambah kenikmatan hidupnya, sekaligus untuk mencoba menyembuhkan pikiran tentang ketakutan akan perubahan. Korupsi adalah manifestasi dari segala rasa takut itu.

Untuk tetap mengalami kehidupan seperti sekarang yang dirasa nyaman dan nikmat, seseorang lalu ingin membangun "kekuatan" untuk mencoba menunda perubahan, atau ingin kalau bisa hidup ini tidak berubah. Atau ingin ada jaminan bahwa kalau-pun ada perubahan, akibatnya tidak akan mengurangi kenikmatan dan menambah penderitaan. Keinginan ini hanyalah ilusi, kekuatan inipun hanya ilusi.

Lalu apa?

Paling tidak ada dua hal untuk mencoba mengurangi korupsi: tindakan represif dan preventif. Pertama, represif. Yang sudah terbukti korupsi dan merugikan banyak pihak, bahkan rakyat, harusnya dihukum berat. Hukuman ini harus dilakukan karena perlu untuk membangkitkan lagi rasa keadilan dan efek jera dalam masyarakat. Perdana Menteri Republik Rakyat China Zhu Rongji (1998 – 2003) berani menyiapkan 99 peti mati untuk koruptor dan 1 untuk dirinya sendiri kalau terbukti dia korupsi. Sebuah pernyataan politik yang luar biasa untuk menakar kesungguhan dalam pemberantasan korupsi di negerinya. Zhu berani menyentuh dan membongkar ketakutan yang paling dalam penyebab terjadinya korupsi, dan berhasil. “Belajarlah sampai ke negeri China”, perlu dilakukan dalam hal ini. Keberanian yang penuh kesungguhan dan komitmen menjadi dasar penting untuk mencanangkan sikap politik anti korupsi, bukan sikap berpura-pura dan tidak jelas arah.

Preventif, mulai melakukan perombakan nilai-nilai dalam masyarakat tentang kebahagiaan hidup. Hal ini terdengar sangat normatif, namun inilah dasar dari orientasi hidup manusia. Transformasi nilai ini perlu untuk merombak nilai-nilai yang terpatri dalam pikiran seseorang, akibat dari berbagai sendi ajaran hidup, baik itu gaya hidup pejabat, guru, orang tua dalam rumah tangga, kurikulum sekolah, maupun nilai-nilai dalam agama yang seringkali diterjemahkan secara amat sangat dangkal. Misalnya, orang harus mulai belajar (lagi) tentang berbagi dengan sesama tanpa dibatasi sekat-sekat komunal dan agama. Belajar (lagi) tentang kearifan hidup dalam hubungannya dengan alam dan lingkungan. Belajar (lagi) tentang hubungan manusia dengan Tuhannya yang maha pengasih dan penyayang sehingga mampu menghormati segala kehidupan, dan belajar tentang nilai-nilai keikhlasan dalam hidup. Sikap preventif ini bisa dimulai dari skala kecil seperti dalam rumah tangga dan sekolah.


sebuah artikel yang
berasal dari kegundahan hati
2 september dinihari

Kamis, 26 Agustus 2010

Buruk Muka Cermin Dibelah

Pepatah di atas diajarkan pada saat aku duduk dibangku SMP, sekitar 40 tahun lalu. Namun begitu, rasanya pepatah itu masih tetap aktual dan relevan dengan kondisi saat ini.

Di salah satu media online, ada forum tanya jawab dengan seorang ulama terkemuka, terutama menyangkut aturan-aturan dalam Islam yang relevan dengan masa bulan Ramadhan. Salah satu penanya menulis bahwa ada satu buku yang mengatakan musik itu haram dalam Islam. Artinya, umat Islam dilarang mendengarkan musik karena bisa mempengaruhi seseorang untuk bertindak sesuatu yang tidak dikehendaki Allah. Jawaban ulama di forum itu melegakan karena dia bilang Islam mencintai kesenian, termasuk musik.

Dibalik diskusi singkat itu, ada beberapa hal menarik yang aku simak. Pertama tentang kebingungan. Dalam kehidupan yang modern seperti sekarang, dimana musik sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari, masih ada orang yang menanyakan tentang halal/haramnya musik. Sebuah pertanyaan yang bagiku hampir tidak masuk akal sehat, menggelikan sekaligus menyedihkan. Namun aku yakin, bagi orang yang bertanya, pertanyaan itu menyangkut surga dan neraka setelah kematian, sebuah pertanyaan tentang nilai yang teramat penting.

Hal lain yang kutangkap adalah sebuah sikap hidup yang menunjukkan ketidak berdayaan. Artinya, orang itu tidak mempunyai kemampuan (tidak berdaya) untuk mengendalikan respon (pikiran dan tindakan) terhadap stimuli (rangsangan dari luar). Sikap ini mencerminkan seseorang yang tidak mempunyai ketegaran dalam menghadapi kesulitan hidup. Berbeda dengan seseorang yang tegar, orang yang mampu mengatasi segala kesulitan hidup. Kesulitan hidup merupakan salah satu stimuli yang ada di luar dirinya, dan berinteraksi dengannya melalui komunikasi sehari-hari. Mampu mengatasi diartikan sebagai mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pikiran, kesadaran, batin, untuk menghadapi kesulitan hidup, yang dalam konteks ini, hanya mendengarkan musik. Ternyata, mendengarkan musik bisa menjadi sebuah hal yang sulit dalam hidup ini. Singkatnya, orang yang tegar adalah orang yang mampu mengendalikan respon terhadap stimuli dari luar. Dia adalah orang yang bijaksana karena mampu bereaksi berdasarkan nilai-nilai yang ada dalam nuraninya.

Kembali kepada musik. Jika musik (sebagai stimuli) adalah haram, maka kita lalu tidak boleh mendengarkan (sebagai respon terhadap stimuli). Respon seperti ini harus dituntun oleh orang lain, melalui penerapan aturan haram atau halal. Orang tersebut tidak mempunyai sikap sendiri untuk menentukan apakah musik itu haram atau halal. Dia tidak mempunyai dasar nilai dalam dirinya untuk menentukan dan mengendalikan respon, dasar nilai yang sebenarnya sudah ada dalam setiap manusia yang disebut sebagai "nurani". Dia tidak tahu bagaimana cara merespon sebuah stimuli, karena tidak pernah bertanya kepada nuraninya. Dia lebih percaya kepada aturan dari luar.

Karena kebingungan, ketidaktahuan, kegelapan pikiran, maka tindakan paling mudah yang dilakukan adalah: lebih baik menghindari stimuli. Lebih baik mengingkari adanya stimuli. Lebih jauh lagi .. mari kita hilangkan stimulinya. Tindakan-tindakan ini mengisyaratkan bahwa orang itu tidak pernah dilatih untuk memahami, menerima, dan berinteraksi dengan stimuli. Lebih baik steril, pikiranku tidak terganggu, agar tetap "suci". Dia tidak pernah dilatih untuk menghadapi kesulitan hidup, karena kesulitan hidup itu diingkari keberadaannya, dengan mencoba mengharamkannya, menafikannya.

Bagiku, sikap seperti ini tidak membantu, tidak memberi pencerahan dan tidak melatih bagaimana mengelola kesadaran. Sikap ini membuat orang-orang sibuk menghindari stimuli dengan mengharamkannya. Karena stimuli ini terus ada dalam hidup, maka kebingunganpun terjadi: kalau ini haram atau halal? kalau itu boleh atau tidak? musik itu haram atau halal? menyalami orang Kristen boleh atau tidak? memotong kuku dan rambut saat haid boleh atau tidak? memakan daging akikah anak haram atau halal? apa hukumnya terlambat sholat Jumat? bagaimana hukum berhubungan intim saat Ramadhan? dan terus .. dan terus .. tidak pernah selesai.

Orang-orang ini selalu berorientasi ke luar, selalu melihat stimuli sebagai sumber dosa, sumber penggoyah iman. Mereka tidak pernah melatih diri bagaimana mengendalikan respon agar iman tidak goyah. Tidak pernah melatih diri mengelola dan menjernihkan batin sehingga terbentuk nilai-nilai yang berdasar nurani. Sehingga pada akhirnya, mereka tidak mempunyai ketrampilan untuk mengendalikan batin, mengndalikan pikiran, mengasah nurani. Nilai-nilai hidup lalu dicari dari luar, dari kata-kata ustadz, dari ayat-ayat dalam buku.

Pada gilirannya, ketidakmampuan diri ini menjadi alasan pembenaran untuk menghilangkan stimuli. Lihat bagaimana bunyi undang-undang pornografi, lihat bagaimana perilaku berpakaian perempuan yang harus rapat agar tidak menimbulkan birahi, lihat bagaimana perilaku orang-orang terhadap sebuah patung tidak berbaju, lihat bagaimana ada aturan gerbong kereta api khusus perempuan, lihat dalam berbagai pesta pernikahan yang memisahkan lelaki dan perempuan, dan terus .. dan terus .. kesalahan selalu ditimpakan pada obyek di luar dirinya, dibebankan pada stimuli yang tidak bisa dikendalikan.

Aku tidak berdaya, maka kau jangan mengganggu aku. Aku berbuat jahat karena kau-lah penyebabnya. Buruk muka cermin dibelah ..



sebuah pemikiran
dari obrolanku dengan Yani
27/8/2010

Jumat, 13 Agustus 2010

Harga Sebuah "Diri"

Dalam kehidupan sehari-hari, harga diri seringkali menjadi sebab dari banyak pertikaian, perselisihan, bahkan saling menghilangkan nyawa. Banyak sekali contohnya. Apakah yang dimaksud dengan harga diri? Apakah "diri" itu? Berapa harganya?

Banyak manusia tidak mengenal dirinya sendiri. Dia tidak mengetahui kesejatian dirinya, sehingga diri kemudian di asosiasikan dengan berbagai hal yang "dimiliki"nya, misalnya: harta - bahwa saya seorang milyuner, punya banyak tanah diseluruh Indonesia, anaknya yang punya pabrik rokok "Samsoedji", dan sebagainya. Demikian juga dengan pangkat - saya seorang menteri kehewanan dan anak buah saya ratusan, saya seorang ilmuwan dan doktor di bidang nuklir lulusan Amerika Serikat. Atau saya seorang ustadz atau pastor pemimpin umat yang jumlahnya jutaan (menurut saya), yang fasih tentang isi alkitab dan menjadi perantara Tuhan bagi manusia kebanyakan seperti kamu. Status sosial - saya seorang public figure yang terkenal di seluruh dunia, sehingga anak2 kecil di Afrikapun tahu nama dan makanan kegemaran saya.

Demikian seterusnya sehingga "diri" lalu bermakna jika ada embel-embel lain, seperti pangkat, harta, kepandaian, status sosial, dan seribu satu macam yang dapat dijadikan 'cantolan' untuk diri. Masyarakat menciptakan pandangan-pandangan demikian, dan membentuk nilai-nilai yang kemudian dianut oleh anggotanya. Nilai-nilai ini seringkali juga merupakan strategi industri, politik, rasisme, ekonomi, dan banyak hal lain. Misalnya, nilai kecantikan adalah perempuan yang putih kulitnya, langsing, berwajah Indo. Maka muncullah industri kosmetik yang membantu para perempuan menjadi "diri' yang diinginkan, orang Jawa pun ingin kulitnya putih seperti orang Eropa. Di Indonesia sedang ramai bahwa nilai kesalehan diciptakan dengan penggunaan jilbab. Maka berduyun-duyunlah perempuan Indonesia berjilbab meskipun tidak cocok dengan iklim.

Dalam hal pangkat, orang dianggap berhasil hidupnya kalau menjadi seorang pemimpin perusahaan, atau pegawai negeri. Maka berbondong-bondonglah orang-orang menuju ke sana meski harus dengan cara nyogok kiri kanan, tendang teman sebelah, injak kaki orang lain, dan sebagainya. Demikian juga dengan harta, dan semua embel-embel untuk menentukan yang namanya "diri". Kalau tidak ada embel-embel itu, maka "diri' tidak ada.

Dari berbagai contoh di atas, sudah terlihat betapa "diri" harus mempunyai "harga" yang berupa embel-embel tadi, dan harga ini perlu didapat dengan perjuangan keras, karena banyak saingan dan posisi puncak hanya satu. Jika posisi puncak sudah didapat maka saya akan lebih dari yang lain, saya akan berbeda dengan yang lain sehingga lebih mudah untuk mengenal "diri" saya.

Pada akhirnya, yang disebut harga diri adalah seperti halnya kita menempel "harga" di jidat kita masing-masing (tanpa harus disetujui oleh orang lain), karena menurut keyakinan saya, itulah "harga diri" saya, sesuai dengan perjuangan dan jalan hidup saya, serta persepsi saya terhadap nilai. Konflik terjadi ketika orang lain memberi harga lebih rendah dari harga yang saya pasang di jidat. Saya merasa dilecehkan, saya tersinggung dan saya akan marah. Maka timbullah pertikaian, perselisihan dan bahkan saling bunuh.

Lalu, apakah yang disebut kesejatian diri itu? Perlukah ada harga dalam diri kita?

Lain kali akan saya coba tuliskan.


Salam,
pagi hari, baru selesai sakit perut
14 agustus 2010

Rabu, 11 Agustus 2010

Cerita Debby: Derita Dalam Sebuah Dendam

Sore itu aku baru saja menyelesaikan laporan terakhir di kantorku. Sudah hampir seminggu kami di kantor sibuk menyelesaikan laporan tahunan proyek kami, sehingga hari-hari yang melelahkan itu seolah menguras segenap energi yang kami punya. Hari itu harapan untuk dapat sedikit melepas lelah terbetik di pikiran. Kenikmatan secangkir kopi membayang di pelupuk mata yang sudah terasa semakin berat karena kelelahan.

Petang baru menjelang menggantikan terik siang hari setelah seminggu tidak ada hujan yang diharapkan dapat menyejukkan ibukota ini. Kesibukan pekerja kantor seperti diriku seolah mencapai titik terendah dalam kurva ritme hidup, ketika semakin terlihat mereka pulang ke rumah dengan sisa pikiran dan tenaga yang ada. Pola ritme seperti ini terjadi setiap hari: pagi hari dengan energi besar berangkat ke kantor, menguras energi di kantor dengan berbagai kesibukan, dan pulang ke rumah dengan energi sisa. Sering kurenungkan, dari mana sebuah keluarga mendapatkan energi dari setiap anggotanya, untuk tetap menjaga kebersamaannya dan keutuhan lembaga sosial terkecil, namun merupakan inti ini.

Jam di tanganku menunjukkan waktu hampir magrib, sewaktu aku sampai di tempat parkir VW kodok yang telah dengan setia mengantarku kemana saja tujuanku. Baru ketika kututup pintunya, kudengar suara bel tanda sebuah sms masuk ke dalam HP ku.
Rrr … rrr …dingdong ….. Kubaca sms yang masuk: “jd ktmuan dimana?” Kubaca sendernya, Debby. Siang tadi kami sudah bersepakat bertemu untuk sekedar ngobrol. Namun dari nada sms-nya, kurasakan kali ini obrolan akan cukup serius setelah kutangkap getar kesedihan dalam kata-katanya. Lalu jempol jariku cepat menyusun balasan:”ntar ktmu di wrung kopi dkat kntor, sktr jm 6 lebih” dan kutekan ‘send’. Kuperhatikan gambar sebuah surat melayang menjauh di layar hpku. Kututup pintu mobilku, dan dengan pelan kodokku membawaku ke warung kopi tidak jauh dari kantorku.

Sore itu, kulihat warung kopi langgananku sudah banyak didatangi pelanggan. Rasanya belum begitu lama dia dibangun di situ, namun kulihat perkembangannya sangat pesat. Semakin banyak pelanggan yang datang dan pergi mereguk nikmatnya kafein. Barangkali, ini ada hubungannya dengan menurunnya energi para pekerja kantoran di sore hari, dan mereka membutuhkan suatu pemicu energi seketika yang menyamankan. Suntikan kafein nampaknya mampu melayani kebutuhan itu.

Bangunan warung itu tidaklah terlalu besar, namun ketika masuk ke dalamnya, terasa banyak menawarkan keramahan baik dari para barista yang senantiasa menyapa setiap tamu yang datang, maupun warna dan aneka peralatannya. Setiap ruangan dari dua ruang terpisah antara merokok dan bebas rokok, dipenuhi pernik-pernik tradisional serta kursi dan meja yang bergaya retro. Di dindingnya terpampang foto-foto lama yang menggambarkan wajah awal warung dan pendirinya di jaman penjajahan Belanda, seolah ingin memastikan bahwa pengalaman mereka menyajikan mutu kopi tidak perlu diragukan lagi. Ada beberapa lukisan tradisional dan beberapa permainan meja yang dapat membantu menyajikan sebuah nuansa warung lama yang nyaman untuk menjadi tempat ngobrol selepas dari kesibukan harian di kantor.

Hanya sekitar 10 menit aku duduk menunggu, Debby-pun datang. Setelah saling memberi salam, kami memesan minum kepada para barista yang sebagian mengenalku karena seringnya aku berkunjung ngopi di situ. Debby memesan segelas es kapucino, dan seperti biasa kupesan es kopi moka. Dua ollie bolen menemani dua gelas minuman dingin kami.

Sambil menunggu kopi kami, kuamati perempuan yang duduk di seberang meja ini. Seperti biasanya, dia kelihatan menarik. Aku yakin, kulitnya yang putih yang mewarnai postur badannya yang berisi, dipadu dengan wajahnya yang bulat telur, hidung yang bagus dan mulut yang selalu sedikit terbuka memperlihatkan baris giginya yang putih bersih, serta rambutnya yang pendek bebas tergerai, mampu menarik perhatian banyak lelaki. Namun sore itu dia seperti kehilangan senyum manisnya. Wajahnya yang bersih semakin kelihatan agak pucat.

“Aku baru saja putus dengan cowokku”, dia mengawali pembicaraan itu dengan pernyataan yang sederhana, namun selalu mengandung segumpal cerita yang biasanya penuh dengan derita. Kulihat wajahnya sedikit memerah. Aku terdiam. Kubiarkan energinya masuk dalam pikiranku, dan kucoba untuk ciptakan sebuah koridor langsung untuk membuat hubungan mental kami tidak banyak terhalangi. Detik jam terus berganti, dan kebisuan menguasai diri kami berdua untuk beberapa saat. Aku masih diam sambil mencoba meningkatkan intensitas kerja inderawiku untuk siap mendengarkan pesan-pesannya. Katanya, dalam ideogram Cina, ‘mendengarkan’ berunsur tiga hal: mata, telinga dan hati, sehingga perlu disiapkan ketiganya sebagai sebuah kegiatan mental yang bekerjasama dengan baik.

Kebisuan sesaat tadi terpecah dengan suaranya yang pelan namun terdengar jelas, “Cowokku mengaku mempunyai hubungan dengan kekasih lamanya. Aku samasekali tidak pernah menduganya, mas. Setelah sekian lama kami menjalin hubungan yang kelihatan mesra, sehingga jarak Jakarta – Jogja sudah bukan halangan buat kami berdua untuk selalu bertemu di hati. Pertemuan demi pertemuan fisik selalu kami lakukan sebisa mungkin untuk mengobati kerinduan kami yang berjarak satu jam terbang. Namun usahaku nampaknya gagal, dan dia sudah menceritakan semuanya padaku. Aku begitu terluka dan marah. Senin lalu aku lepaskan seluruh kemarahanku dan keputus-asaanku, dengan memaki-makinya melalui telpon sampai sekitar setengah jam ….”

Dua gelas kopi dingin yang kami pesan tiba, ditemani dua kue kesukaanku. Kuucapkan terimakasih pada barista yang mengantarnya.

Ada nada kesal bercampur sedikit kepuasan dalam kata-kata Debby yang mulai mengalir keluar tanpa hambatan, melalui koridor komunikasi yang kami ciptakan. Energinya dengan intens mengantarkan pesan pikirannya, sehingga membuatku sedikit tergagap untuk menampung dan mencernanya. Namun hanya sejenak, ketika setelah itu suaranya agak melunak dan berubah menjadi pernyataan yang tersisip oleh sebuah keputusasaan. “Coba mas bayangkan, kepercayaanku padanya yang aku berikan sejak lama, dengan begitu saja dikhianati. Betapa teganya dia. Aku gak habis pikir, kenapa begitu sampai hati dia menyakitiku. Aku sudah berusaha mati-matian untuk tetap setia meski kami tidak dapat selalu bertemu, tapi selama ini kuusahakan selalu menyapanya hampir setiap hari.” Kali ini matanya mulai merebak sembab, lalu tangannya menghapus genangan airmata yang mulai menggantung di sudut pelupuk matanya. Aku masih berdiam diri sambil memperhatikan kata-katanya, memperhatikan gejolak hatinya, dan memperhatikan setiap gerak halus di tatapan matanya, serta gerak dan kerut di wajahnya.

“Sekarang ini sering tanduk iblisku muncul, dan kemunculannya selalu mendorongku untuk telpon dia dan memaki-makinya sambil mempertanyakan pengkhianatannya. Dia selalu tidak bisa menjawab ketika kutanya kenapa dia setega itu melakukannya kepadaku”. Dia terdiam sejenak, mukanya kembali memerah dan kali ini kutangkap getar kesedihan serta gejolak kemarahan, “Aku sudah coba melupakannya, tapi ketika aku berdiam diri, bayangan wajahnya muncul lagi, dan kepedihanku kembali merasuk dalam pikirku. Aku gak tahan mas, rasanya pedih dan hancur mengingatnya …”

Kubiarkan dia menumpahkan segenap lumpur hitam kepedihan hatinya. Aku terus mencoba menjaga keterbukaan pikiran dan hatiku sehingga jalur komunikasi tidak terputus. Getaran kepedihannya begitu terasa dalam hatiku, dan energi kemarahannya dapat tertangkap dengan jelas dalam batinku. Aku masih terus diam membuka pikiranku. “Lalu sekarang aku harus bagaimana?” akhirnya segenap rasa yang campur aduk dalam hatinya berakhir dengan pertanyaan sederhana, sesederhana pernyataan ketika dia mengawali pembicaraan kami.

Sejenak aku terdiam, membersihkan semua pikiran yang tidak ada kaitannya dengan perkara yang baru saja dia tumpahkan kepadaku. Kucoba mengheningkan batinku dan membiarkan mata batinku melihat melalui kejernihan yang terciptakan. Ada sebuah jeda hampir semenit yang cukup terasa lama. Kerasnya suara canda tawa tamu lain dan musik di kafe itu terdengar sayup di telingaku.

“Apa yang kau harapkan darinya, Deb?” kubalas pertanyaannya dengan pertanyaan juga. Dia terdiam sejenak. Barangkali hal itu tidak begitu diperhatikan, karena dia disibukkan dengan kemarahannya dan kepedihannya, sehingga sebentuk ‘harapan’ menjadi agak sulit ditemukan dalam kemelut amarah dan derita yang mengungkung dan menguasainya. Setelah beberapa saat dia mencoba menemukan pikirannya kembali, dia berkata, “Aku inginkan kejelasan, kenapa dia begitu tega menyakitiku. Kepercayaanku yang begitu besar kepadanya telah dia khianati. Memang kita berjauhan, tapi jarak Jakarta - Jogja seharusnya bukan hambatan karena aku percaya kami bisa saling setia. Begitu teganya dia.”

Setelah terdiam sambil menghela nafas panjang dia melanjutkan, “Ada keinginan dalam hatiku untuk membuatnya menderita …. Rasanya nggak adil kalau hanya aku yang terluka. Dia harus bisa merasakan kepedihan seperti yang kurasakan saat ini.” Aku terdiam, dan mencoba memahami dengan baik apa yang baru saja dikatakannya. Dendam. Ya, sebuah klimaks dari sebentuk rasa, yang awalnya merupakan rasa derita akibat diperlakuan tidak adil, lalu bertransformasi menjadi sebuah kekecewaan, lalu terpupuk menjadi sebuah amarah, dan berakhir dengan sebuah puncak kekerasan, sebuah dendam.

“Bagaimana kau mau membuatnya menderita?” tanyaku, “Aku gak tahu, tapi itu yang ada dalam pikiran iblisku” jawabnya. Lalu tanyaku, “Apakah dengan membuatnya menderita lalu penderitaanmu berkurang?”. Dia menggeleng lemah, “Aku rasa tidak …” Sebuah jawaban yang jujur, yang saat itu langsung aku hargai dan hormati.

“Deb, aku pernah baca sebuah cerita.” Kumulai kata-kataku seolah sedang mendongeng kepada seorang anak. Debby terdiam, mengambil ollie-bollen yang sejak tadi belum tersentuh. Dikunyahnya gigitan kecil kue itu, lalu diletakkannya kembali sisa gigitannya. Dia lalu menatapku lekat-lekat, seolah bersiap mendengarkan ceritaku selanjutnya. “Suatu hari ada orang yang tertabrak mobil, dan karena luka-lukanya, dia sedang sekarat. Sambil berdarah-darah dan mendesis menahan hebatnya sakit yang dideritanya, dia berkata kepada orang-orang yang menolongnya, dan ngotot berusaha mencari tahu siapa yang menabraknya, mencoba menggambarkan mobilnya apa dan keluaran tahun berapa, lalu menanyakan kenapa sopir mobil itu bisa menabrak dia yang sudah menyeberang dengan benar sesuai aturan, …” Debby masih terus mendengarkan dengan seksama, lalu aku teruskan, “Akhirnya orang tersebut mati, karena tidak segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan pertama.” Dia diam menyimak ceritaku. “Menurutku, peristiwa itu serupa denganmu. Kau tahu maksudku?” Dia terdiam beberapa saat dan kemudian mengangguk lemah.

“Menurutku, daripada ingin tahu kenapa dia sampai tega meninggalkankanmu, bahkan kau sibuk cari jalan untuk membalas perlakuannya yang kau rasa membuatmu menderita, apa gak sebaiknya kamu mengurus dirimu sendiri, mencoba memberikan perhatian pada hati dan pikiranmu agar bisa kembali lebih tenang?” Dia masih terdiam. Aku menduga bahwa itu merupakan sebuah alternatif yang tidak mudah baginya untuk menjatuhkan keputusan memilihnya. Barangkali, hal itu juga tidak pernah terduga sebelumnya.

“Kalaupun akhirnya kau tahu alasannya meninggalkanmu, lalu apa yang bisa kamu lakukan? Apakah ada jaminan itu akan memperbaiki keadaan?” Dia menggeleng lagi dengan lemah, sambil menyeka matanya yang kembali sembab.

“Tapi, mas, bagaimana mencegah agar pikiran tentang dia nggak muncul lagi? Aku sudah coba mengalihkan perhatianku dengan melakukan hal lain, tapi pikiran itu selalu datang lagi dan datang lagi … sakit sekali rasanya, mas”

“Sebuah kepedihan di hati bukan untuk dihindari. Melakukan hal lain sama halnya dengan membelakangi masalah, yang berarti mengingkari keberadaannya. Kepedihan itu ada, dan seharusnya tidak diingkari, tapi harus dihadapi …” Kulihat dahinya berkerut sambil menatapku lekat-lekat. “Tapi begitu berat mas …” Dan kukatakan, “Memang Deb, sekarang bisa terasa sangat berat, tapi perasaan selalu berubah karena waktu. Perasaan itu ada dan tergantung kita sendiri untuk menanggapinya. Kita bisa layani dia, sehingga kita terbawa olehnya bahkan diapun bisa semakin menenggelamkan kita, sampai akhirnya harus bunuh diri … “ Dia mendadak menyela,”Memang ada mas pikiranku untuk minum obat tidur …” Giliran aku yang mengerutkan dahi dan menatap lekat wajahnya yang cantik itu. Sejenak aku terdiam, lalu aku lanjutkan,” … atau dengan lebih bijaksana kita pahami pikiran dan perasaan itu dengan baik, kita coba temukan akarnya, dan coba mengatasinya dengan penuh kesadaran …”

“Deb, kamu tidak bisa merubah sikap cowokmu itu, meski memaki-makinya seharian penuh. Yang perlu kita rubah adalah diri kita sendiri, bagaimana menghadapi kondisi demikian itu. Barangkali perlu kau teliti kembali harapan-harapanmu kepadanya, ketergantungan-ketergantunganmu …. Tapi yang lebih penting adalah, kau pahami ketakutan yang ada jauh di lubuk hatimu ketika harapan-harapanmu tidak terpenuhi. Barangkali itu adalah akar masalah yang sedang kau hadapi sekarang ini.” Dia mengangguk pelan, meski nampak masih ada keraguan pada wajahnya.

Tak terasa sudah hampir dua jam kami berbincang, dan gelas kami sudah mulai menampakkan dasarnya, yang penuh sisa busa-busa krim. Piring makananpun sudah bersih, tinggal segenggam tissue dan garpu yang penuh remah-remah ollie bollen.

Sewaktu berjalan ke arah mobilnya, dia berkata,”Thanks mas, hatiku agak ringan rasanya …” Aku balas senyum manisnya, “Sama-sama Deb …, take care …” Kamipun berpisah.

Esoknya ada sms darinya:”thx mas, aku bs senyum lagi n tidur nyenyak”, lalu beberapa saat masuk lagi sms-nya,”tp msh susah skl ya hilangkan skt hatiku” … Aku hanya bisa jawab: …”prlu wkt dan ksungguhan dlm proses pnjernihan ini, tp mmang hnya kau sndiri yg bs mngatasinya, bukan org lain. good luck n hang in there”.

Minggu, 08 Agustus 2010

Tuhan tidak beragama

Diskusiku tentang agama dan Tuhan senantiasa menjadikan orang yang kuajak diskusi seolah merasa dirinya adalah orang yang paling saleh beragama, dan seolah merasa dirinya paling dekat dengan Tuhan. Siapapun orang itu, entah itu sopir taksi, teman kantor, teman chatting di dunia maya, kolega, ataupun saudara sendiri. Ada sebentuk usaha yang ditunjukkan dia adalah penyembah Tuhan yang beriman teguh kepada agamanya. Tidak akan ada yang mampu menggoyangnya ..

" .. Tapi Tuhan kan tidak beragama? " begitu selalu aku sampaikan pernyataan setengah bertanya, untuk melihat reaksinya. Berbagai reaksi pernah aku amati selama ini.

" .. hahaha .. betul mas. Jadi kenapa kita ribut tentang agama ya? hahaha .."
" .. wah .. yang itu saya belum nyampe ilmunya pak .. " kata seseorang, setelah terdiam beberapa saat, dan yang sebelumnya berapi-api menjelaskan ayat2 dari kitabnya untuk menunjukkan penguasaannya tentang alkitab ..
" .. ah, bapak bisa aja .. kalau menurut agama kami Tuhan itu beragama .. " katanya sedikit ngotot untuk memperkuat bahwa agamanya adalah yang disenangi Tuhan,
" .. iya ya pak, hal itu gak pernah terpikir oleh saya .. kayanya selama ini Tuhan itu seagama dengan saya .." sebuah pengakuan yang jujur,
" .. iya mas, tapi kan Tuhan menciptakan agama agar manusia bisa mengenalnya dan kemudian menyembahnya .."

Pernyataan sederhana bahwa Tuhan tidak beragama, ternyata memancing berbagai reaksi yang bermacam-macam dan sering keluar dari ketidak-terdugaan. Biasanya dengan sedikit kaget. Meski dalam membuat pernyataan itu, aku sendiri juga hanya mendasarkan pada pemahamanku tentang Tuhan dari berbagai sumber, termasuk tingkat pemahaman yang pribadi dan tidak perlu disepakati oleh siapapun.

Dari pengalaman berbagai diskusi itu, aku dapat merasa bahwa manusia sering sibuk dengan pikirannya sendiri. Sibuk dengan konsep-konsep yang dikembangkannya sendiri. Sibuk dengan gambaran-gambaran imaji yang diciptakannya sendiri. Manusia tidak lagi memberi ruang terhadap kemungkinan lain yang tidak diketahuinya. Seluruh ruang dalam benaknya dipenuhi dengan keyakinan yang kemudian dianggap sebagai realitas dan kebenaran, yang menjadi melekat erat. Pemahaman baru lalu tidak mendapatkan pintu untuk masuk dan memberi warna berlainan dalam benak yang penuh itu.

Tidak ada keterbukaan. Tidak ada pembaruan. Pikiran menjadi beku dan terkungkung oleh kebenaran dogmatis. Tidak ada ruang untuk menerima pandangan berbeda. Tidak ada perbedaan, harus sama dengan apa yang dipikirkannya. Barangkali inilah awal dari ketegangan terutama dalam beragama. Kepicikan, kata temanku.

Aku tidak pernah berharap bahwa pertanyaanku tentang agama Tuhan mampu mengubah konsep kebenaran yang digenggam oleh orang-orang beragama. Itu bukanlah urusanku. Namun mudah-mudahan pertanyaan itu mampu sedikit menggoyang kenyamanan pikiran seseorang .. entah setelah itu ..

Mudah-mudahan mereka lalu sedikit demi sedikit mau memberi ruang untuk kesadaran yang lebih hakiki, dan mengurangi kesibukan2 pikiran agar kebenaran sejati dapat muncul memberikan cahayanya ..


minggu malam
hampir jam 11

Rabu, 04 Agustus 2010

Tuhan di luar, Tuhan di dalam

Dalam sebuah diskusi di FB baru-baru ini, kami berbincang tentang Tuhan. Sebuah materi diskusi yang tidak pernah habis dibahas dari jaman ke jaman, sehingga sejalan dengan sejarah pencarian manusia, maka Tuhan-pun akhirnya punya sejarah. Cerita perkembangan sejarah Tuhan ditulis dengan baik oleh Karen Armstrong dalam bukunya "A History of God" terbitan Ballantine Books, 1993. Sebuah saga pencarian Tuhan selama 4000 tahun.

Aku menawarkan pandangan bahwa manusia sekarang ini kebingungan.

Manusia sering melihat Tuhan di atas sana, mencipta kita dan semesta, lalu duduk-duduk di singgasana surga sambil mengawasi perilaku ciptaannya. Kalau ada yang berperilaku baik dipuji dan diberi pahala, kalau ada yang buruk perilakunya lalu dihukum. Manusia-lah yang sebetulnya menciptakan hubungan seperti ini, karena hanya itulah pemahaman tentang Tuhan. Jika sudah mati, maka manusia dipilih oleh Tuhan untuk dimasukkan ke surga atau ke neraka sesuai dengan perilakunya di dunia semasa hidup. Ada petugas2 khusus di bawah kordinasi Tuhan yang melakukan pemilihan ini berdasar catatan hidup dan persidangan.

Kebingungan manusia tercipta karena sekarang ini dirinya terpisah dengan Tuhan, terpisah dengan surga dan neraka. Bingung karena tidak tahu sebetulnya dia ada dimana. Bingung karena sesungguhnya manusia telah memisahkan diri dari sumber kehidupan sejati. Kesejatian yang dipaksa dipisahkan menjadikan manusia tidak lagi mengenal dirinya, tidak mengenal kesejatiannya, tidak mampu memahami asal muasalnya. Manusia telah terpisah dari energi yang menghidupinya, terpisah dari sumber kasih, dan terpisah dari kemanusiaannya.

Keterpisahan dengan sumber kehidupan menciptakan ketakutan yang sangat. Keterpisahan dengan sumber kasih menciptakan kekejaman. Keterpisahan dengan kemanusiaannya menciptakan kejahatan terhadap sesama manusia. Kebingungan juga lalu membuat manusia mencari-cari pegangan, karena tidak memahami apa yang harus dipikirkan dan dilakukan dalam hidup ini. Manusia berada dalam kegelapan batin. Namun demikian, pegangan di dunia ini banyak tersedia, baik yang berbau suci seperti kitab-kitab yang dikeramatkan, tokoh-tokoh yang disanjung-sanjung dan disucikan, sampai pada jumlah angka dalam secarik kertas uang, atau imajinasi yang dikembangkan sendiri dalam pikiran. Begitu banyaknya pegangan yang tersedia, tinggal memilih mana yang disukai dan sesuai dengan keinginannya. Maka, kebingungan bertambah karena satu sama lain berbeda pegangan dan masing-masing ngotot bahwa pegangan yang dimilikinya-lah yang bisa menyelamatkannya dari kebingungan dan ketakutannya.

Kehidupan manusia seperti itulah yang sekarang sedang terjadi, dan dengan semakin banyak tersedia pegangan untuk hidup, semakin bingung-lah manusia-manusia sekarang. Kesibukan mencari pegangan (buat diri sendiri) semakin menjauhkan manusia dari rasa kebersamaan, rasa persaudaraan, rasa kasih terhadap sesama, rasa bahwa manusia adalah satu. Yang semakin subur berkembang adalah mementingkan diri dan kelompoknya sendiri, rasa bahwa kita sangat berbeda, bahwa saya paling benar yang lain salah dan kalau perlu dibasmi agar tidak mempengaruhi pegangan saya.

Semua pemahaman fundamental ini akan berubah total seandainya kita paham bahwa Tuhan ada di dalam diri kita. Sumber kehidupan, sumber segala kasih, sudah ada di dalam, tinggal kita menemukan dan mempersilahkannya menuntun kehidupan kita. Segala rasa terasing, segala ketakutan akan lenyap dengan sendirinya.

Silahkan mencoba.



kemis kliwon
5 agustus 2010
masih di rumah selesaikan proposal

Jumat, 30 Juli 2010

Power to Choose

".. Science promised man power …. But, as so often happens when people are seduced by promises of power, the price is servitude and impotence. Power is nothing if it is not the power to choose .." Joseph Weizenbaum, MIT scientist.

Aku teringat cuplikan itu ketika temanku senantiasa memperkenalkan dirinya sebagai seorang scientist. Dia memang seorang doktor fisika lulusan salah satu universitas ternama di Amerika Serikat, dengan predikat cum-laude. Dia patut bangga karena tidak banyak manusia di negri ini yang dapat mencapai prestasi sepertinya.

Bukan apa-apa. Aku melihatnya dalam konteks lebih luas, tidak hanya dalam konteks ilmu pengetahuan saja. Aku rasa, ada banyak hal dalam kehidupan sehari-hari yang juga menjanjikan kekuasaan kepada kita. Misalnya, harta benda, pangkat, gelar pendidikan, kelebihan (spiritual), bahkan bentuk dan ciri fisik. Semua hal dapat menjanjikan apa yang disebut (dan kita anggap) sebagai "kekuasaan".

Jika seseorang mempunyai uang lebih banyak dari orang lain, maka orang tersebut merasa mempunyai kekuasaan, dan rasa berkuasa itu mulai menggoda dengan kuat, misalnya untuk menggunakan alat kekuasaan (uang) dalam berinteraksi dengan orang lain. Seandainya seseorang merasa mempunyai kelebihan (spiritual) sehingga orang tersebut dijuluki "paranormal" atau "orang pandai" atau "pemuka agama", maka dia lalu tergoda oleh rasa berkuasa karena merasa memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang lain tersebut. Demikian juga untuk hal lainnya, seperti misalnya: tingkat pendidikan, pangkat, jabatan, bahkan yang remeh-temeh seperti jenggot dan cara berpakaian.

Ongkos atau biaya yang harus ditanggung adalah pelayanan dan ketidakberdayaan. Kita lalu melekat dan menghamba kepada hal-hal yang (kita anggap) memberikan kekuasaan tersebut. Kita lalu terjebak dalam sebuah hubungan ‘hirarkis’ antara kita dan hal tersebut. Kemelekatan lalu menjadi sebuah pelayanan, karena kita harus menjaga semua hal tersebut agar tidak jatuh. Kita selalu siap melayani rasa berkuasa dan menjunjung tinggi imaji (yang kita ciptakan sendiri) karena ‘memiliki’ hal-hal tersebut. Diri kita lalu tidak mempunyai keberdayaan sama sekali. Kita merasa bahwa diri ini sama dengan hal yang melekat. Saya adalah orang kaya, saya adalah rektor, saya adalah direktur, saya adalah paranormal, saya adalah berwajah indo, saya adalah orang saleh (dan berjenggot), saya adalah orang katolik, saya adalah scientist.

Aku memahami bahwa hal itu bukanlah identitas, melainkan rasa yang melekat. Ataupun kalau disebut identitas, maka itu bukanlah kesejatian.

" .. Power is nothing if it is not the power to choose .. " Benar adanya. Kekuasaan sesungguhnya terjadi ketika seseorang mampu memilih. Ketika kita bisa mendobrak belenggu imajiner yang selama itu telah mengungkung kita dan memberi rasa nyaman dalam bungkus imaji tentang kekuasaan. Dalam konteks ini pula aku memahami kata-kata Yesus ketika dicobai oleh setan, misalnya, dan dia menjawab .. manusia hidup bukan dari roti saja. Lalu Yesus juga tidak silau dengan kekuasaan yang dijanjikan setan. Yesus mampu memilih. Gautama Buddha memilih meninggalkan nikmatnya kemewahan istana untuk memahami kehidupan dan mengenali kesejatian dirinya. Dia memilih melepaskan kemelekatan kepada harta benda, dan itulah "power to choose", sebuah kekuasaan yang sebenarnya ..


minggu sore
sambil kerja di rumah
1 agustus 2010