Sabtu, 27 Maret 2010

Sebab sebuah keberadaan

"Bolehkah saya menanyakan sesuatu yang saya rasa penting dalam hidup ini?"

Email itu datang dari kawanku dan langsung aku jawab, "Silahkan, mudah2an bisa menjawabnya". Lalu lanjutnya," .. apakah segala sesuatu yang ada ini ada karena ada sebab?" Wah, jawabku, pertanyaannya berat dan belum tentu aku bisa menjawabnya.

Lalu kucoba jelaskan, bahwa pertanyaan itu sudah banyak sekali dilontarkan dan diperdebatkan. Misalnya bahwa orang2 bertuhan menganggap segala yang ada karena diciptakanNya. Ada proses ex-nihilo, dari ketiadaan timbul keberadaan. Orang dari aliran lain menganggap bahwa segala sesuatu ada karena lahir dari kondisi sebelumnya. Ada denyut kehidupan, baik yang terjadi dalam waktu nano detik maupun milyar tahun seperti planet yang hidup, berkembang, kontraksi dan mati, meledak, hidup, ekspansi, dan seterusnya. Ada juga yang menganggap bahwa ada itu tidak perlu ada sebab, ada ya ada.

Aku lebih nyaman menganggap ada adalah ada. Tuhan adalah Hyang Maha Ada, karena tidak ada yang mengada tanpa Ada itu sendiri. Karena begitu kita hanya mensyukuri Hyang Ada, kita akan menyadari setiap detik eksistensi kita. Kita tidak akan terkungkung dalam konsep tentang penciptaan, tentang hidup kita milik Pencipta dan bukan milik kita, tentang harus berbaik-baik dan menyembah pada yang memberi keberadaan kita, harus takut, harus ini, harus itu ... karena keberadaan kita bukanlah milik kita dan hidup ini ditentukan oleh yang berkuasa, Tuhan. Dia adalah bos kehidupan, dan agar kita diberi hidup yang baik, haruslah berbaik-baik kepada bos. Perbanyak doa, perbanyak amal ibadah, biar bos senang dan bulan depan naik gaji.

Menurutku pola hubungan dengan Pencipta dalam hirarki seperti itu merupakan pandangan primitif. Lalu timbullah dewa-dewa dan akhirnya timbullah Tuhan.

Aku menikmati dan mensyukuri keberadaanku saat ini dalam kehidupan sekarang ini. Kehidupan yang meng-ada, dalam hubungan yang bersifat satu dengan segalanya. Apa yang aku pikirkan dan lakukan akan mempunyai dampak kepada segala sesuatu di semesta ini, sehingga aku perlu menjaga keberadaan semesta dan segala isinya dengan sebaik-baik aku bisa pikirkan dan lakukan.

Adakah sebab yang menjadikan keberadaan ini? Kalaupun ada, aku syukuri. Kalaupun tidak ada, tidak menjadi soal bagiku.



salam,
28 Maret 2010

Kamis, 25 Maret 2010

Tuhan dan Manusia

Dalam sebuah pembicaraan, pernah aku bertanya kepada kawanku, benarkah bahwa Tuhan itu berada di luar manusia. Misalnya, saya ini adalah makhluk ciptaannya, dan dia ada di sana, di langit, bertahta di surga di atas sana.

Dia menjawab dengan sebuah pertanyaan juga, apakah bisa manusia hidup di luar Tuhan? Kalau begitu, seolah ada dua entitas berlainan: Tuhan yang menciptakan saya, dan saya yang diciptakannya. Hubungan yang ada hanya dia yang mencipta dan saya sebagai obyek ciptaannya. Dua individu yang berbeda, terpisah secara fungsi. Bisakah saya hidup di luar Tuhan?

Pertanyaannya menarik. Bisakah aku hidup di luar Tuhanku? Betapa sombongnya diriku bahwa aku bisa hidup tanpa Tuhan?

Ataukah kebalikannya, sebuah ide bahwa Tuhan berada dalam diriku. Tuhan tidak di sana menciptakan aku, tapi keberadaanku adalah keberadaannya, keberadaannya termanifestasikan sebagai keberadaanku. Aku adalah perwujudan Tuhan, aku adalah citra Tuhan yang maujud. Keberadaan Tuhan bukan dimana-mana, karena dialah sang maha ada. Dialah yang meng-ada. Dia-lah ada itu sendiri. Tidak perlu mencari bukti tentang keberadaan Tuhan selain memahami tentang yang ada, yang maujud maupun yang tidak tercerap oleh kemampuan spektrum mata kita.

Jika kau melihatku, kau melihat Tuhan. Jika aku melihatmu, aku melihat Tuhan.



malam Jumat pon
aguswidianto

Rabu, 24 Maret 2010

Yanti Mencari Tuhannya

Senja itu udara terasa pengap, setelah gerimis di siang hari tadi meninggalkan uap yang padat dan lembab meskipun sisa-sisa panas matahari siang masih terasa. Karena hari ini hari libur, kubiarkan badan lelahku tergolek di lantai tingkat dua rumahku. Udara pengap membuatku setengah terlelap namun tetap terjaga. Kudengar penjaja keliling lewat di depan rumahku sambil sesekali meneriakkan kata-kata yang kadang terdengar tidak bermakna. Sering seperti sebuah lenguhan, terkadang pekikan, dan selalu tidak menceritakan nama barang yang dijualnya. Sebuah strategi pemasaran yang aneh. Kudengar masjid di ujung gang depan rumahku melantunkan panggilan adzan. Suara setengah parau itu sudah lama kukenal karena hampir tiap hari pada waktu yang sama, selalu melantunkan doa yang sama, dalam susunan nada yang sama, sebuah ritual yang sama. Sesekali aku merasa kehilangan ketika suara yang terdengar bukan miliknya.

Dalam kesadaranku yang hampir hilang menuju tidur, dan barangkali karena suara adzan tadi, tiba-tiba ingatanku menjelajah ke alam pengalaman yang tersimpan dalam benakku, ke masa-masa yang bergelora dengan intensitas tinggi dalam usahaku menemukan Tuhanku. Sebuah gelora kerinduan, sebuah gelegak kehausan, sekaligus sebuah perjalanan spiritual cukup panjang untuk sebuah usaha yang terdengar mulia, dan merupakan sebuah cerita yang mungkin perlu dibagi karena banyak manusia yang mempunyai pengalaman serupa denganku.

Ingatanku membawa diriku terbang ke masa sekitar empat tahun lalu, menjelang tengah malam. Sebuah malam dari banyak malam lain pada penanggalan ganjil di bulan Ramadhan. Setelah kusisir rambutku, dan kubasahi wajahku untuk menghilangkan bekas kantuk sore tadi, kukenakan jaket blujin tebalku. Pelan-pelan kubuka pintu rumahku dan kututup serta kukunci kembali dengan hati-hati, takut membangunkan bapak dan ibuku yang sudah terlelap di ruang tidur dekat kamar tamu. Udara di luar terasa dingin menembus jaket yang kukenakan, dan menyentuh kulitku dengan kelembutan yang tajam. Si Abdul, abang ojeg langganan sudah menungguku sambil menghisap batang rokoknya yang tinggal separuh. Jarang dia melupakan pesanan yang kubuat. Seperti malam itu, sore tadi sudah kupesan agar siap mengantarku sekitar tengah malam. Kulihat dia membuang sisa rokoknya begitu melihatku berjalan menuju tempatnya.

Sambil kupegang ujung jaket Abdul yang merebakkan aroma apek seperti kain yang tidak pernah kena air selama seminggu, kududuk membonceng di belakangnya. Sejenak kemudian motor bebeknya menggerung pelan menuju sebuah masjid besar di bilangan Menteng, yang menjadi tujuanku untuk mencoba menemukan cerahnya seribu bulan. Cerahnya cahaya yang ingin kurengkuh untuk menerangi batinku yang sudah sekian lama menggumamkan tembang kerinduanku akan Pencipta dan Pelindungku. Kerinduan akan kebahagiaan ilahiah, yang kuharapkan akan menyembuhkan segala derita dalam hidup ini.

Ritual tahunan setiap bulan suci Ramadhan, berkunjung dari satu masjid ke masjid lain, dengan rajin kulakukan dengan sepenuh hati. Juga dengan sepenuh harapan agar dilimpahkanNya anugerah seribu cahaya bulan. Seperti itulah yang dikatakan para pandai. Kata-kata yang selalu menggugah kembali harapan-harapan dalam pikiranku akan kehidupan yang lebih baik, yang berarti enteng rejeki dan enteng jodoh. Begitu menyejukkan, begitu menjanjikan, dan begitu enteng dalam mengatakannya. Melakukan ritual berbekal kesungguhan hati yang penuh dengan kehausan akan harapan sering menyentuh ujung syaraf rasa, yang terkadang membuat seluruh bulu tubuhku berdiri, serta air mataku menggenang di pelupuk. Sering seluruh rasaku terhanyut dibawa oleh getaran halus yang deras membuai segenap sel di semesta tubuhku. Namun jauh di dasar palung kalbuku, ada setitik noktah kecil kegelisahan yang aku tak pahami, dan yang kelak menjadi semakin membesar dan mengeras ….

Aku dibesarkan dalam keluarga yang taat menjalankan syariat keagamaan. Ayah seorang ‘pencari’, yang mempunyai kecintaan dan keinginan untuk terus menyempurnakan pemahaman beliau tentang agama. Ibu seorang yang taat menjalankan ritual keagamaan bagai seorang murid yang patuh kepada aturan sekolah. Demikian juga kakak dan adikku, mereka menapaki setiap bekas langkah bapak dan ibu, tanpa sekalipun bertanya mengapa. Hidup mereka terlihat mengalir rapih dalam pola ritual keseharian yang diulang-ulang, dari satu ke yang lain dan kembali ke yang satu, terus dan terus dan terus, tanpa putus atau perubahan yang berarti. Ketaatan pada ritme kehidupan beragama yang seringkali membuatku kagum. Terlihat bagai keikhlasan untuk melakukan semua itu, terlihat bagai ketulusan dan hampir menjadi kekhusu’an dalam menjalankan ritual yang sudah menjadi sebuah kebiasaan dalam kesehariaan.

Sedangkan aku? Aku menilai diriku sebagai orang yang cukup sukses secara materi, terutama dibanding dengan kakak dan adik-adikku. Sebagai seorang sekretaris eksekutif di sebuah perusahaan yang cukup besar, pendapatanku jauh lebih dari cukup sehingga sebagian dapat kusisihkan untuk membantu anggota keluargaku. Barangkali karena kesibukanku membantu keluargaku itulah yang membuatku masih belum mempunyai niat untuk segera berumahtangga.

Angin dingin Jakarta pada malam itu menyeruak masuk melalui sela-sela jaketku, dan membuatku tetap terjaga dibelakang bang Abdul. Bangunan masjid di daerah Menteng itu kelihatan gagah, dengan pilar-pilar kekar yang menyangga kubahnya yang berkilau memantulkan berkas-berkas cahaya bulan. Siluet banyak orang di halaman masjid terlihat bergerak-gerak akibat sinar dari dalam, bagai wayang yang sedang dimainkan oleh seorang dalang yang mempunyai kuasa atas segala wayangnya. Sesekali terdengar kelepak sayap burung malam yang masih terjaga di sela-sela dedaunan pohon beringin yang kokoh berdiri menjaga masjid besar itu. Beberapa katak di rerumputan mengurangi suaranya ketika kulewati jalan setapak menuju pintu masjid.

Rupanya udara dingin tengah malam itu tidak menyurutkan semangat banyak orang untuk datang dan khusu’ berdoa sambil banyak memohon. Barangkali mereka mempunyai kerinduan yang sama denganku, atau barangkali alasan lain yang tidak akan pernah kutahu. Jika itu sebuah kerinduan, maka sebentuk kerinduan yang bagaikan gatal di kulit yang selalu ingin digaruk untuk mengurangi kegatalannya. Datang ke masjid malam itu memberikan sedikit garukan yang terasa menyenangkan, karena aliran darah yang menghangatkan permukaan kulit yang gatal dan mengurangi rasa gatalnya. Mendengarkan ceramah seorang pandai malam itu membuat kegelisahanku sebentar menghilang. Anehnya, memang hanya sebentar.

Masjid, lailatul qadar, khotbah si pandai, ritual, dan segala atribut keagamaan ternyata tidak mampu menghilangkan noktah kegelisahanku yang sekarang mungkin sudah sebesar bola sepak dan semakin membesar namun berongga. Kegelisahan yang terasa kosong, meskipun padat dipenuhi dengan ramainya pertanyaan-pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. Seperti sebuah gua yang dalam yang penuh dengan suara pantulan yang berulang muncul tanpa pernah tahu asalnya dari mana. Salah satunya, mengapa aku tidak menemukan Tuhanku di masjid, tidak di malam lailatul qadar, tidak juga di mulut para pandai? Dimanakah Dia berada? Dimanakah sumber kebahagiaan itu? Dimanakah bisa kudapatkan dokter yang mampu menyembuhkan kegatalan berupa kerinduan dalam diriku, sekali untuk selamanya?

Aku terjaga dari jelajah ingatan ini, kesadaranku membawa kembali pikiranku kepada diriku, dan kudapati diriku masih tergolek di lantai dua rumahku dengan keringat yang mulai membasahi lipatan-lipatan tubuhku. Pelan-pelan, pengapnya udara sore itu mulai mencair sejalan dengan makin gelapnya alam, digantikan oleh kesejukan udara kota besar yang masih tidak pernah bisa seharum udara desa yang beraroma pepohonan. Namun begitu, kesejukan angin malam itu mampu mengusap segenap permukaan tubuhku, seolah membasuh butiran keringat yang tadi membalutku. Pelan-pelan aku bangkit dan duduk tegak lurus, kulipat kedua kakiku, bersila dengan posisi setengah lotus, lalu kuamati sebuah titik di lantai di depanku sampai pelan-pelan mataku tertutup dengan sendirinya. Kubiarkan alunan nafas timbul dan tenggelam dengan sendirinya. Kuamati nafasku yang keluar dan masuk melalui hidung, kuamati proses nafasku, proses sederhana yang menghidupiku, proses yang vital namun selalu tidak pernah menjadi perhatianku, apalagi bersyukur karenanya. Kumulai meditasi malamku. Semakin lama nafas yang keluar masuk menjadi semakin jelas terasa. Kurasakan kenyamanan dalam proses bernafas, kurasakan ketenangan menghampiriku. Kedamaian mulai melingkupi dan merasuki pikiranku, kedamaian yang menenangkan, kedamaian yang membahagiakan.

Kurasa benar kata pembimbing meditasiku,bahwa selama ini aku mencari sumber kebahagiaan di tempat yang keliru, karena aku selalu mencari sumber itu di luar diriku, yang seringkali membuatku kebingungan karena ‘luar diriku’ itu tidak jelas, kabur, sangat luas, dan tak pernah berujung. Pembimbingku mengatakan bahwa ternyata kebahagiaan ada dalam pikiranku, dalam diriku sendiri. Sumber kebahagiaan sudah tersedia dalam diri ini, di tataran kesadaran yang dalam, hidup dalam sumber dari segala rasa. Hanya ketenangan dan kejernihan batinlah yang dapat mengantarkan kita kepadanya. Kesucian tidak ada di masjid atau bangunan yang disebut rumah Tuhan, melainkan ada dalam batin kita yang bersih dari segala keserakahan, kebencian dan kegelapan batin.

Meditasi sederhana yang diajarkan pembimbingku dengan pelan tapi pasti membuatku mengalami kebahagiaan itu. Kebahagiaan yang muncul dari dalam, bukan dari luar diriku seperti hasil dari kesuksesanku, dari banyaknya angka dalam tabunganku, dari rajinnya melakukan ritual agamaku, dari masjid, lailatul qadar, kata-kata para pandai, bahkan bukan juga dari orang-orang yang hidup di dekatku. Kebahagiaan dari dalam yang tidak tergantung kepada kondisi apapun. Dia muncul bak sebuah sumber air yang terbuka di relung kalbuku, melimpahkan kesejukan dan menyuarakan gemericik kedamaian yang menenangkan. Air jernih yang mengalir dan memberi daya luar biasa kepada jiwa dan ragaku.

Sumber kebahagiaan inilah barangkali yang seringkali disebut orang sebagai Tuhan.


Jakarta, Maret 2008
Agus Widianto

Senin, 22 Maret 2010

Derita dalam sebuah dendam

Sore itu aku baru saja menyelesaikan laporan terakhir di kantorku. Sudah hampir seminggu kami di kantor sibuk menyelesaikan laporan tahunan proyek kami, sehingga hari-hari yang melelahkan itu seolah menguras segenap energi yang kami punya. Hari itu harapan untuk dapat sedikit melepas lelah terbetik di pikiran. Kenikmatan secangkir kopi membayang di pelupuk mata yang sudah terasa semakin berat karena kelelahan.

Petang baru menjelang menggantikan terik siang hari setelah seminggu tidak ada hujan yang diharapkan dapat menyejukkan ibukota ini. Kesibukan pekerja kantor seperti diriku seolah mencapai titik terendah dalam kurva ritme hidup, ketika semakin terlihat mereka pulang ke rumah dengan sisa pikiran dan tenaga yang ada. Pola ritme seperti ini terjadi setiap hari: pagi hari dengan energi besar berangkat ke kantor, menguras energi di kantor dengan berbagai kesibukan, dan pulang ke rumah dengan energi sisa. Sering kurenungkan, dari mana sebuah keluarga mendapatkan energi dari setiap anggotanya, untuk tetap menjaga kebersamaannya dan keutuhan lembaga sosial terkecil, namun merupakan inti ini.

Jam di tanganku menunjukkan waktu hampir magrib, sewaktu aku sampai di tempat parkir VW kodok yang telah dengan setia mengantarku kemana saja tujuanku. Baru ketika kututup pintunya, kudengar suara bel tanda sebuah sms masuk ke dalam HP ku. Rrr … rrr …dingdong ….. Kubaca sms yang masuk: “jd ktmuan dimana?” Kubaca sendernya, Debby. Siang tadi kami sudah bersepakat bertemu untuk sekedar ngobrol. Namun dari nada sms-nya, kurasakan kali ini obrolan akan cukup serius setelah kutangkap getar kesedihan dalam kata-katanya. Lalu jempol jariku cepat menyusun balasan:”ntar ktmu di wrung kopi dkat kntor, sktr jm 6 lebih” dan kutekan ‘send’. Kuperhatikan gambar sebuah surat melayang menjauh di layar hpku. Kututup pintu mobilku, dan dengan pelan kodokku membawaku ke warung kopi tidak jauh dari kantorku.

Sore itu, kulihat warung kopi langgananku sudah banyak didatangi pelanggan. Rasanya belum begitu lama dia dibangun di situ, namun kulihat perkembangannya sangat pesat. Semakin banyak pelanggan yang datang dan pergi mereguk nikmatnya kafein. Barangkali, ini ada hubungannya dengan menurunnya energi para pekerja kantoran di sore hari, dan mereka membutuhkan suatu pemicu energi seketika yang menyamankan. Suntikan kafein nampaknya mampu melayani kebutuhan itu.

Bangunan warung itu tidaklah terlalu besar, namun ketika masuk ke dalamnya, terasa banyak menawarkan keramahan baik dari para barista yang senantiasa menyapa setiap tamu yang datang, maupun warna dan aneka peralatannya. Setiap ruangan dari dua ruang terpisah antara merokok dan bebas rokok, dipenuhi pernik-pernik tradisional serta kursi dan meja yang bergaya retro. Di dindingnya terpampang foto-foto lama yang menggambarkan wajah awal warung dan pendirinya di jaman penjajahan Belanda, seolah ingin memastikan bahwa pengalaman mereka menyajikan mutu kopi tidak perlu diragukan lagi. Ada beberapa lukisan tradisional dan beberapa permainan meja yang dapat membantu menyajikan sebuah nuansa warung lama yang nyaman untuk menjadi tempat ngobrol selepas dari kesibukan harian di kantor.

Hanya sekitar 10 menit aku duduk menunggu, Debby-pun datang. Setelah saling memberi salam, kami memesan minum kepada para barista yang sebagian mengenalku karena seringnya aku berkunjung ngopi di situ. Debby memesan segelas es kapucino, dan seperti biasa kupesan es kopi moka. Dua ollie bolen menemani dua gelas minuman dingin kami.

Sambil menunggu kopi kami, kuamati perempuan yang duduk di seberang meja ini. Seperti biasanya, dia kelihatan menarik. Aku yakin, kulitnya yang putih yang mewarnai postur badannya yang berisi, dipadu dengan wajahnya yang bulat telur, hidung yang bagus dan mulut yang selalu sedikit terbuka memperlihatkan baris giginya yang putih bersih, serta rambutnya yang pendek bebas tergerai, mampu menarik perhatian banyak lelaki. Namun sore itu dia seperti kehilangan senyum manisnya. Wajahnya yang bersih semakin kelihatan agak pucat.

“Aku baru saja putus dengan cowokku”, dia mengawali pembicaraan itu dengan pernyataan yang sederhana, namun selalu mengandung segumpal cerita yang biasanya penuh dengan derita. Kulihat wajahnya sedikit memerah. Aku terdiam. Kubiarkan energinya masuk dalam pikiranku, dan kucoba untuk ciptakan sebuah koridor langsung untuk membuat hubungan mental kami tidak banyak terhalangi. Detik jam terus berganti, dan kebisuan menguasai diri kami berdua untuk beberapa saat. Aku masih diam sambil mencoba meningkatkan intensitas kerja inderawiku untuk siap mendengarkan pesan-pesannya. Katanya, dalam ideogram Cina, ‘mendengarkan’ berunsur tiga hal: mata, telinga dan hati, sehingga perlu disiapkan ketiganya sebagai sebuah kegiatan mental yang bekerjasama dengan baik.

Kebisuan sesaat tadi terpecah dengan suaranya yang pelan namun terdengar jelas, “Cowokku mengaku mempunyai hubungan dengan kekasih lamanya. Aku samasekali tidak pernah menduganya, mas. Setelah sekian lama kami menjalin hubungan yang kelihatan mesra, sehingga jarak Jakarta – Jogja sudah bukan halangan buat kami berdua untuk selalu bertemu di hati. Pertemuan demi pertemuan fisik selalu kami lakukan sebisa mungkin untuk mengobati kerinduan kami yang berjarak satu jam terbang. Namun usahaku nampaknya gagal, dan dia sudah menceritakan semuanya padaku. Aku begitu terluka dan marah. Senin lalu aku lepaskan seluruh kemarahanku dan keputus-asaanku, dengan memaki-makinya melalui telpon sampai sekitar setengah jam ….”

Dua gelas kopi dingin yang kami pesan tiba, ditemani dua kue kesukaanku. Kuucapkan terimakasih pada barista yang mengantarnya.

Ada nada kesal bercampur sedikit kepuasan dalam kata-kata Debby yang mulai mengalir keluar tanpa hambatan, melalui koridor komunikasi yang kami ciptakan. Energinya dengan intens mengantarkan pesan pikirannya, sehingga membuatku sedikit tergagap untuk menampung dan mencernanya. Namun hanya sejenak, ketika setelah itu suaranya agak melunak dan berubah menjadi pernyataan yang tersisip oleh sebuah keputusasaan. “Coba mas bayangkan, kepercayaanku padanya yang aku berikan sejak lama, dengan begitu saja dikhianati. Betapa teganya dia. Aku gak habis pikir, kenapa begitu sampai hati dia menyakitiku. Aku sudah berusaha mati-matian untuk tetap setia meski kami tidak dapat selalu bertemu, tapi selama ini kuusahakan selalu menyapanya hampir setiap hari.” Kali ini matanya mulai merebak sembab, lalu tangannya menghapus genangan airmata yang mulai menggantung di sudut pelupuk matanya. Aku masih berdiam diri sambil memperhatikan kata-katanya, memperhatikan gejolak hatinya, dan memperhatikan setiap gerak halus di tatapan matanya, serta gerak dan kerut di wajahnya.

“Sekarang ini sering tanduk iblisku muncul, dan kemunculannya selalu mendorongku untuk telpon dia dan memaki-makinya sambil mempertanyakan pengkhianatannya. Dia selalu tidak bisa menjawab ketika kutanya kenapa dia setega itu melakukannya kepadaku”. Dia terdiam sejenak, mukanya kembali memerah dan kali ini kutangkap getar kesedihan serta gejolak kemarahan, “Aku sudah coba melupakannya, tapi ketika aku berdiam diri, bayangan wajahnya muncul lagi, dan kepedihanku kembali merasuk dalam pikirku. Aku gak tahan mas, rasanya pedih dan hancur mengingatnya …”

Kubiarkan dia menumpahkan segenap lumpur hitam kepedihan hatinya. Aku terus mencoba menjaga keterbukaan pikiran dan hatiku sehingga jalur komunikasi tidak terputus. Getaran kepedihannya begitu terasa dalam hatiku, dan energi kemarahannya dapat tertangkap dengan jelas dalam batinku. Aku masih terus diam membuka pikiranku. “Lalu sekarang aku harus bagaimana?” akhirnya segenap rasa yang campur aduk dalam hatinya berakhir dengan pertanyaan sederhana, sesederhana pernyataan ketika dia mengawali pembicaraan kami.

Sejenak aku terdiam, membersihkan semua pikiran yang tidak ada kaitannya dengan perkara yang baru saja dia tumpahkan kepadaku. Kucoba mengheningkan batinku dan membiarkan mata batinku melihat melalui kejernihan yang terciptakan. Ada sebuah jeda hampir semenit yang cukup terasa lama. Kerasnya suara canda tawa tamu lain dan musik di kafe itu terdengar sayup di telingaku.

“Apa yang kau harapkan darinya, Deb?” kubalas pertanyaannya dengan pertanyaan juga. Dia terdiam sejenak. Barangkali hal itu tidak begitu diperhatikan, karena dia disibukkan dengan kemarahannya dan kepedihannya, sehingga sebentuk ‘harapan’ menjadi agak sulit ditemukan dalam kemelut amarah dan derita yang mengungkung dan menguasainya. Setelah beberapa saat dia mencoba menemukan pikirannya kembali, dia berkata, “Aku inginkan kejelasan, kenapa dia begitu tega menyakitiku. Kepercayaanku yang begitu besar kepadanya telah dia khianati. Memang kita berjauhan, tapi jarak Jakarta - Jogja seharusnya bukan hambatan karena aku percaya kami bisa saling setia. Begitu teganya dia.”

Setelah terdiam sambil menghela nafas panjang dia melanjutkan, “Ada keinginan dalam hatiku untuk membuatnya menderita …. Rasanya nggak adil kalau hanya aku yang terluka. Dia harus bisa merasakan kepedihan seperti yang kurasakan saat ini.” Aku terdiam, dan mencoba memahami dengan baik apa yang baru saja dikatakannya. Dendam. Ya, sebuah klimaks dari sebentuk rasa, yang awalnya merupakan rasa derita akibat diperlakuan tidak adil, lalu bertransformasi menjadi sebuah kekecewaan, lalu terpupuk menjadi sebuah amarah, dan berakhir dengan sebuah puncak kekerasan, sebuah dendam.

“Bagaimana kau mau membuatnya menderita?” tanyaku, “Aku gak tahu, tapi itu yang ada dalam pikiran iblisku” jawabnya. Lalu tanyaku, “Apakah dengan membuatnya menderita lalu penderitaanmu berkurang?”. Dia menggeleng lemah, “Aku rasa tidak …” Sebuah jawaban yang jujur, yang saat itu langsung aku hargai dan hormati.

“Deb, aku pernah baca sebuah cerita.” Kumulai kata-kataku seolah sedang mendongeng kepada seorang anak. Debby terdiam, mengambil ollie-bollen yang sejak tadi belum tersentuh. Dikunyahnya gigitan kecil kue itu, lalu diletakkannya kembali sisa gigitannya. Dia lalu menatapku lekat-lekat, seolah bersiap mendengarkan ceritaku selanjutnya. “Suatu hari ada orang yang tertabrak mobil, dan karena luka-lukanya, dia sedang sekarat. Sambil berdarah-darah dan mendesis menahan hebatnya sakit yang dideritanya, dia berkata kepada orang-orang yang menolongnya, dan ngotot berusaha mencari tahu siapa yang menabraknya, mencoba menggambarkan mobilnya apa dan keluaran tahun berapa, lalu menanyakan kenapa sopir mobil itu bisa menabrak dia yang sudah menyeberang dengan benar sesuai aturan, …” Debby masih terus mendengarkan dengan seksama, lalu aku teruskan, “Akhirnya orang tersebut mati, karena tidak segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan pertama.” Dia diam menyimak ceritaku. “Menurutku, peristiwa itu serupa denganmu. Kau tahu maksudku?” Dia terdiam beberapa saat dan kemudian mengangguk lemah.

“Menurutku, daripada ingin tahu kenapa dia sampai tega meninggalkankanmu, bahkan kau sibuk cari jalan untuk membalas perlakuannya yang kau rasa membuatmu menderita, apa gak sebaiknya kamu mengurus dirimu sendiri, mencoba memberikan perhatian pada hati dan pikiranmu agar bisa kembali lebih tenang?” Dia masih terdiam. Aku menduga bahwa itu merupakan sebuah alternatif yang tidak mudah baginya untuk menjatuhkan keputusan memilihnya. Barangkali, hal itu juga tidak pernah terduga sebelumnya.

“Kalaupun akhirnya kau tahu alasannya meninggalkanmu, lalu apa yang bisa kamu lakukan? Apakah ada jaminan itu akan memperbaiki keadaan?” Dia menggeleng lagi dengan lemah, sambil menyeka matanya yang kembali sembab.

“Tapi, mas, bagaimana mencegah agar pikiran tentang dia nggak muncul lagi? Aku sudah coba mengalihkan perhatianku dengan melakukan hal lain, tapi pikiran itu selalu datang lagi dan datang lagi … sakit sekali rasanya, mas”

“Sebuah kepedihan di hati bukan untuk dihindari. Melakukan hal lain sama halnya dengan membelakangi masalah, yang berarti mengingkari keberadaannya. Kepedihan itu ada, dan seharusnya tidak diingkari, tapi harus dihadapi …” Kulihat dahinya berkerut sambil menatapku lekat-lekat. “Tapi begitu berat mas …” Dan kukatakan, “Memang Deb, sekarang bisa terasa sangat berat, tapi perasaan selalu berubah karena waktu. Perasaan itu ada dan tergantung kita sendiri untuk menanggapinya. Kita bisa layani dia, sehingga kita terbawa olehnya bahkan diapun bisa semakin menenggelamkan kita, sampai akhirnya harus bunuh diri … “ Dia mendadak menyela,”Memang ada mas pikiranku untuk minum obat tidur …” Giliran aku yang mengerutkan dahi dan menatap lekat wajahnya yang cantik itu. Sejenak aku terdiam, lalu aku lanjutkan,” … atau dengan lebih bijaksana kita pahami pikiran dan perasaan itu dengan baik, kita coba temukan akarnya, dan coba mengatasinya dengan penuh kesadaran …”

“Deb, kamu tidak bisa merubah sikap cowokmu itu, meski memaki-makinya seharian penuh. Yang perlu kita rubah adalah diri kita sendiri, bagaimana menghadapi kondisi demikian itu. Barangkali perlu kau teliti kembali harapan-harapanmu kepadanya, ketergantungan-ketergantunganmu …. Tapi yang lebih penting adalah, kau pahami ketakutan yang ada jauh di lubuk hatimu ketika harapan-harapanmu tidak terpenuhi. Barangkali itu adalah akar masalah yang sedang kau hadapi sekarang ini.” Dia mengangguk pelan, meski nampak masih ada keraguan pada wajahnya.

Tak terasa sudah hampir dua jam kami berbincang, dan gelas kami sudah mulai menampakkan dasarnya, yang penuh sisa busa-busa krim. Piring makananpun sudah bersih, tinggal segenggam tissue dan garpu yang penuh remah-remah ollie bollen.

Sewaktu berjalan ke arah mobilnya, dia berkata,”Thanks mas, hatiku agak ringan rasanya …” Aku balas senyum manisnya, “Sama-sama Deb …, take care …” Kamipun berpisah.

Esoknya ada sms darinya:”thx mas, aku bs senyum lagi n tidur nyenyak”, lalu beberapa saat masuk lagi sms-nya,”tp msh susah skl ya hilangkan skt hatiku” … Aku hanya bisa jawab: …”prlu wkt dan ksungguhan dlm proses pnjernihan ini, tp mmang hnya kau sndiri yg bs mngatasinya, bukan org lain. good luck n hang in there”.

Sabtu, 20 Maret 2010

Kebenaran

Siang itu habis makan bersama beberapa teman dari berbagai LSM yang berkantor di Bandung. Kami baru saja membicarakan rancangan sebuah program lingkungan yang menggabungkan antara energi alternatif dengan konservasi.

Semangat diskusi sudah mulai agak menurun, kami lebih banyak diam sambil menyeruput sisa2 minuman, ketika seseorang mulai bicara soal agama dan kepercayaan. Entah bagaimana awalnya, topik itu bisa muncul dalam pembicaraan. Gayung pun bersambut. Mata yang tadi sudah setengah terpejam kembali terbuka lebar, seolah ada energi baru yang tiba-tiba merasuki pikiran kami semua.

" .. bagi saya, aturan2 dalam agama tidak begitu penting .. " kata teman yang mengawali diskusi ini, " .. yang saya hadapi sekarang adalah masalah pikiran saya sendiri, sakit batin saya sendiri, bahkan kerusakan lingkungan di desa saya sendiri, .. agama kayanya gak punya aturan2 yang dapat membantu saya dalam menghadapi masalah2 itu .. ", dia terus nyerocos tanpa henti.

" .. yang disuruh ustadz adalah beriman dan takwa kepada Allah, berbuat baik misalnya dengan berzakat, sholat lima waktu jangan bolong, perangi hawa nafsu, dan masih banyak lagi .. "

Teman-teman lain pada diam mendengarkan. Belum ada protes dari yang lain. Akupun masih diam menunggu kalimat2 lain yang ingin dilepaskan dari pikirannya.

" .. di situlah seharusnya ada keseimbangan antara hablumin allah dan hablumin anas .." seseorang mencoba menimpali. " .. Kita perlu tahu mana porsi yang untuk manusia dan kehidupan sehari-hari, namun juga tidak boleh lepas dari kewajiban kita untuk terus bergerak vertikal dalam menjaga hubungan dengan Allah Sang Pencipta .. di situlah keseimbangan iman kita kepadaNya .."

Aku masih mendengarkan dinamika diskusi ini, dan rasanya topik ini sangat familiar kedengaran di telingaku. Topik yang seringkali muncul dalam diskusi-diskusi tentang kehidupan dan bagaimana hidup dengan baik. Pertanyaan-pertanyaan yang praktis dalam kehidupan sehari-hari, dan jawaban-jawaban yang normatif berdasar nilai-nilai sebuah agama. Juga sebuah kata yang selalu ampuh yang disebut "iman".

Sesuatu yang kita iman-i merupakan kebenaran dalam agama. Keseimbangan dalam hubungan vertikal dan horisontal itu yang harus di-iman-i. Namun bagiku juga masih banyak menimbulkan pertanyaan lanjutan, seperti misalnya: bagaimana kita tahu sebuah keseimbangan tercapai? Bagaimana kita berhubungan dengan Tuhan, apakah cukup mendirikan sholat lima kali sehari? Bagaimana caranya berhubungan dengan sesama secara horisontal - apa saja yang perlu diperhatikan dan dilakukan? Banyak pertanyaan tentang apa dan bagaimana dalam memenuhi aturan tersebut.

Jika untuk menemukan sebuah "kebenaran" seseorang masih harus banyak bertanya, masih harus banyak tergantung dari interpretasi, maka "kebenaran" tersebut menjadi relatif sifatnya. Segala sesuatu yang relatif, bukanlah sebuah realitas. Kebenaran seperti itu tidak dapat digunakan karena tidak bersifat universal. Tidak dapat diterima oleh semua orang karena sangat interpretatif sifatnya.

Adakah sesuatu yang tidak relatif? Adakah sesuatu yang berlaku universal? Adakah sesuatu yang tidak dapat dibantah dan tidak tergantung dari interpretasi? Jika ada, maka sesuatu tersebut bisa disebut sebagai sebuah kebenaran.

Dari pemahaman itu, aku menawarkan sebuah bahan diskusi kepada teman2 lain di siang itu. " .. Tahukah sikap apa yang selalu kita lakukan dalam hidup kita sehari-hari sejak kita lahir sampai kita mati?" Mereka diam dan menggelengkan kepala.

" .. Dalam Buddhisme, dikenal sikap utama: duduk, berdiri, berjalan dan berbaring. Itulah sikap yang kita lakukan setiap hari. Adakah yang bisa membantahnya? .."

Semua diam dan kelihatannya mendengarkan serta menunggu lanjutannya.

" .. Mengapa sikap-sikap itu kita lakukan? Karena kita ingin mengurangi penderitaan. Coba bayangkan seseorang yang duduk di sofa terlembut di dunia. Pada beberapa jam awalnya, pasti sangat menikmati. Namun setelah sehari, dia pasti ingin berdiri, lalu beberapa jam berdiri, pasti ingin berjalan, lalu berbaring ... demikian seterusnya. Mengapa dia melakukan itu? Karena dia ingin mengurangi penderitaannya. Bukankah ini sebuah kebenaran sederhana yang tidak terbantahkan? .. "

" .. Adakah yang membantah bahwa hidup kita penuh dengan derita? Contoh di atas baru derita karena secara fisik kita berada dalam gaya gravitasi. Belum kalau kita memahami derita dalam pikiran, derita batin atau derita dalam hati. Adakah yang sudah hidup bebas dari derita itu? .. " Lalu kulanjutkan, " .. itulah sebuah kebenaran .."

Teman-teman masih diam mendengarkan. Kelihatannya mereka semakin tertarik untuk mendengarkan kelanjutannya.

" .. Perlukah kebenaran seperti itu kita kaitkan dengan iman? Perlukah itu kita kaitkan dengan takwa kepada Tuhan? Perlukah segala aturan tentang sholat dan syariat untuk memahami kebenaran sederhana ini? .."

" .. Ada empat kebenaran sejati dalam ajaran Buddha: pertama, hidup ini penuh dengan penderitaan; kedua, penderitaan dalam hidup kita lebih banyak disebabkan oleh keinginan (tanha). Yang ketiga, ternyata penderitaan itu dapat dihentikan. Keempat, Buddha memberikan ajaran bagaimana menghentikan penderitaan tersebut .. Inilah awal dari pemahaman sebuah kebenaran sejati, kebenaran yang tidak terbantahkan .. Masih banyak lagi yang nanti bisa kita diskusikan lagi bersama, tentang hal-hal yang akan membebaskan pikiran dan batin kita dari genggaman aturan dan kungkungan dogma .."

Masih banyak hal yang kami diskusikan lewat tengah hari itu. Namun diskusi hangat siang itu harus aku hentikan karena aku masih harus kembali ke Jakarta. Aku juga sengaja berhenti di situ agar kami masih banyak bahan diskusi pada kesempatan pertemuan berikutnya ..



jakarta, 21 maret 2010

Jumat, 19 Maret 2010

Takengon - Medan

Tugas dua hari di Takengon dan Bener Meriah, Aceh Tengah, sudah selesai. Malam itu aku dan kolega harus kembali ke Medan untuk besoknya terbang ke Jakarta. Alat transportasi yang tersedia adalah bus malam yang siap menembus kegelapan malam selama sekitar 10 jam. Diantar beberapa staf lapangan, kami bersiap untuk berangkat sambil ngobrol dan minum kopi Aceh yang kuat.

Kami mendapat tempat duduk di kursi nomor 8 dan 9. Menjelang jam 9:00 para penumpang sudah masuk ke bus. Kulihat di depan warung tempat pemberangkatan bus ini, ada kelompok kecil laki-laki berjubah dan sebagian berjenggot lebat, hampir semua memakai penutup kepala seperti sorban. Aku lalu menempatkan diri di kursiku, mengatur diriku agar terasa nyaman. Bus-pun berangkat sekitar jam 9:30 malam.

Kulihat salah satu lelaki yang berjubah putih duduk di bangku nomor 10. Dia agak mencolok karena cara berpakaiannya. Ikat kepalanya mengingatkan aku pada berita TV tentang pelatihan teroris di Yaman.

Baru sekitar 15 menit kemudian, saat bus mau keluar dari kota Takengon, bus berhenti dan sekelompok pemuda berpakaian preman yang memperkenalkan diri sebagai polisi dan bersenjata lengkap masuk ke bus. Salah seorang berkata dengan cukup keras: " kursi nomor 10 .. "

Diawali dengan memberi hormat, seorang polisi muda mulai menanyakan kartu identitas kepada lelaki berjubah itu. Kemudian datang yang lainnya dan mulailah serentetan pertanyaan tentang berbagai hal, seperti dari mana, disini ngapain, nginap dimana, apa yang dibawa, dan sebagainya, sambil salah seorang polisi mencocokkan foto KTP dengan foto yang ada di ponselnya. Entah apa yang menarik, tapi pengamatan itu cukup lama. Beberapa pembicaraan yang kudengar misalnya: dia berasal dari Palembang, berada di Takengon untuk ketemu teman lamanya yang sudah 8 tahun terpisah, mengajar agama, tidur di masjid, dan mengaku pernah ke Yaman. Sekitar lima belas menit kemudian baru kami boleh berangkat lagi.

Lewat tengah malam kami dibangunkan lagi, dan sambil setengah ngantuk, semua lelaki harus turun dari bus untuk diperiksa kartu identitasnya. Kulihat papan tempat itu tertulis Polres Bireun. Kembali lelaki berjubah menjadi salah satu fokus utama interogasi, barang bawaannya diaduk-aduk, dan kulihat banyak kertas2 selebaran bertuliskan Arab dan terjemahan Indonesia di bawahnya. Hampir setengah jam kami di Polres itu. Pemeriksaan KTP yang ke tiga terjadi ketika kami akan masuk Medan.

Melewati semua peristiwa itu terutama setelah pemeriksaan ketiga, membuatku merenung, terutama tentang kekerasan dan terorisme.

Mengapa manusia bisa melakukan tindak kekerasan kepada sesama? Mengapa dengan mudah seseorang bisa menghilangkan nyawa sesamanya? Adakah memang agama mengajarkan perilaku seperti itu? Kalau tidak, darimana seseorang merasa mempunyai hak untuk membunuh? Apa yang ada dalam pikiran seseorang ketika dia meledakkan dirinya dan orang lain? Apa arti sebuah kehidupan - dan sebuah kematian - bagi dirinya? Benarkah seseorang selalu melihat orang lain sebagai musuh? Dan sebetulnya, apa sih yang dimusuhinya: tubuh orangnya, atau cara berpakaiannya, atau pikirannya, atau pendapatnya? Atau apa yang dipercayainya? Atau apa yang di-iman-inya? Dengan menghancurkan kehidupan seseorang, apakah juga menghancurkan kepercayaan yang dianutnya? Mengapa .. Betulkah .. Apakah .. ??

Banyak pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk dalam kepalaku yang belum kutemukan jawabannya. Pikiranku terbawa oleh pertanyaan2 itu, dan sejenak kubiarkan dia melanglang kemana-mana. Akibatnya, aku tidak lagi bisa tidur sampai kami tiba di terminal di Medan. Setelah mengunjungi toilet terminal yang lumayan bersih meski sempit, kami carter taksi untuk sarapan, beli oleh-oleh dan early check-in di Bandara Polonia.

Pesawat ke Jakarta kebetulan kosong. Setelah makan, kucari tempat duduk deretan tiga kursi, kurebahkan diriku di tiga kursi itu .. betapa nyaman ..



jakarta, 20maret2010

Minggu, 14 Maret 2010

Gajah Ungu

Malam sudah semakin larut, dan udara dingin Pangalengan semakin kuat menembus jaket blujin yang kukenakan, menggigit kulit dengan giginya yang dingin dan tajam. Kami berlima masih duduk santai dan ngobrol sambil sesekali tergelak bila ada yang lucu.

Pembicaraan yang semakin terbuka mengalirkan energi hangat sehingga mampu menghalau gigitan angin dingin dari luar. Memang malam itu sudah kami rencanakan untuk bertemu dan berbincang sekitar kehidupan, melalui sudut pandang yang agak berbeda dari kebanyakan pembicaraan orang dalam keseharian.

“.. peristiwa itu sudah empat tahun yang lalu, namun sampai sekarang masih saja menggumpal di dada saya ..” tutur seorang peserta ngobrol dengan senyum lebar di bibirnya. Senyuman yang mempunyai banyak arti. Aku masih menunggu cerita lanjutannya.

“.. enam bulan sekali dia datang hanya untuk beberapa hari, dan kemudian dia harus kembali ke Arab Saudi untuk melanjutkan pekerjaannya. Setiap enam bulan pula, dia menyuntikkan racun yang semakin banyak mengendap di hati saya ..” dia diam sejenak dan pandangannya jauh menerawang seolah ingin menggambarkan wajah istrinya yang membuatnya menjalani hidup dengan setengah “gila” seperti ungkapannya.

“.. bagaimana saya harus hidup dengan cara seperti ini? ..” dia melemparkan pertanyaan yang membuat peserta lain terdiam. “ .. saya tidak bisa menceraikan dia karena ibu saya menyayanginya, dan saya tidak mau menyakiti hati ibu ..” sebuah pengakuan yang sangat jujur sekaligus memberikan separuh jawaban terhadap pertanyaannya sendiri. Lama dia terdiam dan pandangannya masih terus menerawang jauh. “ .. saya ingin melupakannya, tapi ternyata betapa susahnya, setiap kali bayangannya semakin melekat di kepala dan kepergiannya semakin menusuk batin saya ..” tambahnya, dan kembali kesunyian malam menjadikan gemuruh suara sepeda motor yang lewat terdengar sangat jelas.

“ .. pernahkah mendengar cerita tentang gajah ungu? ..: suaraku menyela kesunyian. Ada beberapa yang menggelengkan kepala, dan sebagian berbisik, belum.

“ .. ada seseorang yang mempunyai bayangan dalam pikirannya, seekor gajah berwarna ungu .. sebuah bayangan yang aneh dan dia sebetulnya tidak mau mempunyai pikiran seperti itu. Dia berusaha menyingkirkan bayangan gajah ungu itu dari pikirannya. Namun semakin dia berusaha, semakin jelas gambaran gajah ungu tadi ..”

Kulihat teman-temanku masih menunggu kelanjutan ceritaku.

“ .. bahkan semakin kuat keinginannya untuk melupakan, semakin jelas nampak ekor gajah yang ungu, telinganya, kakinya bahkan kerut-kerut kulitnya yang ungu .. “

Teman2 mulai tersenyum, barangkali mereka sekarang melihat seekor gaJah ungu di pikirannya.

“ .. artinya, ibarat sebuah perang. Begitu kita ingin memerangi sebuah pikiran, maka pikiran itu menjadi lawan yang bersiap untuk bertahan. Semakin kuat kita memeranginya, semakin kuat pertahanannya, dan bahkan dia siap menyerang balik ..”

“ .. jadi bagaimana kita harus memperlakukan ingatan yang tidak kita kehendaki karena menjadi beban dalam hidup?” seorang teman mulai tidak sabar mencari jawabannya.

“ .. berdamailah dengan pikiran kita sendiri, sadari keberadaannya, namun setelah itu, biarkan dia pergi dengan sendirinya. Tidak perlu kita memberi energi kepadanya dengan cara menggenggamnya. Lepaskan, dan lepaskan dia dengan damai, dengan senyuman ..”

Pangalengan, tengah malam, 13 Maret 2010

Kamis, 11 Maret 2010

Keterasingan dari kemanusiaan

Kemanusiaan merupakan kesejatian dari manusia. Jika kita memahami kesejatian manusia, maka disitulah kita menemukan kemanusiaan kita. Pemahaman seperti ini bisa diawali dengan banyak pertanyaan, misalnya: siapakah aku ini? Katakanlah namaku Agung. Lalu, siapakah Agung ini?

Agung adalah orang Jawa, ini hanya mengetengahkan suku asal kelahirannya,
Agung orangnya tinggi hitam, rambut keriting, ini menyampaikan kondisi fisiknya,
Agung itu orangnya pemarah, ini mungkin hanya temperamennya,
Agung itu pejabat eselon satu sebuah Departemen pusat, ini hanya jabatannya,
Agung itu duda beranak sembilan, istrinya kawin lagi, itu hanya status perkawinan,
Agung itu suka minum susu, itu hanya kegemarannya,
Agung itu orang yang soleh, rajin beribadah, sudah naik haji 7 kali ...
Agung itu ...

Apakah semua itu menceritakan kesejatian Agung? Apakah semua atribut tersebut membantu kita memahami siapa diri kita sesungguhnya? Tidak bukan?

Namun dalam kenyataannya, betapa seseorang menganggap atribut2 tadi sebagai dirinya. Sewaktu Agung menjadi orang soleh, rajin beribadah, naik haji 7 kali, maka Agung menganggap dirinya adalah haji super yang soleh dan rajin beribadah. Segala pikiran dan perilakunya disesuaikan dengan atribut tersebut. Topeng yang dikenakan sesuai dengan anggapannya itu, sehingga sewaktu bertemu dengan seseorang, dia akan berperilaku sebagai seorang haji super yang soleh dan rajin beribadah. Anggapan ini akan terus disandangnya, melekat pada dirinya dan bisa sepanjang hidupnya. Segala energi kehidupannya dikerahkan untuk menjaga citra (baca: topeng) yang selalu dipelihara dan dijaga agar tidak berubah.

Kondisi seperti ini bukan kondisi yang apa adanya, tapi sebuah kondisi yang diciptakan oleh pikiran kita sendiri. Atribut adalah hasil reka pikiran untuk menentukan nilai yang melekat dalam diri kita sendiri. Nilai ini sangat relatif karena akan berbeda satu orang dengan lainnya. Sesuatu yang relatif sifatnya, bukanlah sebuah kesejatian. Bagaimana seharusnya? Awal pemahaman diri adalah melepaskan segala atribut tadi. Hanya dengan pemahaman yang jernih dan dalam, maka akan terkuak apa sebenarnya kesejatian diri ini.

Salah satu yang dapat dilakukan adalah: seseorang harus melakukan sebuah perjalanan ke dalam diri, menguak dan membongkar semua atribut yang ada, dan memahami kelima agregat (panca skandhas) yang merupakan unsur2 kesejatian "diri" manusia. Kelima unsur yang disebut nama-rupa itu adalah: raga, persepsi, rasa, bangunan mental dan kesadaran.

Melalui pemahaman yang semakin dalam terhadap setiap agregat, kita akan menuju sebuah pemahaman tentang kekosongan ... yang bernama "diri" akan hilang, karena "diri"-pun merupakan sebuah gambaran yang tercipta oleh pikiran. Yang tertinggal hanyalah energi kasih yang tidak terbatas dan terkungkung dalam sebuah gambar imajiner tentang diri.



RS Mitra Internasional Jatinegara, 11 Maret 2010
menunggu anakku yang meringkuk kena DBD

Rabu, 03 Maret 2010

Ketamakan kolektif

Ketamakan merupakan salah satu dorongan kuat untuk 'memiliki' sesuatu. Meskipun konsep memiliki hanyalah reka pikiran manusia, namun manusia tetap terdorong untuk melakukannya. Sebenarnya tidak ada kemampuan manusia untuk memiliki apapun, karena masing-masing "apapun" mempunyai khittah dan jalan hidup sendiri-sendiri. Dorongan manusia untuk "memiliki" akibat dari ketakutan dalam dirinya terhadap segala ketidak-pastian dalam kehidupan ini. Sehingga seolah-olah dengan cara "memiliki" sesuatu, maka akan membantu manusia mempunyai kepastian, pegangan, ataupun proteksi hidupnya.

Di dalam kehidupan, ketamakan tidak hanya individual, namun juga bisa kolektif. Akibat dari adanya ketamakan kolektif ini bisa dilihat sebagai kerusakan tata kehidupan, lingkungan hidup, hutan, air, dan dunia secara keseluruhan.

Ketamakan kolektif hanya bisa diubah melalui kesadaran pribadi. Kesadaran akan adanya ketakutan dalam diri, dan mendapatkan kemampuan untuk mengatasi rasa takut ini. Kesadaran diri ini kemudian perlu ditularkan kepada orang lain untuk menjadi sebuah kekuatan massa kritis.


dini hari, 4 maret 2010