Rabu, 28 April 2010

Great Things Start From Within

" Egg broken from outside force ...... a life ends. If an egg breaks from within .... life begins. Great things always began from within." – Anonymous

Kata-kata mutiara di atas dapat diterjemahkan secara bebas sebagai berikut: “ Telur yang pecah karena kekuatan dari luar menyebabkan sebuah kehidupan berakhir (kematian), namun jika pecah karena kekuatan dari dalam, kehidupan dimulai. Hal-hal yang besar selalu diawali dari kekuatan yang berasal dari dalam ..”, ditulis oleh seseorang yang tidak dikenal.

Pendapat yang sangat benar dan mencakup segala ajaran spiritual. Dalam pemahaman semua agama, disebut bahwa yang bernama Tuhan, Allah, Buddha, Brahman, ada di dalam kalbu kita. Kekuatan dalam diri inilah yang sangat besar dan selalu mendatangkan kebaikan. Kebenaran sejati ada dalam diri dan cara mengetahuinya adalah dimulai dari pemahaman atas diri. Fenomena di luar merupakan persepsi diri, sehingga sebenarnya tidak ada pemisahan antara dalam dan luar. Semuanya satu, yang berada di “luar” diri adalah refleksi dan hasil ciptaan diri kita.

Dengan demikian, kita tidak bisa mengharapkan terjadinya hal2 besar dari luar diri. Kita tidak bisa menggantungkan hidup dari "kekuatan di luar diri", dari "Tuhan Allah di surga, di atas sana". Semua harus dimulai dari dalam diri kita sendiri. Allah bersemayam dalam kalbu kita, dan biarkanlah Dia bersabda, biarkanlah Beliau mencipta dan memimpin kehidupan ini. Janganlah kehendakNya dikotori oleh kehendak pikiran kita yang berupa keinginan, kemarahan, kekecewaan, kebencian, dan kegelapan pikiran.


pagi hari masih di rumah,
29/04/2010

Minggu, 25 April 2010

Pesta dan kehidupan

Tadi sore aku menghadiri sebuah pesta (perkawinan) di sebuah gedung yang mewah.

Sebuah pesta selalu menarik untuk diamati. Tetamu datang dalam kondisi yang tidak biasanya, karena pada umumnya mereka menggunakan pakaian dan perhiasan yang terbaik. Mereka datang dengan berdua atau dengan anggota keluarga lainnya. Di pesta itu tersaji makanan dan minuman untuk disantap. Para tetamu bisa bertemu dengan berbagai kenalan, ngobrol bersenda-gurau dan nampak kesenangan dalam diri masing-masing, meski ada juga yang tetap bersedih dalam hatinya. Tata hiasan gedung sangat indah dipandang mata. Setelah bertemu dengan kenalan dan sanak keluarga, terutama ketika pesta sudah usai, para tetamu harus pulang satu demi satu.

Aku hanya memikirkan bahwa kehidupan seperti sebuah pesta. Kita masuk ke dalam kehidupan ini dengan sukacita dalam kelahiran. Lalu dalam hidup ini kita saling mengenal satu sama lain, berkawan, bisa bersahabat dan bahkan membentuk keluarga baru. Makanan dan minuman secukupnya juga bisa kita dapatkan dalam hidup ini.

Namun setelah itu, kita harus meninggalkan gedung kehidupan, satu demi satu. Gedung kehidupan yang indah banyak perhiasan ini bukanlah milik kita. Kita tidak dapat membawa apapun ketika meninggalkan gedung. Tidak juga hiasan2 indah itu. Kita pulang seperti sewaktu kita datang. Kita tidak boleh menginap di gedung itu, dan harus pulang.

Pada waktu meninggalkan gedung kehidupan ini, kita kembali ke rumah, sebuah rumah yang memang menjadi tempat tinggal kita, dan itulah kehidupan yang sebenarnya. Pesta hanya berjalan sebentar, hanya sekedar bertemu teman dan sanak keluarga, makan dan minum sekedarnya. Di pesta kita juga perlu bersikap baik terhadap sesama tetamu, demi keindahan dan persaudaraan dalam pesta secara keseluruhan. Setelah itu, pesta usai dan kita harus pulang.

Pesta bukanlah kehidupan kita yang sebenarnya. Kehidupan di rumahlah yang sebenarnya ..



menjelang tengah malam,
jakarta, 25 april 2010

Minggu, 18 April 2010

Rasa miskin dan ketakutan

Banyak stasiun TV akhir-akhir ini yang selalu menyuguhkan berita sekitar korupsi. Para koruptor ini mengumpulkan harta dan kekayaan untuk dirinya sambil merugikan orang lain. Mengapa mereka korupsi besar2an dengan mengumpulkan uang dan harta yang sebetulnya bukan menjadi haknya? Ada banyak pendapat tentang mengapa seseorang ingin mengumpulkan banyak harta.

Salah satunya adalah rasa miskin. Ada rasa miskin yang terus berada di pikirannya, sehingga pikiran ini memicu segala tindakan untuk mencoba menyembuhkan rasa miskin ini. Dipikirnya, dengan menumpuk harta, dia bisa mengisi ruang kosong bernama rasa miskin ini sehingga akan merasa lebih nyaman. Namun ruang ini ternyata seperti sumur tak berdasar, sehingga berapapun harta yang dimilikinya tidak akan mampu menimbun dan menyelesaikan rasa dan pikirannya. Bagaimana sebuah ilusi dalam pikiran bisa disembuhkan dengan harta dan angka dalam tabungan?

Ada lagi yang menimbun harta karena menganggap bahwa harta akan membawa kebahagiaan dalam hidupnya. Seseorang menganggap bahwa kebahagiaan perlu ditopang dengan faktor-faktor dari luar dirinya, seperti harta, pangkat, banyak teman, anggota keluarga, gelar dan lainnya. Orang tersebut akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan faktor2 penopang kebahagiaan yang didambakan ini. Pada akhirnya dia akan kecewa karena faktor2 tersebut tidak mampu mendatangkan kebahagiaan dalam batinnya. Apalagi bila faktor2 tersebut gugur satu demi satu karena perubahan alamiah, maka kebahagiaan yang ditopang olehnya dapat dengan mudah runtuh bersamanya.

Barangkali alasan terdalam dari seseorang menimbun harta adalah karena ketakutan yang ada jauh di lubuk hatinya. Sebuah ketakutan akan adanya perubahan. Beban rasa takut ini timbul ketika dalam hidupnya seseorang mengalami perubahan-perubahan. Meskipun perubahan ini alamiah sifatnya, namun dia tidak mau mengalaminya, karena perubahan bersifat tidak tentu, dan mutlak tidak dapat dihindari. Untuk tetap mengalami kehidupan seperti sekarang yang dirasa nyaman dan nikmat, seseorang lalu membangun "kekuatan" untuk mencoba menunda perubahan atau kalau bisa tidak berubah. Keinginan ini hanyalah ilusi. Semakin seseorang ingin menggenggam kehidupannya sekarang ini dan tidak mau berubah, semakin tambah penderitaan batinnya karena dia tidak mengalir bersama alam. Bagai air yang terkungkung dalam sebuah genangan yang tidak mengalir, lama-kelamaan air ini akan berlumut dan membusuk.

Sewaktu melihat orang-orang tua itu terkuak kelakuan busuknya dan masuk penjara satu demi satu, aku hanya bisa merasa prihatin dan bersimpati terhadap penderitaan yang ada dalam batin mereka, akibat dari kegelapan pikirannya.



menjelang tengah malam,
jakarta, 18april2010

Kamis, 15 April 2010

Kemuliaan manusia yang tidak beradab

Kulihat di berita TV malam itu ..

Puluhan anggota satpol PP pontang-panting melarikan diri, dikejar 'massa'. Sosok tubuh itu tertelungkup dan tidak bergerak. Beberapa orang masih terus memukulinya menggunakan berbagai alat pemukul. Seseorang lari ke arahnya, meloncat di udara dan mendarat di badannya. Seorang yang lain mengambil potongan batu bata dan dengan sekuat tenaga dihempaskannya ke kepala yang sudah tertelungkup tak bergerak itu ...

TV-pun aku matikan segera. Aku menyesal menyaksikan kebiadaban yang telanjang itu.

Barusan aku makan malam bersama teman sekantorku di sebuah rumah makan gaya Aceh di dekat pasar Takengon. Usianya masih sangat muda, belum juga separuh dari usiaku, dia seorang agamis yang taat dan beriman. Akhir-akhir ini dia sering mengajak berdiskusi denganku tentang banyak hal. Beberapa kali dia mengatakan bahwa dia banyak belajar dari diskusi-diskusi ini.

Malam itu kami ramai berdiskusi, salah satunya, tentang manusia yang menurutnya makhluk yang sungguh mulia. Makhluk yang diciptakan oleh Allah sesuai citraNya, karena Allah menyayangi manusia lebih dibanding makhluk lain. Manusialah yang mempunyai akal budi yang tidak terdapat pada makhluk lain. Demikian pendapat yang diyakininya, yang menurutku memenuhi kriteria anthroposentris.

Sewaktu menulis ini, aku hanya ingin mencari benang merah yang mampu menyambung dua hal di atas: manusia yang membunuh sesamanya dengan wajah berseri-seri dan meneriakkan asma Allah, dengan manusia yang merupakan citra Allah yang menjadi sebuah identitas bahwa manusia adalah makhluk yang mulia.

Nafasku sesak dan batinku bergetar, karena benang merah itu tidak kutemukan.

Yang tergambar dengan jelas dipikiranku adalah manusia yang sudah terasing dari kemanusiaannya, manusia yang tidak lagi mengenali jati dirinya, dan manusia yang tidak mempunyai kepantasan apapun untuk disebut sebagai makhluk yang mulia. Binatangpun tidak pernah membunuh demi sebuah ide, sebuah konsep, kesenangan ataupun rasa kepuasan. Mereka membunuh karena terancam atau untuk makan, untuk hidup. Alasan yang hakiki.

Dan manusia ngotot merasa lebih mulia dibandingkan dengan binatang.

Kemirisan itu masih menggantung di pikiranku. Aku berniat akan melepaskannya secepat mungkin ..



hotel mahara, takengon
15042010

Minggu, 11 April 2010

GANJURAN: TEMPAT BERTEDUH

Malam itu aku dibangunkan oleh suara keras dering telpon di kamar hotelku. Kuangkat telpon dan diujung sana suara seorang lelaki berkata:” .. maaf pak, .. sudah ada yang menunggu di lobby ..” Kulihat jam tanganku, sepuluh menit lewat tengah malam. Wah .. rupanya aku ketiduran! Buru-buru kujawab, “ .. baik pak, saya segera ke lobby ..”.

Tadi siang sebetulnya sudah janjian dengan teman lamaku di kota gudeg ini. Kami berjanji ketemu tepat tengah malam untuk bersama mengunjungi gereja Ganjuran yang terletak di sebelah selatan kota. Gereja yang pernah hancur akibat gempa Jogja 2006 lalu, akhir-akhir ini menjadi tujuan bagi orang-orang yang mempunyai niat untuk mencari ketenangan sejenak. Di depan lobby hotel, kulihat temanku sambil merokok, tertawa keras dan komplain, “ .. ketiduran ya ..” Menjaga agar tidak tidur sampai tengah malam setelah mengikuti seminar yang cukup melelahkan, tidaklah mudah. Namun aku minta maaf juga kepadanya tanpa perlu menjelaskan mengapa aku ketiduran.

Menjelang pukul satu dinihari, barulah kami sampai di tempat tujuan kami.

Gereja itu nampak megah benar. Bentuknya mirip dengan pendopo kraton Jogja, terbuka tanpa dinding. Di malam itu, lampu2 di dalam gereja memberikan aksen yang memikat bagi keseluruhan bangunan. Di halaman depan gereja, ada dua gazebo besar yang banyak orang berkelompok sambil ngobrol dan memberi suasana akrab di malam itu. Di samping gereja, ada sebuah bangunan seperti candi, di depan sebuah los besar yang banyak bangku. Banyak orang tidur di bangku2 itu. Di sebelah kanan ada ruang panjang berisi seperangkat gamelan Jawa. Di sisi kiri candi terdapat sekitar delapan kran air sebagai tempat untuk wudhu, karena begitu datang, temanku mengingatkan untuk mencuci muka, tangan dan kaki sebelum berdoa.

Di depan candi kecil beberapa orang duduk di bangku menghadap candi dan berdoa. Di beranda candi ada beberapa botol plastik berisi air yang diambil dari sisi kiri candi, dan didoakan untuk kemudian dibawa pulang. Candi dan konstruksi pendukung di sekitarnya memberi kesan mistis pada keseluruhan kompleks gereja. Menurut cerita temanku, banyak juga pengunjung dari agama selain Katholik, misalnya ibu2 berjilbab, atau dari etnis Cina yang menggunakan hio, yang ikut berdoa di depan candi.

Setelah ber”wudhu”, aku naik ke candi kecil itu, yang berongga dan di dalamnya ada sebuah patung marmer putih berwajah mirip Yesus namun memakai pakaian raja Jawa. Dia duduk dengan satu tangan menunjuk ke hatinya yang menyala ada apinya. Hati Kudus Yesus. Pangkuan dan lutut patung nampak kotor seperti bekas dijamah orang. Setelah sejenak berlutut di depan patung Sang Raja dan mencoba membuka diri untuk menerima pengalaman saat itu, akupun berjalan mundur menuruni tangga candi.

Suasana malam itu yang tenang, dan energi para pendoa yang memenuhi ruang sekitar candi, menjadikan lokasi ini nyaman untuk bermeditasi. Kulihat temanku sudah menyelesaikan setengah doa rosario di genggamannya. Akupun mulai bermeditasi, dan energi di lokasi itu terasa padat.

Setelah selesai meditasi, aku ajak dia bermeditasi. Pelan kutuntun, sambil kubantu dengan meningkatkan eneginya. Ketika kuminta merasakan telapak tangannya, dia seperti kaget dan langsung bangun sambil mengibas-ngibaskan tangan: “ .. lho kok tanganku panas banget ..” Aku jelaskan bahwa itulah energi yang mengalir lewat telapak tangan. Aku minta dia kembali ke kondisi meditasi. Kembali kutuntun dia dan kualirkan energi semesta yang padat ini kepadanya. Belum lima menit kemudian, dia kembali kaget terbangun “ .. lho .. lho .. kok aku melayang .. wah kowe kok nakut2in aku .. gimana kalau aku jatuh .. rasanya kok ringan sekali ..“ Lalu mulailah celotehnya yang menyatakan kekhawatirannya kalau jatuh. Sekalian kucandai, “ .. ya lain kali bawa stagen, terus iket di tiang dan di badanmu biar gak terbang ..” Kami tertawa lepas meski agak tertahan karena takut mengganggu yang lain. Akhirnya, selesai juga sesi meditasi pendek itu.

Dalam perjalanan kembali ke hotel, kujelaskan segala sesuatu tentang meditasi. Dia janji akan mencoba sendiri di rumah. Aku kembali tidur di hotel ketika waktu menunjukkan jam 3 pagi dini hari. Aku perlu istirahat sejenak karena pagi nanti beberapa teman peserta seminar ingin belajar bermeditasi bersama.


jakarta, 11042010

Minggu, 04 April 2010

Kematian yang dibutuhkan

Hari Sabtu siang aku ikut mengantar jenazah Letjen TNI (Purn) Ashari Danudirjo ke liang lahat di Tonjong Bogor, yang wafat Jumat sore. Di KOMPAS hari ini ada sedikit riwayat hidup beliau yang menurutku hebat, seperti menjadi Dubes RI, Menteri, banyak bintang penghargaan dari negara, dan sederet kepeloporan beliau di bidang olahraga air, dan penyelamatan lingkungan hidup terutama satwa. Pemakamannya- pun diiringi upacara militer penuh, dengan inspektur upacara seorang jendral berbintang dua. Beliau dimakamkan di samping istrinya tercinta yang mendahuluinya empat tahun lalu. Aku ada di situ karena beliau salah satu paman istriku. Sabtu pagi aku dan istriku melayat ke rumah beliau di Jl. Padang. Kuamati sejenak jenazah yang terbujur, wajahnya kelihatan damai, namun memang terlihat lebih kurus dengan alis yang sudah banyak beruban. Saat itu kulantunkan doa agar beliau mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupannya yang sekarang ini.

Kematian dimana-mana selalu menyedihkan banyak orang, karena banyak sebab, namun terutama karena memori dalam pikiran. Yang diperbuat oleh orang lain adalah mencoba mengingat apa yang telah diperbuat almarhum pada masa hidupnya. Bahkan seperti kata temanku, seorang budayawan yang kebetulan ketemu di pemakaman setelah lebih setahun tidak ketemu, mari kita bicarakan hal-hal yang baik saja dari beliau. Apa yang sudah dirintis, dipelopori, diperjuangkan, dan patut dijadikan suri tauladan buat kita yang masih hidup. Memori yang kita simpan biasanya yang baik, yang memberi kompensasi terhadap rasa sedih karena kehilangan almarhum. Bahkan ajaran-ajaran semasa hidupnya perlu kita kaji ulang dan kita jadikan panduan untuk dapat hidup seperti beliau. Bukan memori tentang penderitaan semasa sakit di rumah sakit, atau kesakitan semasa almarhum kesulitan buang air, atau rasa ketika sesak nafas menyerang.

Jumat itu adalah Jumat Agung, ketika umat Katolik seluruh dunia memperingati kematian Yesus. Berbeda dengan kematian Om Ashari, kematian Yesus barangkali tidak menyedihkan banyak orang. Kematian Yesus dibutuhkan, karena hanya dengan kematiannya itulah seluruh umat diselamatkan dan dijamin kehidupan dunia akhirat. Yang dikenang adalah kesengsaraannya, proses berdarah-darah yang digambarkan dengan rinci, sampai tarikan nafas terakhir di kayu salib. Sebuah sms masuk ke ponselku tadi pagi: " ... karena bilur-bilurnya kita disembuhkan ... "

Aku masih terus mencoba memahami pandangan orang-orang Katolik terhadap kematian Yesus.

Selamat Paskah.


sore dirumah,
minggu paskah 2010

Jumat, 02 April 2010

Bebas dari kungkungan konsep

Profesor yang satu ini memang eksentrik.

Rambutnya yang sudah banyak beruban dibiarkan panjang dan diikat ekor kuda, jenggotnya yang panjang dan kumisnya yang juga beruban dibiarkan agak liar memenuhi sekitar mulutnya yang selalu terselip sebatang rokok Jisamsoe kesukaannya.

Salah satu yang diajarkannya adalah mencoba membongkar persepsi yang terkungkung oleh konsep, oleh ide, dan oleh dogma. Pembebasan diri dari kungkungan seperti itu kedengaran mudah, namun ternyata bagi banyak orang tidak selalu semudah membalikkan telapak tangan. Hari itu dia berbicara tentang agama, berbagai belief systems, sistem kepercayaan yang ada di Indonesia.

Dia mendekati salah satu mahasiswa yang sedang mengikuti kuliahnya pada hari itu, dan dengan tatapan matanya yang tajam dibalik kacamata bulat kecil yang nampak lucu, dia bertanya: " .. apa pendapatmu seandainya tuhan tidak ada .. ?" Sebuah pertanyaan yang tidak terduga, dan sebuah pengandaian yang tidak umum dilakukan. Si mahasiswa terlihat gelagapan dan tidak bisa menjawab.

Lalu profesor itu mendekati seorang mahasiswa perempuan dan bertanya: " .. kenapa kamu pakai beha dan celana dalam ..?" Si mahasiswa tidak dapat menjawab dan hanya mampu memperlihatkan wajahnya yang mendadak berubah merah menahan malu.

Setelah itu profesor ini mulai menjelaskan betapa seseorang akan sukar sekali membebaskan diri dari sebuah ide yang selama hidupnya sudah menjadi kebiasaan, sebuah kepercayaan, sebuah dogma, bahkan menjadi sebuah iman, bagian dari sebuah sistem kepecayaan. Ketika diajukan sebuah pernyataan antitesis, seseorang tidak pernah siap untuk menerimanya. Sewaktu seseorang diajak untuk berpikir keluar dari kotak (out of the box), dia sering merasa gamang karena kemudian tidak mempunyai dasar berpijak atau pegangan yang sudah secara umum tersedia atau disediakan oleh orang lain.

Lalu, pertanyaan berikut misalnya: bisakah kita hidup seandainya tidak ada Tuhan?

Barangkali bagi seorang muslim atau kristen, hal ini tidaklah mungkin terjadi. Banyak alasannya, termasuk misalnya, lalu siapa yang menciptakan kita dan alam beserta semua isinya ini? Namun bagi seorang buddhis, ada tuhan ya syukur, tidak ada juga tidak apa-apa. Lain lagi bagi seorang atheist, yang misalnya akan bertanya kembali, memang Tuhan pernah ada? Kalaupun ada itu kan ciptaan manusia, sehingga "keberadaannya" gak penting amat.

Manusia hidup dan berkembang berdasarkan opini. Opini yang diterima dan berlaku umum kemudian menjadi sebuah nilai yang dianut dan diagungkan. Mempertanyakan dan mengajukan anti-thesis terhadap nilai-nilai ini menjadi sebuah anomali perspektif. Bahkan bisa dianggap pemberontakan terhadap tradisi, konvensi dan budaya.

Bagiku, kebebasan dari konsep, mempunyai ide kreatif, keberanian menerobos dan mendobrak perspektif untuk menemukan nilai universal merupakan awal dari kebahagiaan dalam hidup. Karena kebebasan seperti itu mampu menjangkau nilai-nilai yang lebih luas, lebih dalam dan berlaku bagi siapapun dan apapun. Kemampuan ini juga merupakan keterbukaan terhadap sesuatu yang baru, sebuah proses pembelajaran yang diperlukan untuk memperkaya pemahaman kita tentang hidup dan kehidupan ini. Sebuah sifat yang universal dan menjadi obyektif, tidak lagi relatif. Realitas adalah nilai2 yang tidak relatif. Di situlah kita bisa memahami realitas, hidup lebih membumi tidak mengawang, akan lebih mampu menemukan kemanusiaan kita sendiri. Kearifan akan lebih mudah kita pupuk dari pemahaman akan nilai kemanusiaan kita.


menjelang jumat agung,
jakarta, april 2010