Jumat, 30 Juli 2010

Power to Choose

".. Science promised man power …. But, as so often happens when people are seduced by promises of power, the price is servitude and impotence. Power is nothing if it is not the power to choose .." Joseph Weizenbaum, MIT scientist.

Aku teringat cuplikan itu ketika temanku senantiasa memperkenalkan dirinya sebagai seorang scientist. Dia memang seorang doktor fisika lulusan salah satu universitas ternama di Amerika Serikat, dengan predikat cum-laude. Dia patut bangga karena tidak banyak manusia di negri ini yang dapat mencapai prestasi sepertinya.

Bukan apa-apa. Aku melihatnya dalam konteks lebih luas, tidak hanya dalam konteks ilmu pengetahuan saja. Aku rasa, ada banyak hal dalam kehidupan sehari-hari yang juga menjanjikan kekuasaan kepada kita. Misalnya, harta benda, pangkat, gelar pendidikan, kelebihan (spiritual), bahkan bentuk dan ciri fisik. Semua hal dapat menjanjikan apa yang disebut (dan kita anggap) sebagai "kekuasaan".

Jika seseorang mempunyai uang lebih banyak dari orang lain, maka orang tersebut merasa mempunyai kekuasaan, dan rasa berkuasa itu mulai menggoda dengan kuat, misalnya untuk menggunakan alat kekuasaan (uang) dalam berinteraksi dengan orang lain. Seandainya seseorang merasa mempunyai kelebihan (spiritual) sehingga orang tersebut dijuluki "paranormal" atau "orang pandai" atau "pemuka agama", maka dia lalu tergoda oleh rasa berkuasa karena merasa memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang lain tersebut. Demikian juga untuk hal lainnya, seperti misalnya: tingkat pendidikan, pangkat, jabatan, bahkan yang remeh-temeh seperti jenggot dan cara berpakaian.

Ongkos atau biaya yang harus ditanggung adalah pelayanan dan ketidakberdayaan. Kita lalu melekat dan menghamba kepada hal-hal yang (kita anggap) memberikan kekuasaan tersebut. Kita lalu terjebak dalam sebuah hubungan ‘hirarkis’ antara kita dan hal tersebut. Kemelekatan lalu menjadi sebuah pelayanan, karena kita harus menjaga semua hal tersebut agar tidak jatuh. Kita selalu siap melayani rasa berkuasa dan menjunjung tinggi imaji (yang kita ciptakan sendiri) karena ‘memiliki’ hal-hal tersebut. Diri kita lalu tidak mempunyai keberdayaan sama sekali. Kita merasa bahwa diri ini sama dengan hal yang melekat. Saya adalah orang kaya, saya adalah rektor, saya adalah direktur, saya adalah paranormal, saya adalah berwajah indo, saya adalah orang saleh (dan berjenggot), saya adalah orang katolik, saya adalah scientist.

Aku memahami bahwa hal itu bukanlah identitas, melainkan rasa yang melekat. Ataupun kalau disebut identitas, maka itu bukanlah kesejatian.

" .. Power is nothing if it is not the power to choose .. " Benar adanya. Kekuasaan sesungguhnya terjadi ketika seseorang mampu memilih. Ketika kita bisa mendobrak belenggu imajiner yang selama itu telah mengungkung kita dan memberi rasa nyaman dalam bungkus imaji tentang kekuasaan. Dalam konteks ini pula aku memahami kata-kata Yesus ketika dicobai oleh setan, misalnya, dan dia menjawab .. manusia hidup bukan dari roti saja. Lalu Yesus juga tidak silau dengan kekuasaan yang dijanjikan setan. Yesus mampu memilih. Gautama Buddha memilih meninggalkan nikmatnya kemewahan istana untuk memahami kehidupan dan mengenali kesejatian dirinya. Dia memilih melepaskan kemelekatan kepada harta benda, dan itulah "power to choose", sebuah kekuasaan yang sebenarnya ..


minggu sore
sambil kerja di rumah
1 agustus 2010

Selasa, 27 Juli 2010

Kesadaran di Mata Tua-nya

Matanya yang tua memandangku tanpa berkedip. Mata yang setua wajahnya itu meski nampak lelah sepertinya menunjukkan bahwa dari puluhan tahun yang telah dilewatinya, dari milyaran obyek yang telah dilihatnya, masih mempunyai ruang untuk sesuatu yang belum pernah dicerapnya. Mata yang saat itu seolah berubah menjadi mata kanak-kanak yang menginginkan melihat mainan baru.

" .. bagaimana kau bisa mengatakan bahwa kesadaran adalah kehadiran Tuhan? .. " sergahnya sambil memandangku dengan caranya tadi. Kubiarkan dirinya menunggu sejenak, meski nampak padaku bahwa sejenak bisa berarti lama bagi rentang waktu dalam pikirannya.

" .. karena kesadaran menerangi kegelapan batin kita .. " akhirnya kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku, seolah sudah kupersiapkan sejak lama.

Lalu lanjutku, " .. tanpa kehadiran kesadaran, pikiran dan batin akan tertutup oleh banyak kepentingan, banyak keinginan, banyak kemarahan, dan banyak ketakutan serta penderitaan .. semua aneka warna yang diciptakan sendiri oleh ego kita yang akhirnya mengaburkan kacamata batin dalam 'melihat' kehidupan, .. semua beban yang akhirnya menumpuk memberatkan pundak kita sehingga tidak ada kebebasan dalam bergerak dan menari bersama aliran kehidupan .. "

" .. demikian kuatnyakah kesadaran sehingga mampu mengubah semua itu ..? "

" .. ya. Kesadaran adalah kejernihan pikiran dan batin kita dalam berinteraksi dengan jagat dan semesta 'diluar' diri kita, meski kau kelak juga akan menyadari bahwa mereka adalah perluasan dari pikiran dan batin kita sendiri .. "

Kulanjutkan kata-kataku tadi " .. kesadaran yang menyatukan kita dan semesta itulah yang merupakan kehadiran Tuhan dalam istilah orang beragama. Dalam penyatuan itu semua menjadi benderang, tidak lagi ada tempat untuk ego yang mengganggu dan menutup interaksi yang indah itu. Kesadaran dalam tataran demikian bila terjaga setiap waktu, akan menjadi sumber energi luar biasa bagi perjalanan hidup kita, dan disitulah kebahagiaan hidup berada .. "

Mata tuanya seolah tidak pernah berkedip sejak awal pembicaraan tadi.



sekilas peristiwa
di hotel Kemang sore tadi
27/7/2010

Jumat, 02 Juli 2010

Diskusi singkat tentang ma'rifat

Temanku kirim email dan menanyakan apa itu ma'rifat dan pengalaman ma'rifat. Dari pengetahuanku yang terbatas, kucoba menjawab secara singkat apa yang kuketahui tentang kedua hal itu.

" ... Mas Gareng kinasih,

Setahu saya ma'rifat itu salah satu tingkatan ilmu "surgawi" yang sering dianggap sebagai tataran tertinggi, meski di paham lain ada juga yang menganggap "ajimat" adalah tataran di atasnya. Tingkatan ilmu tertinggi ini mempelajari tentang kesatuan antara manusia dan Allah atau "kemanunggalaning kawula - Gusti". Ilmu ini dipelajari pada tarekat Nakhsabandiyah, juga oleh para sufi, seperti halnya Syekh Siti Jenar. Tataran "ilmu surgawi" adalah: syariat, tarekat, hakikat dan marifat (sebagai pengetahuan yang tertinggi). Dalam syariat (sebagai ilmu paling dasar) digambarkan bahwa kata "Allah" dalam tulisan Arab terdiri dari alif-lam-lam-ha. Alif adalah satu, berdiri sendiri, merupakan awal, artinya Allah adalah awal dari segala sesuatu, awal dari alam semesta, dan alif terpisah dari lam-lam-ha karena Allah pencipta semesta. Dalam hakikat, alif maujud dalam lam-lam-ha, dan Sayidina Muhammad adalah pengejawantahan dari Allah, seperti Yesus adalah sisi kemanusiaan dari Allah Bapa. Dalam marifat sebagai pengetahuan tertinggi, alif dan lam-lam-ha adalah satu, sebuah kesatuan tanpa awal dan akhir. Di Kristen dipahami bahwa Alpha dan Omega menyatu sebagai sebuah lingkaran. Penyatuan inilah yang disebut manunggaling kawula-Gusti.

Perbedaan utama antara pandangan syariat dan ma'rifat terletak pada keberadaan Allah, karena dalam manunggaling kawula - Gusti, Allah bukan 'berada' di luar sana, tapi dalam diri manusia. Pandangan ini, seperti pada sufisme, akhirnya memahami bahwa untuk menjumpai Allah, manusia hanya perlu masuk ke dalam dirinya sendiri (journey within). Syekh Siti Jenar dibunuh oleh para Wali Sanga karena mengajarkan ilmu pengetahuan ini, ilmu tentang rahasia alam semesta, ilmu yang secara singkat diekspresikan sebagai: "Akulah Allah".

Seandainya aku tafsirkan secara bebas tentang ajaran Yesus, maka ma'rifat sejalan dengan ajaran Yesus yang mengatakan bahwa Kerajaan Allah ada dalam hatimu, bukan dimana-mana. Manusia seperti Yesus adalah satu pribadi dengan Allah Bapa, dan untuk menuju ke Bapa, perlu melalui Yesus sang Anak Manusia. Artinya, kita hanya perlu memahami manusia untuk memahami Allah, karena manusia adalah citra Allah. Yesus (manusia) adalah jalan menuju Bapa. Sehingga manusia hanya perlu masuk melalui kita sendiri (manusia) untuk menjumpai Allah Bapa yang bertahta dalam KerajaanNya, di dalam batin kita sendiri. A journey within. Juga Buddhisme yang mengajarkan untuk menemukan Sang Buddha dalam diri kita (buddha within). Demikian juga dalam Hinduisme, manusia (atman) adalah percikan Brahman. Percikan api adalah api itu sendiri.

Karena yang diperlukan adalah 'a journey within', maka dengan begitu, pengalaman ma'rifat merupakan pengalaman pribadi dalam bertemu dengan 'Allah'. Pengalaman ini unik, karena sangat pribadi sifatnya, tergantung dari pengalaman hidup masing-masing, dan peristiwa2 yang menjadi titik balik kehidupan, yang membawa pribadi itu ke dalam pengalaman pertemuan (penyatuan) tersebut. Pengalaman ini bukan sebuah "ilmu" yang berarti hanya pemahaman, tapi peristiwa yang dialami dan membawa transformasi batin seseorang, sehingga seluruh hidupnya akan berubah. Menurutku ma'rifat tidak lagi bisa dilakukan secara berjamaah seperti dalam syariat, namun sudah masuk ke dalam diri masing-masing yang sifatnya sangat pribadi. Karena itulah Mahatma Gandhi pernah berkata yang kira-kira artinya seperti ini: " .. kalau jumlah manusia di bumi ini ada (misalnya) tiga milyar, maka jumlah agama seharusnya ya tiga milyar itu. Bukan hanya Hindu, Kristen, Islam, Buddha .. "

Mudah-mudahan membantu. Silahkan teruskan diskusinya jika masih diperlukan ..

Salam,
Agus ... "

pagi hari setelah semalam Belanda menang atas Brazil
3 juli 2010