Selasa, 28 September 2010

Kasih Injil Yohannes

Sebuah cerita dari sahabatku.

Aku merasa paham atas apa yang ditulis di kitab suci. Kitab yang menjadi panduan dalam hidupku, dan menjadi perlindunganku dalam segala kesukaran hidup. Di dalam ayat-ayat itulah aku menyandarkan pengetahuanku tentang segala dimensi kehidupan ini.

Di situ diceritakan tentang Yesus yang mengajarkan kasih, sebagai inti dari semua ajarannya. Seandainya kitab suci bisa diperas maka akan keluar setetes embun bernama ‘kasih’ .. hanya itu.

Kata pemimpin agamaku, kasih itu datangnya dari Allah, bukan dari manusia karena manusia sejak lahirnya sudah cacat membawa dosa asal dari Adam. Hanya dengan melakukan dan menyatu dengan Allah-lah maka kasih dariNya dapat kita peroleh. Satu-satunya penyatuan antara manusia, Yesus dan Allah dibahas dalam injil Yohannes. Bukan oleh penulis2 injil lainnya. Salah satu contoh misalnya, “ .. Pada waktu itulah kamu akan tahu, bahwa aku di dalam Bapa-Ku dan kamu di dalam aku dan aku di dalam kamu ..” (Yoh 14:20).

Penggambaran Yesus lebih lanjut tentang penyatuan diri ini ada di ayat selanjutnya, bahwa kita manusia seperti ranting anggur yang harus menyatu dengan pokoknya agar dapat berbuah. Yesus adalah pokok anggur, dan kita adalah ranting2nya (Yoh 15:4 -5). Aku juga tahu bahwa sebagai seorang Kristen, aku harus menyatukan diriku dengan Allah, dengan Kristus. Usaha penyatuan itu digambarkan dengan konsekrasi dan penerimaan komuni di perayaan ekaristi. Sebuah komunion, penyatuan, penerimaan tubuh (dan darah) Kristus ke dalam diri kita masing-masing.

Lebih jauh Yesus mengatakan, “.. Jikalau kamu menuruti perintahKu, kamu akan tinggal di dalam kasihKu, seperti Aku menuruti perintah BapaKu dan tinggal dalam kasihNya (Yoh 15:10).

.. aku dalam kamu, kamu ada di dalam aku ..
.. kamu tinggal dalam kasihku ..
.. aku tinggal dalam kasih Bapa ..
.. bagai pokok anggur, kamu tidak berbuah kalau tidak tinggal dalam aku ..
.. di luar aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa ..

Barangkali sudah puluhan kali ayat2 itu aku baca ulang, aku coba pahami lagi, aku coba kaji kembali. Kata-kata dalam alkitab yang seharusnya menuntunku menemukan kebenaran sejati, semakin lama malah terasa menjadi sebuah konsep. Kata-kata itu menjadi kalimat yang menarik dalam bahasa namun membingungkan dalam arti, sehingga terasa ada sebuah jarak diantara keduanya yang memberi ruang untuk interpretasi, menurut siapapun yang membacanya.

Namun pertanyaanku masih terus menggantung, bagaimana caranya seseorang menyatukan dirinya dengan Allah? Alkitab hanya mengatakan apa, bukan bagaimana. Aku masih ingin mendapatkan sebuah ketrampilan untuk melakukan apa yang diamanatkan dalam buku suci itu. Ketrampilan untuk menemukan arti sejati dari amanat itu, kemudian menerjemahkannya ke dalam konteks kehidupan sehari-hari, tanpa harus bersusah payah membentuk kondisi pendukungnya.

Akhirnya aku kenal seseorang, yang dalam perjalanan hidupku bersahabat dengannya, memberikan banyak jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penting dalam hidupku yang masih menggantung. Dia membawa sebuah kesadaran baru yang jauh lebih pragmatis, realistis, sederhana, namun sangat dalam pada dimensi spiritual …

Darinya, ada sebuah kesadaran baru yang kuperoleh. Sebuah kesadaran bahwa penyatuan dengan Allah yang banyak diajarkan oleh banyak agama di dunia ini, merupakan sebuah bentuk kesadaran tertinggi bahwa ‘kerajaan Allah ada dalam diri manusia, dalam diriku’. Allah bersemayam dalam diri masing-masing manusia. Sehingga kini aku menyadari bahwa aku tinggal menemukan kerajaan itu, bagaikan Bima menemukan Dewa Ruci. Kerajaan itu tidak di’luar’ sana, tidak di tanah suci di permukaan bumi ini, tidak di bangunan gereja atau masjid, tidak di pohon atau di gua-gua yang disucikan, namun ada di dalam hatiku. Sudah ada sejak awal jaman. Tinggal menemukannya.

Perubahan sudut pandang, yang masih sangat sejalan dengan bunyi ayat-ayat alkitab di atas, membalik seluruh pertanyaanku menjadi jawaban. Rasanya tidak diperlukan lagi interpretasi tambahan untuk dapat memahami apa yang ditulis dalam injil Yohannes.

Allah ada dalam diriku, karena batinku adalah kerajaanNya ..
Komunion denganNya terjadi setiap saat, tidak hanya pada hari Minggu dalam perayaan ekaristi ..
Kurasakan energiNya dalam diriku, kusyukuri kehadiranNya dalam batinku ..

Terimakasih sahabatku.



Lewattengahmalam
29/9/2010

Sabtu, 18 September 2010

(Bukan) Agama Baru?

Aku pernah beragama. Demikian katanya. Sekarang aku tidak tahu, apakah hidupku beragama atau tidak.

Dia meneruskan ceritanya padaku.

Dulu, beragama bagiku adalah rajin mengunjungi rumah ibadah, mengikuti setiap acara ritual di rumah ibadah itu, setia berdoa tepat waktu, melantunkan doa-doa dengan bertasbih, berpakaian terbaik ketika mengunjungi rumah ibadah, selalu mencoba membaca alkitab untuk memahami cerita dan menghafal ayat-ayat yang penting, sangat menghormati para pemimpin agamaku ...

Dalam hatiku, aku merasa nyaman ketika semua kewajiban sudah kulaksanakan. Sekali tidak ke rumah ibadah, rasanya ada sesuatu yang kurang dan harus ditebus .. untuk mengembalikan rasa nyaman tadi. Aku bisa menangis ketika melantunkan doa-doa yang menyentuh hatiku. Aku bisa terhanyut mendengar alunan doa dan nyanyian rohani yang mendayu syahdu. Aku bisa mendapat energi baru ketika mengunjungi tempat-tempat ziarah yang disucikan oleh umat dalam agamaku.

Aku merasa nyaman, merasa aman dalam kelompokku, dan merasa bahwa ada jaminan keselamatan akan kehidupanku kelak setelah kematian ...

Aku masih mendengarkan dengan seksama ceritanya yang sungguh menarik ini.

Suatu ketika aku berubah.

Berubah? tanyaku.

Dia melanjutkan ceritanya. Ya, aku berubah. Ada sebuah peristiwa dalam kehidupanku yang membuatku mempertanyakan peran agama dalam kehidupanku. Ada sebuah titik yang membuatku menggugat seluruh bangunan keyakinan yang selama ini kugenggam teguh dan kubungkus dengan kain putih bertuliskan "iman". Ada sebuah lantai marmer tempat kepalaku dibenturkan untuk mendapatkan kesadaran baru dalam kehidupanku.

Semua peristiwa itu terjadi akibat dari sebuah kondisi kehidupan yang sebelumnya tidak pernah dihadapkan kepadaku dengan gamblang, sangat mendasar, telak menampar wajahku dan merontokkan seluruh kenyamanan yang melingkupiku, sebuah kenyamanan semu yang selama ini tercipta akibat dari penanaman sugestif yang kulakukan berulang melalui ritual keagamaan. Semua gambaran semu yang terus menerus kubuat untuk membentuk sebuah benteng pengaman dari godaan diluar keyakinanku, yang dicap sebagai setan, iblis penggoda iman oleh kelompok agamaku.

Perubahan apa yang kau alami? selidikku.

Sebuah perubahan yang amat sangat mendasar, yang mampu membongkar seluruh dasar "iman" ku dalam beragama. Perubahan yang mampu mengkritik peran Tuhan atau Hyang Maha. Perubahan ini begitu menyakitkan batinku, seolah membungkam degup jantungku. Perubahan yang mampu menguliti otak dan pikiranku sehingga menemukan keinginan2 yang bersembunyi di dalam kepalaku. Semua itu berproses. Namun memang proses itu seolah mencekik seluruh saraf kesadaranku, sehingga aku berusaha untuk tetap sadar dengan menggapai-gapai untuk mendapatkan energi kehidupan. Sungguh, sebuah proses yang teramat menyiksa segenap sel dalam diriku. Sebuah proses yang membawa rasa takutku yang terdalam, ke permukaan, dan kurasakan secara nyata.

Namun, peristiwa itu ternyata merupakan sebuah transformasi batin yang membongkar bangunan lama keagamaanku dan membentuk sebuah bangunan baru yang jauh lebih terbuka, tidak kaku oleh ritual dan iman, tidak terkungkung oleh proteksi dogma. Bangunan baru ini seperti sebuah energi yang tidak berstruktur kaku, tapi luwes, adaptif terhadap stimuli apapun, seolah menyatu dengan batin dan pikiranku, serta memberi energi berlimpah ke dalam kehidupanku.

Apakah itu sebuah agama baru bagimu? kucoba untuk memahami lebih jauh.

Aku tidak tahu apakah ini sebuah agama baru. Aku tidak lagi melakukan banyak ritual untuk memahami dan mengalaminya. Aku hanya perlu mengheningkan seluruh sistem dalam badan, pikiran dan batinku. Keheningan yang sangat kini, sehingga konsep waktu melarut dan memudar, tidak ada lagi masa lalu dan masa depan. Keheningan yang berada di sini, sehingga tidak ada lagi konsep ruang selain di sini. Sebuah kondisi yang amat sangat menenangkan, berenergi, amat sangat membebaskan, dan ternyata sangat membahagiakan.

Aku tidak tahu benar apa yang terjadi, namun rasanya agama yang pernah kuanut dan sempat memberiku rasa keselamatan dan proteksi, menjadi tidak berarti .. aku tidak lagi merasakan ketakutan atau kecemasan tentang dosa, tidak juga merasakan adanya ancaman apapun dalam hidup ini. Tidak ada rasa khawatir terhadap masa depan, konsep surga dan neraka setelah kematian, karena seperti kataku tadi, waktu yang ada hanya masa kini, masa depan adalah sebuah fantasi ...

Kalau kau tanya aku sekarang, apa agamamu, aku tidak mampu menjawabnya, karena apa yang kualami pasti tidak masuk dalam kategori agama yang kau miliki.

Tapi, aku tidak peduli lagi dengan aturan-aturan yang sekarang masih terus kau ikuti dan jalani. Itu semua adalah masa laluku yang kini telah mati dan pergi entah kemana.

Mendengar ceritanya, aku hanya terdiam. Apalagi yang bisa kulakukan selain itu?



tengah hari,
di rumah, 19/9/2010

Senin, 06 September 2010

FITRAH

"Selamat Iedul Fitri, mohon maaf lahir dan batin .."

Kalimat itu merupakan standard ucapan di saat umat Islam memperingati hari selesai berpuasa, hari akhir bulan Ramadhan. Hari yang menurut mereka adalah hari kemenangan setelah sebulan penuh mengendalikan hawa nafsu. Hari itu umat Islam merasakan sebagai manusia baru, manusia yang mampu kembali ke fitrah, sebuah kondisi bersih bagai bayi yang baru lahir.

Seperti disampaikan oleh Abu Hurairah: " .. Rasulullah bersabda bahwa tidak ada anak yang lahir kecuali dalam Al-fitra dan kemudian orangtuanya menjadikan mereka Yahudi, Kristen atau Magian (Zoroatrian), seperti halnya binatang melahirkan binatang yang sempurna: kau lihatkah bayi binatang itu yang bagian badannya terpotong? " (Sahih al Bukhari, buku 23)

Fitrah adalah kondisi dimana kemanusiaan kita sempurna bagai bayi, tidak ada kedengkian, tidak ada ketakutan, kemarahan, ketamakan .. yang ada adalah kondisi seorang manusia yang utuh jasmani - rohani, murni, bahkan bayi-pun masih terhubung erat dengan dimensi spiritualitas mereka.

Hari raya iedul fitri memang tepat untuk merenungkan kembali kefitrian manusia. Hari yang diperlukan, paling tidak beberapa hari dalam setahun, untuk mengembalikan manusia kepada nilai-nilai kemanusiaannya. Nilai-nilai yang mengatakan bahwa semua manusia adalah sama, seperti kesamaan bayi-bayi yang baru lahir. Nilai-nilai yang membebaskan manusia dari sekat-sekat yang dibuatnya sendiri yang berasal dari: agama, kebangsaan, keturunan, ekonomi, politik, dan masih banyak lagi. Sekat-sekat yang ternyata telah membatasi gerak batin manusia dalam berkomunikasi dengan sesama, dengan alam semesta, bahkan dengan Tuhannya, sumber kehidupannya. Sekat-sekat yang ternyata telah mengasingkan manusia dari sisi kemanusiaannya.

Semoga hari Iedul Fitri 1431 H ini tidak hanya merupakan hari penyelesaian puasa, pembagian zakat karena kewajiban, mudik bertemu sanak keluarga; namun mudah-mudahan hari besar ini dapat mempunyai makna yang lebih dalam di kehidupan kita semua. Makna bahwa kita dapat kembali kepada nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar, kembali kepada kebebasan manusia dari sekat-sekat yang membelenggu dan mengurangi kebebasan gerak batin kita untuk saling menyapa, bersilaturahmi, bersatu.

Membuka pintu maaf bagi diri sendiri dan bagi orang lain tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Namun memaafkan diri sendiri dan orang lain adalah awal dari pendobrakan sekat-sekat yang membelenggu kemanusiaan kita sendiri, yang diperlukan untuk usaha kita kembali kepada nilai-nilai kesejatian kita sebagai manusia. Kembali kepada fitrah kita.

"Selamat Iedul Fitri 1431 H, semoga dibukakan pintu maaf lahir dan batin ..."



agus widianto
7 september 2010

Minggu, 05 September 2010

Surgaku Di Sini Dan Sekarang Ini

" .. kau tahu, hidup di dunia ini kan sementara, sedangkan kehidupan sesungguhnya adalah hidup kekal kelak setelah kita mati .."

Begitulah aku dan temanku memulai pembicaraan sore itu, di sebuah restoran di pinggiran kota Jakarta. Kami sudah lama berteman, dia tinggal jauh di ujung Borneo. Sore itu kebetulan bisa bertemu untuk melepaskan kerinduan berbincang dari hati ke hati.

Awan di Jakarta berwarna jingga seolah menjadi isyarat terakhir dari matahari bahwa sebentar lagi dia akan digantikan oleh bulan, setelah siang tadi setiap detik tanpa henti memberikan cahaya dan energinya kepada seluruh hidupan di seluruh planet di galaksinya. Namun, sesungguhnya sinar matahari tidak pernah tergantikan. Dia akan terus memancar, terus memberi dan menghidupi, tanpa pamrih. Sebuah sumber energi maha dahsyat dalam ukuran manusia, yang bahkan ketika malam-pun, pertikel elementernya, neutrinos, mampu menerobos ketebalan bumi dengan kecepatan cahaya seolah massa bumi ini tiada. Banyak renungan tentang matahari dan segala perilakunya yang memberi perspektif universal dalam kehidupan manusia yang semakin sempit di-kotak-kotakkan sendiri.

Aku masih terdiam dan menyeruput kopi di hadapanku. Temanku ini pemeluk agama yang kuat, seorang yang dapat menjadi contoh bagaimana menjalankan agama dengan baik. Sore ini dia hanya pesan teh panas manis. Beberapa keping biskuit ada di tengah meja, sebagian sudah kami nikmati.

".. maka, seluruh energi kita harus diarahkan pada kehidupan kekal itu. Apa yang kita perbuat dalam hidup sekarang ini kan sebenarnya ajang berinvestasi untuk kehidupan kelak. Sekarang dalam menghimpun investasi ini, kehidupan masih bisa kita kendalikan dan pilih mana yang baik dan buruk, namun kelak .. " ada jeda sejenak, dan kulihat dia menarik nafas dalam, ".. kita tidak akan mempunyai kesempatan dan keleluasaan lagi untuk memperbaiki hidup, semuanya sudah akan serba terlambat .."

".. kelak tinggal masa penghakiman, dan kita harus terima apa yang menjadi keputusan Sang Maha Hukum dan konsekuensinya, yang semuanya didasarkan pada segala catatan kehidupan kita sekarang ini .."

Aku masih mendengarkan dengan seksama setiap katanya. Ada perasaan aneh ketika pikiranku seolah memutar sebuah kaset lama. Lagunya itu-itu saja, liriknya mirip atau sama, hanya penyanyinya yang berbeda-beda. Lagu itu terus-menerus didendangkan, di-salawat-kan, bahkan menjadi kredo bagi sebagian manusia, menjadi syahadat. Lagu itu seolah sudah menjadi lagu kebangsaan umat manusia, yang ketika dinyanyikan harus disertai sikap sempurna, tegak dan penuh hormat.

Aku tidak tahu benar, dari mana lagu itu berasal, dan siapa pengarangnya.

Sejenak kembali ada jeda. Warna kemerahan di awan Jakarta sudah mulai meredup. Dewa Surya akan segera beristirahat masuk ke peraduan, dan Dewi Ratri akan menggantikannya menemani umat manusia di belahan bumi ini. Suara jengkerik dan burung malam mulai terdengar sayup. Suara katak yang terdengar satu-satu juga menjadi semakin jelas. Halaman rumah ini luas sekali, banyak pepohonan besar yang sudah sangat jarang ditemui di Jakarta, bahkan di wilayah cincin sub-urbannya. Udara mulai berganti dengan menghembuskan kesejukan senja, seolah semua pohon di situ bersama-sama meniupkan nafas harum dan sejuknya agar membantu manusia mengistirahatkan dirinya.

".. bagaimana kau berhubungan dengan sesama, dengan makhluk lain, dengan alam semesta, bahkan dengan dirimu sendiri .. pada kehidupan sekarang ini? .." tanyaku memecah kesunyian jeda tadi. Sebuah pertanyaan yang kemudian aku rasakan terlalu panjang dan seolah menghamburkan seluruh pikiranku dalam sebuah urutan kalimat. Sedikit gerakan kepalanya menandakan usahanya menangkap arti pertanyaanku.

Kemudian jawabnya, ".. semuanya hanya sementara, paling untung hanya 80 tahunan, dan setelah kematian, barulah kita masuk ke kehidupan kekal, abadi. Jadi, semua kehidupan ini hanyalah sarana kita untuk menggapai Allah, sarana untuk melakukan investasi agar kita kelak mendapatkan surga. Agar kelak raport kita tidak merah. Hidup sekarang harus baik dan benar, baik terhadap diri sendiri, sesama, lingkungan dan semesta .."

Terdengar sedikit desahan nafasnya setelah mengungkapkan semua argumentasi, sebuah pidato yang seolah sudah lama dipersiapkan dalam benaknya, bahkan dalam setiap sel di tubuhnya.

".. rasanya ada sedikit perbedaan dari cara kita bersikap dalam hidup ini ..", kataku.

".. bagiku, semua 'dunia' di luar diriku, baik itu sesama, makhluk lain maupun lingkungan dan semesta, merupakan kesatuan yang disebut kehidupan. Aku tidak pernah menganggap sesamaku sebagai alat untuk menggapai Allah ..", lanjutku.

".. meskipun barangkali perlakuan kita sama baiknya kepada sesama dan lingkungan, namun rasanya kebaikan yang aku lakukan .. dan aku masih terus mencoba untuk hidup baik .. adalah karena aku merasa mereka adalah bagian hidupku. Aku tidak dapat hidup tanpa mereka. Hubunganku dengan mereka tidak bersifat sub-ordinasi, bahwa aku punya wewenang atas mereka, bahwa aku adalah penjaga mereka, aku adalah khalifah mereka, aku diberi wewenang oleh Allah untuk menjaga dan memanfaatkan mereka. Tidak seperti itu .. Aku adalah mereka, dan mereka adalah aku .."

Sekarang giliran dia yang terdiam. Saat itu aku hanya mengharap dia dapat memahami kata-kataku.

".. Coba lihatlah secangkir kopi yang kuminum ini. Aku bisa menikmati lezatnya kopi ini karena jutaan manusia terlibat di dalamnya. Para petani penanam kopi, pekerja pabrik pembuat cangkir yang menarik ini, pengolah kopi, petani penanam tebu untuk bahan gula, pembuat kompos dan pupuk, sinar matahari, pegawai pengolah air, pegawai listrik untuk menjalankan mesin kopi .. dan terus .. dan terus .."

Dia masih terdiam dan memandangku. Dalam keremangan senja, bulatan hitam matanya seolah membesar.

".. Jadi, kopi yang kemudian kunikmati dan menyatu dengan diriku ini, merupakan sebuah hasil kerja besar dari banyak unsur semesta, termasuk manusia yang tidak pernah kukenal secara pribadi. Adakah aku lalu menganggap mereka adalah sarana untuk mencapai surgaku? Sama sekali tidak .. Aku hanya merasakan bahwa mereka adalah bagian dari hidupku. Aku hanya merasakan bahwa merekalah surgaku, yang sekarang ini berupa kenikmatan secangkir kopi .. "

".. inilah surgaku, menikmati suara2 makhluk senja di sekitar kita, merasakan sejuknya semilir angin malam di tempat seindah ini, ditemani secangkir kopi hasil kerja keras jutaan manusia, dan berbagi pengetahuan dengan kamu, teman baikku .." kulihat sekilas bibirnya bergerak menyunggingkan sebentuk senyum.

".. Surgaku sedang kualami sekarang ini, disini, di tempat ini, bukan nanti kalau aku sudah mati .."




buat temanku terkasih,
yang sedang berinvestasi untuk surganya kelak
jakarta, 6 september 2010

Kamis, 02 September 2010

Manusia Yang Lemah

Dia memandangku lekat-lekat. Kami baru saja berbincang mengenai birahi sebagian manusia yang muncul hanya karena melihat patung Tiga Mojang di Bekasi. Ada sinyalemen bahwa peristiwa itu menunjukkan betapa manusia-manusia itu mempunyai intelektualitas lebih rendah dari rata-rata, karena tidak dapat membedakan buah dada manusia dan buah dada patung.

Dia masih memandangku lekat-lekat, dan dengan pelan kemudian berkata: “.. manusia memang makhluk yang lemah, banyak keinginan daging yang seringkali tidak dapat kita kendalikan ..”

Aku diam sejenak dan mencoba menangkap pesan yang disampaikan di balik susunan kata yang terucap. Ada paling tidak tiga hal: pertama, manusia adalah makhluk yang lemah; kedua, keinginan daging; dan ketiga, kemampuan untuk mengendalikan keinginan daging.

“.. mengapa kau menganggap manusia itu lemah?”, tanyaku.

“ .. hanya Tuhan yang sempurna, manusia tidak sesempurna sepertiNya”, dia mencoba membuat sebuah perbandingan, yang menurutku hanya membandingkan dua fantasi.

“ .. meski aku tidak tahu Tuhan, tapi bukankah manusia itu sempurna?”

“ .. tidak, karena manusia tidak berkuasa menghindari kematian, sedangkan Tuhan bebas dari maut”.

“ .. menurut skenario manusia, memang seharusnya Tuhan tidak mati, karena jika dia mati, maka tidak akan ada rasa hormat manusia kepadaNya, yang seharusnya superior karena diyakini sebagai pencipta. Bagaiman Pencipta dikalahkan oleh siklus yang diciptakannya? Kematian yang digunakan sebagai faktor pembanding rasanya menjadi tidak adil. Namun intinya, pada saat manusia hidup, bagiku dia sempurna. Dia adalah hasil evolusi lebih dari dua ratus ribu tahun, dan evolusi ini menjadikan manusia sebagai sesosok organisme hidup yang sesuai dengan habitatnya ..” aku mencoba membela spesies-ku sendiri.

Kembali dia memandangku lekat, dan kulihat ada sedikit gerakan kepalanya seperti sebuah tanda keterperanjatan atas jawaban yang mungkin tidak pernah terpikirkan. Dia terdiam menunggu kata-kataku selanjutnya.

“ .. jika kau pahami mekanisme tubuh manusia, perkembangan otak manusia, kemampuan sensorik, sistem hormonal, kekebalan tubuh dan lainnya, kau akan bisa mengapresiasi kemampuan tubuh kita ini. Demikian juga kemampuan pikiran, kemampuan spiritual manusia yang bisa tidak terbatas, sangatlah memukau ..”

“ .. apresiasi demikian diperlukan agar manusia dapat menghargai dirinya sendiri, karena hanya dengan begitulah dia dapat menghargai manusia lain, menghargai makhluk lain, dan menghargai penciptaNya .. Hanya manusia yang tidak dapat menghargai dirinya-lah yang tidak dapat menghargai penciptaNya ..” lanjutku.

Dia masih diam, pandangannya seolah sedang mencari sebuah pegangan agar kata-kataku tidak menjerumuskannya ke sebuah lubang yang penuh ketidakpastian. Sebuah perangkap yang akan membahayakan keyakinannya.

“ .. tapi keinginan daging merupakan sisi kelemahan manusia, karena kita selalu tidak bisa mengendalikannya. Coba lihat, puasa makan minum saja sukar sekali, selalu ada dorongan untuk batal. Keinginan seksual merupakan indikator paling nyata, bahwa manusia tanpa seks rasanya tidak bisa hidup .. sewaktu keinginan seksual ada, betapa sukar mengendalikannya ..” dia masih mencoba mengulang dan memperkuat argumentasi tentang kelemahan manusia, “.. dan juga tidak hanya keinginan seksual saja, tapi keinginan-keinginan daging lainnya ..”

“ .. aku rasa ada benarnya bila pikiran kita mengendalikan seluruh sistem tubuh, yang kau sebut sebagai keinginan daging ..”

“.. maksudmu? “ dia mencoba memahami apa yang kukatakan.

“ .. semua berasal dari pikiran kita, termasuk segala keinginan, segala kebencian dan ketidak-pahaman. Pikiran yang muncul itu lalu menjadi lokomotif yang menggandeng seluruh sistem tubuh. Misalnya, meski tubuh ini sudah lelah, namun pikiran masih mempunyai keinginan pergi ke sebuah mall, maka tubuh lelah ini diseret-seret memenuhi keinginan pikiran ..”

Nampaknya dia sedang membayangkan kejadian yang kugambarkan.

“.. jadi, bukan keinginan daging yang ada, namun pikiran kita. Selama kita tidak bisa mengendalikan pikiran, maka daging akan terus menerus diseret untuk menuruti keinginannya. Demikian juga keinginan seksual.”

“.. lalu, dimana kesempurnaan tubuh yang tadi kau katakan?”

“ .. tubuh mempunyai kebijaksanaan sendiri, punya siklus sendiri. Coba bayangkan, siklus kehidupan dan kematian milyaran sel setiap hari yang tidak bisa kita cegah. Misalnya lagi, kerja jantung yang terus menerus memompa ribuan liter darah setiap hari tanpa kita suruh. Gerak paru2 sewaktu bernafas yang terus menerus tanpa kita sadari. Kalau pekerjaan2 penting dan vital dalam tubuh itu tergantung kepada pikiran kita, maka bisa-bisa kita lupa menyuruh jantung berdenyut, atau lupa menyuruh paru-paru bernafas pada waktu kita tidur .. “, kulihat dia sedikit tersenyum, lalu kulanjutkan khotbahku, “ .. namun begitu, pikiran dan tubuh adalah satu kesatuan, tidak bisa dipisahkan, saling mempengaruhi, yang satu adalah refleksi yang lain .. keduanya adalah mekanisme hidup yang ajaib dan sungguh sempurna ..”

Sambil sedikit mencondongkan tubuhku ke arahnya untuk memberinya keyakinan, kusudahi diskusi sore itu, “.. pikiran dan tubuh .. keduanya menyatu dalam keseimbangan yang saling membutuhkan, saling bekerjasama. Jika kau pahami keseimbangan ini, hidupmu akan jauh lebih bahagia karena tidak ada konflik diantara keduanya .. harmoni dan ketenangan akan tercipta dengan sendirinya ..”

Kulihat dia terdiam, namun ada seberkas cahaya samar dimatanya yang membuat pandangannya terlihat lebih hidup.



jakarta,
menjelang tengah malam
2 september 2010

Rabu, 01 September 2010

Korupsi Manifestasi Ketakutan

Pemberitaan di media massa akhir-akhir ini seolah menemukan menu utama yang pasti laku disuguhkan: korupsi. Berbagai dimensi korupsi sudah banyak dibahas dan dilemparkan ke pikiran khalayak untuk dilahap, bahkan saking getolnya melempar masalah, terjadi manipulasi berita seperti sinyalemen seorang penulis beberapa waktu lalu (R. Kristiawan, Simulasi Kebohongan Televisi, KOMPAS 17 April 2010). Semuanya untuk memenuhi gairah pembaca dan pemirsa berita, sebuah euforia baru. Saya masih ingin menambahkan sebuah dimensi tentang korupsi, bahwa dia merupakan manifestasi rasa takut yang dalam (deep fear).

Dalam kehidupan, manusia selalu mengalami perubahan-perubahan yang sifatnya alamiah, baik perubahan dalam diri maupun perubahan di luar diri. Perubahan dalam tubuh misalnya berupa kematian milyaran sel tubuh dan digantikan dengan milyaran sel baru; ataupun perubahan fisiologi akibat terkungkung oleh gaya gravitasi; juga semakin menurunnya daya dukung tubuh yang diakhiri dengan kematian. Diri manusia merupakan sebuah aliran sungai yang terus menerus berubah dan berganti setiap saat, bukan merupakan patung yang kaku dan tetap tidak berubah.

Perubahan-perubahan juga terjadi di luar dirinya, misalnya perubahan cuaca (climate change); perubahan struktur tanah akibat deforestasi maupun kontaminasi racun kimiawi; perubahan kekuatan sebuah rumah; kesehatan - kehidupan - kematian sanak keluarga; runtuhnya jabatan; kecelakaan; dan sebagainya. Perubahan-perubahan di luar diri manusiapun merupakan aliran sungai yang senantiasa berganti setiap saat. Bumi dan isinya adalah organisme hidup yang terus menerus berubah, bukan benda mati. Dialah ibu yang hidup, berubah, melahirkan dan menerima kematian setiap makhluk yang hidup bersamanya, termasuk manusia. Semua perubahan ini merupakan pengalaman yang sangat alamiah dan kodrati.

Banyak manusia yang merasa bahwa hidupnya kini adalah sebuah kenikmatan, baik kenikmatan materi maupun yang disebut sebagai kenikmatan ‘rohani’. Kenikmatan-kenikmatan ini seringkali disalahartikan sebagai kebahagiaan. Misalnya, seseorang merasa bahagia (nikmat hidupnya) bila dia mempunyai banyak harta berupa rumah mewah, mobil mewah dan banyak, pembantu lebih dari lima, tabungan di bank melebihi 10 digit, tanah hak milik lebih luas dari lapangan Monas, dan sebagainya. Demikian juga seseorang merasa bahagia (nikmat hidupnya) bila dia mempunyai istri tercantik di Indonesia atau suami terganteng dan terkuat masa kini, dianugerahi anak-anak yang nampak lucu, mempunyai jumlah teman sebanyak di face book, berpangkat direktur utama atau profesor, selalu sehat wal-afiat, dan lainnya.

Semua gambaran tentang “kebahagiaan” ini menjadi dorongan bagi banyak orang untuk menjadi “sukses”, yang ukurannya adalah kriteria-kriteria seperti di atas. Nilai kesuksesan (kebahagiaan) hidup ini lalu menjadi nilai masyarakat (social values), yang di-amin-i oleh semua golongan masyarakat. Bahkan dalam doa juga seringkali disebut-sebut: “ .. Terimakasih ya Allah atas segala kenikmatan yang kau anugerahkan kepadaku ..” Orientasi hidup kemudian menjadi mempertahankan dan menambah kenikmatan.

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidup ini tidak bisa ditawar, dan tidak dapat diprediksi. Karena sifat-sifat perubahan demikian itulah, manusia menjadi takut menghadapinya. Ketakutan akan kehilangan kenikmatan hidupnya, atau ketakutan akan runtuhnya ‘kebahagiaan’ yang ditopang oleh banyak faktor dan ukuran-ukuran yang sudah menjadi kesepakatan dalam masyarakat, yang merupakan indikator ‘hidup yang sukses’.
Korupsi adalah mengambil dan menimbun banyak hal dengan paksa dan tanpa mengindahkan akibatnya buat sesama atau lingkungannya, untuk mempertahankan atau menambah kenikmatan hidupnya, sekaligus untuk mencoba menyembuhkan pikiran tentang ketakutan akan perubahan. Korupsi adalah manifestasi dari segala rasa takut itu.

Untuk tetap mengalami kehidupan seperti sekarang yang dirasa nyaman dan nikmat, seseorang lalu ingin membangun "kekuatan" untuk mencoba menunda perubahan, atau ingin kalau bisa hidup ini tidak berubah. Atau ingin ada jaminan bahwa kalau-pun ada perubahan, akibatnya tidak akan mengurangi kenikmatan dan menambah penderitaan. Keinginan ini hanyalah ilusi, kekuatan inipun hanya ilusi.

Lalu apa?

Paling tidak ada dua hal untuk mencoba mengurangi korupsi: tindakan represif dan preventif. Pertama, represif. Yang sudah terbukti korupsi dan merugikan banyak pihak, bahkan rakyat, harusnya dihukum berat. Hukuman ini harus dilakukan karena perlu untuk membangkitkan lagi rasa keadilan dan efek jera dalam masyarakat. Perdana Menteri Republik Rakyat China Zhu Rongji (1998 – 2003) berani menyiapkan 99 peti mati untuk koruptor dan 1 untuk dirinya sendiri kalau terbukti dia korupsi. Sebuah pernyataan politik yang luar biasa untuk menakar kesungguhan dalam pemberantasan korupsi di negerinya. Zhu berani menyentuh dan membongkar ketakutan yang paling dalam penyebab terjadinya korupsi, dan berhasil. “Belajarlah sampai ke negeri China”, perlu dilakukan dalam hal ini. Keberanian yang penuh kesungguhan dan komitmen menjadi dasar penting untuk mencanangkan sikap politik anti korupsi, bukan sikap berpura-pura dan tidak jelas arah.

Preventif, mulai melakukan perombakan nilai-nilai dalam masyarakat tentang kebahagiaan hidup. Hal ini terdengar sangat normatif, namun inilah dasar dari orientasi hidup manusia. Transformasi nilai ini perlu untuk merombak nilai-nilai yang terpatri dalam pikiran seseorang, akibat dari berbagai sendi ajaran hidup, baik itu gaya hidup pejabat, guru, orang tua dalam rumah tangga, kurikulum sekolah, maupun nilai-nilai dalam agama yang seringkali diterjemahkan secara amat sangat dangkal. Misalnya, orang harus mulai belajar (lagi) tentang berbagi dengan sesama tanpa dibatasi sekat-sekat komunal dan agama. Belajar (lagi) tentang kearifan hidup dalam hubungannya dengan alam dan lingkungan. Belajar (lagi) tentang hubungan manusia dengan Tuhannya yang maha pengasih dan penyayang sehingga mampu menghormati segala kehidupan, dan belajar tentang nilai-nilai keikhlasan dalam hidup. Sikap preventif ini bisa dimulai dari skala kecil seperti dalam rumah tangga dan sekolah.


sebuah artikel yang
berasal dari kegundahan hati
2 september dinihari