Rabu, 17 November 2010

Konsep Kematian

Aku datang ke rumahnya lepas tengah hari. Kulihat dia masih sibuk menyalami para tamu yang datang, dan ketika melihatku mendekat, dia memelukku erat-erat. Kubisikkan kata-kata seadanya yang muncul begitu saja di kepalaku: "tetap tabah ya" .. tidak ada lagi kosa kata lain yang mengalir dari mulutku. Dia juga menjawab pendek dengan sedikit terisak: "yang terbaik baginya".

Berita lewat SMS siang tadi menyebar bahwa istrinya meninggal pagi hari. Sakitnya sudah cukup lama dan terakhir aku menjenguknya di ruang high care unit, dia sudah setengah sadar. Aku ingat waktu itu sempat kutemani teman baikku ini sambil ngobrol sampai tengah malam di rumah sakit.

Dia terbaring damai, dengan riasan menarik karena memang kuakui dia masih cantik dalam usianya yang menjelang setengah abad. Kuamati rambutnya yang sudah mulai ada yang berwarna keperakan. Pakaian yang dikenakan berwarna merah menyala dengan rangkaian bunga di tangannya. Aku berdiri diam di samping peti jenazah tempatnya terbaring. Pelan kurasakan sebentuk kesedihan yang cukup dalam. Aku tidak tahu benar mengapa aku bersedih. Barangkali itu merupakan refleksi energi yang menggumpal berat di ruangan itu. Mungkin aku sedang berbagi rasa dengan temanku yang kehilangan kekasihnya. Atau barangkali aku sedang berpikir tentang kematian yang selalu disambut dengan kesedihan, dan pikiran itu lalu maujud begitu saja menjadi rasa.

Apapun itu, rasa itu begitu nyata dan hadir dalam batinku. Kubiarkan dia muncul dan mewarnai diriku pada saat itu. Energi itu mengalir dan seolah berhenti di ulu hati, membuat ruang gerak paru-paruku seolah menyempit dan aliran nafasku sedikit sesak karenanya.

Pelan-pelan tapi pasti, aku sadari bahwa aku berada di ruangan itu, dan kuamati segala sesuatunya yang ada, juga orang-orang yang silih berganti berdoa di samping peti. Kunikmati pertunjukan slide di tembok tentang jalan hidup almarhumah sejak kecilnya, sesekali tersenyum melihat wajah temanku semasa remaja, yang masih kuingat benar ketika kami satu sekolah di SMP dan SMA. Pengalihan kesadaran membuatku menjadi merasa lebih ringan, tidak terbebani oleh beratnya kesedihan yang semula mengeras di ulu hati.

Setelah mengikuti misa kudus pemberkatan jenazah, aku pamit pulang ke rumah.

Pengalaman siang tadi ikut memperkaya diriku, karena sempat mengalami berbagai rasa dalam batin. Seringkali aku baca dari berbagai artikel bahwa kematian hanyalah merupakan konsep manusia. Sering aku berdiskusi bahwa kematian terjadi setiap saat, bahkan dalam tubuh kita sendiri. Dalam semenit, berapa milyar sel yang mati dan digantikan oleh sel baru dalam tubuh ini. Sekarang ini aku sedang mengalami kematian dan kehidupan, siklus yang tanpa henti, terus berubah, terus berlangsung, terus ber-reinkarnasi. Hidup dan mati menjadi sebuah siklus alamiah yang sudah kita alami terus menerus. Kematian seluruh tubuh karena tidak berfungsinya organ-organ vital akan terjadi pada setiap makhluk yang hidupnya ditopang oleh organ-organ tadi.

Jenis kehidupan ini adalah yang sedang aku jalankan sekarang. Namun di dalam jenis kehidupan inipun ada jenis kehidupan lain, baik kehidupan dari sel2 tubuh, bakteri2 dalam tubuh, maupun makhluk-makhluk mikroskopis lain seperti kutu yang menjadi pendukung seluruh sistem tubuhku ini. Misalnya kutu2 pemakan kulit ari yang hidup di sekujur tubuh yang membantu menjaga selalu bersihnya kulit kita.

Ketika tubuhku mati, jenis hidupan lainnya masih hidup, dan tubuh yang beku inipun akan bertransformasi menjadi jenis-jenis hidupan baru. Dekomposisi tubuh akan menjadi wahana awal untuk bentuk hidupan baru yang akan melarut dengan bumi dan melahirkan kehidupan lain. Siklus itu terus terjadi. Energi kehidupan akan terus ada dalam wujud yang berubah dan berganti-ganti. Energi kehidupan yang merupakan elemen dasar dari 'keberadaan' akan terus ada.

Lalu, sejatinya, adakah kematian itu?




ieduladha
sorehari
17november2010

Kamis, 11 November 2010

Derita di Gerimis Sore

Sore itu gerimis kecil turun. Aku baru saja keluar dari sebuah gedung di bilangan Blok M, dan kulihat beberapa orang berlari kecil menyeberang jalan di depan gedung sambil menutup kepala mereka dengan apa saja yang bisa digunakan. Beberapa anak berpayung berdiri di depan pintu gedung menawarkan jasa payung mereka, menunggu penyewa dadakan. Udara terasa hangat meski hujan mulai membasahi jalanan.

Aku berusaha mencari taksi, namun entah kenapa, di tempat itu jarang kulihat taksi kosong melintas. Karena rasanya terlalu lama menunggu dan tidak satupun ada taksi muncul, aku memutuskan untuk menggunakan transportasi umum yang lebih murah, bus TransJakarta. Blok M adalah terminal akhir yang besar. Setelah membeli tiket masuk, sambil berjalan ke arah shelter penungguan bus, kuamati kondisi gang yang membawaku ke sana. Betapa kotor dan sangat seadanya. Penjaga gerbang masuk terlihat terkantuk lelah dan bosan memperhatikan setiap orang yang memasukkan tiket ke slot di gerbang itu. Beberapa pengemis (masih muda2) duduk di tangga mengacungkan tangan atau gelas plastik bekas air mineral, meminta-minta. Shelter penungguan bus tidak kalah kotornya. Di ruang sempit panjang itu udara terasa pengap, ventilasi udara tidak berjalan baik, lampu tidak ada yang menyala untuk menerangi ruang yang mulai temaram, dan para calon penumpang semakin berdesakan karena berkelompok, tidak antri dalam barisan.

Rasa menyesal mulai muncul karena ketidaksabaranku tadi untuk menunggu taksi sedikit lebih lama, dan sekarang terjebak dalam sebuah sistem angkutan umum yang kelasnya jauh di bawah taksi. Ah, mestinya aku tunggu sedikit lama lagi, aku bisa kok bayar yang lebih mahal daripada tiket TransJakarta ini. Tapi itu hanya penyesalan masa lalu, dan disinilah aku sekarang. Aku terjebak dalam antrian yang sesak, pengap, gelap, bau keringat, dan saat itu pula berbagai pikiran negatif mendadak berebut muncul dan serta-merta mengidentifikasi berbagai fenomena di luar sebagai negatifitas.

Penghakiman mulai muncul dalam pikiran, bahwa semua hal negatif ini disebabkan oleh korupnya rejim pemerintahan DKI Jakarta. Berbagai pertanyaan dan juga gugatan mulai muncul, seperti, mengapa mereka tidak memperhatikan kebutuhan dasar warga berupa transportasi publik yang memadai dan bertarif murah, padahal itu adalah sebuah kewajiban mereka sebagai pelayan publik? Mengapa rejim sekarang tidak mau memelihara dan memperbaiki moda transportasi yang sudah diawali oleh rejim sebelumnya? Kemana saja uang rakyat yang sudah disetor melalui pajak? Mana bukti bahwa rejim ini adalah ahli dalam mengurus ibukota jika menyediakan transportasi layakpun tidak becus?

Pikiranku terus mengejar seseorang atau sesuatu, sebagai yang dapat dijadikan hulu dari segala kesalahan dan ke-negatif-an kondisi yang aku hadapi sekarang ini. Gambar Gubernur DKI yang bentuk kumis dan senyumnya yang menjadi tidak lucu, melintas di pikiranku. Seolah fenomena di sekitarku berdiri sendiri sebagai sebuah kenyataan dan berupa sekelompok hal negatif yang harus aku hadapi pada saat itu. Seolah rasa penderitaanku adalah akibat dari dosa besar yang berasal dari perbuatan sekelompok atau seseorang, paling tidak Gubernur.

Penghakiman seperti ini terus berlangsung dalam pikiranku. Rasanya aku berada di pihak yang benar. Rasanya aku mempunyai hak untuk menghakimi para pengurus ibukota ini, para pengurus negri ini. Rasanya aku mempunyai hak untuk menunjukkan ketidakbecusan kerja mereka sesuai dengan ukuran-ukuran yang kupunyai, paling tidak saat itu.

Pikiranku yang sibuk menambah rasa pengap shelter di Blok M ini. Kemarahan lalu muncul dari rasa frustasi. Kemarahan karena aku merasa diperlakukan tidak adil. Frustasi karena aku dipaksa harus menerima kondisi yang tidak kusukai. Waktu tunggu terasa begitu lama.

Akhirnya bus yang kutunggu datang juga, setelah lewatnya beberapa bus yang langsung dipenuhi antrian di depanku. Akupun masuk bus dan berdiri berpegangan gantungan tangan. Di dalam bus yang jauh lebih sejuk dibanding dengan shelter yang baru saja aku tinggalkan, beberapa pikiran masih menggantung, terutama melihat kondisi bus yang sudah mulai terlihat tidak dirawat dengan baik. Kondisi bus terlihat compang-camping. Gantungan yang aku pegang-pun talinya sudah mulai terkoyak sedikit di sana sini. Penghakiman-pun makin menjadi dalam pikiranku. Sungguh, pikiranku sangat sibuk dan aku tidak lagi memperhatikan sekelilingku.

Beberapa saat kemudian, barulah aku sadari bahwa pikiranku telah jauh dibawa kesana-kemari. Pikiranku dibawa oleh sebuah ketidaksadaran yang melompat kesana kemari, dan cenderung menghakimi segala sesuatu, yang dalam skenario yang kuciptakan menjadi penyebab sebuah kondisi yang kusebut sebagai “derita” yang ternyata juga kuciptakan sendiri. Ya, derita itu kuciptakan sendiri, sebagai turunan dari hasil penghakiman yang kubuat. Ini terbukti bahwa beberapa orang di sekitarku masih bisa bercanda, meski berada dalam kondisi yang sama dengan yang sedang aku alami. Mereka bisa tertawa lepas, dan kuat dugaanku bahwa mereka tidak merasakan apa yang aku rasakan sebagai penderitaan. Aku yakin bahwa semua kondisi yang mereka alami sama dengan yang aku alami. Namun ada beda dalam mem-persepsikan-nya. Barangkali mereka menerimanya dengan ikhlas, sudah biasa, atau tidak berprasangka buruk, bahkan tidak menghakimi siapapun. Mereka menerima keadaan apa adanya.

Kesadaranku terus berkembang dalam perjalanan pulang di atas bus. Dan betul, deritakupun berangsur hilang dengan sendirinya.

Dalam kehidupan, banyak derita yang terciptakan oleh pikiran sendiri. Banyak pula setelah itu, kesalahan dilimpahkan kepada seseorang, sesuatu, bahkan Tuhan yang berada di luar dirinya, untuk minta pertanggungjawaban karena menciptakan derita yang kita rasakan. Banyak orang berpendapat bahwa deritanya adalah kehendak Allah. Sebuah penghakiman yang disampaikan secara lebih sopan, meski esensinya sama.

Namun aku yakin, disinilah awal kesadaran kita untuk berbahagia dalam kehidupan, dengan memahami apa itu penderitaan, dan bagaimana sebuah derita mengada.


Harikunjunganobamakeindonesia
Kemacetandimanamana
9november2010

Jumat, 05 November 2010

Ibu Pertiwi

Berbagai berita tersebar melalui layar kaca, koran, internet, telepon selular dan sebagainya. Bencana Jogja menyita perhatian hampir semua warga Indonesia, bahkan manca negara. Para pengungsi yang terlantar, ketakutan, kesakitan, meninggal, banyak mendominasi berita beberapa hari terakhir ini.

Hati terguncang dan mata tergenang.

Rasanya belum lama negeri ini diramaikan berbagai berita tentang korupsi, gambaran ketamakan para pejabat publik akan uang haram, karena berasal dari keringat rakyat yang seharusnya dilayani. Belum lama juga negeri ini semarak oleh berita tentang kekerasan manusia yang beragama terhadap manusia lainnya, gambaran kesombongan manusia yang mengkapling kebenaran dan menghujat keberagaman, yang justru merupakan kearifan alam.

Begitu banyak berita yang menggambarkan para manusia yang tidak menyadari apa yang sedang dilakukan. Cerminan nyata dari ketidaksadaran kolektif tentang kebersamaan dalam keberagaman, tentang perlunya saling mengasihi dan memperhatikan manusia lainnya terlepas dari kotak-kotak dan kapling-kapling kebenaran semu yang disebut agama. Ketidaksadaran manusia akan nilai-nilai universal yang menembus batas-batas sosial, ekonomi, dan religi. Ketidaksadaran manusia akan hubungannya dengan bumi, dengan Ibu Pertiwi yang melahirkan segala kehidupan di haribaannya. Ketidaksadaran manusia akan hubungannya dengan energi semesta.

Aku hanya merenung menyaksikan dan membaca segala kejadian yang sedang berlangsung begitu nyata, begitu menyentuh rasa dan menggugah kesadaran batin.

Sedikit teguran dari bumi melalui mulut Merapi mengingatkan bahwa manusia semua sama dihadapan Ibu Pertiwi. Kaya - miskin, laki - perempuan, tua - muda, besar - kecil, semua berhubungan dengannya. Sentuhan lengan dan jemari panas Merapi menyentil kesadaran manusia bahwa seharusnya manusia sungguh merupakan bagian sangat kecil dari seluruh sistem semesta. Sendawa Merapi menyadarkan manusia bahwa semestinya manusia hidup senafas dengan Pertiwi. Aliran energi dahsyat Merapi menyadarkan manusia bahwa seharusnya kehidupan kita mengalir dan selaras dengan energi alam semesta.

Bumi adalah sosok Ibu yang hidup, mempunyai kebajikan dalam memberi nafas kehidupan anak-anaknya, dengan semangat memberi segala kebaikan dan menerima segala keburukan. Betapa kekayaan bumi terbukti mampu menghidupi segala isinya selama jutaan masa. Betapa kearifan Pertiwi terbukti mampu menerima segala keburukan yang diciptakan anak-anaknya dan kemudian menyeimbangkan dengan berbagai cara yang sungguh diluar jangkauan nalar manusia.

Namun apa yang sudah diperbuat oleh manusia terhadap sang Ibu? Manusia tetap berada pada ketakutan egotistik, berada pada kebodohan dan kegelapan batin dalam merespon kasih yang ditawarkan sang Ibu. Segala kebodohan manusia kemudian mengeras dan berubah bentuk menjadi kesombongan bahwa bumi berada dalam genggaman kekuasaannya. Ketakaburan luar biasa yang menghilangkan kerendahan hati dalam berhubungan dengan sang Ibu Pertiwi. Sang Ibu tetap mengasihi dan menegur dengan caranya sendiri. Berbagai kesombongan manusia tidak pernah mampu menahan teguran sang Ibu. Gedung dan bangunan megah, peralatan mutakhir, kecerdasan otak, kepandaian para pemimpin masyarakat, kekayaan materi, bahkan doa-doa dalam agama yang dipercaya sebagai sabda Tuhan. Semua tidak mampu membendung dan membelokkan teguran dan jamahan Ibu.

Dalam sejarah kehidupan manusia, teguran-teguran Pertiwi selalu ada. Selalu berulang dan selalu memberikan ruang untuk merenungkan segala perilaku manusia dalam rentang masa sekarang ini. Namun adakah perbaikan dalam pikiran, kesadaran dan perilaku manusia, terutama ketika manusia secara intens berinteraksi dengan sang Ibu? Rasanya tidak.

Perusakan habitat hidup terus menerus dilakukan bahkan dalam skala yang mengerikan. Pengurangan kemampuan daya dukung lingkungan terus menerus digerogoti dengan sistematis tanpa diimbangi dengan perbaikan dan pemulihan. Demi apakah semua ini dilakukan? Rasanya hanya ketamakan sebagai muaranya. Ketamakan yang berdasar pada rasa ketakutan akan kehilangan kenikmatan hidup, meski pada akhirnya kenikmatan hidup adalah ilusi dan fantasi ketika daya dukung dilemahkan dengan sengaja. Sebuah lingkaran iblis yang meracuni pikiran manusia, dan menimbulkan kebodohan yang diturunkan dari generasi ke generasi sehingga beranak-pinak secara subur bagai kanker yang liar berkembang di permukaan bumi.

Masih adakah kata yang tersisa untuk mengutuk Ibu Pertiwi setelah kita memperkosa Ibu kita sendiri?





masihtersisaairmata
menjelangtengahmalam
5november2010