Kamis, 26 Agustus 2010

Buruk Muka Cermin Dibelah

Pepatah di atas diajarkan pada saat aku duduk dibangku SMP, sekitar 40 tahun lalu. Namun begitu, rasanya pepatah itu masih tetap aktual dan relevan dengan kondisi saat ini.

Di salah satu media online, ada forum tanya jawab dengan seorang ulama terkemuka, terutama menyangkut aturan-aturan dalam Islam yang relevan dengan masa bulan Ramadhan. Salah satu penanya menulis bahwa ada satu buku yang mengatakan musik itu haram dalam Islam. Artinya, umat Islam dilarang mendengarkan musik karena bisa mempengaruhi seseorang untuk bertindak sesuatu yang tidak dikehendaki Allah. Jawaban ulama di forum itu melegakan karena dia bilang Islam mencintai kesenian, termasuk musik.

Dibalik diskusi singkat itu, ada beberapa hal menarik yang aku simak. Pertama tentang kebingungan. Dalam kehidupan yang modern seperti sekarang, dimana musik sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari, masih ada orang yang menanyakan tentang halal/haramnya musik. Sebuah pertanyaan yang bagiku hampir tidak masuk akal sehat, menggelikan sekaligus menyedihkan. Namun aku yakin, bagi orang yang bertanya, pertanyaan itu menyangkut surga dan neraka setelah kematian, sebuah pertanyaan tentang nilai yang teramat penting.

Hal lain yang kutangkap adalah sebuah sikap hidup yang menunjukkan ketidak berdayaan. Artinya, orang itu tidak mempunyai kemampuan (tidak berdaya) untuk mengendalikan respon (pikiran dan tindakan) terhadap stimuli (rangsangan dari luar). Sikap ini mencerminkan seseorang yang tidak mempunyai ketegaran dalam menghadapi kesulitan hidup. Berbeda dengan seseorang yang tegar, orang yang mampu mengatasi segala kesulitan hidup. Kesulitan hidup merupakan salah satu stimuli yang ada di luar dirinya, dan berinteraksi dengannya melalui komunikasi sehari-hari. Mampu mengatasi diartikan sebagai mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pikiran, kesadaran, batin, untuk menghadapi kesulitan hidup, yang dalam konteks ini, hanya mendengarkan musik. Ternyata, mendengarkan musik bisa menjadi sebuah hal yang sulit dalam hidup ini. Singkatnya, orang yang tegar adalah orang yang mampu mengendalikan respon terhadap stimuli dari luar. Dia adalah orang yang bijaksana karena mampu bereaksi berdasarkan nilai-nilai yang ada dalam nuraninya.

Kembali kepada musik. Jika musik (sebagai stimuli) adalah haram, maka kita lalu tidak boleh mendengarkan (sebagai respon terhadap stimuli). Respon seperti ini harus dituntun oleh orang lain, melalui penerapan aturan haram atau halal. Orang tersebut tidak mempunyai sikap sendiri untuk menentukan apakah musik itu haram atau halal. Dia tidak mempunyai dasar nilai dalam dirinya untuk menentukan dan mengendalikan respon, dasar nilai yang sebenarnya sudah ada dalam setiap manusia yang disebut sebagai "nurani". Dia tidak tahu bagaimana cara merespon sebuah stimuli, karena tidak pernah bertanya kepada nuraninya. Dia lebih percaya kepada aturan dari luar.

Karena kebingungan, ketidaktahuan, kegelapan pikiran, maka tindakan paling mudah yang dilakukan adalah: lebih baik menghindari stimuli. Lebih baik mengingkari adanya stimuli. Lebih jauh lagi .. mari kita hilangkan stimulinya. Tindakan-tindakan ini mengisyaratkan bahwa orang itu tidak pernah dilatih untuk memahami, menerima, dan berinteraksi dengan stimuli. Lebih baik steril, pikiranku tidak terganggu, agar tetap "suci". Dia tidak pernah dilatih untuk menghadapi kesulitan hidup, karena kesulitan hidup itu diingkari keberadaannya, dengan mencoba mengharamkannya, menafikannya.

Bagiku, sikap seperti ini tidak membantu, tidak memberi pencerahan dan tidak melatih bagaimana mengelola kesadaran. Sikap ini membuat orang-orang sibuk menghindari stimuli dengan mengharamkannya. Karena stimuli ini terus ada dalam hidup, maka kebingunganpun terjadi: kalau ini haram atau halal? kalau itu boleh atau tidak? musik itu haram atau halal? menyalami orang Kristen boleh atau tidak? memotong kuku dan rambut saat haid boleh atau tidak? memakan daging akikah anak haram atau halal? apa hukumnya terlambat sholat Jumat? bagaimana hukum berhubungan intim saat Ramadhan? dan terus .. dan terus .. tidak pernah selesai.

Orang-orang ini selalu berorientasi ke luar, selalu melihat stimuli sebagai sumber dosa, sumber penggoyah iman. Mereka tidak pernah melatih diri bagaimana mengendalikan respon agar iman tidak goyah. Tidak pernah melatih diri mengelola dan menjernihkan batin sehingga terbentuk nilai-nilai yang berdasar nurani. Sehingga pada akhirnya, mereka tidak mempunyai ketrampilan untuk mengendalikan batin, mengndalikan pikiran, mengasah nurani. Nilai-nilai hidup lalu dicari dari luar, dari kata-kata ustadz, dari ayat-ayat dalam buku.

Pada gilirannya, ketidakmampuan diri ini menjadi alasan pembenaran untuk menghilangkan stimuli. Lihat bagaimana bunyi undang-undang pornografi, lihat bagaimana perilaku berpakaian perempuan yang harus rapat agar tidak menimbulkan birahi, lihat bagaimana perilaku orang-orang terhadap sebuah patung tidak berbaju, lihat bagaimana ada aturan gerbong kereta api khusus perempuan, lihat dalam berbagai pesta pernikahan yang memisahkan lelaki dan perempuan, dan terus .. dan terus .. kesalahan selalu ditimpakan pada obyek di luar dirinya, dibebankan pada stimuli yang tidak bisa dikendalikan.

Aku tidak berdaya, maka kau jangan mengganggu aku. Aku berbuat jahat karena kau-lah penyebabnya. Buruk muka cermin dibelah ..



sebuah pemikiran
dari obrolanku dengan Yani
27/8/2010

Jumat, 13 Agustus 2010

Harga Sebuah "Diri"

Dalam kehidupan sehari-hari, harga diri seringkali menjadi sebab dari banyak pertikaian, perselisihan, bahkan saling menghilangkan nyawa. Banyak sekali contohnya. Apakah yang dimaksud dengan harga diri? Apakah "diri" itu? Berapa harganya?

Banyak manusia tidak mengenal dirinya sendiri. Dia tidak mengetahui kesejatian dirinya, sehingga diri kemudian di asosiasikan dengan berbagai hal yang "dimiliki"nya, misalnya: harta - bahwa saya seorang milyuner, punya banyak tanah diseluruh Indonesia, anaknya yang punya pabrik rokok "Samsoedji", dan sebagainya. Demikian juga dengan pangkat - saya seorang menteri kehewanan dan anak buah saya ratusan, saya seorang ilmuwan dan doktor di bidang nuklir lulusan Amerika Serikat. Atau saya seorang ustadz atau pastor pemimpin umat yang jumlahnya jutaan (menurut saya), yang fasih tentang isi alkitab dan menjadi perantara Tuhan bagi manusia kebanyakan seperti kamu. Status sosial - saya seorang public figure yang terkenal di seluruh dunia, sehingga anak2 kecil di Afrikapun tahu nama dan makanan kegemaran saya.

Demikian seterusnya sehingga "diri" lalu bermakna jika ada embel-embel lain, seperti pangkat, harta, kepandaian, status sosial, dan seribu satu macam yang dapat dijadikan 'cantolan' untuk diri. Masyarakat menciptakan pandangan-pandangan demikian, dan membentuk nilai-nilai yang kemudian dianut oleh anggotanya. Nilai-nilai ini seringkali juga merupakan strategi industri, politik, rasisme, ekonomi, dan banyak hal lain. Misalnya, nilai kecantikan adalah perempuan yang putih kulitnya, langsing, berwajah Indo. Maka muncullah industri kosmetik yang membantu para perempuan menjadi "diri' yang diinginkan, orang Jawa pun ingin kulitnya putih seperti orang Eropa. Di Indonesia sedang ramai bahwa nilai kesalehan diciptakan dengan penggunaan jilbab. Maka berduyun-duyunlah perempuan Indonesia berjilbab meskipun tidak cocok dengan iklim.

Dalam hal pangkat, orang dianggap berhasil hidupnya kalau menjadi seorang pemimpin perusahaan, atau pegawai negeri. Maka berbondong-bondonglah orang-orang menuju ke sana meski harus dengan cara nyogok kiri kanan, tendang teman sebelah, injak kaki orang lain, dan sebagainya. Demikian juga dengan harta, dan semua embel-embel untuk menentukan yang namanya "diri". Kalau tidak ada embel-embel itu, maka "diri' tidak ada.

Dari berbagai contoh di atas, sudah terlihat betapa "diri" harus mempunyai "harga" yang berupa embel-embel tadi, dan harga ini perlu didapat dengan perjuangan keras, karena banyak saingan dan posisi puncak hanya satu. Jika posisi puncak sudah didapat maka saya akan lebih dari yang lain, saya akan berbeda dengan yang lain sehingga lebih mudah untuk mengenal "diri" saya.

Pada akhirnya, yang disebut harga diri adalah seperti halnya kita menempel "harga" di jidat kita masing-masing (tanpa harus disetujui oleh orang lain), karena menurut keyakinan saya, itulah "harga diri" saya, sesuai dengan perjuangan dan jalan hidup saya, serta persepsi saya terhadap nilai. Konflik terjadi ketika orang lain memberi harga lebih rendah dari harga yang saya pasang di jidat. Saya merasa dilecehkan, saya tersinggung dan saya akan marah. Maka timbullah pertikaian, perselisihan dan bahkan saling bunuh.

Lalu, apakah yang disebut kesejatian diri itu? Perlukah ada harga dalam diri kita?

Lain kali akan saya coba tuliskan.


Salam,
pagi hari, baru selesai sakit perut
14 agustus 2010

Rabu, 11 Agustus 2010

Cerita Debby: Derita Dalam Sebuah Dendam

Sore itu aku baru saja menyelesaikan laporan terakhir di kantorku. Sudah hampir seminggu kami di kantor sibuk menyelesaikan laporan tahunan proyek kami, sehingga hari-hari yang melelahkan itu seolah menguras segenap energi yang kami punya. Hari itu harapan untuk dapat sedikit melepas lelah terbetik di pikiran. Kenikmatan secangkir kopi membayang di pelupuk mata yang sudah terasa semakin berat karena kelelahan.

Petang baru menjelang menggantikan terik siang hari setelah seminggu tidak ada hujan yang diharapkan dapat menyejukkan ibukota ini. Kesibukan pekerja kantor seperti diriku seolah mencapai titik terendah dalam kurva ritme hidup, ketika semakin terlihat mereka pulang ke rumah dengan sisa pikiran dan tenaga yang ada. Pola ritme seperti ini terjadi setiap hari: pagi hari dengan energi besar berangkat ke kantor, menguras energi di kantor dengan berbagai kesibukan, dan pulang ke rumah dengan energi sisa. Sering kurenungkan, dari mana sebuah keluarga mendapatkan energi dari setiap anggotanya, untuk tetap menjaga kebersamaannya dan keutuhan lembaga sosial terkecil, namun merupakan inti ini.

Jam di tanganku menunjukkan waktu hampir magrib, sewaktu aku sampai di tempat parkir VW kodok yang telah dengan setia mengantarku kemana saja tujuanku. Baru ketika kututup pintunya, kudengar suara bel tanda sebuah sms masuk ke dalam HP ku.
Rrr … rrr …dingdong ….. Kubaca sms yang masuk: “jd ktmuan dimana?” Kubaca sendernya, Debby. Siang tadi kami sudah bersepakat bertemu untuk sekedar ngobrol. Namun dari nada sms-nya, kurasakan kali ini obrolan akan cukup serius setelah kutangkap getar kesedihan dalam kata-katanya. Lalu jempol jariku cepat menyusun balasan:”ntar ktmu di wrung kopi dkat kntor, sktr jm 6 lebih” dan kutekan ‘send’. Kuperhatikan gambar sebuah surat melayang menjauh di layar hpku. Kututup pintu mobilku, dan dengan pelan kodokku membawaku ke warung kopi tidak jauh dari kantorku.

Sore itu, kulihat warung kopi langgananku sudah banyak didatangi pelanggan. Rasanya belum begitu lama dia dibangun di situ, namun kulihat perkembangannya sangat pesat. Semakin banyak pelanggan yang datang dan pergi mereguk nikmatnya kafein. Barangkali, ini ada hubungannya dengan menurunnya energi para pekerja kantoran di sore hari, dan mereka membutuhkan suatu pemicu energi seketika yang menyamankan. Suntikan kafein nampaknya mampu melayani kebutuhan itu.

Bangunan warung itu tidaklah terlalu besar, namun ketika masuk ke dalamnya, terasa banyak menawarkan keramahan baik dari para barista yang senantiasa menyapa setiap tamu yang datang, maupun warna dan aneka peralatannya. Setiap ruangan dari dua ruang terpisah antara merokok dan bebas rokok, dipenuhi pernik-pernik tradisional serta kursi dan meja yang bergaya retro. Di dindingnya terpampang foto-foto lama yang menggambarkan wajah awal warung dan pendirinya di jaman penjajahan Belanda, seolah ingin memastikan bahwa pengalaman mereka menyajikan mutu kopi tidak perlu diragukan lagi. Ada beberapa lukisan tradisional dan beberapa permainan meja yang dapat membantu menyajikan sebuah nuansa warung lama yang nyaman untuk menjadi tempat ngobrol selepas dari kesibukan harian di kantor.

Hanya sekitar 10 menit aku duduk menunggu, Debby-pun datang. Setelah saling memberi salam, kami memesan minum kepada para barista yang sebagian mengenalku karena seringnya aku berkunjung ngopi di situ. Debby memesan segelas es kapucino, dan seperti biasa kupesan es kopi moka. Dua ollie bolen menemani dua gelas minuman dingin kami.

Sambil menunggu kopi kami, kuamati perempuan yang duduk di seberang meja ini. Seperti biasanya, dia kelihatan menarik. Aku yakin, kulitnya yang putih yang mewarnai postur badannya yang berisi, dipadu dengan wajahnya yang bulat telur, hidung yang bagus dan mulut yang selalu sedikit terbuka memperlihatkan baris giginya yang putih bersih, serta rambutnya yang pendek bebas tergerai, mampu menarik perhatian banyak lelaki. Namun sore itu dia seperti kehilangan senyum manisnya. Wajahnya yang bersih semakin kelihatan agak pucat.

“Aku baru saja putus dengan cowokku”, dia mengawali pembicaraan itu dengan pernyataan yang sederhana, namun selalu mengandung segumpal cerita yang biasanya penuh dengan derita. Kulihat wajahnya sedikit memerah. Aku terdiam. Kubiarkan energinya masuk dalam pikiranku, dan kucoba untuk ciptakan sebuah koridor langsung untuk membuat hubungan mental kami tidak banyak terhalangi. Detik jam terus berganti, dan kebisuan menguasai diri kami berdua untuk beberapa saat. Aku masih diam sambil mencoba meningkatkan intensitas kerja inderawiku untuk siap mendengarkan pesan-pesannya. Katanya, dalam ideogram Cina, ‘mendengarkan’ berunsur tiga hal: mata, telinga dan hati, sehingga perlu disiapkan ketiganya sebagai sebuah kegiatan mental yang bekerjasama dengan baik.

Kebisuan sesaat tadi terpecah dengan suaranya yang pelan namun terdengar jelas, “Cowokku mengaku mempunyai hubungan dengan kekasih lamanya. Aku samasekali tidak pernah menduganya, mas. Setelah sekian lama kami menjalin hubungan yang kelihatan mesra, sehingga jarak Jakarta – Jogja sudah bukan halangan buat kami berdua untuk selalu bertemu di hati. Pertemuan demi pertemuan fisik selalu kami lakukan sebisa mungkin untuk mengobati kerinduan kami yang berjarak satu jam terbang. Namun usahaku nampaknya gagal, dan dia sudah menceritakan semuanya padaku. Aku begitu terluka dan marah. Senin lalu aku lepaskan seluruh kemarahanku dan keputus-asaanku, dengan memaki-makinya melalui telpon sampai sekitar setengah jam ….”

Dua gelas kopi dingin yang kami pesan tiba, ditemani dua kue kesukaanku. Kuucapkan terimakasih pada barista yang mengantarnya.

Ada nada kesal bercampur sedikit kepuasan dalam kata-kata Debby yang mulai mengalir keluar tanpa hambatan, melalui koridor komunikasi yang kami ciptakan. Energinya dengan intens mengantarkan pesan pikirannya, sehingga membuatku sedikit tergagap untuk menampung dan mencernanya. Namun hanya sejenak, ketika setelah itu suaranya agak melunak dan berubah menjadi pernyataan yang tersisip oleh sebuah keputusasaan. “Coba mas bayangkan, kepercayaanku padanya yang aku berikan sejak lama, dengan begitu saja dikhianati. Betapa teganya dia. Aku gak habis pikir, kenapa begitu sampai hati dia menyakitiku. Aku sudah berusaha mati-matian untuk tetap setia meski kami tidak dapat selalu bertemu, tapi selama ini kuusahakan selalu menyapanya hampir setiap hari.” Kali ini matanya mulai merebak sembab, lalu tangannya menghapus genangan airmata yang mulai menggantung di sudut pelupuk matanya. Aku masih berdiam diri sambil memperhatikan kata-katanya, memperhatikan gejolak hatinya, dan memperhatikan setiap gerak halus di tatapan matanya, serta gerak dan kerut di wajahnya.

“Sekarang ini sering tanduk iblisku muncul, dan kemunculannya selalu mendorongku untuk telpon dia dan memaki-makinya sambil mempertanyakan pengkhianatannya. Dia selalu tidak bisa menjawab ketika kutanya kenapa dia setega itu melakukannya kepadaku”. Dia terdiam sejenak, mukanya kembali memerah dan kali ini kutangkap getar kesedihan serta gejolak kemarahan, “Aku sudah coba melupakannya, tapi ketika aku berdiam diri, bayangan wajahnya muncul lagi, dan kepedihanku kembali merasuk dalam pikirku. Aku gak tahan mas, rasanya pedih dan hancur mengingatnya …”

Kubiarkan dia menumpahkan segenap lumpur hitam kepedihan hatinya. Aku terus mencoba menjaga keterbukaan pikiran dan hatiku sehingga jalur komunikasi tidak terputus. Getaran kepedihannya begitu terasa dalam hatiku, dan energi kemarahannya dapat tertangkap dengan jelas dalam batinku. Aku masih terus diam membuka pikiranku. “Lalu sekarang aku harus bagaimana?” akhirnya segenap rasa yang campur aduk dalam hatinya berakhir dengan pertanyaan sederhana, sesederhana pernyataan ketika dia mengawali pembicaraan kami.

Sejenak aku terdiam, membersihkan semua pikiran yang tidak ada kaitannya dengan perkara yang baru saja dia tumpahkan kepadaku. Kucoba mengheningkan batinku dan membiarkan mata batinku melihat melalui kejernihan yang terciptakan. Ada sebuah jeda hampir semenit yang cukup terasa lama. Kerasnya suara canda tawa tamu lain dan musik di kafe itu terdengar sayup di telingaku.

“Apa yang kau harapkan darinya, Deb?” kubalas pertanyaannya dengan pertanyaan juga. Dia terdiam sejenak. Barangkali hal itu tidak begitu diperhatikan, karena dia disibukkan dengan kemarahannya dan kepedihannya, sehingga sebentuk ‘harapan’ menjadi agak sulit ditemukan dalam kemelut amarah dan derita yang mengungkung dan menguasainya. Setelah beberapa saat dia mencoba menemukan pikirannya kembali, dia berkata, “Aku inginkan kejelasan, kenapa dia begitu tega menyakitiku. Kepercayaanku yang begitu besar kepadanya telah dia khianati. Memang kita berjauhan, tapi jarak Jakarta - Jogja seharusnya bukan hambatan karena aku percaya kami bisa saling setia. Begitu teganya dia.”

Setelah terdiam sambil menghela nafas panjang dia melanjutkan, “Ada keinginan dalam hatiku untuk membuatnya menderita …. Rasanya nggak adil kalau hanya aku yang terluka. Dia harus bisa merasakan kepedihan seperti yang kurasakan saat ini.” Aku terdiam, dan mencoba memahami dengan baik apa yang baru saja dikatakannya. Dendam. Ya, sebuah klimaks dari sebentuk rasa, yang awalnya merupakan rasa derita akibat diperlakuan tidak adil, lalu bertransformasi menjadi sebuah kekecewaan, lalu terpupuk menjadi sebuah amarah, dan berakhir dengan sebuah puncak kekerasan, sebuah dendam.

“Bagaimana kau mau membuatnya menderita?” tanyaku, “Aku gak tahu, tapi itu yang ada dalam pikiran iblisku” jawabnya. Lalu tanyaku, “Apakah dengan membuatnya menderita lalu penderitaanmu berkurang?”. Dia menggeleng lemah, “Aku rasa tidak …” Sebuah jawaban yang jujur, yang saat itu langsung aku hargai dan hormati.

“Deb, aku pernah baca sebuah cerita.” Kumulai kata-kataku seolah sedang mendongeng kepada seorang anak. Debby terdiam, mengambil ollie-bollen yang sejak tadi belum tersentuh. Dikunyahnya gigitan kecil kue itu, lalu diletakkannya kembali sisa gigitannya. Dia lalu menatapku lekat-lekat, seolah bersiap mendengarkan ceritaku selanjutnya. “Suatu hari ada orang yang tertabrak mobil, dan karena luka-lukanya, dia sedang sekarat. Sambil berdarah-darah dan mendesis menahan hebatnya sakit yang dideritanya, dia berkata kepada orang-orang yang menolongnya, dan ngotot berusaha mencari tahu siapa yang menabraknya, mencoba menggambarkan mobilnya apa dan keluaran tahun berapa, lalu menanyakan kenapa sopir mobil itu bisa menabrak dia yang sudah menyeberang dengan benar sesuai aturan, …” Debby masih terus mendengarkan dengan seksama, lalu aku teruskan, “Akhirnya orang tersebut mati, karena tidak segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan pertama.” Dia diam menyimak ceritaku. “Menurutku, peristiwa itu serupa denganmu. Kau tahu maksudku?” Dia terdiam beberapa saat dan kemudian mengangguk lemah.

“Menurutku, daripada ingin tahu kenapa dia sampai tega meninggalkankanmu, bahkan kau sibuk cari jalan untuk membalas perlakuannya yang kau rasa membuatmu menderita, apa gak sebaiknya kamu mengurus dirimu sendiri, mencoba memberikan perhatian pada hati dan pikiranmu agar bisa kembali lebih tenang?” Dia masih terdiam. Aku menduga bahwa itu merupakan sebuah alternatif yang tidak mudah baginya untuk menjatuhkan keputusan memilihnya. Barangkali, hal itu juga tidak pernah terduga sebelumnya.

“Kalaupun akhirnya kau tahu alasannya meninggalkanmu, lalu apa yang bisa kamu lakukan? Apakah ada jaminan itu akan memperbaiki keadaan?” Dia menggeleng lagi dengan lemah, sambil menyeka matanya yang kembali sembab.

“Tapi, mas, bagaimana mencegah agar pikiran tentang dia nggak muncul lagi? Aku sudah coba mengalihkan perhatianku dengan melakukan hal lain, tapi pikiran itu selalu datang lagi dan datang lagi … sakit sekali rasanya, mas”

“Sebuah kepedihan di hati bukan untuk dihindari. Melakukan hal lain sama halnya dengan membelakangi masalah, yang berarti mengingkari keberadaannya. Kepedihan itu ada, dan seharusnya tidak diingkari, tapi harus dihadapi …” Kulihat dahinya berkerut sambil menatapku lekat-lekat. “Tapi begitu berat mas …” Dan kukatakan, “Memang Deb, sekarang bisa terasa sangat berat, tapi perasaan selalu berubah karena waktu. Perasaan itu ada dan tergantung kita sendiri untuk menanggapinya. Kita bisa layani dia, sehingga kita terbawa olehnya bahkan diapun bisa semakin menenggelamkan kita, sampai akhirnya harus bunuh diri … “ Dia mendadak menyela,”Memang ada mas pikiranku untuk minum obat tidur …” Giliran aku yang mengerutkan dahi dan menatap lekat wajahnya yang cantik itu. Sejenak aku terdiam, lalu aku lanjutkan,” … atau dengan lebih bijaksana kita pahami pikiran dan perasaan itu dengan baik, kita coba temukan akarnya, dan coba mengatasinya dengan penuh kesadaran …”

“Deb, kamu tidak bisa merubah sikap cowokmu itu, meski memaki-makinya seharian penuh. Yang perlu kita rubah adalah diri kita sendiri, bagaimana menghadapi kondisi demikian itu. Barangkali perlu kau teliti kembali harapan-harapanmu kepadanya, ketergantungan-ketergantunganmu …. Tapi yang lebih penting adalah, kau pahami ketakutan yang ada jauh di lubuk hatimu ketika harapan-harapanmu tidak terpenuhi. Barangkali itu adalah akar masalah yang sedang kau hadapi sekarang ini.” Dia mengangguk pelan, meski nampak masih ada keraguan pada wajahnya.

Tak terasa sudah hampir dua jam kami berbincang, dan gelas kami sudah mulai menampakkan dasarnya, yang penuh sisa busa-busa krim. Piring makananpun sudah bersih, tinggal segenggam tissue dan garpu yang penuh remah-remah ollie bollen.

Sewaktu berjalan ke arah mobilnya, dia berkata,”Thanks mas, hatiku agak ringan rasanya …” Aku balas senyum manisnya, “Sama-sama Deb …, take care …” Kamipun berpisah.

Esoknya ada sms darinya:”thx mas, aku bs senyum lagi n tidur nyenyak”, lalu beberapa saat masuk lagi sms-nya,”tp msh susah skl ya hilangkan skt hatiku” … Aku hanya bisa jawab: …”prlu wkt dan ksungguhan dlm proses pnjernihan ini, tp mmang hnya kau sndiri yg bs mngatasinya, bukan org lain. good luck n hang in there”.

Minggu, 08 Agustus 2010

Tuhan tidak beragama

Diskusiku tentang agama dan Tuhan senantiasa menjadikan orang yang kuajak diskusi seolah merasa dirinya adalah orang yang paling saleh beragama, dan seolah merasa dirinya paling dekat dengan Tuhan. Siapapun orang itu, entah itu sopir taksi, teman kantor, teman chatting di dunia maya, kolega, ataupun saudara sendiri. Ada sebentuk usaha yang ditunjukkan dia adalah penyembah Tuhan yang beriman teguh kepada agamanya. Tidak akan ada yang mampu menggoyangnya ..

" .. Tapi Tuhan kan tidak beragama? " begitu selalu aku sampaikan pernyataan setengah bertanya, untuk melihat reaksinya. Berbagai reaksi pernah aku amati selama ini.

" .. hahaha .. betul mas. Jadi kenapa kita ribut tentang agama ya? hahaha .."
" .. wah .. yang itu saya belum nyampe ilmunya pak .. " kata seseorang, setelah terdiam beberapa saat, dan yang sebelumnya berapi-api menjelaskan ayat2 dari kitabnya untuk menunjukkan penguasaannya tentang alkitab ..
" .. ah, bapak bisa aja .. kalau menurut agama kami Tuhan itu beragama .. " katanya sedikit ngotot untuk memperkuat bahwa agamanya adalah yang disenangi Tuhan,
" .. iya ya pak, hal itu gak pernah terpikir oleh saya .. kayanya selama ini Tuhan itu seagama dengan saya .." sebuah pengakuan yang jujur,
" .. iya mas, tapi kan Tuhan menciptakan agama agar manusia bisa mengenalnya dan kemudian menyembahnya .."

Pernyataan sederhana bahwa Tuhan tidak beragama, ternyata memancing berbagai reaksi yang bermacam-macam dan sering keluar dari ketidak-terdugaan. Biasanya dengan sedikit kaget. Meski dalam membuat pernyataan itu, aku sendiri juga hanya mendasarkan pada pemahamanku tentang Tuhan dari berbagai sumber, termasuk tingkat pemahaman yang pribadi dan tidak perlu disepakati oleh siapapun.

Dari pengalaman berbagai diskusi itu, aku dapat merasa bahwa manusia sering sibuk dengan pikirannya sendiri. Sibuk dengan konsep-konsep yang dikembangkannya sendiri. Sibuk dengan gambaran-gambaran imaji yang diciptakannya sendiri. Manusia tidak lagi memberi ruang terhadap kemungkinan lain yang tidak diketahuinya. Seluruh ruang dalam benaknya dipenuhi dengan keyakinan yang kemudian dianggap sebagai realitas dan kebenaran, yang menjadi melekat erat. Pemahaman baru lalu tidak mendapatkan pintu untuk masuk dan memberi warna berlainan dalam benak yang penuh itu.

Tidak ada keterbukaan. Tidak ada pembaruan. Pikiran menjadi beku dan terkungkung oleh kebenaran dogmatis. Tidak ada ruang untuk menerima pandangan berbeda. Tidak ada perbedaan, harus sama dengan apa yang dipikirkannya. Barangkali inilah awal dari ketegangan terutama dalam beragama. Kepicikan, kata temanku.

Aku tidak pernah berharap bahwa pertanyaanku tentang agama Tuhan mampu mengubah konsep kebenaran yang digenggam oleh orang-orang beragama. Itu bukanlah urusanku. Namun mudah-mudahan pertanyaan itu mampu sedikit menggoyang kenyamanan pikiran seseorang .. entah setelah itu ..

Mudah-mudahan mereka lalu sedikit demi sedikit mau memberi ruang untuk kesadaran yang lebih hakiki, dan mengurangi kesibukan2 pikiran agar kebenaran sejati dapat muncul memberikan cahayanya ..


minggu malam
hampir jam 11

Rabu, 04 Agustus 2010

Tuhan di luar, Tuhan di dalam

Dalam sebuah diskusi di FB baru-baru ini, kami berbincang tentang Tuhan. Sebuah materi diskusi yang tidak pernah habis dibahas dari jaman ke jaman, sehingga sejalan dengan sejarah pencarian manusia, maka Tuhan-pun akhirnya punya sejarah. Cerita perkembangan sejarah Tuhan ditulis dengan baik oleh Karen Armstrong dalam bukunya "A History of God" terbitan Ballantine Books, 1993. Sebuah saga pencarian Tuhan selama 4000 tahun.

Aku menawarkan pandangan bahwa manusia sekarang ini kebingungan.

Manusia sering melihat Tuhan di atas sana, mencipta kita dan semesta, lalu duduk-duduk di singgasana surga sambil mengawasi perilaku ciptaannya. Kalau ada yang berperilaku baik dipuji dan diberi pahala, kalau ada yang buruk perilakunya lalu dihukum. Manusia-lah yang sebetulnya menciptakan hubungan seperti ini, karena hanya itulah pemahaman tentang Tuhan. Jika sudah mati, maka manusia dipilih oleh Tuhan untuk dimasukkan ke surga atau ke neraka sesuai dengan perilakunya di dunia semasa hidup. Ada petugas2 khusus di bawah kordinasi Tuhan yang melakukan pemilihan ini berdasar catatan hidup dan persidangan.

Kebingungan manusia tercipta karena sekarang ini dirinya terpisah dengan Tuhan, terpisah dengan surga dan neraka. Bingung karena tidak tahu sebetulnya dia ada dimana. Bingung karena sesungguhnya manusia telah memisahkan diri dari sumber kehidupan sejati. Kesejatian yang dipaksa dipisahkan menjadikan manusia tidak lagi mengenal dirinya, tidak mengenal kesejatiannya, tidak mampu memahami asal muasalnya. Manusia telah terpisah dari energi yang menghidupinya, terpisah dari sumber kasih, dan terpisah dari kemanusiaannya.

Keterpisahan dengan sumber kehidupan menciptakan ketakutan yang sangat. Keterpisahan dengan sumber kasih menciptakan kekejaman. Keterpisahan dengan kemanusiaannya menciptakan kejahatan terhadap sesama manusia. Kebingungan juga lalu membuat manusia mencari-cari pegangan, karena tidak memahami apa yang harus dipikirkan dan dilakukan dalam hidup ini. Manusia berada dalam kegelapan batin. Namun demikian, pegangan di dunia ini banyak tersedia, baik yang berbau suci seperti kitab-kitab yang dikeramatkan, tokoh-tokoh yang disanjung-sanjung dan disucikan, sampai pada jumlah angka dalam secarik kertas uang, atau imajinasi yang dikembangkan sendiri dalam pikiran. Begitu banyaknya pegangan yang tersedia, tinggal memilih mana yang disukai dan sesuai dengan keinginannya. Maka, kebingungan bertambah karena satu sama lain berbeda pegangan dan masing-masing ngotot bahwa pegangan yang dimilikinya-lah yang bisa menyelamatkannya dari kebingungan dan ketakutannya.

Kehidupan manusia seperti itulah yang sekarang sedang terjadi, dan dengan semakin banyak tersedia pegangan untuk hidup, semakin bingung-lah manusia-manusia sekarang. Kesibukan mencari pegangan (buat diri sendiri) semakin menjauhkan manusia dari rasa kebersamaan, rasa persaudaraan, rasa kasih terhadap sesama, rasa bahwa manusia adalah satu. Yang semakin subur berkembang adalah mementingkan diri dan kelompoknya sendiri, rasa bahwa kita sangat berbeda, bahwa saya paling benar yang lain salah dan kalau perlu dibasmi agar tidak mempengaruhi pegangan saya.

Semua pemahaman fundamental ini akan berubah total seandainya kita paham bahwa Tuhan ada di dalam diri kita. Sumber kehidupan, sumber segala kasih, sudah ada di dalam, tinggal kita menemukan dan mempersilahkannya menuntun kehidupan kita. Segala rasa terasing, segala ketakutan akan lenyap dengan sendirinya.

Silahkan mencoba.



kemis kliwon
5 agustus 2010
masih di rumah selesaikan proposal