Minggu, 25 September 2011

Ketika Agama Menjadi Isu Sosial

Salah satu tokoh keagamaan Islam pernah membahas bahwa agama itu multidimensi. Artinya, dalam agama ada dimensi2 yang secara intrinsik menyatu, seperti: dimensi simbol, dimensi kelompok, dimensi personal, dimensi mistik, dimensi ritual, dan masih banyak lagi. Ada dimensi simbol, misalnya: salib itu simbol agama kristen, kaabah simbol islam, baju koko, hijab, sampai tanda hitam di jidat. Dimensi kelompok, misalnya: majlis taklim, FPI, kelompok pengajian, dsb. Dimensi personal: pengalaman bertemu tuhan selalu sangat personal, tidak sama satu sama lain karena tergantung dari pengalaman pribadi masing-masing. Demikian seterusnya.

Pemahaman agama yang multidimensional menjadi penting, karena sikap terhadapnya akan semakin kritis. Misalnya ada cerita: pada saat itu sedang ramai dibicarakan penghinaan agama islam karena ada alquran yang diinjak-injak dan dibakar, bahkan tahun lalu ada anjuran seorang pendeta kristen di Amerika Serikat untuk setiap orang membakar satu alquran sebagai peringatan kejadian 11 September dan protes pendirian masjid di ground zero. Ajakan ini sempat menghebohkan, namun akhirnya berhasil dicegah. Kemudian ada orang bertanya kepada seorang bikshu Buddha: Banthe, apa reaksi anda kalau kitab Tripitaka dibakar? Dengan enteng banthe menjawab:" ya .. kalau ada uang beli lagi .. itu kan cuma buku. " Bagi saya, reaksi demikian menandakan kejernihan pikiran seseorang dalam menyikapi sebuah peristiwa yang multi-dimensional.

Demikian juga sisi dimensi sosial dalam keagamaan. Orang sering mencampuradukkan peristiwa sosial dengan akidah agama. Misalnya, kekerasan sosial yang memakai latar belakang agama, atau misalnya seseorang tidak boleh membuka warung pada bulan ramadhan. Atau seseorang tidak boleh menyalami tetangganya yang sedang merayakan hari besar agamanya. Lebih parah misalnya, anaknya yang beragama islam tidak boleh kawin sama calon pasangannya yang beragama kristen. Kerancuan dimensi2 ini bisa makin kacau karena kacaunya pemahaman multidimensi sebuah agama. Kekacauan ini akan menimbulkan konflik pada pikirannya sendiri. Demi apa? Demi kemurnian ajaran, katanya. Ada juga karena ketakutan kalau dikutuk tuhan allah.

Negara yang kemudian turut campur dalam kehidupan beragama warganya akan makin memperkeruh suasana, karena negara adalah lembaga politik. Dengan demikian, dengan mudah agama diadopsi menjadi komoditas politik dan lalu dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Karena negara skalanya sangat besar dan luas, pemanfaatan agama dalam konteks politik bisa menjadi sangat berbahaya, terutama bagi warga yang tidak seagama.


Jakarta
akhir september 2011
sedang prihatin melihat perilaku penyelenggara negara