Kamis, 08 Desember 2011

MEMANUSIAKAN TUHAN


Hampir setiap saat kita bisa melihat orang-orang sholat, berdoa, baik di rumah ibadah atau di tempat2 lainnya.  Mulut mereka komat-kamit mengucapkan rentetan kata-kata yang biasanya terdiri dari: pujian kepada Tuhan bahwa dia yang paling berkuasa di semesta, termasuk untuk mengabulkan permintaan.  Lalu muncul permintaan-permintaan kepada Tuhan sesuai yang manusia inginkan, dan biasanya ditutup dengan permintaan maaf atas segala kesalahan dan terakhir adalah pernyataan2 peneguhan diri.
Pola doa biasanya tidak jauh dari hal-hal tersebut di atas, dan bahkan sudah hampir menjadi pakem bahwa sebuah doa akan sempurna, elok didengar, mustajab, kalau mempunyai susunan seperti itu.  Banyak usaha mengembangkan doa kepada Tuhan menggunakan pola standard tersebut.  Ini dilakukan dalam bahasa apapun, baik Indonesia, Arab, Latin, Jawa ...

Isi doa kebanyakan minta, memohon, mengharap .. agar Tuhan mengabulkan permintaan, baik itu untuk: kesembuhan, makanan yang enak, dapat duit, enteng jodoh, bisnis lancar, dan sebagainya.  Bahkan banyak orang percaya, semakin baik susunan kata dalam sebuah doa, apalagi kalau sambil berdoa ditemani dengan ritual dan berpakaian sopan ketika "menghadap" kepada Tuhan, maka semakin besar kemungkinan Tuhan mendengarkan dan mengabulkan doa-doa ini.

Manusia berdoa kepada Tuhan seolah berbicara kepada Bapaknya, kepada Rajanya, kepada majikannya atau kepada teman baiknya.  Seolah Tuhan seperti manusia, yang mempunyai perasaan, mempunyai pikiran, mempunyai hati.  Kita memperlakukan Tuhan seperti halnya manusia yang mempunyai kelebihan dibanding manusia seperti kita.

Hal ini bisa dimaklumi karena memang pada dasarnya manusia hanya bisa memahami apa yang berada "di luar" dirinya berdasarkan pemahaman manusia atas dirinya.  Ukuran dirinya diterapkan pada saat mencoba memahami dunia luarnya.  Ikatan emosional manusia dengan alam semesta hanya bisa dibangun melalui cara meng-ekstrapolasi-kan dirinya  Maka fenomena alam dipahami sesuai dengan dirinya.  Misalnya: alam sedang marah, laut mengamuk, singa menyayangi anaknya, bahkan Tuhan mengampuni dosa.

Keterbatasan pikiran manusia memang membatasi ke'maha'an Tuhan.  Meski kita menyebut Tuhan itu 'maha', tapi masih dalam konteks kemampuan manusia, dan Tuhan mempunyai kemampuan yang sama namun jauh lebih berpotensi.  Omni potent.

Manusia tidak mampu melepaskan Tuhan sebagaimana adanya.  Bahkan dia HARUS punya nama, seperti manusia.  Ada yang bilang namanyapun hanya 99.  Tuhan mempunyai pribadi tiga, tuhan seperti bapak sendiri, dan sebagainya.  Usaha manusia memahami tuhan sudah dilakukan sejak jaman purba dan sampai sekarangpun manusia tetap tidak dapat memahaminya.  Akhirnya cara yang paling mudah adalah dengan memanusiakannya.  Pemanusiaan tuhan seperti ini membuat manusia memperlakukan tuhan seperti manusia lain tapi linuwih, berkelebihan

Akhirnya, Tuhan menjadi sebatas daya cerap manusia, sebatas ada dalam pikiran dan sebatas persepsi.  Ke 'maha' an Tuhan tidak lagi ada karena dia sudah dimanusiakan oleh manusia.  Pencipta harus menurut apa yang dimaui oleh yang diciptakannya, dan akhirnya, tuhan hanya diciptakan oleh manusia sesuai dengan kehendaknya.  Maka ada tuhan yang hanya mengerti bahasa Arab, ada tuhan yang hanya suka manusia beragama kristen, ada tuhan yang hanya berdiam di mesjid, ada tuhan yang labih menyukai dandanan tertentu dan sebagainya.  Inilah memanusiakan tuhan, dan tuhan hanya sebagai anggota kelompoknya, atau, pemimpin kelompoknya.  Bahkan tidak jarang tuhan dikangkangi oleh ego manusia untuk memenuhi hasratnya.



21desember2011
soreharidivolkskaffee