Kamis, 10 Januari 2013

Waktu dalam kehidupan

Malam itu Jakarta seperti kota yang ber AC.  Dingin menyentuh tulang, angin masih berhembus pelan menyisir jalanan dan mampir ke rumah2 penduduk yang mulai sepi.  Barangkali angin ini sisa-sisa badai sore tadi yang sempat merobohkan beberapa pohon di Salemba Raya dan memutus kabel listrik di dekatnya.  Suara musik di cafe masih menyampaikan beat yang enak di dengar, sesekali suara motor dan bajay masih terdengar lewat di depan cafe ini.  Aku duduk di pojok, sendirian, meski di cluster ini ada tiga lagi kursi kosong yang empuk yang siap untuk memeluk empat orang yang asyik ngobrol dan ngopi.

Kopi dalam cangkir di depanku sudah tinggal separuh.  Aku tadi pesan secangkir americano yang rasanya seimbang antara asam, pahit mendekati gurih, serta beraroma wangi kopi segar khas Gayo yang tajam.  Tanpa dapat kucegah, ingatanku tiba-tiba mundur ke lebih dari 30 tahun lalu.

Waktu itu aku juga sedang duduk ngobrol dengannya, di rumahnya, sambil minum teh di salah satu dari banyak malam yang kupakai ngobrol dan duduk-duduk bersamanya.  Dia masih sangat muda, dan aku beberapa tahun lebih tua darinya.  Malam itu juga dingin, anginpun hampir sama cara berhembusnya meski terasa lebih lembut.  Kami ngobrol lama dan bicara soal2 yang ringan kadang tanpa isi.  Yang aku ingat adalah raut wajahnya yang muda, bersih dan cantik, rambutnya yang ikal panjang serta senyumnya yang selalu menghias bibir tipisnya.  Gambaran dalam ingatan sampai di situ, dan menjadi kabur ketika mendadak ada teriakan knalpot bajay lewat di depan cafe.

Betapa cepat pikiran dalam kepalaku meloncat dari sekarang ke 30 tahun lalu, lalu kembali ke sekarang.  Betapa cepat dia berpindah dari cafe ini, ke suatu tempat yang ratusan kilometer jaraknya, dan kembali lagi ke sini dalam sekejap.  Dimensi waktu dan ruang menjadi tak terbatas dalam pikiran.

Sebetulnya aku sedang di sini dan sedang berada di detik-detik ini.  Aku sedang menghabiskan secangkir americano yang harum, bukan sedang ngobrol dengan dia.  Aku sedang sendiri menikmati secangkir kopi, bukan sedang bersamanya yang selalu ditutup dengan ciuman hangat yang memabukkan jiwa.

Kerancuan waktu dan ruang selalu ada dalam setiap pikiran manusia.  Itulah yang disebut dengan kesibukan pikiran, atau "banyak pikiran".  Orang banyak berpendapat bahwa banyak pikiran itu wajar dan manusiawi.  Sudah seharusnya, katanya.

Manusia hidup di alam pikirannya, sehingga seringkali dia ada di ruang dan waktu yang tidak nyata.  Ada dalam dimensi yang diciptakannya sendiri.  Ruangnya imajiner, dan waktunya berupa waktu psikologis, bukan waktu mekanis ataupun biologis.  Imajinasi demi imajinasi dipelihara, dipupuk dan dikembangkan.  Sehingga hidupnya bagai ada dalam mimpi.  Bunga-bunga imajiner berkembang subur dalam alam pikiran dan seringkali itu diyakini sebagai sebuah kenyataan, bahkan sebuah kebenaran.  Akhirnya, seringkali pikirannya tidak lagi berada dalam dunia nyata tempatnya berada.  Dia sering berada di surga atau di neraka yang diciptakannya sendiri.

Dalam teknik2 meditasi yang kupelajari, diminta meditator berada disini dan mengalami waktu sekarang: here and now, di sini kini.  Betapa gampang dan sederhana kedengarannya, namun pelaksanaannya tidak sesederhana kata-katanya.  Hanya saat ini dan di sini-lah kenyataan itu berada.  Sebuah saat yang tidak berwaktu, karena tidak bersifat masa lalu sebagai sebuah memori atau penyesalan, ataupun masa depan sebagai sebuah harapan atau kecemasan.  Saat ini adalah kini, dia tidak terikat dengan waktu psikologis yang tercipta, dia ada dengan sendirinya ketika disadari.

Aku tersentak mendengar sendok kecil kopiku terantuk cangkir tanpa kusengaja.  Kulihat kopi tinggal seseruputan lagi, dan ketika habis berpindah ke mulutku, dia meninggalkan beberapa bercak coklat di dasar cangkir.  Aku kembali duduk diam dan kuamati beberapa tamu masih asyik ngobrol dengan pasangan masing-masing.  Aku menjaga kesadaranku dan tak mau lagi ikut terbawa pikiranku kembali ke masa lalu meski energi itu menyenangkan ego-ku, namun menguras energiku.

Malam makin dingin, terdengar gerimis kecil mengetuk atap cafe yang terbuat dari baja ringan bagai irama lagu malam.  Kukancingkan jaketku dan menuju kasir untuk membayar americano yang sekarang sedang bekerja menghangatkan perutku.


Volks Kaffee
Awal Januari 2013