Kamis, 16 Juni 2016

Sketsa Keyakinan Beragama

Pagi itu kuantarkan anak perempuanku ke sebuah mesjid terkenal di bilangan Jakarta Pusat.  Satu keperluannya: menahbiskan anakku menjadi seorang mualaf.

Anak perempuanku dilamar oleh seorang lelaki asli Surabaya.  Dia beragama Islam, sedangkan anakku, mengaku katolik hanya karena ayahnya seorang katolik.  Aku memang pernah dibaptis secara katolik, dengan nama baptis: Thomas.  Menurut cerita, Thomas adalah satu dari 12 murid Yesus yang selalu ingin bukti untuk mendukung kepercayaannya pada sesuatu.  Sampai sewaktu Yesus bangkit dari maut dan mengunjungi para murid, hanya Thomas yang tidak percaya begitu saja bahwa yang dihadapannya adalah gurunya, sebelum dia mencucukkan jarinya di lambung Yesus yang berlubang akibat tikaman prajurit Roma sewaktu menggantung di salib.  Thomas, nama yang kupilih untuk nama baptis.  Barangkali waktu itu kuanggap sebuah nama yang bagus karena baptisanku semasa dengan ramainya perebutan piala thomas dan Indonesia menjadi juara.  Sekitar tahun 70an.  Ternyata sampai sekarang nama itu kurasa cocok untukku.  Aku masih harus membuktikan segala sesuatu untuk lebih meyakininya.  Yesus bersabda, berbahagialah orang yang percaya meski tidak melihat.  Kata-kata itu diucapkan setelah Thomas mencucukkan jari2nya ke luka di tubuhnya.  Agak bertentangan dengan sabdanya, dalam perjalanan spiritualku, justru dengan mengalami sendiri (melihat, mendengar, merasakan) maka kebahagiaan itu bisa dirasakan.  Kupelajari hal ini melalui meditasi dan ajaran dalam Buddhisme.  Perilaku Thomas ini pulalah yang membawaku mempelajari ajaran-ajaran Gautama Buddha dengan lebih dalam, dan melakukan meditasi Hindu dalam keseharianku.

Di sebuah bangunan di sebelah masjid, rombongan kami menuju ke lantai 4 untuk bertemu ustadz yang akan meresmikan ke-mualaf-an anakku.  Karena masih dalam suasana puasa, kami perlu membangunkan pak ustadz yang kelihatannya kelelahan dan sedang tidur di lantai ruangan itu.  Bergegas beliau lalu ke kamar mandi merapihkan diri dan kemudian menyambut kedatangan kami dengan resmi.

Singkat cerita, pak ustadz lalu memberikan banyak nasihat, dan juga pertanyaan mengapa anakku ingin masuk islam.  Jawab anakku: mencari agama yang dapat dijadikan pegangan.  Waktu pertama keinginannya menjadi mualaf muncul, dia mengatakan kepadaku bahwa meski mengaku sebagai katolik namun tidak pernah sungguh-sungguh melakukan ritual kekatolikan, sehingga dirasakan dia bukan benar2 seorang katolik  Jadi untuk melancarkan peristiwa perkawinannya, dia memilih menjadi seagama dengan calon suaminya.  Dengan begitu, proses administrasi akan menjadi lebih mudah.  Aku sependapat dengannya.

Apapun keputusannya, aku mendukungnya karena dialah yang tahu benar apa yang terjadi dalam dirinya, dan dia mempunyai hak penuh untuk memilih kehidupan seperti yang dipikirkan dan dirasakannya.  Kusampaikan juga bahwa ternyata agama bisa menjadi bukan yang terpenting dalam hidup ketika diletakkan dalam konteks perkawinan dan masalah sosial lainnya.

Singkat kata, pak ustadz akhirnya mentahbiskan anakku menjadi islam dengan menuntunnya mengucapkan kalimat syahadat: bismillah hirochmanhirohim, asyadu an la ilaha ilallah, wa asyadhu anna muhammadar rasululah ...  Sah anakkku perempuan menjadi seorang muslimah.  Pak ustadz meneruskan wejangannya dengan mengatakan untuk menjadi seorang islam harus melaksanakan 5 rukun, dan seterusnya, dan seterusnya.  Anakku mendengarkan dengan seksama, sambil sesekali membetulkan kerudungnya.  Demikian juga pak ustadz mendoakan agar semua anggota keluarga menjadi pemeluk islam ... hatiku meragukan doanya kali ini akan dikabulkan allah.

Peristiwa itu bisa merupakan sebuah peristiwa yang mungkin penting bagi perjalanan hidup seseorang, atau sekelompok orang seperti yang duduk di deret bangku belakang menunggu giliran ditahbiskan.  Bagiku, itu peristiwa sosial dan administratif belaka, karena anakkupun belakangan cerita dia sudah bilang ke calon suaminya: meskipun dia seorang mualaf tapi akan mengikuti Yesus yang menurutnya adalah guru yang sudah dikenalnya yang mengajarkan kasih ...  Jawab calon suaminya: ya semaumulah, yang penting kita bisa kawin ... akupun akan mau kalau kau minta aku menjadi katolik.

Anakku dan calon suaminya benar, mereka memilih agama yang dapat dijadikan pegangan dalam mengurus sebuah peristiwa penting dalam hidup mereka.  Peristiwa yang akan dilakukan di sebuah negeri yang sarat dengan aturan primordial terutama agama.

Berdosakah mereka?  Hanya Tuhan yang memutuskan, ... itupun kalau Tuhan benar ada dan mengetahui isi hati mereka.


Volks Kaffee, tengah malam
medio juni 2016


Tidak ada komentar: