Minggu, 08 Januari 2017

Duniaku Runtuh

Siang itu WA-ku menyala, kubaca pesan dari teman baikku: Mas, ada temanku yang ingin ketemu.  Hidupnya akhir-akhir ini menurutnya sudah berantakan.  Bisa coba bantu dia?;  Oke.  Ketemu di bilangan Kuningan aja ya, biar aku dekat;  Siip mas.  Sore ini sambil ngopi.

Aku datang duluan, lalu bersama teman baikku makan malam sambil menunggu dia.  Sambil makan, aku mencoba mendapatkan latar belakang temannya temanku ini yang akan kami temui.  Selesai makan, dia belum juga datang, tulisnya dalam WA ke temanku: gojek gak tahu jalan;  Ya sudah kita pindah ke warung kopi sebelah.

Baru antri untuk pesan kopi di bar warung sebelah, diapun datang.  Warung itu cukup besar dan nyaman, namun masih ada background music yang menurutku agak terlalu keras, barangkali karena aku mengharap musiknya pelan karena kami mau ngobrol serius.  Ya sudahlah ... Akhirnya kami memilih tempat duduk yang cukup nyaman untuk ngobrol.  Kuletakkan helm dan jaket di kursi dekatku.

Kuamati gadis yang duduk di depanku ini.  Baru pertama kali kami bertemu.  Usianya masih muda, barangkali awal tigapuluhan.  Rambutnya tergerai, sebagian dicat pirang.  Baju yang dikenakan agak terbuka namun ditutupi dengan kardigan rajut lengan panjang warna hitam.  Meski masih muda, namun nampak jelas kerutan-kerutan di wajahnya, barangkali akibat dari beban pikirannya yang berat.  Kesedihan juga nampak pada kesembaban di sekitar kedua matanya.

Kami duduk berdiam diri beberapa saat.  Kubiarkan suasana menjadi hening dalam keramaian cafe itu, agar komunikasi intens kami bertiga berada dalam suasana yang mendukung.

Kuamati wajahnya yang kuyu dan tidak bercahaya.  Kulihat air mata mulai mengalir di kedua sudut mata, dan temanku segera ke bar mengambilkan beberapa lembar tissue untuknya.  Dengan lembut tangan temanku memegang bahunya.  Sebuah gesture kecil bahwa kami berada di pihaknya, bahwa kami siap memahami penderitaannya, dan bahwa kami siap membantunya.  Energi yang terpancar darinya menandakan bahwa dia mengalami peristiwa hebat yang membebani pikirannya, sampai kata temanku, dia merencanakan untuk mengakhiri hidupnya sendiri karena tidak kuat lagi menanggung beban pikiran.  Kubiarkan peristiwa ini berlangsung.   Harapanku, airmatanya bisa menjadi katarsis untuk sedikit mengurangi beban pikirannya.

Dia mulai bercerita bahwa sudah dua kali menjalin hubungan dengan bule (orang asing).  Putus dengan yang pertama, mendapat gantinya, namun sekarang juga putus dengan yang kedua, sebut saja John.  Saat menjalin hubungan, dia menyadari bahwa status John sudah berkeluarga dan punya anak.  Tapi dalam perjalanan hubungannya, John memberikan harapan akan menikahinya dengan meninggalkan istrinya, meski harus menanggung anaknya.  Meski kedengarannya sangat klise, aku dan temanku tetap membiarkan dia menumpahkan semua ceritanya tanpa menghakimi sedikitpun.  Kubiarkan pikiranku terbuka dan kutampung segala tumpahan deritanya.

John mengingkari janjinya.  Gelembung harapan yang tadinya berkembang semakin besar bagai balon berwarna-warni ... sekaligus meletus dan hilang, sirna tidak berbekas lagi.  Dunia yang serba indah mendadak menjadi gelap gulita, tidak tahu lagi kemana harus melangkah.  Tali pengikat balon yang terciptakan dan dipegang erat sebagai simbol pengendali untuk menikmati keindahan warna balon, menjadi terkulai tidak bermakna, tidak berguna lagi.  Tiada lagi kuasa untuk mempertahankan dan mengendalikan balon-balon indah berwarna-warni.  Mereka menguap menjadi udara yang bisa dirasakan dampaknya namun tidak dapat lagi dipegang dan dinikmati.

Dampak itu begitu hebat.  Semangat hidup yang tadinya bergelora dibakar harapan, padam meninggalkan kegelapan pikir.  Hidup menjadi tidak mempunyai arti.  Kalaupun harus ada, satu-satunya arti adalah beban, adalah gelap, adalah duka, adalah derita.  Tidak ada lagi arah, tidak ada lagi pegangan, tidak ada lagi tujuan, tidak ada lagi arti.  Untuk menghilangkan penderitaan dalam hidup, satu-satunya cara adalah menghentikannya.  Menghentikan kehidupan.  Karena jika kehidupan berhenti, maka berhenti jugalah penderitaan.

Aku masih mendengarkan dengan memberikan keterbukaan pikiranku, keluasan batinku, dan keheningan kesadaranku.  Setelah berulang kali menyeka air matanya yang seolah berhasil membobol bendungan, diapun mulai terdiam meski pandangannya masih seperti sepasang mangkok besar tak berisi, kosong, hampa.

Lalu kumulai dengan sebuah cerita tentang diriku yang pernah mengalami titik nadir kehidupan, derita batin yang seolah tidak tertahan.  Aku sampaikan bahwa aku memahami deritanya karena aku pernah berada di titik itu.  Lalu kuceritakan sebuah kisah agung sepanjang masa tentang Gautama Buddha, dan dimensi-dimensinya yang membantunya untuk memahami penderitaan dalam hidup.  Dan juga pemahaman tentang energi kehidupan: keberadaannya, sifat-sifatnya, dinamikanya, bagaimana cara untuk mempertahankan dan bahkan meningkatkannya.  Selama bercerita, dia sebentar2 mengusap mata dan hidungnya, kadang mengangguk, menyela dengan bertanya, tersenyum, dan ... lama-lama ikut tertawa keras.

Esoknya aku kirim pesan ke temanku: mudah-mudahan pertemuan semalam dapat membantunya.  Sangat mas.  Kami lanjutkan pembicaraan sampai tengah malam, jawab temanku.  Sewaktu pulang dia merasa sangat ringan.