Minggu, 05 Juli 2009

Cinta dan Perkawinan

"
‘qt ktmu jm 3, aq di kamar 205’

Sms itu aku kirimkan kepadanya. Aku kebetulan datang di kota itu, dan aku ingin sekali ketemu dengannya. Sudah hampir dua minggu aku kontak dengannya melalui telpon dan sms, namun belum pernah bertemu secara fisik. Awalnya terjadi ketika aku harus menelpon teman kerjaku yang baru, Widarti, untuk minta berkas-berkas pengiriman para TKI agar dapat diserahkan ke kantor pusat paling lambat pertengahan bulan Juni ini. Karena aku tidak punya nomor telponnya, aku minta kepada sekretaris kantor Pusat. Ketika nomor telpon pemberian sekretaris itu aku putar, tak terduga yang menjawab seorang lelaki. Lelaki itu mengaku bernama Wibowo. Ke-salah-an ataupun ke-betul-an dalam hidup, tergantung dari mana memandangnya, terkadang terjadi dengan aneh.

Empat tahun lalu suamiku yang mengawiniku secara siri, menceraikanku, atau lebih tepat, meninggalkanku begitu saja. Tidak ada proses perceraian secara hukum negara, karena perkawinan siri bukan urusan negara, tapi urusan pada tingkat paling bawah yang keabsahannya bisa menjadi sangat situasional. Dua tahun bersamanya seperti sebuah mimpi yang merupakan rangkaian cerita roman picisan. Dia sudah beristri, dan menjadi istri ‘siri’nya harus pandai-pandai menguasai diri, pandai-pandai mengatur waktu untuk menyalurkan hasratku dan terlebih hasratnya. Barangkali benar bahwa perkawinan ‘siri’ dibuat untuk sekedar menyalurkan hasrat dasar manusia, hasrat menikmati hubungan perkelaminan. Sebuah hasrat yang mustahil disalurkan dengan terbuka karena dianggap sebagai sebuah dosa, sehingga perlu dibungkus dengan kemasan berbau agama untuk mempunyai kekuatan keilahian yang dianggap mengubahnya menjadi halal. Absurditas, kemunafikan, dan kedangkalan pemahaman bergabung menjadi satu, dan lunas diganti dengan beberapa lembaran rupiah bagi tokoh pengabsah. Meski aku mempunyai pandangan seperti itu, namun aku jalani juga perkawinan itu, karena kebutuhanku untuk dukungan moral dan material dalam membesarkan anak-anakku.

Cerita roman picisanku dengannya memang akhirnya hanya seputar birahi, seputar ranjang, permainan petak-umpet menghindari pelacakan istri sahnya, dan manipulasi rasa yang ada diantara dua kutub: kebencian dan kerinduan. Benci karena dia bukan sepenuhnya milikku yang seharusnya memberikan segala waktu dan perhatiannya padaku, namun menjadi sebuah kemewahan yang mustahil kudapatkan. Banyak waktu dimana aku membutuhkan kehadirannya, namun dia tidak dapat memenuhinya. Rindu karena setiap kehadirannya mampu mengisi kesepianku dalam menjanda lebih dari dua tahun, setelah suamiku yang pertama kuceraikan akibat memelihara perempuan sialan yang akhirnya hubungan mereka kupergoki di sebuah hotel di kota besar dekat desaku itu.

Dua tahun sudah aku kembali menjanda setelah berakhirnya romanku dengan suami siriku. Kerinduanku akan belaian, pelukan dan pemenuhan hasratku kembali menggantung dalam kehidupanku. Sebuah kerinduan akan kehidupan yang dulu pernah aku nikmati sehingga membuahkan dua anak2ku yang sekarang kupelihara dengan sepenuh hati meskipun semakin hari menjadi semakin tidak mudah. Namun begitu, keduanya adalah bagian sejarah hidupku, keduanya adalah kepingan kebahagiaan yang dulu pernah aku nikmati bersama suamiku yang pertama. Sekarang sering aku gugat hidupku yang lalu, benarkah keduanya adalah keping kebahagiaan, atau keduanya adalah akibat dari pemenuhan hasrat alamiah kami berdua. Seandainya mereka adalah buah dari kebahagiaan, mengapa sekarang terasa menjadi beban yang harus aku pikul sendiri? Benarkah kebahagiaan dapat berubah menjadi beban dan bahkan derita sejalan dengan waktu? Adakah kebahagiaan hidup yang abadi? Dimanakah keadilan dalam berbagi kebahagiaan dan beban hidup pada sepasang suami istri?

Janjian ketemu dengannya sekitar setengah jam lagi. Sempat kurenungkan awal kenalanku dengannya. Kesalahan nomor telpon akibat kecerobohan sekretaris kantor pusat. Namun dalam beberapa kali pembicaraan telpon dengan Wibowo, aku dapat merasa sebagai seorang perempuan yang terisi kembali kebutuhan hidupku. Entah kenapa kekosongan batinku dapat sejenak terpenuhi dengan sesuatu yang aku sendiri tidak pahami, namun terasa nyaman. Aku belum pernah bertemu dengan Wibowo, dan aku tidak banyak tahu tentang kehidupannya. Namun setiap kata yang diucapkan dalam telpon terasa memberi energi yang membuatku hanyut dalam sebuah aliran yang terasa sejuk, penuh, dan nyaman.

Aku sedikit kaget ketika kudengar ketukan di pintu kamarku. Kubuka pintu kamar hotelku, dan kudapati seorang pria setengah baya, dengan rambut tersisir ke belakang dengan rapi, beberapa helai uban terlihat kontras dengan rambut hitamnya. Jalur-jalur uban itu seolah memberi aksen yang kontras, putih di atas hitam, sebagai alur yang seolah menunjukkan kebijaksanaan. Badannya sedikit lebih tinggi dari padaku, perawakannya tegap untuk pria seumurnya. Wajahnya tidak terlalu tampan namun cukup menarik. Sore itu dia mengenakan kemeja kerja dan menjinjing sebuah tas sederhana yang nampak berat yang kuduga berisi komputer jinjing.

Aku persilahkan dia masuk, dan sambil duduk di tempat tidur ukuran king-size, obrolan sedikit demi sedikit mulai mengalir. Udara pengap di kamar mulai mencair dan membebaskan rasa. Kesesakan hatiku karena berbagai gambaran dan keinginan untuk bertemu dengan pria ini pelan-pelan menguap dan kamar terasa menjadi jauh lebih luas menembus dinding-dinding bercat coklat muda itu. Ada kehangatan yang menyeruak ke dalam tubuhku, mengurangi dinginnya ruangan akibat pengatur suhu. Kehangatan yang rasanya sangat intim, sangat tidak asing, yang bahkan menjadi bagian dari diriku yang pernah hilang beberapa tahun terakhir ini.

Obrolan santai mulai merambah pada kehidupan pribadiku dan kehidupan pribadinya. Suasana menjadi sangat cair, menjadi sangat akrab, dan aku sangat tergoda untuk memeluknya agar rasa nyaman ini tidak hilang, agar kehangatan ini menjadi sebuah kenyataan, agar energi ini menyatu dengan diriku. Hasratku untuk memilikinya menjadi semakin kuat. Kamipun lalu bercinta. Segenap kegairahanku yang tadi kurasakan berdesakan di seluruh pintu pori-pori kulitku, kini seolah seluruh pintu itu terbuka sehingga sel-sel gairahku terbebaskan dan menari dengan semakin liar. Tarian itu saling bersambut dan diakhiri dengan sebuah rasa kepuasan yang memenuhi seluruh saraf paling primitif dalam tubuhku.

Rasa lapar menyergapku setelah aku membersihkan diriku. Aku ajak Bowo, begitu dia minta dipanggil, ke bawah untuk mencari makanan. Sambil menikmati bakmi sederhana di warung dekat hotelku, kami berbincang banyak. Rasanya tidak ada lagi tembok penghalang dalam komunikasi kami, segala batasan runtuh bersama gelegak nafas kami di kamar tadi. Pembicaraan berbagai topik banyak membuka batinku, karena seperti anggapanku pada saat perkenalan dengannya melalui telpon, Bowo mempunyai sesuatu yang tidak semua orang miliki. Aku rasa itu karena dia mempunyai sebuah keluasan cakrawala pandang tentang berbagai sendi kehidupan ini, yang bebas menembus segala dogma dan kaidah umum, bahkan akidah agama yang kuimani. Sebuah dimensi yang menarik dan baru buat pemahamanku yang sederhana ini.

Salah satu yang sampai kini membekas di kepalaku adalah pandangannya tentang cinta dan perkawinan. Kami sempat berdebat, ketika kukatakan bahwa aku jauh lebih tahu tentang perkawinan dan cinta daripada dia karena sudah pernah dua kali kawin, dengan dua cara yang berbeda. Aku seharusnya lebih berpengetahuan dan berpengalaman daripadanya. Namun pendapatnya tentang cinta dan perkawinan mampu meruntuhkan seluruh bangunan pemahamanku. Menurutnya, mencintai orang lain sebenarnya mencintai diri sendiri. Menurutnya sangat jarang perkawinan yang dilandasi oleh rasa cinta yang selalu kita idolakan dan kita fantasikan. Fantasi keindahan cinta hanya ada di buku-buku novel, katanya. Menurutnya lagi, perkawinan sebenarnya hanya sebatas sebuah janji, yang karena takut tidak ditepati, lalu diberi embel-embel suci, sehingga menjadi janji suci. Aku terperangah, dan mengingat bahwa kedua perkawinanku yang berantakan, pernyataannya menjadi sangat masuk akal. Dimanakah kesucian sebuah perkawinan? Gugatanku kepada perkawinanku kembali tergambar jelas dalam benakku.

Mencintai orang pada dasarnya adalah mencintai diri sendiri. Kata-katanya membuatku menegangkan seluruh saraf pendengaranku untuk menangkap pesannya lebih lanjut. Jika aku mencintai dia, katanya, maka aku hanya mencintai rasa yang kudapatkan darinya ketika dia berada di dekatku. Aku hanya mencintai energi yang diberikannya kepadaku, yang membuatku merasa nyaman, merasa penuh, utuh, dan lebih hidup. Rasa itu yang aku cintai, dan kupertahankan dengan segenap cara, yang sering juga disebut pengorbanan, agar rasa itu tidak hilang. Dia adalah sumber energiku. Ketika sumber itu meredup karena berbagai hal, misalnya mengalihkan tujuannya kepada orang lain seperti yang dilakukan oleh suami pertamaku, maka aku merasakan kehilangan, merasakan ketimpangan, ketidakseimbangan yang sangat tidak nyaman. Kurasa dia ada benarnya.

Esoknya, aku harus kembali ke kota kecilku. Dalam perjalanan pulang, pengalaman singkat bebrsama Bowo kemarin ternyata sangat membekas dalam hatiku. Tidak hanya kesenangan yang telah kudapatkan, namun juga pemahaman baru yang dia berikan. Rasanya aku kembali berenergi dan mampu melangkah dengan ringan. Aku merasa nyaman. Barangkali, rasa seperti ini yang dia maksudkan, ketika rasanya aku mulai mencintai Bowo.

Peristiwa kebetulan dalam sebuah kehidupan dapat terjadi di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja, seperti terjadi padaku seminggu lalu itu. Tapi, adakah kebetulan dalam hidup ini? Betulkah Bowo datang begitu saja dalam hidupku? Ataukah dia membantuku memahami kegagalan perkawinanku yang selama ini menjadi beban yang semakin berat dalam menghadapi hidupku? Benarkah dia membantuku memahami kehampaan hidupku, dan memberikan petunjuk bagaimana mengatasinya? Rasanya, masih, aku inginkan sumber energi itu selalu berada di dekatku …

Sumedang - Jakarta, medio Juni 2009

Tidak ada komentar: