Jumat, 05 Desember 2008

Hidup tanpa keinginan?



Telpon di rumahku malam itu berdering, lalu kuangkat. Di ujung sana temanku menyapa slamat malam, dan kamipun terlibat dalam pembicaraan pembuka. Aku tahu bahwa bila selarut itu dia telpon, pasti ada sesuatu yang penting untuk disampaikan. Akupun menunggu dengan sabar.

Tak berapa lama, dia mulai menyatakan keperluannya sehingga malam itu dia menelpon. Suaranya terdengar lebih serius dibanding dengan dialog pembuka tadi. “Mas, apakah mungkin seseorang hidup tanpa mempunyai keinginan?” Selalu ada pertanyaan sulit seperti ini yang dia lemparkan kepadaku. Namun aku tahu, bahwa sewaktu pertanyaan seperti itu muncul, dia pasti berada dalam kebimbangan, dan memerlukan seorang teman untuk mendengarkan pengalamannya, ataupun seseorang yang dapat ikut memastikan bahwa apa yang dijalaninya merupakan jalan yang terbaik.

Aku mengenalnya sudah cukup lama, dan dari dialog-dialog denganku selama ini, dia sudah memahami bahwa keinginan senantiasa mempunyai sisi lain yang berupa kekecewaan. Seperti penjelasannya kepadaku malam itu, kekecewaan yang dia baru alami sangatlah menyakitkan hatinya. Diapun tahu bahwa dalam kehidupan ini ada tiga hal yang seringkali menjadi racun yang menyakitkan: keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin. Keinginan merupakan bentuk lebih lunak dari keserakahan, namun begitu, keinginan mempunyai potensi yang cukup besar untuk mendatangkan kekecewaan yang sungguh pedih.

Terdengar kata-katanya dengan pelan, “Itu yang baru terjadi denganku, mas. Aku merasakan sakit hati yang cukup dalam karena keinginanku tidak terpenuhi …” lalu lanjutnya, “apakah hidupku ini harus steril dari keinginan, biar aku tidak mengalami lagi kepedihan-kepedihan yang cukup banyak menyita energy dalam hidup ini?”
Dia terus melanjutkan bicaranya tetap dengan suara pelan dan teratur, “Tapi mas, aku juga heran bahwa aku bisa recover dengan cepat, hanya beberapa jam kemudian, kepedihan itu sudah banyak melemah intensitasnya. Dan sekarang sambil aku bicara dengan mas, aku rasakan kepedihan itu sudah berlalu. Kenapa bisa begitu ya mas?”

Aku masih terus mendengarkan dengan seksama semua ceritanya yang menarik itu. Aku tidak tahu apa yang menjadi akar permasalahnya, bentuk keinginannya. Dia tidak bermaksud mengungkap hal itu dalam pembicaraan kami, sehingga akupun tidak ingin mengetahuinya lebih jauh. Aku menghormati sikapnya. Namun aku juga memahami bahwa apapun bentuknya, penyebab penderitaannya masih masuk dalam kategori: keinginan, sebuah bentuk yang lebih lunak yang merupakan bagian dari keserakahan. Dan hal ini merupakan sisi dari sebuah mata uang yang sama dengan kekecewaan.

Kemudian kukatakan kepadanya:” Aku rasa keinginan merupakan sebuah pikiran yang manusiawi. Semua manusia mempunyai pikiran itu, disadari ataupun tidak disadari.” Dia masih terdiam, lalu kulanjutkan, “Pikiran demikian bisa berbeda tingkat intensitasnya, tergantung apakah kita memberi sedikit energy, atau memberi banyak energy sehingga seringkali menjadi tidak proposional.” Pikiran seseorang yang terkadang berupa keinginan senantiasa ada, dan itu tidak ada kaitannya apakah hal itu baik atau apakah hal itu buruk. Dia hanya ada dalam kesadaran kita. Tergantung kepada kemampuan kitalah untuk memahami keberadaannya itu.

Dia mengiyakan semua yang aku katakan tadi. Aku lalu melanjutkan penjelasanku, “ … Seringkali sebuah pikiran muncul dengan begitu saja, dan bagaimana sebuah pikiran muncul, masih banyak merupakan misteri. Keinginan adalah salah satu bentuk pikiran, seringkali muncul ke permukaan dengan begitu saja, dan seringkali pula kita tidak bisa membendung munculnya pikiran-pikiran tersebut. Artinya, sepemahamanku, hampir mustahil dalam sebuah kehidupan, seseorang steril dari keinginan.”

Dari gumamnya, aku kira dia memahami apa yang kumaksudkan.

“Yang penting barangkali adalah sejauh mana kita menyadari keberadaan sebuah keinginan dalam pikiran kita, dan juga memahami bahwa keinginan tersebut berpotensi untuk menimbulkan kekecewaan. Juga kesadaran tentang sifat pikiran-pikiran kita. Mereka timbul dan tenggelam, muncul dan kemudian pergi, ada dan kemudian tidak ada. Bagai gelembung busa sabun yang sewaktu muncul berkilau menarik, lalu meletus hilang dengan sendirinya.” Kesadaran seperti inilah yang perlu kita miliki.

“Jadi apa artinya, mas? Apakah kita biarkan keinginan itu ada dalam pikiran karena pada waktunya dia akan hilang dengan sendirinya?”. Aku lalu coba menjelaskan apa yang kuketahui, bahwa ada dua kutub ekstrim: ada keinginan di kutub satunya, dan ada penolakan di kutub yang lain. Namun seseorang tidak perlu hidup terpaku pada kutub-kutub ekstrim tersebut. Dia bisa hidup dengan lebih dewasa, karena dengan penuh kesadaran, dia bisa menari diantara dua kutub tersebut. Itulah tarian kehidupan kita. Dengan penuh kesadaran berarti mampu dengan jernih memahami bahwa: keinginan merupakan bagian dari kehidupan ini; keinginan mempunyai sisi lain yang disebut kekecewaan; dan sebagai bagian dari pikiran, keinginan mempunyai sifat seperti sebuah pikiran, keberadaannya tidaklah kekal.

Hanya dengan pengalaman-pengalaman hiduplah maka seseorang dapat mempertajam kesadaran tentang pikiran sendiri. Hanya dengan mengalami kekecewaan-lah maka seseorang mampu melihat sisi lain dari sebuah keinginan. Hanya dengan mengalami penderitaan maka seseorang dapat melihat sumber yang mengakibatkan deritanya. Tarian hidup dapat kita bawakan dengan lebih piawai.

“Aku rasa kau dapat dengan segera recover dari penderitaan, karena kau terlatih untuk melepaskan pikiranmu, terlatih untuk tidak terikat dan menggenggam keinginanmu, juga terlatih untuk tidak terkungkung pada kekecewaan dan derita akibat dari keinginanmu. Semakin cepat engkau kembali pulih dari deritamu, semakin mudah bagimu untuk membebaskan diri dari pikiran-pikiranmu dan kembali kepada kesadaran yang lebih dalam. Kesadaran yang tidak lagi mudah terombang-ambing dalam dualisme fenomena dalam hidup ini: senang-susah, sehat-sakit, terkenal-terkucil, bahkan hidup-mati ...”

Hari sudah cukup larut ketika kami saling menyampaikan salam perpisahan.


Agus Widianto
Desember 2008
sedang merenungkan sebuah keinginan yang muncul dengan kuat

1 komentar:

alumnistemsa89 mengatakan...

kok gak pernah nulis lagi pak Agus?