Rabu, 31 Desember 2008

Selamat Natal 2008

Gegap gempita Natal masih terasa. Berbagai acara, berbagai persiapan, berbagai ritual sudah dijalankan. Barangkali setiap gereja sudah melakukan hal-hal yang semakin meriah untuk menarik banyak umat agar tahun depan akan lebih banyak lagi yang hadir. Saya dan istri hadir di misa gereja Kotabaru, Jogjakarta jam 23:00, yang khusus untuk anak muda karena mengantar ketiga anakku yang masih muda. Di sekitar kita dapat kita saksikan bahwa semua sektor menyambut Natal dengan cara dan kepentingan sendiri-sendiri, misalnya sektor industri mainan maupun perdagangan. Satu benang merah dari berbagai kegiatan tahunan ini ialah bahwa kita baru saja merayakan penyambutan kelahiran Yesus Sang Penebus, Sang Jalan, Sang Anak Allah.

Dalam keadaan serba gegap gempita itu aku mencoba untuk merenungkan peristiwa natal dan Yesus yang sedang dirayakan ini dengan lebih hening ....

Yesus pernah mengatakan bahwa Dia-lah jalan menuju Allah Bapa. Interpretasi pernyataan itu bisa bermacam-macam. Seperti misalnya diartikan bahwa untuk hidup bahagia di sisi Allah Bapa setelah kita meninggal, kita harus melalui jalan Yesus, harus mencontoh perilakunya, atau paling tidak melakukan apa-apa yang diajarkannya. Namun untuk masuk ke dalam barisan pengikut Yesus, dalam tradisi gereja Kristen, harus diawali dengan sebuah proses permandian, baptis, sidi, seperti juga Yesus ketika dipermandikan oleh Yohanes Pembaptis. Setelah itu baru dapat menjadi sebuah keluarga besar pengikut Yesus -- yang sudah ditebus dosa-dosanya melalui kematian Yesus di kayu salib, dan mempunyai privilege bahwa kita sudah menjadi anak-anak Allah.

Interpretasi lain, Yesus adalah jalan menuju Allah. Sebuah jalan adalah sarana untuk lewat, sebuah sarana untuk menuju ke suatu tempat yang dituju. Namun, jalan bukanlah tujuan itu sendiri. Kebingungan orang Kristen dalam menentukan apakah jalan juga tujuan, menjadi perdebatan menarik dalam sejarah perkembangan gereja, yang kemudian melahirkan konsep Trinitas yang mencoba menempatkan Yesus pada posisi khusus dalam konteks hubungan antara manusia dan Allah Bapa.

Seperti yang dikatakan Buddha, jangan keliru memahami antara jari yang menunjuk ke arah bulan dengan bulan itu sendiri. Jika bulan adalah kebenaran hidup, maka jari yang menunjukkan ke arah bulan, bukanlah kebenaran itu sendiri. Dalam pemahaman kata-kata Yesus bahwa Dia adalah jalan menuju ke Allah Bapa di surga, maka Yesus bukanlah tujuan. Dia hanyalah jalan, yang menunjukkan arah ke Allah Bapa. Segala yang diajarkannya adalah rambu-rambu yang terdapat di sepanjang jalan, yang harus kita taati.

Namun Yesus pernah juga berkata, bahwa Dia adalah kebenaran itu, yang berarti bahwa segala yang diajarkannya adalah kebenaran. Misalnya, Dia menyebut Allah sebagai Bapa, sehingga dapat dipahami bahwa Dia adalah Anak Allah, dia adalah atman dari Brahman. Dalam pemahaman Hinduisme, setiap manusia adalah percikan dari Brahman sehingga setiap unsur yang ada pada atman adalah unsur yang juga ada pada Brahman. Setiap manusia adalah bagian dari Brahman, dari semesta, dari Allah Pencipta. Sufisme mempunyai pemahaman serupa bahwa Allah ada dalam diriku, sebuah konsep tentang wihdatul wujud, penyatuan, dan Allah maujud pada diriku. Ilmu pengetahuanpun membuktikan bahwa semua makhluk mempunyai elemen sama dengan semesta.

Jadi jika Yesus hanyalah jalan menuju Allah, haruskah pemahaman kita tentang Yesus Kristus dirubah, misalnya bahwa Dia bukanlah Anak Allah; Dia bukan kebenaran karena hanya jari telunjuk dan bukan bulan, hanya jalan bukan tujuan? Masalahnya tidaklah sesederhana itu, tidak hitam dan putih, tidak senaif pengertian bahwa a bukanlah b, either or.

Kearifan Yesus sangatlah dalam, karena sejalan dengan apa yang diajarkan Buddha, ajaran- ajarannya mengandung kebenaran yang tidak terbantahkan tentang kesejatian kehidupan ini. Misalnya interpretasi pemahaman bahwa setiap manusia adalah ‘anak Allah’. Jika kita ingin memahami Allah Bapa, maka pahamilah diri kita sendiri, pahamilah ‘anak Allah’ ini. Dalam diri kita yang serupa dengan semesta, kita diciptakan serupa dengan Allah. Kita dalah citra Allah. Dan seperti kata para sufi, kitalah Allah itu sendiri.

Vibrasi kesadaran Yesus demikian tinggi. Kesadaran yang jauh menembus kotak dunia materi, memberontak dari kungkungan dunia persepsi, dan membongkar struktur hasil cerapan inderawi, serta membebaskan diri dari dimensi ruang dan waktu. Sebuah pemberontakan yang kemudian dianggap membahayakan keteraturan kehidupan beragama saat itu, mengancam kedudukan para pemuka agama yang sudah mapan serta diakui oleh masyarakat banyak. Memang, tidak semua mampu dan berani melakukan apa yang dilakukan Yesus. Tidak semua mampu memahami apa yang dirasakan Yesus. Tidak semua mempunyai nyali untuk berontak kepada kemapanan dan keteraturan dalam kehidupan beragama seperti yang Yesus pernah lakukan.

Seperti sebelumnya, kita merayakan Natal dengan cara yang nyaris tidak berubah dari tahun ke tahun. Kita merayakan kelahiran Yesus melalui sebuah tradisi agama, melalui ritual yang hampir rigid. Kita beramai-ramai ke tempat ibadah melakukan doa demi doa, mendengar cerita demi cerita yang hampir menjadi acara sosial tahunan. Barangkali sudah saatnya kita lebih mendalami kehidupan dan ajaran Yesus melalui sepasang kacamata baru, dan keberanian yang pernah diajarkan Yesus sendiri untuk mempunyai kesadaran yang kritis.

Selamat Natal dan Tahun Baru 2009, semoga kebahagiaan sejati senantiasa beserta anda semua.

Tidak ada komentar: