Kamis, 11 November 2010

Derita di Gerimis Sore

Sore itu gerimis kecil turun. Aku baru saja keluar dari sebuah gedung di bilangan Blok M, dan kulihat beberapa orang berlari kecil menyeberang jalan di depan gedung sambil menutup kepala mereka dengan apa saja yang bisa digunakan. Beberapa anak berpayung berdiri di depan pintu gedung menawarkan jasa payung mereka, menunggu penyewa dadakan. Udara terasa hangat meski hujan mulai membasahi jalanan.

Aku berusaha mencari taksi, namun entah kenapa, di tempat itu jarang kulihat taksi kosong melintas. Karena rasanya terlalu lama menunggu dan tidak satupun ada taksi muncul, aku memutuskan untuk menggunakan transportasi umum yang lebih murah, bus TransJakarta. Blok M adalah terminal akhir yang besar. Setelah membeli tiket masuk, sambil berjalan ke arah shelter penungguan bus, kuamati kondisi gang yang membawaku ke sana. Betapa kotor dan sangat seadanya. Penjaga gerbang masuk terlihat terkantuk lelah dan bosan memperhatikan setiap orang yang memasukkan tiket ke slot di gerbang itu. Beberapa pengemis (masih muda2) duduk di tangga mengacungkan tangan atau gelas plastik bekas air mineral, meminta-minta. Shelter penungguan bus tidak kalah kotornya. Di ruang sempit panjang itu udara terasa pengap, ventilasi udara tidak berjalan baik, lampu tidak ada yang menyala untuk menerangi ruang yang mulai temaram, dan para calon penumpang semakin berdesakan karena berkelompok, tidak antri dalam barisan.

Rasa menyesal mulai muncul karena ketidaksabaranku tadi untuk menunggu taksi sedikit lebih lama, dan sekarang terjebak dalam sebuah sistem angkutan umum yang kelasnya jauh di bawah taksi. Ah, mestinya aku tunggu sedikit lama lagi, aku bisa kok bayar yang lebih mahal daripada tiket TransJakarta ini. Tapi itu hanya penyesalan masa lalu, dan disinilah aku sekarang. Aku terjebak dalam antrian yang sesak, pengap, gelap, bau keringat, dan saat itu pula berbagai pikiran negatif mendadak berebut muncul dan serta-merta mengidentifikasi berbagai fenomena di luar sebagai negatifitas.

Penghakiman mulai muncul dalam pikiran, bahwa semua hal negatif ini disebabkan oleh korupnya rejim pemerintahan DKI Jakarta. Berbagai pertanyaan dan juga gugatan mulai muncul, seperti, mengapa mereka tidak memperhatikan kebutuhan dasar warga berupa transportasi publik yang memadai dan bertarif murah, padahal itu adalah sebuah kewajiban mereka sebagai pelayan publik? Mengapa rejim sekarang tidak mau memelihara dan memperbaiki moda transportasi yang sudah diawali oleh rejim sebelumnya? Kemana saja uang rakyat yang sudah disetor melalui pajak? Mana bukti bahwa rejim ini adalah ahli dalam mengurus ibukota jika menyediakan transportasi layakpun tidak becus?

Pikiranku terus mengejar seseorang atau sesuatu, sebagai yang dapat dijadikan hulu dari segala kesalahan dan ke-negatif-an kondisi yang aku hadapi sekarang ini. Gambar Gubernur DKI yang bentuk kumis dan senyumnya yang menjadi tidak lucu, melintas di pikiranku. Seolah fenomena di sekitarku berdiri sendiri sebagai sebuah kenyataan dan berupa sekelompok hal negatif yang harus aku hadapi pada saat itu. Seolah rasa penderitaanku adalah akibat dari dosa besar yang berasal dari perbuatan sekelompok atau seseorang, paling tidak Gubernur.

Penghakiman seperti ini terus berlangsung dalam pikiranku. Rasanya aku berada di pihak yang benar. Rasanya aku mempunyai hak untuk menghakimi para pengurus ibukota ini, para pengurus negri ini. Rasanya aku mempunyai hak untuk menunjukkan ketidakbecusan kerja mereka sesuai dengan ukuran-ukuran yang kupunyai, paling tidak saat itu.

Pikiranku yang sibuk menambah rasa pengap shelter di Blok M ini. Kemarahan lalu muncul dari rasa frustasi. Kemarahan karena aku merasa diperlakukan tidak adil. Frustasi karena aku dipaksa harus menerima kondisi yang tidak kusukai. Waktu tunggu terasa begitu lama.

Akhirnya bus yang kutunggu datang juga, setelah lewatnya beberapa bus yang langsung dipenuhi antrian di depanku. Akupun masuk bus dan berdiri berpegangan gantungan tangan. Di dalam bus yang jauh lebih sejuk dibanding dengan shelter yang baru saja aku tinggalkan, beberapa pikiran masih menggantung, terutama melihat kondisi bus yang sudah mulai terlihat tidak dirawat dengan baik. Kondisi bus terlihat compang-camping. Gantungan yang aku pegang-pun talinya sudah mulai terkoyak sedikit di sana sini. Penghakiman-pun makin menjadi dalam pikiranku. Sungguh, pikiranku sangat sibuk dan aku tidak lagi memperhatikan sekelilingku.

Beberapa saat kemudian, barulah aku sadari bahwa pikiranku telah jauh dibawa kesana-kemari. Pikiranku dibawa oleh sebuah ketidaksadaran yang melompat kesana kemari, dan cenderung menghakimi segala sesuatu, yang dalam skenario yang kuciptakan menjadi penyebab sebuah kondisi yang kusebut sebagai “derita” yang ternyata juga kuciptakan sendiri. Ya, derita itu kuciptakan sendiri, sebagai turunan dari hasil penghakiman yang kubuat. Ini terbukti bahwa beberapa orang di sekitarku masih bisa bercanda, meski berada dalam kondisi yang sama dengan yang sedang aku alami. Mereka bisa tertawa lepas, dan kuat dugaanku bahwa mereka tidak merasakan apa yang aku rasakan sebagai penderitaan. Aku yakin bahwa semua kondisi yang mereka alami sama dengan yang aku alami. Namun ada beda dalam mem-persepsikan-nya. Barangkali mereka menerimanya dengan ikhlas, sudah biasa, atau tidak berprasangka buruk, bahkan tidak menghakimi siapapun. Mereka menerima keadaan apa adanya.

Kesadaranku terus berkembang dalam perjalanan pulang di atas bus. Dan betul, deritakupun berangsur hilang dengan sendirinya.

Dalam kehidupan, banyak derita yang terciptakan oleh pikiran sendiri. Banyak pula setelah itu, kesalahan dilimpahkan kepada seseorang, sesuatu, bahkan Tuhan yang berada di luar dirinya, untuk minta pertanggungjawaban karena menciptakan derita yang kita rasakan. Banyak orang berpendapat bahwa deritanya adalah kehendak Allah. Sebuah penghakiman yang disampaikan secara lebih sopan, meski esensinya sama.

Namun aku yakin, disinilah awal kesadaran kita untuk berbahagia dalam kehidupan, dengan memahami apa itu penderitaan, dan bagaimana sebuah derita mengada.


Harikunjunganobamakeindonesia
Kemacetandimanamana
9november2010

Tidak ada komentar: