Jumat, 05 November 2010

Ibu Pertiwi

Berbagai berita tersebar melalui layar kaca, koran, internet, telepon selular dan sebagainya. Bencana Jogja menyita perhatian hampir semua warga Indonesia, bahkan manca negara. Para pengungsi yang terlantar, ketakutan, kesakitan, meninggal, banyak mendominasi berita beberapa hari terakhir ini.

Hati terguncang dan mata tergenang.

Rasanya belum lama negeri ini diramaikan berbagai berita tentang korupsi, gambaran ketamakan para pejabat publik akan uang haram, karena berasal dari keringat rakyat yang seharusnya dilayani. Belum lama juga negeri ini semarak oleh berita tentang kekerasan manusia yang beragama terhadap manusia lainnya, gambaran kesombongan manusia yang mengkapling kebenaran dan menghujat keberagaman, yang justru merupakan kearifan alam.

Begitu banyak berita yang menggambarkan para manusia yang tidak menyadari apa yang sedang dilakukan. Cerminan nyata dari ketidaksadaran kolektif tentang kebersamaan dalam keberagaman, tentang perlunya saling mengasihi dan memperhatikan manusia lainnya terlepas dari kotak-kotak dan kapling-kapling kebenaran semu yang disebut agama. Ketidaksadaran manusia akan nilai-nilai universal yang menembus batas-batas sosial, ekonomi, dan religi. Ketidaksadaran manusia akan hubungannya dengan bumi, dengan Ibu Pertiwi yang melahirkan segala kehidupan di haribaannya. Ketidaksadaran manusia akan hubungannya dengan energi semesta.

Aku hanya merenung menyaksikan dan membaca segala kejadian yang sedang berlangsung begitu nyata, begitu menyentuh rasa dan menggugah kesadaran batin.

Sedikit teguran dari bumi melalui mulut Merapi mengingatkan bahwa manusia semua sama dihadapan Ibu Pertiwi. Kaya - miskin, laki - perempuan, tua - muda, besar - kecil, semua berhubungan dengannya. Sentuhan lengan dan jemari panas Merapi menyentil kesadaran manusia bahwa seharusnya manusia sungguh merupakan bagian sangat kecil dari seluruh sistem semesta. Sendawa Merapi menyadarkan manusia bahwa semestinya manusia hidup senafas dengan Pertiwi. Aliran energi dahsyat Merapi menyadarkan manusia bahwa seharusnya kehidupan kita mengalir dan selaras dengan energi alam semesta.

Bumi adalah sosok Ibu yang hidup, mempunyai kebajikan dalam memberi nafas kehidupan anak-anaknya, dengan semangat memberi segala kebaikan dan menerima segala keburukan. Betapa kekayaan bumi terbukti mampu menghidupi segala isinya selama jutaan masa. Betapa kearifan Pertiwi terbukti mampu menerima segala keburukan yang diciptakan anak-anaknya dan kemudian menyeimbangkan dengan berbagai cara yang sungguh diluar jangkauan nalar manusia.

Namun apa yang sudah diperbuat oleh manusia terhadap sang Ibu? Manusia tetap berada pada ketakutan egotistik, berada pada kebodohan dan kegelapan batin dalam merespon kasih yang ditawarkan sang Ibu. Segala kebodohan manusia kemudian mengeras dan berubah bentuk menjadi kesombongan bahwa bumi berada dalam genggaman kekuasaannya. Ketakaburan luar biasa yang menghilangkan kerendahan hati dalam berhubungan dengan sang Ibu Pertiwi. Sang Ibu tetap mengasihi dan menegur dengan caranya sendiri. Berbagai kesombongan manusia tidak pernah mampu menahan teguran sang Ibu. Gedung dan bangunan megah, peralatan mutakhir, kecerdasan otak, kepandaian para pemimpin masyarakat, kekayaan materi, bahkan doa-doa dalam agama yang dipercaya sebagai sabda Tuhan. Semua tidak mampu membendung dan membelokkan teguran dan jamahan Ibu.

Dalam sejarah kehidupan manusia, teguran-teguran Pertiwi selalu ada. Selalu berulang dan selalu memberikan ruang untuk merenungkan segala perilaku manusia dalam rentang masa sekarang ini. Namun adakah perbaikan dalam pikiran, kesadaran dan perilaku manusia, terutama ketika manusia secara intens berinteraksi dengan sang Ibu? Rasanya tidak.

Perusakan habitat hidup terus menerus dilakukan bahkan dalam skala yang mengerikan. Pengurangan kemampuan daya dukung lingkungan terus menerus digerogoti dengan sistematis tanpa diimbangi dengan perbaikan dan pemulihan. Demi apakah semua ini dilakukan? Rasanya hanya ketamakan sebagai muaranya. Ketamakan yang berdasar pada rasa ketakutan akan kehilangan kenikmatan hidup, meski pada akhirnya kenikmatan hidup adalah ilusi dan fantasi ketika daya dukung dilemahkan dengan sengaja. Sebuah lingkaran iblis yang meracuni pikiran manusia, dan menimbulkan kebodohan yang diturunkan dari generasi ke generasi sehingga beranak-pinak secara subur bagai kanker yang liar berkembang di permukaan bumi.

Masih adakah kata yang tersisa untuk mengutuk Ibu Pertiwi setelah kita memperkosa Ibu kita sendiri?





masihtersisaairmata
menjelangtengahmalam
5november2010

Tidak ada komentar: