Selasa, 04 Maret 2008

Pengalaman Bertemu Tuhan

Pengalaman bertemu dengan Tuhan sangatlah pribadi sifatnya. Banyak contoh yang sudah ditulis dalam berbagai buku. Ada satu pertanyaan yang cukup menggelitik ketika aku berbincang dengan rekanku, seorang doktor di bidang lingkungan.

Siang itu kami duduk-duduk di kantor, di ruang rapat. Pembicaraan mulai dari pekerjaan,sampai akhirnya menyentuh ritual keagamaan karena sebentar lagi umat Islam merayakan hari besar Iedul Fitri. Pembicaraan tentang agama selalu menarik bagiku, entah kenapa, barangkali karena selalu aku merasa bahwa banyak hal yang perlu dikritisi dalam agama. Sikap kritis ini bagiku penting karena bagi banyak orang, agama sangat mempengaruhi kehidupan mereka, dan tidak sedikit yang kemudian menyalahpahami hakikat sebuah agama.

Dalam praktek kehidupan sehari-hari, banyak terbukti bahwa penerapan hakikat agama tidaklah sebaik apa yang diajarkan oleh para pelopor agama. Mungkin benar artikel dalam sebuah harian bahwa ada semacam pemisahan antara ritual keagamaan dengan praktek hidup sehari-hari, dan keduanya tidaklah saling mempengaruhi. Misalnya, seseorang sangat rajin dalam menjalankan ritual keagamaan dan mengenakan/mempertontonkan simbol-simbol keagamaan, namun perilakunya bisa jauh dari aturan-aturan agama, misalnya korupsi dan merugikan serta menyakiti banyak orang lain. Ada juga perlakuan yang mengatasnamakan agama namun untuk menyengsarakan bahkan membunuh orang lain. Bentuk paling ‘lunak’ dari kesalahpahaman hakikat keagamaan ini adalah menganggap bahwa agamanya adalah yang paling benar. Namun, bentuk paling lunak ini sangat berpotensi untuk menjadi kejahatan kemanusiaan yang amat besar.

Siang itu, pembicaraan kami tentang agama semakin lengkap, sampai pada ide tentang Tuhan, dan bagaimana seseorang bertemu dengan Tuhannya. Kami sepakat bahwa agama mempunyai dimensi personal. Sebuah dimensi dari banyak dimensi agama, misalnya: simbol, kelompok, spiritual, mistik, kultural, dan sebagainya. Pertemuan dengan Tuhan merupakan pengalaman yang sangat pribadi, karena menyangkut kerangka referensi (frame of reference) dari masing-masing orang. Seseorang bisa bertemu dengan Tuhan ketika berada pada penderitaannya yang sangat, atau berada pada perasaan bahagia yang elatif.

Pengalaman pertemuan dengan Tuhan begitu personalnya, sehingga tidak dapat digeneralisiasi menjadi sebuah pertemuan berjemaah, atau pertemuan kelompok. Sehingga, ritual keagamaan yang senantiasa dilakukan berkelompok, tidaklah menjamin bahwa pesertanya dapat mengalami apa yang disebut sebagai penyatuan antara ‘kawula-Gusti’, pengalaman manunggal dalam energi kasih ilahi, pengalaman dalam penyatuan diri dengan Tuhan. Adalah sebuah ilusi bahwa jika kita masuk ke dalam sebuah rumah peribadatan (yang biasanya disucikan), lalu kita berpikir masuk ke dalam rumah Tuhan dan akan bertemu dengan yang empunya rumah, Tuhan sendiri. Rumah ibadat bukanlah rumah Tuhan, itu merupakan bangunan semata. Juga adalah ilusi bahwa semakin banyak jumlah manusia meminta sesuatu kepada Tuhan, maka Tuhan akan semakin ‘terdesak’ dan makin merasa kasihan, lalu mengabulkan permintaan para pemintanya. Bagiku, konsep ‘jumlah’ yang dianut oleh manusia tidaklah relevan dengan ke’maha’an Tuhan.

Tuhan tidak berada dalam rumah peribadatan. Tuhan tidaklah relevan bila dibandingkan dan disandingkan dengan dimensi ruang dan waktu manusia, apalagi hanya sebatas sebuah bentuk bangunan atau jumlah kelompok manusia. Dia ada dan hidup dalam pikiran serta batin seseorang, sudah ada sejak semula dan akan ada selamanya sebagai elemen dasar spiritualitas manusia dan segenap makhluk serta apapun di dunia ini, bahkan di semesta ini. Dia merupakan keberadaan itu sendiri. Dia tidak memerlukan sembah sujud, penghormatan, pembelaan, dan kasih manusia. Dialah sumber dari segala sumber kesucian di bumi ini, sumber segala kasih.

Dalam Buddhisme dikenal bahwa: ‘kesucian tidak muncul dari suatu tradisi atau dari sebuah metoda atau dari sebuah agama. Hanya ada satu kesucian dasar yang diajarkan Buddha, kesucian yang membebaskan, dan itu adalah kesucian pikiran, kebebasan dari keserakahan, kebencian dan kegelapan batin.’ Hanya dengan kesucian seperti itulah maka manusia akan bertemu dengan Tuhannya, bertemu dengan Hyang Agung, dengan sumber semesta, dengan kebahagiaan sejati.

Agus Widianto – Oktober 2007

Tidak ada komentar: