Selasa, 18 Maret 2008

PERUBAHAN dan PENDERITAAN

Sore itu saya berjalan di jembatan yang melintas di atas ujung Danau Laut Tawar di Takengon, Aceh Tengah. Udara mulai menusuk tulang, jaket jeans yang saya kenakan masih dengan mudah ditembus sentuhan dinginnya udara sore itu. Suasana danau begitu tenang, seperti terlihat dalam gambar di sebelah ini. Satu dua lampu mulai menyala, seolah mengisyaratkan sedang terjadinya sebuah proses pergantian antara siang menuju malam, antara terang menuju gelap. Matahari menyurutkan intensitas cahayanya untuk memberikan kesempatan kepada sejuknya cahaya bulan menemani sebagian makhluk hidup di bumi ini untuk berhenti sejenak memulihkan energi kehidupan yang sudah terkuras di siang hari. Sebuah jeda yang diperlukan untuk memperbaiki milyaran sel dalam tubuh yang rusak, mengganti milyaran sel yang mati dengan sel hidup, agar tubuh kembali siap keesokan harinya, menjalani masa kehidupan yang baru. Proses di luar tubuh kita maupun proses di dalam tubuh kita terus berlangsung tanpa henti. Perubahan demi perubahan senantiasa kita alami. Tidak ada setu sel-pun yang berhenti berproses, semuanya berubah, semuanya timbul dan tenggelam, semuanya hidup dan mati. Kehidupan dan kematian senantiasa terjadi setiap saat, sepanjang masa. Energi kehidupan senantiasa berdenyut dan bergetar tanpa henti, baik dalam siklus nano detik dalam sebuah atom sampai siklus milyar tahun di semesta. Tidak ada yang tidak berubah, tidak ada yang abadi. Hanya perubahan itulah yang abadi.

Perubahan merupakan hal yang alamiah, sebuah proses yang tidak dapat dikurangi, dihindari, apalagi dicegah dan dihentikan. Maka sangatlah tepat bahwa salah satu dari tiga pilar kehidupan dalam prinsip yang diajarkan Buddha adalah perubahan (impermanence), selain dua lainnya: dukkha (penderitaan) dan annatta (tanpa diri). Perubahan adalah tanda kehidupan. Bahkan yang disebut “kematian” dalam konsep manusia, sebenar-benarnya hanyalah sebuah perubahan dari konsep “kehidupan” ke konsep “kematian”. Dan yang dipahami sebagai “kematian” oleh manusia, sebenarnya adalah kehidupan dalam bentuk yang lain. Misalnya, bentuk hidupan baru berupa belatung, dekomposisi oleh bakteri yang tetap hidup, tubuh yang berubah menjadi cairan nutrisi yang menghidupkan tanaman, dan bentuk-bentuk hidupan lain. Jadi, kematian adalah perubahan dari kehidupan berbentuk manusia ke kehidupan dalam bentuk lain. Kematian, yang dipahami sebagai sebuah perhentian proses kehidupan, bukanlah sebuah kebenaran, namun hanyalah konsep dalam pikiran manusia.

Meskipun demikian, ternyata tidak sedikit manusia yang ingin menggenggam kehidupan tanpa mau mengalami perubahan. Segala upaya dilakukan untuk mempertahankan kehidupan yang tetap dan tak berubah. Baik dalam dimensi jasmani, ataupun dimensi lain misalnya kekayaan, pangkat, ide, dan hal lain yang sebenarnya hanya ilusi, dan yang pasti mengalami proses perubahan juga. Banyak orang yang takut berubah, karena perubahan selalu menuju ke suatu titik baru yang tidak dikenal sebelumnya, dan meninggalkan titik lama yang sudah dikenal dan sudah memberikan rasa nyaman selama ini. Terdapat banyak kecemasan dan ketakutan untuk masuk ke dalam kondisi yang belum pernah dialami sebelumnya. Ketakutan demi ketakutan terus terkumpul dan mengendap dalam segenap sel di tubuh kita.

Keinginan untuk menggenggam kehidupan dan menghindari perubahan merupakan pengingkaran terhadap hukum alam, merupakan sebuah ilusi. Hidup ibarat air terjun yang terus mengalir, dan manusia berusaha menggenggam air terjun itu. Sebuah kemustahilan yang melelahkan dan menimbulkan derita. Manusia yang merupakan bagian dari alam sudah seharusnya menerima segala hukum alam yang berlaku, dan hidup selaras dengannya. Pengingkaran terhadap hukum alam tersebut mendatangkan beban dan penderitaan yang besar. Inilah awal dari derita berkepanjangan yang seringkali tidak kita sadari.

Jakarta, 10 Maret 2008

Tidak ada komentar: