Selasa, 01 April 2008

Bagaimana Mencapai Hidup Bahagia?


Ilmu bahagia, meski ada yang mengatakan “ ..There are no scientific ways to achieve happiness or to improve it..” adalah merupakan sebuah ilmu (kalau boleh disebut sebagai ilmu) spiritual. Olah pikiran (minds) merupakan salah satu pelajaran yang terpenting, dan justru dari situlah dasarnya. Mutu kehidupan yang biasanya diukur dari segi materi (kesehatan, makan minum, latihan badan) tidak serta merta memberikan anugerah kebahagiaan.

Men do not live by bread alone. Seringkali manusia memang lupa bahwa mereka adalah makhluk amphibi, hidup di dua alam: materi dan spiritual. Kita adalah manusia spiritual yang hidup dalam dimensi materi, bukan sebagai manusia material yang mempunyai sisi spiritual. Pemahaman tentang realitas seringkali diterjemahkan dengan hal-hal yang terlihat, berwujud, bisa dicerap dengan panca indera. Persepsi tentang esensi hidup yang hanya berdasar atas kerja inderawi yang demikian seringkali menyesatkan, karena ukuran-ukuran tentang kehidupan yang dibentuk, misalnya: kebahagiaan, adalah ukuran yang hanya terpersepsikan oleh indera kita.

Kebahagiaan sendiri setahu saya bukanlah kata benda, melainkan kata kerja. Artinya, desiderata, strive to be happy, memang benar adanya. Kebahagiaan tidak datang begitu saja sebagai suatu kondisi, namun harus dilatih untuk mengalaminya. Kebahagiaan juga bukan merupakan pemberian dari siapapun, suatu anugerah, tapi harus secara aktif kita capai. Banyak metoda latihan yang dapat membantu mendatangkan kebahagiaan ini, dan yang pasti, tidak dalam bentuk kebahagiaan eksternal, namun merupakan kebahagiaan internal.

Hanya, kekeliruan juga potensial timbul ketika ada pendapat bahwa semakin keras kita berusaha (mencari, mencari dan mencari), semakin mudah kita mendapatkan kebahagiaan. Menurut pengetahuan saya, mengejar kebahagiaan dengan menggendong expectation (harapan) akan selalu berakhir dengan kekecewaan. Paradigma hidup perlu dirombak dari ‘expectation’ menjadi ‘acceptance’, karena hanya dengan meningkatkan ‘acceptance’ lah maka kekecewaan dapat diperkecil. Harapan biasanya selalu diboncengi oleh ego, meski dalam tingkatan yang sangat-sangat subtle. Pikiran kita biasanya bersifat tricky. Sehingga, selama kerja keras kita untuk mendapatkan kebahagiaan tetap diboncengi oleh ego, dan selama usaha kita itu (termasuk ‘doa’) tetap menggendong harapan untuk kebahagiaan (kesenangan) ego, maka potensi kekecewaan sudah menjadi bagian integral dalam usaha kita tersebut. Apabila mau bersikap obyektif, maka dapat kita lihat bahwa hampir setiap doa yang kita lantunkan bersifat meminta, dan dalam permintaan selalu ada peranan ego yang terselipkan. Coba amati dan periksa dengan teliti, pernahkah kita berdoa untuk orang lain, dan hanya untuk orang lain?

Kebahagiaan adalah fluktuatif dan relatif. Kebahagiaan demikian biasanya disebut sebagai kebahagiaan eksternal, dan bila lebih didalami, sebenarnya hanya merupakan kesenangan, bukan kebahagiaan sejati. Kebahagiaan eksternal (kesenangan yang bersifat sesaat) yang demikian, masih tergantung kepada faktor-faktor eksternal dari luar diri kita. Misalnya: kalau aku kaya, maka aku akan bahagia; kalau aku menjadi direktur perusahaan singkong, maka aku akan bahagia; kalau aku punya teman banyak, maka aku akan bahagia; kalau istriku yang cantik itu tetap mencintaiku, aku akan bahagia …, dan seterusnya. Kebahagiaan (atau kesenangan) kita ditentukan oleh faktor-faktor pendukung yang berasal dari luar diri kita, sehingga disebut sebagai kebahagiaan eksternal. Bila faktor-faktor pendukung tersebut runtuh satu persatu karena sifatnya yang tidak kekal, maka kebahagiaan eksternal-pun ikut tergoyahkan atau bahkan runtuh sama sekali.

Harapan, yang menjadi syarat untuk “berbahagia” mendatangkan hasilnya yang berupa kekecewaan. Kebahagiaan sejati adalah kebahagiaan internal, kebahagiaan yang bersumber dari dalam diri kita sendiri. Tidak ada faktor luar yang mempengaruhinya, sehingga bersifat lebih tetap dan tidak fluktuatif. Kebahagiaan sejati seperti ini bisa kita peroleh, dengan cara: membangkitkan Kerajaan Allah yang bersemayam dalam diri kita; membangunkan Buddha yang hidup dalam diri kita; menjadikan atman atau spirit sebagai pedoman hidup; membangkitkan sifat ke-ilahi-an dalam diri kita dan kita jadikan panglima dalam membimbing kehidupan kita ………

Salah satu ciri kebahagiaan internal adalah kebebasan dalam pikiran kita sendiri. Barangkali hal ini yang kemudian menjadikan kebahagiaan sebagai hak asasi manusia. Hak untuk mendapatkan kebebasan dalam berpikir. Kebebasan yang tidak lagi dikemudikan oleh ego, tidak lagi dibatasi oleh dogma tradisi, tidak lagi dikotakkan dalam batas materi, dan tidak lagi dikekang oleh ritual semata. Kebebasan berpikir yang ada merupakan penggunaan kesempatan dan kemampuan untuk menyelam ataupun mendaki ke dalam diri kita, membersihkan unsur-unsur diri kita, baik itu: persepsi, perasaan, wadag, konstruksi mental, maupun kesadaran. Proses purifikasi ini hanya mungkin dilakukan apabila kita berada dalam keheningan pikiran, dan bukan kesibukan atau gegap gempita ‘usaha’ kita untuk mencari kebahagiaan.

Sehingga memang benar bahwa, “Kebahagiaan makin dicari makin menjauh, makin elusif, makin lolos, makin lepas”. Saya juga percaya bahwa kebahagiaan diri bukanlah hanya merupakan “produk samping dari hal-hal lain”. Kebahagiaan seharusnya merupakan keadaaan yang paling tinggi dalam kehidupan kita, yang perlu kita alami. Karena, kebahagiaan sejati merupakan surga dalam kehidupan kita yang dapat kita dekati dan alami pada masa sekarang ini, tidak perlu menunggu setelah kita mati.

Akhirnya, adalah omong kosong kalau kita bisa membahagiakan orang lain, bila membahagiakan diri sendiri saja belum mampu.


Agus Widianto
Jakarta, 1 Juli 2005

Tidak ada komentar: