Selasa, 22 April 2008

Suatu Pagi di Lembur Pancawati

Lembur Pancawati adalah tempat penginapan yang terletak di kabupaten Bogor, kira-kira 3 km masuk dari pasar Cikreteg yang terletak di jalan dari Ciawi kearah Sukabumi. Sebuah tempat yang sangat sesuai untuk acara pertemuan kelompok.

Pagi itu seperti pagi yang lain, saat mentari belum juga timbul di ufuk timur. Udara masih terasa dingin karena jarum jam masih menunjuk sebelum angka lima. Yang membedakan pagi di Pancawati dengan pagi di Jakarta adalah kesunyiannya, juga udara bersihnya. Suara katak masih terdengar satu-satu, kokok ayam sayup-sayup menimpalinya. Udara yang agak basah terasa bening ketika melewati rongga hidung, bersih, memberi energi yang menyehatkan seluruh sel dalam tubuh ini.

Pelan-pelan kubuka pintu kamar dengan harap agar teman sekamarku tidak terbangun karena derik engsel yang mungkin jarang terminyaki. Dengan pelan aku menuju sebuah tempat yang telah menjadi kesenanganku selama dua hari ini, sebuah balkon sederhana dari jajaran bambu utuh yang menghadap ke lembah dan berseberangan dengan kebun terbuka di seberang lembah. Lampu di atas balkon tidak lagi menyala, sehingga gelap masih meliputi balkon itu. Langit masih menyimpan pekat meski semburat tipis cahaya mulai tergambar di ujung bukit di kejauhan.

Kududuk dengan posisi lotus, kubangun kesadaranku, kuperhatikan nafasku, serta kusatukan diriku dengan semesta. Kedamaian merayap menyelimutiku sehingga kehangatan energinya dapat kurasakan di sekujur tubuhku. Kesejukan angin pagi yang semilir semakin lama semakin tidak terasa. Sebuah ketentraman yang nyaman dan selalu menakjubkan.

Pagi itu adalah pagi kedua dalam acara sebuah retreat kantor kami, Yayasan Bina Usaha Lingkungan.

Retreat, yang memang bertujuan untuk berhenti sejenak, melihat kembali organisasi ini sampai ke ruh-nya yang paling dalam. Dengan panduan para fasilitator INSPIRIT yang sungguh piawai mendampingi dan mengarahkan kami, mbak Budhsi, mas Danni, mbak Dudu, mbak Gege, mas Dendy, kami menjalani proses selama dua hari dengan penuh semangat dan kegembiraan. Sebuah proses penting yang kami yakini akan mewarnai kehidupan berorganisasi kami di masa-masa selanjutnya.

Pada akhir retreat, kami merasa menemukan kembali ruh organisasi yang sudah lama pergi. Kami merasa menemukan kembali kebersamaan yang menggembirakan, semangat untuk bangkit dari kelayuan yang selama ini telah mewarnai organisasi yang kami cintai ini.

Ruh yang telah kembali lagi, telah memberikan keberanian bagi kami semua untuk berubah. Sebuah perubahan yang mungkin menyakitkan, namun harus kami lalui. Seperti tahap transformasi pada kehidupan seekor elang, yang menyakitkan namun memungkinkan dia untuk hidup lebih lama, dengan semangat yang baru, sebaru seorang bayi yang dilahirkan kembali …

Terimakasih para fasilitator, semoga transformasi ini akan berlanjut, menggumpal dan terus mengembang menjadi kekuatan baru untuk terus berbakti pada bangsa ini.


Lembur Pancawati,
April 2008

Selasa, 01 April 2008

PASKAH DALAM KEMAJEMUKAN

Paskah merupakan sebuah peristiwa penting bagi peningkatan keimanan Kristen, terutama karena kebangkitan Yesus menunjukkan kelebihan dan kebesaranNya dibandingkan dengan manusia biasa seperti saya, anda, kita, dan semua yang hidup dan pernah hidup di muka bumi ini. Ada hukum alam yang disangkal, yaitu hukum kematian. Hukum alam yang merupakan keniscayaan bagi segenap kehidupan, namun tidak berlaku bagi Yesus. Di situlah Yesus menunjukkan kelebihanNya dibanding dengan manusia yang hidup dalam siklus alam. Di situlah Yesus dianggap sebagai makhluk yang lebih besar keilahiannya, yang mampu lepas bebas dari hukum alam. Yesus bukan bagian dari alam ini, yang juga digambarkan dengan berbagai mukjijat yang diperbuatNya. Nilai keilahian yang diukur dengan bebas dari kematian inilah yang menjadi dasar keimanan Kristiani dalam memandang Yesus sebagai Anak Allah. Hanya dengan tingkat keilahian demikianlah maka hanya Yesus yang mampu menebus segala dosa manusia. Hanya melalui Yesus maka manusia bebas dari dosa dan siap masuk ke surga duduk di sebelah kanan Allah Bapa.

Kitab Suci juga bercerita tentang inti ajaran Yesus, yaitu cinta kasih. Tidak sekedar cinta, namun kasih yang tanpa syarat, bebas dari pamrih, dan tidak mementingkan diri sendiri. Kasih yang diajarkan Yesus ini sama dengan kasih yang diajarkan Buddha Gautama, meskipun dalam kehidupan sehari-hari manusia biasa seperti kita ini, seringkali sukar dipahami namun bisa dilakukan. Kasih yang sesungguhnya teramat besar ditunjukkanNya ketika “menyerahkan nyawanya bagi sesama”. Paulus yang telah mendapat pencerahan mencoba memahami jenis kasih yang demikian ini, dan mencoba menuangkannya dalam definisi menurut alam pikiran manusia sepertinya. Maka kemudian timbul ‘sifat-sifat’ kasih, seperti tertulis dalam surat pertamanya kepada umat di Korintus: “… kasih itu sabar, kasih itu murah hati, ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan … dan seterusnya. Meskipun definisi-definisi itu tidaklah cukup menggambarkan kasih yang sesungguhnya.

Sehingga, paling tidak ada dua hal yang esensial dari Kitab Suci: pertama, keilahian Yesus yang membedakan sosok Yesus dari manusia biasa melalui pembebasannya dari kematian; dan kedua, inti ajaran Yesus yang adalah kasih.

Dalam kehidupan yang mempunyai tatanan sosial yang majemuk, konsep penebusan Yesus melalui kematian dan kebangkitannya menjadi agak sukar dipahami. Karena, konsep demikian meninggalkan banyak pertanyaan, misalnya, apakah semua orang harus mempunyai iman Kristiani untuk sampai pada ajaran tentang kasih, atau dengan kata lain, dapatkah seseorang langsung memahami inti ajaran Yesus – kasih – tanpa harus menjadi seorang Kristen. Juga pertanyaan misalnya, apakah ajaran Yesus hanya berlaku untuk manusia beragama Kristen.

Jika ajaran Yesus mendunia dan berlaku untuk semua manusia di dunia ini karena pada dasarnya semua manusia mempunyai kemampuan untuk mengasihi, maka benarkah bahwa konsep penebusan Yesus melalui peristiwa Paskah menjadi tidak mutlak harus terjadi, dan harus menjadi dasar kita mengasihi?

Akhirnya, kasih seharusnya tidaklah harus selalu dikaitkan dengan agama, karena Allah yang menjadi sumber kasih ternyata tidak beragama.


Agus Widianto
Paskah, 2008

Apakah Yang Disebut Realitas?

Realitas menurut David Bohm, UC Berkely, 1977

Reality is what we take to be true. What we take to be true is what we believe. What we believe is based upon our perceptions. What we perceive depends upon what we look for. What we look for depends on what we think. What we think depends on what we perceive. What we perceive determines what we believe. What we believe determines what we take to be true. What we take to be true is our reality.


Terjemahan bebasnya kira-kira:

Realitas adalah apa yang kita anggap benar. Yang kita anggap benar adalah apa yang kita yakini. Yang kita yakini berdasar atas persepsi kita. Apa yang kita persepsikan tergantung dari apa yang kita cari. Yang kita cari tergantung dari apa yang kita pikirkan. Yang kita pikirkan tergantung dari apa yang kita persepsikan. Yang kita persepsikan menentukan apa yang kita yakini. Yang kita yakini menentukan apa yang kita anggap benar. Yang kita anggap benar adalah realitas kita.

Bagaimana Mencapai Hidup Bahagia?


Ilmu bahagia, meski ada yang mengatakan “ ..There are no scientific ways to achieve happiness or to improve it..” adalah merupakan sebuah ilmu (kalau boleh disebut sebagai ilmu) spiritual. Olah pikiran (minds) merupakan salah satu pelajaran yang terpenting, dan justru dari situlah dasarnya. Mutu kehidupan yang biasanya diukur dari segi materi (kesehatan, makan minum, latihan badan) tidak serta merta memberikan anugerah kebahagiaan.

Men do not live by bread alone. Seringkali manusia memang lupa bahwa mereka adalah makhluk amphibi, hidup di dua alam: materi dan spiritual. Kita adalah manusia spiritual yang hidup dalam dimensi materi, bukan sebagai manusia material yang mempunyai sisi spiritual. Pemahaman tentang realitas seringkali diterjemahkan dengan hal-hal yang terlihat, berwujud, bisa dicerap dengan panca indera. Persepsi tentang esensi hidup yang hanya berdasar atas kerja inderawi yang demikian seringkali menyesatkan, karena ukuran-ukuran tentang kehidupan yang dibentuk, misalnya: kebahagiaan, adalah ukuran yang hanya terpersepsikan oleh indera kita.

Kebahagiaan sendiri setahu saya bukanlah kata benda, melainkan kata kerja. Artinya, desiderata, strive to be happy, memang benar adanya. Kebahagiaan tidak datang begitu saja sebagai suatu kondisi, namun harus dilatih untuk mengalaminya. Kebahagiaan juga bukan merupakan pemberian dari siapapun, suatu anugerah, tapi harus secara aktif kita capai. Banyak metoda latihan yang dapat membantu mendatangkan kebahagiaan ini, dan yang pasti, tidak dalam bentuk kebahagiaan eksternal, namun merupakan kebahagiaan internal.

Hanya, kekeliruan juga potensial timbul ketika ada pendapat bahwa semakin keras kita berusaha (mencari, mencari dan mencari), semakin mudah kita mendapatkan kebahagiaan. Menurut pengetahuan saya, mengejar kebahagiaan dengan menggendong expectation (harapan) akan selalu berakhir dengan kekecewaan. Paradigma hidup perlu dirombak dari ‘expectation’ menjadi ‘acceptance’, karena hanya dengan meningkatkan ‘acceptance’ lah maka kekecewaan dapat diperkecil. Harapan biasanya selalu diboncengi oleh ego, meski dalam tingkatan yang sangat-sangat subtle. Pikiran kita biasanya bersifat tricky. Sehingga, selama kerja keras kita untuk mendapatkan kebahagiaan tetap diboncengi oleh ego, dan selama usaha kita itu (termasuk ‘doa’) tetap menggendong harapan untuk kebahagiaan (kesenangan) ego, maka potensi kekecewaan sudah menjadi bagian integral dalam usaha kita tersebut. Apabila mau bersikap obyektif, maka dapat kita lihat bahwa hampir setiap doa yang kita lantunkan bersifat meminta, dan dalam permintaan selalu ada peranan ego yang terselipkan. Coba amati dan periksa dengan teliti, pernahkah kita berdoa untuk orang lain, dan hanya untuk orang lain?

Kebahagiaan adalah fluktuatif dan relatif. Kebahagiaan demikian biasanya disebut sebagai kebahagiaan eksternal, dan bila lebih didalami, sebenarnya hanya merupakan kesenangan, bukan kebahagiaan sejati. Kebahagiaan eksternal (kesenangan yang bersifat sesaat) yang demikian, masih tergantung kepada faktor-faktor eksternal dari luar diri kita. Misalnya: kalau aku kaya, maka aku akan bahagia; kalau aku menjadi direktur perusahaan singkong, maka aku akan bahagia; kalau aku punya teman banyak, maka aku akan bahagia; kalau istriku yang cantik itu tetap mencintaiku, aku akan bahagia …, dan seterusnya. Kebahagiaan (atau kesenangan) kita ditentukan oleh faktor-faktor pendukung yang berasal dari luar diri kita, sehingga disebut sebagai kebahagiaan eksternal. Bila faktor-faktor pendukung tersebut runtuh satu persatu karena sifatnya yang tidak kekal, maka kebahagiaan eksternal-pun ikut tergoyahkan atau bahkan runtuh sama sekali.

Harapan, yang menjadi syarat untuk “berbahagia” mendatangkan hasilnya yang berupa kekecewaan. Kebahagiaan sejati adalah kebahagiaan internal, kebahagiaan yang bersumber dari dalam diri kita sendiri. Tidak ada faktor luar yang mempengaruhinya, sehingga bersifat lebih tetap dan tidak fluktuatif. Kebahagiaan sejati seperti ini bisa kita peroleh, dengan cara: membangkitkan Kerajaan Allah yang bersemayam dalam diri kita; membangunkan Buddha yang hidup dalam diri kita; menjadikan atman atau spirit sebagai pedoman hidup; membangkitkan sifat ke-ilahi-an dalam diri kita dan kita jadikan panglima dalam membimbing kehidupan kita ………

Salah satu ciri kebahagiaan internal adalah kebebasan dalam pikiran kita sendiri. Barangkali hal ini yang kemudian menjadikan kebahagiaan sebagai hak asasi manusia. Hak untuk mendapatkan kebebasan dalam berpikir. Kebebasan yang tidak lagi dikemudikan oleh ego, tidak lagi dibatasi oleh dogma tradisi, tidak lagi dikotakkan dalam batas materi, dan tidak lagi dikekang oleh ritual semata. Kebebasan berpikir yang ada merupakan penggunaan kesempatan dan kemampuan untuk menyelam ataupun mendaki ke dalam diri kita, membersihkan unsur-unsur diri kita, baik itu: persepsi, perasaan, wadag, konstruksi mental, maupun kesadaran. Proses purifikasi ini hanya mungkin dilakukan apabila kita berada dalam keheningan pikiran, dan bukan kesibukan atau gegap gempita ‘usaha’ kita untuk mencari kebahagiaan.

Sehingga memang benar bahwa, “Kebahagiaan makin dicari makin menjauh, makin elusif, makin lolos, makin lepas”. Saya juga percaya bahwa kebahagiaan diri bukanlah hanya merupakan “produk samping dari hal-hal lain”. Kebahagiaan seharusnya merupakan keadaaan yang paling tinggi dalam kehidupan kita, yang perlu kita alami. Karena, kebahagiaan sejati merupakan surga dalam kehidupan kita yang dapat kita dekati dan alami pada masa sekarang ini, tidak perlu menunggu setelah kita mati.

Akhirnya, adalah omong kosong kalau kita bisa membahagiakan orang lain, bila membahagiakan diri sendiri saja belum mampu.


Agus Widianto
Jakarta, 1 Juli 2005