Sabtu, 05 Juni 2010

Bebaskah manusia memilih dan bagaimana mengasihi?

Hidangan makanan sore itu sudah tersedia. Kami berdelapan duduk di sebuah rumah makan khas Sunda di bilangan Pasir Kaliki, Bandung. Diskusi bergerak dari rencana program biogas di Pangalengan ke masalah spiritual.

Seorang kolega senior yang juga pendeta sedang memaparkan pandangan orang Kristen tentang norma-norma yang dianut dalam agamanya. Tuhan sudah memberikan panduan untuk hidup, yang tertulis di Kitab Suci orang Kristen. Kemudian Tuhan bersabda bahwa manusia harus mengikuti apa yang telah ditulis di kitab itu. Namun pak Pendeta juga mengatakan bahwa manusia sebetulnya mempunyai pilihan, semacam wewenang untuk memutuskan, apakah dia mengikuti aturan di Kitab Suci, atau tidak mengikutinya. Kalau tidak mengikuti maka akibatnya kelak dia tidak akan mendapat surga.

Pilihan yang sebetulnya bukan pilihan. Dengan pilihan seperti itu maka Tuhan sebenarnya tidak memberikan wewenang apapun bagi manusia untuk memilih. Siapa diantara manusia yang tidak ingin mendapat surga?

Benarkah itu pemaksaan dari Tuhan?

Bagaimana manusia yang tidak paham akan Kitab Suci?

Bukankah kebebasan yang ditawarkan Tuhan menjadi sangat mengungkung?

Betulkah sebuah Kitab Suci menjadi aturan yang mengancam seperti halnya sebuah undang-undang dengan ancaman penjara?

Banyak lagi yang kami diskusikan dengan hangat diseling menikmati tempe bacem, ayam goreng laos, lalap dan sambel cikur yang ekstra pedas. Diskusi baru selesai sekitar jam setengah delapan malam, tanpa harus ada kesepakatan.

Di tengah perjalanan pulang ke Jakarta, pak Pendeta dan saya banyak berbincang melanjutkan beberapa hal yang didiskusikan tadi. Salah satunya adalah pemahamanku akan ajaran2 Buddha, meski aku pernah dibaptis secara Katolik. Pak Pendeta bertanya kepadaku:" .. tidakkah menjadi bingung ketika menjadikan beberapa ajaran menuntun kehidupanmu .. ? Aku jawab " .. samasekali tidak .."

Yesus mengajarkan kasih. Buddha mengajarkan nilai yang sama. Pada saat intisari ajaran Kitab Suci "kasih" diambil sebagai panduan utama, maka interpretasi tidak lagi diperlukan. Kasih memang tidak interpretatif. Dia hanya bisa dipahami dengan keheningan batin dan kebersihan pikiran. Sayang dalam Kitab Suci Kristen tidak diajarkan secara jelas bagaimana memahami kasih dan melakukannya. Idiom "kasihilah sesamamu seperti engkau mengasihi dirimu sendiri .. " masih interpretatif dan memungkinkan menjurus kepada egotistik.

Bagiku, masalahnya bukan bagaimana mengasihi diri, karena yang namanya "diri" juga perlu dipahami dengan benar. Menurutku, diri adalah ilusi, gambar yang kita ciptakan sendiri sehingga seolah kita merupakan sebuah makhluk yang solid, mempunyai bentuk diri. Yang penting adalah bagaimana kita bisa memiliki energi kasih dalam batin kita, dan barulah energi itu kita bagikan kepada sesama. Dengan pemahaman itu, diri bukan lagi obyek untuk kita kasihi, namun subyek yang penuh kasih.

Sore hari di rumah,
5 Juni 2010

Tidak ada komentar: