Sabtu, 19 Juni 2010

Kemaksiatan komunal

Baru-baru ini ada pembongkaran patung Tiga Mojang yang dianggap tidak senonoh karena menggambarkan perempuan berbaju seksi. Di salah satu postingan note temanku, dia mengatakan bahwa betapa kemaksiatan ada dalam pikiran yang kotor, dan patungpun dianggap bisa menimbulkan birahi. Sebuah sinyalemen bahwa martabat para lelaki pembongkar patung adalah amat sangat rendah, ketika birahi-pun bisa muncul hanya karena melihat sebuah patung.

Aku sepakat dengan pendapat temanku, bahwa kemaksiatan hanya ada dalam pikiran, bukan pada patung. Peristiwa pembongkaran patung Tiga Mojang merupakan sebuah perilaku yang menarik untuk dipahami lebih lanjut.

Bagiku, manusia hidup dalam dinamika stimuli - respon. Stimuli adalah hal2 yang berada "diluar" diri manusia dan hal2 yang terbangkitkan dari pikiran dan "di dalam" diri manusia. Respon adalah bagaimana kesadaran kita menanggapi stimuli tersebut. Misalnya, sekarang aku sedang menulis isi blog ini. Ada stimuli di luar diriku berupa: hawa panas Jakarta, suara orang menyapu pakai sapu lidi di luar sana, lalu-lalang kendaraan di jalan depan rumah, suara kelentang-kelenting piring orang makan di dapur, atau yang timbul dari dalam diriku seperti haus yang aku rasakan, dan sebagainya. Semua adalah dinamika yang perlu aku hadapi dengan bijaksana. Pikiran dan cara serta tindakan yang aku lakukan terhadap stimuli ini merupakan respon.

Manusia seharusnya mengasah pribadi, mempertajam pikiran, menjernihkan batin, untuk merespon segala stimuli dalam hidup kita ini. Tidak setiap stimuli harus aku respon dengan tingkat yang sama. Misalnya, karena suara lalu lintas di depan rumah kuanggap mengganggu, maka aku berhentikan semua kendaraan yang lewat. Pengolahan respon ini merupakan bagian dari pelatihan kesadaran diri manusia yang menurutku hanya bisa didapat melalui pelatihan keheningan batin, meditasi, karena meditasi adalah melatih kesadaran.

Kembali kepada patung Tiga Mojang di Kota Harapan Indah Bekasi. Patung adalah sebuah perwujudan dari perenungan batin dan kebulatan pikiran yang menjadi sebuah karya seni. Dia ada di sana, tak bergerak atau berperilaku menggairahkan. Pandangan terhadap patung itu, yang dianggap sebagai sebuah kemaksiatan, adalah respon pikiran terhadap patung sebagai sebuah stimuli. Dengan demikian, kemaksiatan hanya ada dalam pikiran manusia-manusia yang mempunyai pandangan demikian. Bukan di patungnya.

Sayangnya, pikiran tidak dapat dikendalikan, karena pikiran menimbulkan sebuah anggapan, sebuah opini. Opini yang diolah sendiri sehingga patung menjadi menggairahkan dan menimbulkan birahi. Ukuran yang diterapkan untuk menghakimi patung-pun lalu didasarkan atas opini, yang berasal dari persepsi yang sangat tergantung pada frame of reference, pengalaman pribadi orang tersebut. Semua proses respon ini hanya ada dalam pikiran seseorang. Ketika pikiran seseorang ini dipaksakan menjadi pikiran kelompok, maka pikiran kelompok-pun menjadi ter-kooptasi oleh pikiran awal seseorang.

Sayangnya, banyak diantara orang beragama yang tidak mendapat pelatihan kesadaran dalam ajaran-ajaran agamanya. Pemahaman tentang persepsi, pikiran, penghakiman, pembubuhan ukuran, interaksi dan dinamika stimuli-respon, tidak secara tuntas diajarkan dalam agama mereka. Yang ada adalah baik-buruk menurut sebuah buku, benar-salah menurut pemuka agama, lurus-sesat menurut sebuah kelompok, aturan demi aturan, halal-haram, surga-neraka, pahala-hukuman, yang semuanya berdasar pada persepsi sepihak. Perbedaan persepsi tidak lagi dimungkinkan.

Dari pemahaman dangkal seperti itulah kemudian muncul penghakiman-penghakiman sepihak berdasar ukuran-ukuran yang hanya dipahami oleh mereka yang mempunyai perspektif sama. Penghakiman yang sepihak itu lalu dimunculkan dalam tindakan sebagai sebuah respon terhadap stimuli. Respon yang berdasar pemikiran sepihak, tanpa harus menimba pemikiran dan menimbang batin orang lain, misalnya orang yang menciptakan patung Tiga Mojang. Penghakiman seperti ini mengeras, tidak lagi ada ruang untuk pembelaan diri dari yang dihakimi, tidak ada lagi sebuah ruang untuk duduk sejajar dan saling berargumen secara cerdas. Yang terjadi adalah hukum rimba. Tidak ada lagi rahmatan lil'alamin, pandangan bahwa perbedaan itu adalah berkah.

Kemaksiatan yang menggelembung dalam pikiran kelompok sudah mengeras dan menjadi paham, yang juga sebenarnya hanyalah pikiran dan pendapat, dan menggelapkan batin ratusan, ribuan, bahkan jutaan manusia di negeri ini. Begitu gelapnya sehingga tidak lagi tahu mana stimuli mana respon, tidak lagi mampu mengendalikan respon dalam pikirannya, dan tidak lagi mengenal sisi kemanusiaannya sendiri, apalagi kemanusiaan orang lain.

Peristiwa pembongkaran patung Tiga Mojang tidak hanya dilakukan oleh kelompok tertentu, namun dilakukan oleh jutaan orang yang menyetujuinya. Kegelapan batin juga sudah merasuk jauh di dalam batin-batin manusia yang mengaku beragama, namun tidak menyadari fitrah yang berupa rahmatan lil'alamin. Tidak menyadari bahwa ada perbedaan yang merupakan anugerah dari Allah, dan sekaligus sebuah kesamaan bahwa di hadapan Allah semua makhluk adalah sama. Tidak ada yang bisa menghakimi orang lain atas nama Allah.


di rumah, sore hari, hujan gerimis
Jakarta, 19 Juni 2010

Tidak ada komentar: