Rabu, 11 Agustus 2010

Cerita Debby: Derita Dalam Sebuah Dendam

Sore itu aku baru saja menyelesaikan laporan terakhir di kantorku. Sudah hampir seminggu kami di kantor sibuk menyelesaikan laporan tahunan proyek kami, sehingga hari-hari yang melelahkan itu seolah menguras segenap energi yang kami punya. Hari itu harapan untuk dapat sedikit melepas lelah terbetik di pikiran. Kenikmatan secangkir kopi membayang di pelupuk mata yang sudah terasa semakin berat karena kelelahan.

Petang baru menjelang menggantikan terik siang hari setelah seminggu tidak ada hujan yang diharapkan dapat menyejukkan ibukota ini. Kesibukan pekerja kantor seperti diriku seolah mencapai titik terendah dalam kurva ritme hidup, ketika semakin terlihat mereka pulang ke rumah dengan sisa pikiran dan tenaga yang ada. Pola ritme seperti ini terjadi setiap hari: pagi hari dengan energi besar berangkat ke kantor, menguras energi di kantor dengan berbagai kesibukan, dan pulang ke rumah dengan energi sisa. Sering kurenungkan, dari mana sebuah keluarga mendapatkan energi dari setiap anggotanya, untuk tetap menjaga kebersamaannya dan keutuhan lembaga sosial terkecil, namun merupakan inti ini.

Jam di tanganku menunjukkan waktu hampir magrib, sewaktu aku sampai di tempat parkir VW kodok yang telah dengan setia mengantarku kemana saja tujuanku. Baru ketika kututup pintunya, kudengar suara bel tanda sebuah sms masuk ke dalam HP ku.
Rrr … rrr …dingdong ….. Kubaca sms yang masuk: “jd ktmuan dimana?” Kubaca sendernya, Debby. Siang tadi kami sudah bersepakat bertemu untuk sekedar ngobrol. Namun dari nada sms-nya, kurasakan kali ini obrolan akan cukup serius setelah kutangkap getar kesedihan dalam kata-katanya. Lalu jempol jariku cepat menyusun balasan:”ntar ktmu di wrung kopi dkat kntor, sktr jm 6 lebih” dan kutekan ‘send’. Kuperhatikan gambar sebuah surat melayang menjauh di layar hpku. Kututup pintu mobilku, dan dengan pelan kodokku membawaku ke warung kopi tidak jauh dari kantorku.

Sore itu, kulihat warung kopi langgananku sudah banyak didatangi pelanggan. Rasanya belum begitu lama dia dibangun di situ, namun kulihat perkembangannya sangat pesat. Semakin banyak pelanggan yang datang dan pergi mereguk nikmatnya kafein. Barangkali, ini ada hubungannya dengan menurunnya energi para pekerja kantoran di sore hari, dan mereka membutuhkan suatu pemicu energi seketika yang menyamankan. Suntikan kafein nampaknya mampu melayani kebutuhan itu.

Bangunan warung itu tidaklah terlalu besar, namun ketika masuk ke dalamnya, terasa banyak menawarkan keramahan baik dari para barista yang senantiasa menyapa setiap tamu yang datang, maupun warna dan aneka peralatannya. Setiap ruangan dari dua ruang terpisah antara merokok dan bebas rokok, dipenuhi pernik-pernik tradisional serta kursi dan meja yang bergaya retro. Di dindingnya terpampang foto-foto lama yang menggambarkan wajah awal warung dan pendirinya di jaman penjajahan Belanda, seolah ingin memastikan bahwa pengalaman mereka menyajikan mutu kopi tidak perlu diragukan lagi. Ada beberapa lukisan tradisional dan beberapa permainan meja yang dapat membantu menyajikan sebuah nuansa warung lama yang nyaman untuk menjadi tempat ngobrol selepas dari kesibukan harian di kantor.

Hanya sekitar 10 menit aku duduk menunggu, Debby-pun datang. Setelah saling memberi salam, kami memesan minum kepada para barista yang sebagian mengenalku karena seringnya aku berkunjung ngopi di situ. Debby memesan segelas es kapucino, dan seperti biasa kupesan es kopi moka. Dua ollie bolen menemani dua gelas minuman dingin kami.

Sambil menunggu kopi kami, kuamati perempuan yang duduk di seberang meja ini. Seperti biasanya, dia kelihatan menarik. Aku yakin, kulitnya yang putih yang mewarnai postur badannya yang berisi, dipadu dengan wajahnya yang bulat telur, hidung yang bagus dan mulut yang selalu sedikit terbuka memperlihatkan baris giginya yang putih bersih, serta rambutnya yang pendek bebas tergerai, mampu menarik perhatian banyak lelaki. Namun sore itu dia seperti kehilangan senyum manisnya. Wajahnya yang bersih semakin kelihatan agak pucat.

“Aku baru saja putus dengan cowokku”, dia mengawali pembicaraan itu dengan pernyataan yang sederhana, namun selalu mengandung segumpal cerita yang biasanya penuh dengan derita. Kulihat wajahnya sedikit memerah. Aku terdiam. Kubiarkan energinya masuk dalam pikiranku, dan kucoba untuk ciptakan sebuah koridor langsung untuk membuat hubungan mental kami tidak banyak terhalangi. Detik jam terus berganti, dan kebisuan menguasai diri kami berdua untuk beberapa saat. Aku masih diam sambil mencoba meningkatkan intensitas kerja inderawiku untuk siap mendengarkan pesan-pesannya. Katanya, dalam ideogram Cina, ‘mendengarkan’ berunsur tiga hal: mata, telinga dan hati, sehingga perlu disiapkan ketiganya sebagai sebuah kegiatan mental yang bekerjasama dengan baik.

Kebisuan sesaat tadi terpecah dengan suaranya yang pelan namun terdengar jelas, “Cowokku mengaku mempunyai hubungan dengan kekasih lamanya. Aku samasekali tidak pernah menduganya, mas. Setelah sekian lama kami menjalin hubungan yang kelihatan mesra, sehingga jarak Jakarta – Jogja sudah bukan halangan buat kami berdua untuk selalu bertemu di hati. Pertemuan demi pertemuan fisik selalu kami lakukan sebisa mungkin untuk mengobati kerinduan kami yang berjarak satu jam terbang. Namun usahaku nampaknya gagal, dan dia sudah menceritakan semuanya padaku. Aku begitu terluka dan marah. Senin lalu aku lepaskan seluruh kemarahanku dan keputus-asaanku, dengan memaki-makinya melalui telpon sampai sekitar setengah jam ….”

Dua gelas kopi dingin yang kami pesan tiba, ditemani dua kue kesukaanku. Kuucapkan terimakasih pada barista yang mengantarnya.

Ada nada kesal bercampur sedikit kepuasan dalam kata-kata Debby yang mulai mengalir keluar tanpa hambatan, melalui koridor komunikasi yang kami ciptakan. Energinya dengan intens mengantarkan pesan pikirannya, sehingga membuatku sedikit tergagap untuk menampung dan mencernanya. Namun hanya sejenak, ketika setelah itu suaranya agak melunak dan berubah menjadi pernyataan yang tersisip oleh sebuah keputusasaan. “Coba mas bayangkan, kepercayaanku padanya yang aku berikan sejak lama, dengan begitu saja dikhianati. Betapa teganya dia. Aku gak habis pikir, kenapa begitu sampai hati dia menyakitiku. Aku sudah berusaha mati-matian untuk tetap setia meski kami tidak dapat selalu bertemu, tapi selama ini kuusahakan selalu menyapanya hampir setiap hari.” Kali ini matanya mulai merebak sembab, lalu tangannya menghapus genangan airmata yang mulai menggantung di sudut pelupuk matanya. Aku masih berdiam diri sambil memperhatikan kata-katanya, memperhatikan gejolak hatinya, dan memperhatikan setiap gerak halus di tatapan matanya, serta gerak dan kerut di wajahnya.

“Sekarang ini sering tanduk iblisku muncul, dan kemunculannya selalu mendorongku untuk telpon dia dan memaki-makinya sambil mempertanyakan pengkhianatannya. Dia selalu tidak bisa menjawab ketika kutanya kenapa dia setega itu melakukannya kepadaku”. Dia terdiam sejenak, mukanya kembali memerah dan kali ini kutangkap getar kesedihan serta gejolak kemarahan, “Aku sudah coba melupakannya, tapi ketika aku berdiam diri, bayangan wajahnya muncul lagi, dan kepedihanku kembali merasuk dalam pikirku. Aku gak tahan mas, rasanya pedih dan hancur mengingatnya …”

Kubiarkan dia menumpahkan segenap lumpur hitam kepedihan hatinya. Aku terus mencoba menjaga keterbukaan pikiran dan hatiku sehingga jalur komunikasi tidak terputus. Getaran kepedihannya begitu terasa dalam hatiku, dan energi kemarahannya dapat tertangkap dengan jelas dalam batinku. Aku masih terus diam membuka pikiranku. “Lalu sekarang aku harus bagaimana?” akhirnya segenap rasa yang campur aduk dalam hatinya berakhir dengan pertanyaan sederhana, sesederhana pernyataan ketika dia mengawali pembicaraan kami.

Sejenak aku terdiam, membersihkan semua pikiran yang tidak ada kaitannya dengan perkara yang baru saja dia tumpahkan kepadaku. Kucoba mengheningkan batinku dan membiarkan mata batinku melihat melalui kejernihan yang terciptakan. Ada sebuah jeda hampir semenit yang cukup terasa lama. Kerasnya suara canda tawa tamu lain dan musik di kafe itu terdengar sayup di telingaku.

“Apa yang kau harapkan darinya, Deb?” kubalas pertanyaannya dengan pertanyaan juga. Dia terdiam sejenak. Barangkali hal itu tidak begitu diperhatikan, karena dia disibukkan dengan kemarahannya dan kepedihannya, sehingga sebentuk ‘harapan’ menjadi agak sulit ditemukan dalam kemelut amarah dan derita yang mengungkung dan menguasainya. Setelah beberapa saat dia mencoba menemukan pikirannya kembali, dia berkata, “Aku inginkan kejelasan, kenapa dia begitu tega menyakitiku. Kepercayaanku yang begitu besar kepadanya telah dia khianati. Memang kita berjauhan, tapi jarak Jakarta - Jogja seharusnya bukan hambatan karena aku percaya kami bisa saling setia. Begitu teganya dia.”

Setelah terdiam sambil menghela nafas panjang dia melanjutkan, “Ada keinginan dalam hatiku untuk membuatnya menderita …. Rasanya nggak adil kalau hanya aku yang terluka. Dia harus bisa merasakan kepedihan seperti yang kurasakan saat ini.” Aku terdiam, dan mencoba memahami dengan baik apa yang baru saja dikatakannya. Dendam. Ya, sebuah klimaks dari sebentuk rasa, yang awalnya merupakan rasa derita akibat diperlakuan tidak adil, lalu bertransformasi menjadi sebuah kekecewaan, lalu terpupuk menjadi sebuah amarah, dan berakhir dengan sebuah puncak kekerasan, sebuah dendam.

“Bagaimana kau mau membuatnya menderita?” tanyaku, “Aku gak tahu, tapi itu yang ada dalam pikiran iblisku” jawabnya. Lalu tanyaku, “Apakah dengan membuatnya menderita lalu penderitaanmu berkurang?”. Dia menggeleng lemah, “Aku rasa tidak …” Sebuah jawaban yang jujur, yang saat itu langsung aku hargai dan hormati.

“Deb, aku pernah baca sebuah cerita.” Kumulai kata-kataku seolah sedang mendongeng kepada seorang anak. Debby terdiam, mengambil ollie-bollen yang sejak tadi belum tersentuh. Dikunyahnya gigitan kecil kue itu, lalu diletakkannya kembali sisa gigitannya. Dia lalu menatapku lekat-lekat, seolah bersiap mendengarkan ceritaku selanjutnya. “Suatu hari ada orang yang tertabrak mobil, dan karena luka-lukanya, dia sedang sekarat. Sambil berdarah-darah dan mendesis menahan hebatnya sakit yang dideritanya, dia berkata kepada orang-orang yang menolongnya, dan ngotot berusaha mencari tahu siapa yang menabraknya, mencoba menggambarkan mobilnya apa dan keluaran tahun berapa, lalu menanyakan kenapa sopir mobil itu bisa menabrak dia yang sudah menyeberang dengan benar sesuai aturan, …” Debby masih terus mendengarkan dengan seksama, lalu aku teruskan, “Akhirnya orang tersebut mati, karena tidak segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan pertama.” Dia diam menyimak ceritaku. “Menurutku, peristiwa itu serupa denganmu. Kau tahu maksudku?” Dia terdiam beberapa saat dan kemudian mengangguk lemah.

“Menurutku, daripada ingin tahu kenapa dia sampai tega meninggalkankanmu, bahkan kau sibuk cari jalan untuk membalas perlakuannya yang kau rasa membuatmu menderita, apa gak sebaiknya kamu mengurus dirimu sendiri, mencoba memberikan perhatian pada hati dan pikiranmu agar bisa kembali lebih tenang?” Dia masih terdiam. Aku menduga bahwa itu merupakan sebuah alternatif yang tidak mudah baginya untuk menjatuhkan keputusan memilihnya. Barangkali, hal itu juga tidak pernah terduga sebelumnya.

“Kalaupun akhirnya kau tahu alasannya meninggalkanmu, lalu apa yang bisa kamu lakukan? Apakah ada jaminan itu akan memperbaiki keadaan?” Dia menggeleng lagi dengan lemah, sambil menyeka matanya yang kembali sembab.

“Tapi, mas, bagaimana mencegah agar pikiran tentang dia nggak muncul lagi? Aku sudah coba mengalihkan perhatianku dengan melakukan hal lain, tapi pikiran itu selalu datang lagi dan datang lagi … sakit sekali rasanya, mas”

“Sebuah kepedihan di hati bukan untuk dihindari. Melakukan hal lain sama halnya dengan membelakangi masalah, yang berarti mengingkari keberadaannya. Kepedihan itu ada, dan seharusnya tidak diingkari, tapi harus dihadapi …” Kulihat dahinya berkerut sambil menatapku lekat-lekat. “Tapi begitu berat mas …” Dan kukatakan, “Memang Deb, sekarang bisa terasa sangat berat, tapi perasaan selalu berubah karena waktu. Perasaan itu ada dan tergantung kita sendiri untuk menanggapinya. Kita bisa layani dia, sehingga kita terbawa olehnya bahkan diapun bisa semakin menenggelamkan kita, sampai akhirnya harus bunuh diri … “ Dia mendadak menyela,”Memang ada mas pikiranku untuk minum obat tidur …” Giliran aku yang mengerutkan dahi dan menatap lekat wajahnya yang cantik itu. Sejenak aku terdiam, lalu aku lanjutkan,” … atau dengan lebih bijaksana kita pahami pikiran dan perasaan itu dengan baik, kita coba temukan akarnya, dan coba mengatasinya dengan penuh kesadaran …”

“Deb, kamu tidak bisa merubah sikap cowokmu itu, meski memaki-makinya seharian penuh. Yang perlu kita rubah adalah diri kita sendiri, bagaimana menghadapi kondisi demikian itu. Barangkali perlu kau teliti kembali harapan-harapanmu kepadanya, ketergantungan-ketergantunganmu …. Tapi yang lebih penting adalah, kau pahami ketakutan yang ada jauh di lubuk hatimu ketika harapan-harapanmu tidak terpenuhi. Barangkali itu adalah akar masalah yang sedang kau hadapi sekarang ini.” Dia mengangguk pelan, meski nampak masih ada keraguan pada wajahnya.

Tak terasa sudah hampir dua jam kami berbincang, dan gelas kami sudah mulai menampakkan dasarnya, yang penuh sisa busa-busa krim. Piring makananpun sudah bersih, tinggal segenggam tissue dan garpu yang penuh remah-remah ollie bollen.

Sewaktu berjalan ke arah mobilnya, dia berkata,”Thanks mas, hatiku agak ringan rasanya …” Aku balas senyum manisnya, “Sama-sama Deb …, take care …” Kamipun berpisah.

Esoknya ada sms darinya:”thx mas, aku bs senyum lagi n tidur nyenyak”, lalu beberapa saat masuk lagi sms-nya,”tp msh susah skl ya hilangkan skt hatiku” … Aku hanya bisa jawab: …”prlu wkt dan ksungguhan dlm proses pnjernihan ini, tp mmang hnya kau sndiri yg bs mngatasinya, bukan org lain. good luck n hang in there”.

Tidak ada komentar: