Kamis, 26 Agustus 2010

Buruk Muka Cermin Dibelah

Pepatah di atas diajarkan pada saat aku duduk dibangku SMP, sekitar 40 tahun lalu. Namun begitu, rasanya pepatah itu masih tetap aktual dan relevan dengan kondisi saat ini.

Di salah satu media online, ada forum tanya jawab dengan seorang ulama terkemuka, terutama menyangkut aturan-aturan dalam Islam yang relevan dengan masa bulan Ramadhan. Salah satu penanya menulis bahwa ada satu buku yang mengatakan musik itu haram dalam Islam. Artinya, umat Islam dilarang mendengarkan musik karena bisa mempengaruhi seseorang untuk bertindak sesuatu yang tidak dikehendaki Allah. Jawaban ulama di forum itu melegakan karena dia bilang Islam mencintai kesenian, termasuk musik.

Dibalik diskusi singkat itu, ada beberapa hal menarik yang aku simak. Pertama tentang kebingungan. Dalam kehidupan yang modern seperti sekarang, dimana musik sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari, masih ada orang yang menanyakan tentang halal/haramnya musik. Sebuah pertanyaan yang bagiku hampir tidak masuk akal sehat, menggelikan sekaligus menyedihkan. Namun aku yakin, bagi orang yang bertanya, pertanyaan itu menyangkut surga dan neraka setelah kematian, sebuah pertanyaan tentang nilai yang teramat penting.

Hal lain yang kutangkap adalah sebuah sikap hidup yang menunjukkan ketidak berdayaan. Artinya, orang itu tidak mempunyai kemampuan (tidak berdaya) untuk mengendalikan respon (pikiran dan tindakan) terhadap stimuli (rangsangan dari luar). Sikap ini mencerminkan seseorang yang tidak mempunyai ketegaran dalam menghadapi kesulitan hidup. Berbeda dengan seseorang yang tegar, orang yang mampu mengatasi segala kesulitan hidup. Kesulitan hidup merupakan salah satu stimuli yang ada di luar dirinya, dan berinteraksi dengannya melalui komunikasi sehari-hari. Mampu mengatasi diartikan sebagai mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pikiran, kesadaran, batin, untuk menghadapi kesulitan hidup, yang dalam konteks ini, hanya mendengarkan musik. Ternyata, mendengarkan musik bisa menjadi sebuah hal yang sulit dalam hidup ini. Singkatnya, orang yang tegar adalah orang yang mampu mengendalikan respon terhadap stimuli dari luar. Dia adalah orang yang bijaksana karena mampu bereaksi berdasarkan nilai-nilai yang ada dalam nuraninya.

Kembali kepada musik. Jika musik (sebagai stimuli) adalah haram, maka kita lalu tidak boleh mendengarkan (sebagai respon terhadap stimuli). Respon seperti ini harus dituntun oleh orang lain, melalui penerapan aturan haram atau halal. Orang tersebut tidak mempunyai sikap sendiri untuk menentukan apakah musik itu haram atau halal. Dia tidak mempunyai dasar nilai dalam dirinya untuk menentukan dan mengendalikan respon, dasar nilai yang sebenarnya sudah ada dalam setiap manusia yang disebut sebagai "nurani". Dia tidak tahu bagaimana cara merespon sebuah stimuli, karena tidak pernah bertanya kepada nuraninya. Dia lebih percaya kepada aturan dari luar.

Karena kebingungan, ketidaktahuan, kegelapan pikiran, maka tindakan paling mudah yang dilakukan adalah: lebih baik menghindari stimuli. Lebih baik mengingkari adanya stimuli. Lebih jauh lagi .. mari kita hilangkan stimulinya. Tindakan-tindakan ini mengisyaratkan bahwa orang itu tidak pernah dilatih untuk memahami, menerima, dan berinteraksi dengan stimuli. Lebih baik steril, pikiranku tidak terganggu, agar tetap "suci". Dia tidak pernah dilatih untuk menghadapi kesulitan hidup, karena kesulitan hidup itu diingkari keberadaannya, dengan mencoba mengharamkannya, menafikannya.

Bagiku, sikap seperti ini tidak membantu, tidak memberi pencerahan dan tidak melatih bagaimana mengelola kesadaran. Sikap ini membuat orang-orang sibuk menghindari stimuli dengan mengharamkannya. Karena stimuli ini terus ada dalam hidup, maka kebingunganpun terjadi: kalau ini haram atau halal? kalau itu boleh atau tidak? musik itu haram atau halal? menyalami orang Kristen boleh atau tidak? memotong kuku dan rambut saat haid boleh atau tidak? memakan daging akikah anak haram atau halal? apa hukumnya terlambat sholat Jumat? bagaimana hukum berhubungan intim saat Ramadhan? dan terus .. dan terus .. tidak pernah selesai.

Orang-orang ini selalu berorientasi ke luar, selalu melihat stimuli sebagai sumber dosa, sumber penggoyah iman. Mereka tidak pernah melatih diri bagaimana mengendalikan respon agar iman tidak goyah. Tidak pernah melatih diri mengelola dan menjernihkan batin sehingga terbentuk nilai-nilai yang berdasar nurani. Sehingga pada akhirnya, mereka tidak mempunyai ketrampilan untuk mengendalikan batin, mengndalikan pikiran, mengasah nurani. Nilai-nilai hidup lalu dicari dari luar, dari kata-kata ustadz, dari ayat-ayat dalam buku.

Pada gilirannya, ketidakmampuan diri ini menjadi alasan pembenaran untuk menghilangkan stimuli. Lihat bagaimana bunyi undang-undang pornografi, lihat bagaimana perilaku berpakaian perempuan yang harus rapat agar tidak menimbulkan birahi, lihat bagaimana perilaku orang-orang terhadap sebuah patung tidak berbaju, lihat bagaimana ada aturan gerbong kereta api khusus perempuan, lihat dalam berbagai pesta pernikahan yang memisahkan lelaki dan perempuan, dan terus .. dan terus .. kesalahan selalu ditimpakan pada obyek di luar dirinya, dibebankan pada stimuli yang tidak bisa dikendalikan.

Aku tidak berdaya, maka kau jangan mengganggu aku. Aku berbuat jahat karena kau-lah penyebabnya. Buruk muka cermin dibelah ..



sebuah pemikiran
dari obrolanku dengan Yani
27/8/2010

Tidak ada komentar: