Jumat, 13 Agustus 2010

Harga Sebuah "Diri"

Dalam kehidupan sehari-hari, harga diri seringkali menjadi sebab dari banyak pertikaian, perselisihan, bahkan saling menghilangkan nyawa. Banyak sekali contohnya. Apakah yang dimaksud dengan harga diri? Apakah "diri" itu? Berapa harganya?

Banyak manusia tidak mengenal dirinya sendiri. Dia tidak mengetahui kesejatian dirinya, sehingga diri kemudian di asosiasikan dengan berbagai hal yang "dimiliki"nya, misalnya: harta - bahwa saya seorang milyuner, punya banyak tanah diseluruh Indonesia, anaknya yang punya pabrik rokok "Samsoedji", dan sebagainya. Demikian juga dengan pangkat - saya seorang menteri kehewanan dan anak buah saya ratusan, saya seorang ilmuwan dan doktor di bidang nuklir lulusan Amerika Serikat. Atau saya seorang ustadz atau pastor pemimpin umat yang jumlahnya jutaan (menurut saya), yang fasih tentang isi alkitab dan menjadi perantara Tuhan bagi manusia kebanyakan seperti kamu. Status sosial - saya seorang public figure yang terkenal di seluruh dunia, sehingga anak2 kecil di Afrikapun tahu nama dan makanan kegemaran saya.

Demikian seterusnya sehingga "diri" lalu bermakna jika ada embel-embel lain, seperti pangkat, harta, kepandaian, status sosial, dan seribu satu macam yang dapat dijadikan 'cantolan' untuk diri. Masyarakat menciptakan pandangan-pandangan demikian, dan membentuk nilai-nilai yang kemudian dianut oleh anggotanya. Nilai-nilai ini seringkali juga merupakan strategi industri, politik, rasisme, ekonomi, dan banyak hal lain. Misalnya, nilai kecantikan adalah perempuan yang putih kulitnya, langsing, berwajah Indo. Maka muncullah industri kosmetik yang membantu para perempuan menjadi "diri' yang diinginkan, orang Jawa pun ingin kulitnya putih seperti orang Eropa. Di Indonesia sedang ramai bahwa nilai kesalehan diciptakan dengan penggunaan jilbab. Maka berduyun-duyunlah perempuan Indonesia berjilbab meskipun tidak cocok dengan iklim.

Dalam hal pangkat, orang dianggap berhasil hidupnya kalau menjadi seorang pemimpin perusahaan, atau pegawai negeri. Maka berbondong-bondonglah orang-orang menuju ke sana meski harus dengan cara nyogok kiri kanan, tendang teman sebelah, injak kaki orang lain, dan sebagainya. Demikian juga dengan harta, dan semua embel-embel untuk menentukan yang namanya "diri". Kalau tidak ada embel-embel itu, maka "diri' tidak ada.

Dari berbagai contoh di atas, sudah terlihat betapa "diri" harus mempunyai "harga" yang berupa embel-embel tadi, dan harga ini perlu didapat dengan perjuangan keras, karena banyak saingan dan posisi puncak hanya satu. Jika posisi puncak sudah didapat maka saya akan lebih dari yang lain, saya akan berbeda dengan yang lain sehingga lebih mudah untuk mengenal "diri" saya.

Pada akhirnya, yang disebut harga diri adalah seperti halnya kita menempel "harga" di jidat kita masing-masing (tanpa harus disetujui oleh orang lain), karena menurut keyakinan saya, itulah "harga diri" saya, sesuai dengan perjuangan dan jalan hidup saya, serta persepsi saya terhadap nilai. Konflik terjadi ketika orang lain memberi harga lebih rendah dari harga yang saya pasang di jidat. Saya merasa dilecehkan, saya tersinggung dan saya akan marah. Maka timbullah pertikaian, perselisihan dan bahkan saling bunuh.

Lalu, apakah yang disebut kesejatian diri itu? Perlukah ada harga dalam diri kita?

Lain kali akan saya coba tuliskan.


Salam,
pagi hari, baru selesai sakit perut
14 agustus 2010

Tidak ada komentar: