Kamis, 07 Oktober 2010

Sore Itu Di Restoran Ayam Goreng

Badanku terasa penat, barangkali sepenat sopir mikrolet yang membawaku ke daerah Tebet, melalui kemacetan luar biasa malam itu, yang ditingkahi oleh hujan salah musim yang akhir-akhir ini sering membanjiri ibukota.

Pikiranku-pun terpecah dan terberai ke setiap sudut kepalaku. Sungguh, malam itu aku tidak sepenuhnya menyadari apa yang aku sedang jalani. Sebentar pikiranku melayang ke Bambang, calon suamiku. Bulan depan kami berencana mengikatkan diri dalam perkawinan gereja. Bambang bukan orang baru dalam hidupku, dia kukenal sejak kami di sekolah dasar, bertahun lalu. Tanpa sengaja kami bertemu lagi dalam acara reuni, dan sejak itu tumbuh rasa cintaku kepadanya. Entah apa yang menggiring hal itu terjadi, namun berbincang dan bersamanya membuatku seolah berada dalam mangkok sup energi yang sungguh menyenangkan.

Sebentar kemudian pikiranku hinggap di rumahku, seolah sedang mendengarkan ocehan papa dan mamaku. Menurutku, sejak kepulangannya dari ibadah haji tiga tahun lalu, ada perubahan aneh. Barangkali itu hanya perasaanku saja, namun keduanya seolah hidup diantara dua sisi: harus menjadi suci di hadapan Allah melalui gencarnya ritual keagamaan yang dilakukannya untuk mengumpulkan pahala; dan ketakutan akan hukuman Allah yang menjadikannya menutup diri dari interaksi bebas dengan manusia yang tidak sejalan dalam agamanya karena dianggap bisa membahayakan surganya kelak. Dua sisi ini merubah perilaku dan warna interaksi mereka dengan orang lain, termasuk dengan diriku, termasuk dengan Bambang.

Pelan-pelan di dalam mikrolet dan derasnya hujan di luar, kurasakan hangatnya air mataku yang mengalir tanpa dapat kucegah. Air mata yang mampu membuatku menahan beban batin yang menghimpitku sampai ke sumsum tulangku. Air mata yang dapat memberiku energi untuk kembali kepada kesadaranku, meski tubuhku terasa semakin lelah. Aku baru tersadar ketika penumpang sebelahku mengetuk atap mikrolet minta berhenti di kawasan Tebet, dekat tempat tujuanku, restoran ayam goreng.

Di restoran itu aku akan dilamar oleh keluarga Bambang.

Dari luar restoran kulihat abangku, istrinya, dan saudara sepupuku, sudah duduk berhadapan dengan keluarga Bambang. Kulihat dia duduk di ujung deretan kursi yang didepannya masih kosong, yang pasti disediakan untukku. Cepat kuusap air mataku. Kurapikan rambutku, dan kukibaskan butiran air di bajuku. Sejenak kepedihan menyayat batinku, namun sejenak itu pula kucoba tekan hatiku agar tidak berdarah karenanya.

Begitu kududuk ditempatku, acara lamaran-pun dimulai. Intinya, kakak lelakiku menerima lamaran keluarga Bambang, dan semua pihak akan membantu agar pernikahanku bulan depan dapat berjalan dengan baik.

Kurasakan bibirku tertutup rapat, membendung gejolak hatiku. Kubayangkan rumah orangtuaku yang mewah, dan kugambarkan kejadian ini berada di sana, penuh ceria dan sukacita orangtuaku. Sejenak kemudian kusadari aku duduk di kursi keras sederhana ini, di depan sajian ayam goreng, sayuran, tempe tahu goreng, lalapan dan sambal. Kusadari bahwa orangtuaku tidak hadir dalam peristiwa teramat penting dalam hidupku ini. Kusadari kekosongan hatiku berada dalam keramaian kelompok kecil ini. Hanya sayup kutangkap obrolan dan canda tawa dua keluarga ini.

Pikiranku kembali sibuk. Pertanyaan demi pertanyaan muncul silih berganti. Mengapa Allah menciptakan agama kalau hanya untuk memisahkan aku dan orangtuaku? Mengapa Tuhan tidak mampu mengakui perbedaan agama umat ciptaannya dan tetap menyambungkan tali silaturahmi umatnya yang beraneka agama? Mengapa Tuhan begitu kejam menghukumku melalui orangtuaku yang tidak lagi mengakui aku sebagai anaknya ketika tahu aku pindah agama mengikuti calon suamiku? Mengapa Tuhan begitu membenciku sehingga aku merasakan batinku tercerai berai, terinjak oleh iman sebuah agama ciptaannya?

Mengapa aku tidak boleh berbeda?

Mengapa perbedaan bisa menimbulkan kebencian yang teramat dalam?

Semakin banyak pertanyaan yang hilir mudik dalam kepalaku membuatku semakin merasakan kelelahan yang sangat. Di mobil dalam perjalanan pulang ke rumah calon suamiku, aku terlelap di pundaknya.



7/10/2010

Tidak ada komentar: