Minggu, 24 Oktober 2010

Tuanku yang Pemarah

Beberapa bulan terakhir ini aku rasakan sebuah bara yang diam tapi pasti, menggumpal di dalam diriku. Aku tidak tahu persisnya di mana, namun rasa itu terus menerus membara bagai sekam merah menyala. Dia ada jauh di dalam diri bagai magma yang bersembunyi jauh dari permukaan bumi. Barangkali orang lain melihat diriku dari luar yang nampak sangat biasa, namun bara itu ada, dan dapat kurasakan kehadirannya.

Pada waktu tertentu, bara dalam diriku panasnya mampu terasa sampai kulit ariku. Terutama apabila ada satu atau dua hal yang mampu memancing bara tadi untuk langsung mencari jalan dalam nadiku, keluar dan meledak di setiap lubang pada tubuhku. Ledakan itu nyata terlihat dimataku yang memerah dan membara, di lubang nafasku yang menjadi tersengal, di mulutku yang mampu melontarkan kata-kata nistaan, di lubang telingaku yang menjadi penyumbat hingga tidak mau lagi mendengar kata-kata orang lain, sekasar apapun, atau selembut apapun.

Betapa bara itu membuatku menderita.

Aku tidak mampu mengendalikannya, apalagi memadamkannya. Dia begitu perkasa, pada saatnya muncul dan menguasai seluruh pikiranku, dia terasa bagai seorang tuan yang membawa cambuknya yang berapi. Aku hanya mampu memasrahkan diriku di bawah injakan kakinya. Aku hanya mampu membiarkan dia membakar seluruh nadi dan sendiku sampai meleleh tanpa daya. Aku hanya mampu membiarkan lubang mulutku melontarkan cacian dan makian berapi bagi orang-orang di sekitarku.

Sel-sel perasa dalam diriku seolah lumpuh. Tidak mampu lagi merasakan batin orang-orang di sekitarku yang kunista dan kuaniaya. Pikiranku menjadi gelap, penuh dengan kabut asap dari sekam yang membara di sekujur tubuhku.

Tuanku yang pemarah dalam diriku begitu kuat menguasai seluruh sistem dalam diriku. Meski dia membuatku menderita, namun aku tidak tahu bagaimana membiarkannya pergi. Aku bahkan pelihara tuanku ini, kubiarkan dia tinggal dalam batinku.

Aku sudah berusaha untuk mengusir tuanku yang pemarah ini dengan banyak cara, dengan banyak tipudaya. Namun dia hanya sembunyi dibalik pikiran-pikiranku, dibalik perasaan-perasaanku, yang seringkali gelap tertutup asap sekam yang membara. Dia tidak mau pergi meninggalkanku. Atau aku tidak mau dia meninggalkanku. Perbedaan keduanya ternyata sangat halus dan aku tidak tahu yang mana yang terjadi. Karena barangkali tuanku adalah bayangan diriku sendiri. Entahlah.

Aku sadar bahwa aku memerlukan sebuah uluran tangan yang membantuku berdiri kembali dari injakan tuanku yang pemarah. Aku perlu sebuah sandaran tempatku mencurahkan derita dari batinku yang hangus dibakar tuanku yang pemarah. Aku butuh uluran tangan seseorang untuk memberiku seteguk air jernih untuk memadamkan kobaran api milik tuanku yang pemarah ini. Namun aku juga sadar bahwa seringkali orang lain tidak benar-benar mengenali tuanku ini. Sebuah sikap yang muncul karena ke-putusasa-an dan kebingungan.

Namun begitu, jauh di dasar kesadaranku, sebetulnya aku tahu bahwa aku juga harus menerangi setiap relung pikiran dan batinku untuk menemukan tuanku yang sedang bersembunyi, mengenalinya dengan lebih baik, dan mengajaknya berbincang agar aku mampu memahami asal-muasalnya. Aku harus membawanya ke luar dari kegelapan asap pekat bara hatiku, agar segenap wujudnya nampak jelas di bawah penerangan cahaya batinku. Aku tahu, tuanku yang pemarah lebih senang tinggal dalam kegelapan pikiranku, dan tidak menyukai cahaya terangnya batinku. Dia akan merasa ditelanjangi, merasa diteliti dan merasa dikuliti sehingga akan nampak wajah bengisnya, bahkan akan nampak jelas belitan akar yang menghidupinya.

Hanya dengan mengenalinya, maka aku bisa sambil tersenyum memintanya untuk meninggalkan diriku.




menjelangtengahmalam
dirumah, 24oktober2010

Tidak ada komentar: