Sabtu, 18 September 2010

(Bukan) Agama Baru?

Aku pernah beragama. Demikian katanya. Sekarang aku tidak tahu, apakah hidupku beragama atau tidak.

Dia meneruskan ceritanya padaku.

Dulu, beragama bagiku adalah rajin mengunjungi rumah ibadah, mengikuti setiap acara ritual di rumah ibadah itu, setia berdoa tepat waktu, melantunkan doa-doa dengan bertasbih, berpakaian terbaik ketika mengunjungi rumah ibadah, selalu mencoba membaca alkitab untuk memahami cerita dan menghafal ayat-ayat yang penting, sangat menghormati para pemimpin agamaku ...

Dalam hatiku, aku merasa nyaman ketika semua kewajiban sudah kulaksanakan. Sekali tidak ke rumah ibadah, rasanya ada sesuatu yang kurang dan harus ditebus .. untuk mengembalikan rasa nyaman tadi. Aku bisa menangis ketika melantunkan doa-doa yang menyentuh hatiku. Aku bisa terhanyut mendengar alunan doa dan nyanyian rohani yang mendayu syahdu. Aku bisa mendapat energi baru ketika mengunjungi tempat-tempat ziarah yang disucikan oleh umat dalam agamaku.

Aku merasa nyaman, merasa aman dalam kelompokku, dan merasa bahwa ada jaminan keselamatan akan kehidupanku kelak setelah kematian ...

Aku masih mendengarkan dengan seksama ceritanya yang sungguh menarik ini.

Suatu ketika aku berubah.

Berubah? tanyaku.

Dia melanjutkan ceritanya. Ya, aku berubah. Ada sebuah peristiwa dalam kehidupanku yang membuatku mempertanyakan peran agama dalam kehidupanku. Ada sebuah titik yang membuatku menggugat seluruh bangunan keyakinan yang selama ini kugenggam teguh dan kubungkus dengan kain putih bertuliskan "iman". Ada sebuah lantai marmer tempat kepalaku dibenturkan untuk mendapatkan kesadaran baru dalam kehidupanku.

Semua peristiwa itu terjadi akibat dari sebuah kondisi kehidupan yang sebelumnya tidak pernah dihadapkan kepadaku dengan gamblang, sangat mendasar, telak menampar wajahku dan merontokkan seluruh kenyamanan yang melingkupiku, sebuah kenyamanan semu yang selama ini tercipta akibat dari penanaman sugestif yang kulakukan berulang melalui ritual keagamaan. Semua gambaran semu yang terus menerus kubuat untuk membentuk sebuah benteng pengaman dari godaan diluar keyakinanku, yang dicap sebagai setan, iblis penggoda iman oleh kelompok agamaku.

Perubahan apa yang kau alami? selidikku.

Sebuah perubahan yang amat sangat mendasar, yang mampu membongkar seluruh dasar "iman" ku dalam beragama. Perubahan yang mampu mengkritik peran Tuhan atau Hyang Maha. Perubahan ini begitu menyakitkan batinku, seolah membungkam degup jantungku. Perubahan yang mampu menguliti otak dan pikiranku sehingga menemukan keinginan2 yang bersembunyi di dalam kepalaku. Semua itu berproses. Namun memang proses itu seolah mencekik seluruh saraf kesadaranku, sehingga aku berusaha untuk tetap sadar dengan menggapai-gapai untuk mendapatkan energi kehidupan. Sungguh, sebuah proses yang teramat menyiksa segenap sel dalam diriku. Sebuah proses yang membawa rasa takutku yang terdalam, ke permukaan, dan kurasakan secara nyata.

Namun, peristiwa itu ternyata merupakan sebuah transformasi batin yang membongkar bangunan lama keagamaanku dan membentuk sebuah bangunan baru yang jauh lebih terbuka, tidak kaku oleh ritual dan iman, tidak terkungkung oleh proteksi dogma. Bangunan baru ini seperti sebuah energi yang tidak berstruktur kaku, tapi luwes, adaptif terhadap stimuli apapun, seolah menyatu dengan batin dan pikiranku, serta memberi energi berlimpah ke dalam kehidupanku.

Apakah itu sebuah agama baru bagimu? kucoba untuk memahami lebih jauh.

Aku tidak tahu apakah ini sebuah agama baru. Aku tidak lagi melakukan banyak ritual untuk memahami dan mengalaminya. Aku hanya perlu mengheningkan seluruh sistem dalam badan, pikiran dan batinku. Keheningan yang sangat kini, sehingga konsep waktu melarut dan memudar, tidak ada lagi masa lalu dan masa depan. Keheningan yang berada di sini, sehingga tidak ada lagi konsep ruang selain di sini. Sebuah kondisi yang amat sangat menenangkan, berenergi, amat sangat membebaskan, dan ternyata sangat membahagiakan.

Aku tidak tahu benar apa yang terjadi, namun rasanya agama yang pernah kuanut dan sempat memberiku rasa keselamatan dan proteksi, menjadi tidak berarti .. aku tidak lagi merasakan ketakutan atau kecemasan tentang dosa, tidak juga merasakan adanya ancaman apapun dalam hidup ini. Tidak ada rasa khawatir terhadap masa depan, konsep surga dan neraka setelah kematian, karena seperti kataku tadi, waktu yang ada hanya masa kini, masa depan adalah sebuah fantasi ...

Kalau kau tanya aku sekarang, apa agamamu, aku tidak mampu menjawabnya, karena apa yang kualami pasti tidak masuk dalam kategori agama yang kau miliki.

Tapi, aku tidak peduli lagi dengan aturan-aturan yang sekarang masih terus kau ikuti dan jalani. Itu semua adalah masa laluku yang kini telah mati dan pergi entah kemana.

Mendengar ceritanya, aku hanya terdiam. Apalagi yang bisa kulakukan selain itu?



tengah hari,
di rumah, 19/9/2010

3 komentar:

Unknown mengatakan...

Kelenturan, keluwesan, fleksibilitas, kemampuan mengakomodasi lebih banyak pertanyaan dan ide, atau apa pun namanya, adalah tanda kehidupan. Yang kaku, diam, tak berubah hanyalah yang mati. Selamat, tokoh yg diceritakan itu telah berani utk "hidup".

Agus Widianto mengatakan...

terimakasih mas Pur, memang ternyata hidup yang bebas dari ketakutan sungguh membahagiakan ..

Unknown mengatakan...

Semèdi wening ��