Selasa, 28 September 2010

Kasih Injil Yohannes

Sebuah cerita dari sahabatku.

Aku merasa paham atas apa yang ditulis di kitab suci. Kitab yang menjadi panduan dalam hidupku, dan menjadi perlindunganku dalam segala kesukaran hidup. Di dalam ayat-ayat itulah aku menyandarkan pengetahuanku tentang segala dimensi kehidupan ini.

Di situ diceritakan tentang Yesus yang mengajarkan kasih, sebagai inti dari semua ajarannya. Seandainya kitab suci bisa diperas maka akan keluar setetes embun bernama ‘kasih’ .. hanya itu.

Kata pemimpin agamaku, kasih itu datangnya dari Allah, bukan dari manusia karena manusia sejak lahirnya sudah cacat membawa dosa asal dari Adam. Hanya dengan melakukan dan menyatu dengan Allah-lah maka kasih dariNya dapat kita peroleh. Satu-satunya penyatuan antara manusia, Yesus dan Allah dibahas dalam injil Yohannes. Bukan oleh penulis2 injil lainnya. Salah satu contoh misalnya, “ .. Pada waktu itulah kamu akan tahu, bahwa aku di dalam Bapa-Ku dan kamu di dalam aku dan aku di dalam kamu ..” (Yoh 14:20).

Penggambaran Yesus lebih lanjut tentang penyatuan diri ini ada di ayat selanjutnya, bahwa kita manusia seperti ranting anggur yang harus menyatu dengan pokoknya agar dapat berbuah. Yesus adalah pokok anggur, dan kita adalah ranting2nya (Yoh 15:4 -5). Aku juga tahu bahwa sebagai seorang Kristen, aku harus menyatukan diriku dengan Allah, dengan Kristus. Usaha penyatuan itu digambarkan dengan konsekrasi dan penerimaan komuni di perayaan ekaristi. Sebuah komunion, penyatuan, penerimaan tubuh (dan darah) Kristus ke dalam diri kita masing-masing.

Lebih jauh Yesus mengatakan, “.. Jikalau kamu menuruti perintahKu, kamu akan tinggal di dalam kasihKu, seperti Aku menuruti perintah BapaKu dan tinggal dalam kasihNya (Yoh 15:10).

.. aku dalam kamu, kamu ada di dalam aku ..
.. kamu tinggal dalam kasihku ..
.. aku tinggal dalam kasih Bapa ..
.. bagai pokok anggur, kamu tidak berbuah kalau tidak tinggal dalam aku ..
.. di luar aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa ..

Barangkali sudah puluhan kali ayat2 itu aku baca ulang, aku coba pahami lagi, aku coba kaji kembali. Kata-kata dalam alkitab yang seharusnya menuntunku menemukan kebenaran sejati, semakin lama malah terasa menjadi sebuah konsep. Kata-kata itu menjadi kalimat yang menarik dalam bahasa namun membingungkan dalam arti, sehingga terasa ada sebuah jarak diantara keduanya yang memberi ruang untuk interpretasi, menurut siapapun yang membacanya.

Namun pertanyaanku masih terus menggantung, bagaimana caranya seseorang menyatukan dirinya dengan Allah? Alkitab hanya mengatakan apa, bukan bagaimana. Aku masih ingin mendapatkan sebuah ketrampilan untuk melakukan apa yang diamanatkan dalam buku suci itu. Ketrampilan untuk menemukan arti sejati dari amanat itu, kemudian menerjemahkannya ke dalam konteks kehidupan sehari-hari, tanpa harus bersusah payah membentuk kondisi pendukungnya.

Akhirnya aku kenal seseorang, yang dalam perjalanan hidupku bersahabat dengannya, memberikan banyak jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penting dalam hidupku yang masih menggantung. Dia membawa sebuah kesadaran baru yang jauh lebih pragmatis, realistis, sederhana, namun sangat dalam pada dimensi spiritual …

Darinya, ada sebuah kesadaran baru yang kuperoleh. Sebuah kesadaran bahwa penyatuan dengan Allah yang banyak diajarkan oleh banyak agama di dunia ini, merupakan sebuah bentuk kesadaran tertinggi bahwa ‘kerajaan Allah ada dalam diri manusia, dalam diriku’. Allah bersemayam dalam diri masing-masing manusia. Sehingga kini aku menyadari bahwa aku tinggal menemukan kerajaan itu, bagaikan Bima menemukan Dewa Ruci. Kerajaan itu tidak di’luar’ sana, tidak di tanah suci di permukaan bumi ini, tidak di bangunan gereja atau masjid, tidak di pohon atau di gua-gua yang disucikan, namun ada di dalam hatiku. Sudah ada sejak awal jaman. Tinggal menemukannya.

Perubahan sudut pandang, yang masih sangat sejalan dengan bunyi ayat-ayat alkitab di atas, membalik seluruh pertanyaanku menjadi jawaban. Rasanya tidak diperlukan lagi interpretasi tambahan untuk dapat memahami apa yang ditulis dalam injil Yohannes.

Allah ada dalam diriku, karena batinku adalah kerajaanNya ..
Komunion denganNya terjadi setiap saat, tidak hanya pada hari Minggu dalam perayaan ekaristi ..
Kurasakan energiNya dalam diriku, kusyukuri kehadiranNya dalam batinku ..

Terimakasih sahabatku.



Lewattengahmalam
29/9/2010

4 komentar:

Unknown mengatakan...

Tulisan yang bagus pak , tapi Allah tidak persis berada dalam diri kita.Dia ada di dekat tubuh manusia..Kalau menyatu dengan diri manusia cuma Mesias ( Yesus ) yang bisa . Coba perhatikan Lagi injil Yohanes disana menggambarkan dimana posisi Allah dalam hubungannya dengan diri manusia. Selamat mencari, Salam

Agus Widianto mengatakan...

Terimakasih .. tapi saya hanya mencoba memahami bahwa kalau kata2: aku dalam kamu dan kamu ada dalam aku .. maka aku dan kamu menyatu. Dan misalnya meskipun cuma Mesias (Yesus) yang bisa, maka begitu dia menyatu dengan manusia, manusia itupun menyatu dengannya, bukan?

Unknown mengatakan...

Bagaimanapun perkataan Yesus memang hanya bisa dipahami oleh manusia yg berada di "ketinggian" non materi. Banyak yang menginterpretasikannya juga dengan dibelokkan untuk menjaga sesuatu yang selama ini diyakini sebagai kebenaran.
Kebanyakan dari kita lebih banyak yang sibuk mencari di luar diri kita, sampai kita lupa tentang diri kita, bahwa yang kita cari selama ini ada di dalam sana, kita hanya perlu melakukan "perjalanan ke dalam diri"
Sesuatu yang sederhana sering kita buat menjadi rumit..contohnya cuma untuk mendapatkan tiket kereta bisa langsung ke loketnya..tetapi seorang calo akan mengatakan bahwa tiket tidak bisa diperoleh di loket.

Agus Widianto mengatakan...

.. salah satu fenomena menarik adalah, jarang ada keberanian untuk memahami, menemukan dan mengakui bahwa Allah berada dalam diri manusia. Seolah manusia bisa hidup diluar Allah, dan ada dualisme antara manusia dan Allah. Mustahil, karena kemudian, di dalam apa manusia hidup? Manusia hidup di dalam Allah dan demikian sebaliknya. Keduanya tidak terpisahkan, menyatu, manunggal. Yesus saja sudah mengatakan hal ini dengan sangat jelas, kok ya masih gak percaya. Sering manusia berusaha dan kelihatan merendahkan dirinya melalui penciptaan hubungan hirarkis dengan Allah, namun pemisahan dengan Allah sebetulnya sebuah bentuk kesombongan bahkan pengingkaran.