Minggu, 05 September 2010

Surgaku Di Sini Dan Sekarang Ini

" .. kau tahu, hidup di dunia ini kan sementara, sedangkan kehidupan sesungguhnya adalah hidup kekal kelak setelah kita mati .."

Begitulah aku dan temanku memulai pembicaraan sore itu, di sebuah restoran di pinggiran kota Jakarta. Kami sudah lama berteman, dia tinggal jauh di ujung Borneo. Sore itu kebetulan bisa bertemu untuk melepaskan kerinduan berbincang dari hati ke hati.

Awan di Jakarta berwarna jingga seolah menjadi isyarat terakhir dari matahari bahwa sebentar lagi dia akan digantikan oleh bulan, setelah siang tadi setiap detik tanpa henti memberikan cahaya dan energinya kepada seluruh hidupan di seluruh planet di galaksinya. Namun, sesungguhnya sinar matahari tidak pernah tergantikan. Dia akan terus memancar, terus memberi dan menghidupi, tanpa pamrih. Sebuah sumber energi maha dahsyat dalam ukuran manusia, yang bahkan ketika malam-pun, pertikel elementernya, neutrinos, mampu menerobos ketebalan bumi dengan kecepatan cahaya seolah massa bumi ini tiada. Banyak renungan tentang matahari dan segala perilakunya yang memberi perspektif universal dalam kehidupan manusia yang semakin sempit di-kotak-kotakkan sendiri.

Aku masih terdiam dan menyeruput kopi di hadapanku. Temanku ini pemeluk agama yang kuat, seorang yang dapat menjadi contoh bagaimana menjalankan agama dengan baik. Sore ini dia hanya pesan teh panas manis. Beberapa keping biskuit ada di tengah meja, sebagian sudah kami nikmati.

".. maka, seluruh energi kita harus diarahkan pada kehidupan kekal itu. Apa yang kita perbuat dalam hidup sekarang ini kan sebenarnya ajang berinvestasi untuk kehidupan kelak. Sekarang dalam menghimpun investasi ini, kehidupan masih bisa kita kendalikan dan pilih mana yang baik dan buruk, namun kelak .. " ada jeda sejenak, dan kulihat dia menarik nafas dalam, ".. kita tidak akan mempunyai kesempatan dan keleluasaan lagi untuk memperbaiki hidup, semuanya sudah akan serba terlambat .."

".. kelak tinggal masa penghakiman, dan kita harus terima apa yang menjadi keputusan Sang Maha Hukum dan konsekuensinya, yang semuanya didasarkan pada segala catatan kehidupan kita sekarang ini .."

Aku masih mendengarkan dengan seksama setiap katanya. Ada perasaan aneh ketika pikiranku seolah memutar sebuah kaset lama. Lagunya itu-itu saja, liriknya mirip atau sama, hanya penyanyinya yang berbeda-beda. Lagu itu terus-menerus didendangkan, di-salawat-kan, bahkan menjadi kredo bagi sebagian manusia, menjadi syahadat. Lagu itu seolah sudah menjadi lagu kebangsaan umat manusia, yang ketika dinyanyikan harus disertai sikap sempurna, tegak dan penuh hormat.

Aku tidak tahu benar, dari mana lagu itu berasal, dan siapa pengarangnya.

Sejenak kembali ada jeda. Warna kemerahan di awan Jakarta sudah mulai meredup. Dewa Surya akan segera beristirahat masuk ke peraduan, dan Dewi Ratri akan menggantikannya menemani umat manusia di belahan bumi ini. Suara jengkerik dan burung malam mulai terdengar sayup. Suara katak yang terdengar satu-satu juga menjadi semakin jelas. Halaman rumah ini luas sekali, banyak pepohonan besar yang sudah sangat jarang ditemui di Jakarta, bahkan di wilayah cincin sub-urbannya. Udara mulai berganti dengan menghembuskan kesejukan senja, seolah semua pohon di situ bersama-sama meniupkan nafas harum dan sejuknya agar membantu manusia mengistirahatkan dirinya.

".. bagaimana kau berhubungan dengan sesama, dengan makhluk lain, dengan alam semesta, bahkan dengan dirimu sendiri .. pada kehidupan sekarang ini? .." tanyaku memecah kesunyian jeda tadi. Sebuah pertanyaan yang kemudian aku rasakan terlalu panjang dan seolah menghamburkan seluruh pikiranku dalam sebuah urutan kalimat. Sedikit gerakan kepalanya menandakan usahanya menangkap arti pertanyaanku.

Kemudian jawabnya, ".. semuanya hanya sementara, paling untung hanya 80 tahunan, dan setelah kematian, barulah kita masuk ke kehidupan kekal, abadi. Jadi, semua kehidupan ini hanyalah sarana kita untuk menggapai Allah, sarana untuk melakukan investasi agar kita kelak mendapatkan surga. Agar kelak raport kita tidak merah. Hidup sekarang harus baik dan benar, baik terhadap diri sendiri, sesama, lingkungan dan semesta .."

Terdengar sedikit desahan nafasnya setelah mengungkapkan semua argumentasi, sebuah pidato yang seolah sudah lama dipersiapkan dalam benaknya, bahkan dalam setiap sel di tubuhnya.

".. rasanya ada sedikit perbedaan dari cara kita bersikap dalam hidup ini ..", kataku.

".. bagiku, semua 'dunia' di luar diriku, baik itu sesama, makhluk lain maupun lingkungan dan semesta, merupakan kesatuan yang disebut kehidupan. Aku tidak pernah menganggap sesamaku sebagai alat untuk menggapai Allah ..", lanjutku.

".. meskipun barangkali perlakuan kita sama baiknya kepada sesama dan lingkungan, namun rasanya kebaikan yang aku lakukan .. dan aku masih terus mencoba untuk hidup baik .. adalah karena aku merasa mereka adalah bagian hidupku. Aku tidak dapat hidup tanpa mereka. Hubunganku dengan mereka tidak bersifat sub-ordinasi, bahwa aku punya wewenang atas mereka, bahwa aku adalah penjaga mereka, aku adalah khalifah mereka, aku diberi wewenang oleh Allah untuk menjaga dan memanfaatkan mereka. Tidak seperti itu .. Aku adalah mereka, dan mereka adalah aku .."

Sekarang giliran dia yang terdiam. Saat itu aku hanya mengharap dia dapat memahami kata-kataku.

".. Coba lihatlah secangkir kopi yang kuminum ini. Aku bisa menikmati lezatnya kopi ini karena jutaan manusia terlibat di dalamnya. Para petani penanam kopi, pekerja pabrik pembuat cangkir yang menarik ini, pengolah kopi, petani penanam tebu untuk bahan gula, pembuat kompos dan pupuk, sinar matahari, pegawai pengolah air, pegawai listrik untuk menjalankan mesin kopi .. dan terus .. dan terus .."

Dia masih terdiam dan memandangku. Dalam keremangan senja, bulatan hitam matanya seolah membesar.

".. Jadi, kopi yang kemudian kunikmati dan menyatu dengan diriku ini, merupakan sebuah hasil kerja besar dari banyak unsur semesta, termasuk manusia yang tidak pernah kukenal secara pribadi. Adakah aku lalu menganggap mereka adalah sarana untuk mencapai surgaku? Sama sekali tidak .. Aku hanya merasakan bahwa mereka adalah bagian dari hidupku. Aku hanya merasakan bahwa merekalah surgaku, yang sekarang ini berupa kenikmatan secangkir kopi .. "

".. inilah surgaku, menikmati suara2 makhluk senja di sekitar kita, merasakan sejuknya semilir angin malam di tempat seindah ini, ditemani secangkir kopi hasil kerja keras jutaan manusia, dan berbagi pengetahuan dengan kamu, teman baikku .." kulihat sekilas bibirnya bergerak menyunggingkan sebentuk senyum.

".. Surgaku sedang kualami sekarang ini, disini, di tempat ini, bukan nanti kalau aku sudah mati .."




buat temanku terkasih,
yang sedang berinvestasi untuk surganya kelak
jakarta, 6 september 2010

Tidak ada komentar: