Kamis, 02 September 2010

Manusia Yang Lemah

Dia memandangku lekat-lekat. Kami baru saja berbincang mengenai birahi sebagian manusia yang muncul hanya karena melihat patung Tiga Mojang di Bekasi. Ada sinyalemen bahwa peristiwa itu menunjukkan betapa manusia-manusia itu mempunyai intelektualitas lebih rendah dari rata-rata, karena tidak dapat membedakan buah dada manusia dan buah dada patung.

Dia masih memandangku lekat-lekat, dan dengan pelan kemudian berkata: “.. manusia memang makhluk yang lemah, banyak keinginan daging yang seringkali tidak dapat kita kendalikan ..”

Aku diam sejenak dan mencoba menangkap pesan yang disampaikan di balik susunan kata yang terucap. Ada paling tidak tiga hal: pertama, manusia adalah makhluk yang lemah; kedua, keinginan daging; dan ketiga, kemampuan untuk mengendalikan keinginan daging.

“.. mengapa kau menganggap manusia itu lemah?”, tanyaku.

“ .. hanya Tuhan yang sempurna, manusia tidak sesempurna sepertiNya”, dia mencoba membuat sebuah perbandingan, yang menurutku hanya membandingkan dua fantasi.

“ .. meski aku tidak tahu Tuhan, tapi bukankah manusia itu sempurna?”

“ .. tidak, karena manusia tidak berkuasa menghindari kematian, sedangkan Tuhan bebas dari maut”.

“ .. menurut skenario manusia, memang seharusnya Tuhan tidak mati, karena jika dia mati, maka tidak akan ada rasa hormat manusia kepadaNya, yang seharusnya superior karena diyakini sebagai pencipta. Bagaiman Pencipta dikalahkan oleh siklus yang diciptakannya? Kematian yang digunakan sebagai faktor pembanding rasanya menjadi tidak adil. Namun intinya, pada saat manusia hidup, bagiku dia sempurna. Dia adalah hasil evolusi lebih dari dua ratus ribu tahun, dan evolusi ini menjadikan manusia sebagai sesosok organisme hidup yang sesuai dengan habitatnya ..” aku mencoba membela spesies-ku sendiri.

Kembali dia memandangku lekat, dan kulihat ada sedikit gerakan kepalanya seperti sebuah tanda keterperanjatan atas jawaban yang mungkin tidak pernah terpikirkan. Dia terdiam menunggu kata-kataku selanjutnya.

“ .. jika kau pahami mekanisme tubuh manusia, perkembangan otak manusia, kemampuan sensorik, sistem hormonal, kekebalan tubuh dan lainnya, kau akan bisa mengapresiasi kemampuan tubuh kita ini. Demikian juga kemampuan pikiran, kemampuan spiritual manusia yang bisa tidak terbatas, sangatlah memukau ..”

“ .. apresiasi demikian diperlukan agar manusia dapat menghargai dirinya sendiri, karena hanya dengan begitulah dia dapat menghargai manusia lain, menghargai makhluk lain, dan menghargai penciptaNya .. Hanya manusia yang tidak dapat menghargai dirinya-lah yang tidak dapat menghargai penciptaNya ..” lanjutku.

Dia masih diam, pandangannya seolah sedang mencari sebuah pegangan agar kata-kataku tidak menjerumuskannya ke sebuah lubang yang penuh ketidakpastian. Sebuah perangkap yang akan membahayakan keyakinannya.

“ .. tapi keinginan daging merupakan sisi kelemahan manusia, karena kita selalu tidak bisa mengendalikannya. Coba lihat, puasa makan minum saja sukar sekali, selalu ada dorongan untuk batal. Keinginan seksual merupakan indikator paling nyata, bahwa manusia tanpa seks rasanya tidak bisa hidup .. sewaktu keinginan seksual ada, betapa sukar mengendalikannya ..” dia masih mencoba mengulang dan memperkuat argumentasi tentang kelemahan manusia, “.. dan juga tidak hanya keinginan seksual saja, tapi keinginan-keinginan daging lainnya ..”

“ .. aku rasa ada benarnya bila pikiran kita mengendalikan seluruh sistem tubuh, yang kau sebut sebagai keinginan daging ..”

“.. maksudmu? “ dia mencoba memahami apa yang kukatakan.

“ .. semua berasal dari pikiran kita, termasuk segala keinginan, segala kebencian dan ketidak-pahaman. Pikiran yang muncul itu lalu menjadi lokomotif yang menggandeng seluruh sistem tubuh. Misalnya, meski tubuh ini sudah lelah, namun pikiran masih mempunyai keinginan pergi ke sebuah mall, maka tubuh lelah ini diseret-seret memenuhi keinginan pikiran ..”

Nampaknya dia sedang membayangkan kejadian yang kugambarkan.

“.. jadi, bukan keinginan daging yang ada, namun pikiran kita. Selama kita tidak bisa mengendalikan pikiran, maka daging akan terus menerus diseret untuk menuruti keinginannya. Demikian juga keinginan seksual.”

“.. lalu, dimana kesempurnaan tubuh yang tadi kau katakan?”

“ .. tubuh mempunyai kebijaksanaan sendiri, punya siklus sendiri. Coba bayangkan, siklus kehidupan dan kematian milyaran sel setiap hari yang tidak bisa kita cegah. Misalnya lagi, kerja jantung yang terus menerus memompa ribuan liter darah setiap hari tanpa kita suruh. Gerak paru2 sewaktu bernafas yang terus menerus tanpa kita sadari. Kalau pekerjaan2 penting dan vital dalam tubuh itu tergantung kepada pikiran kita, maka bisa-bisa kita lupa menyuruh jantung berdenyut, atau lupa menyuruh paru-paru bernafas pada waktu kita tidur .. “, kulihat dia sedikit tersenyum, lalu kulanjutkan khotbahku, “ .. namun begitu, pikiran dan tubuh adalah satu kesatuan, tidak bisa dipisahkan, saling mempengaruhi, yang satu adalah refleksi yang lain .. keduanya adalah mekanisme hidup yang ajaib dan sungguh sempurna ..”

Sambil sedikit mencondongkan tubuhku ke arahnya untuk memberinya keyakinan, kusudahi diskusi sore itu, “.. pikiran dan tubuh .. keduanya menyatu dalam keseimbangan yang saling membutuhkan, saling bekerjasama. Jika kau pahami keseimbangan ini, hidupmu akan jauh lebih bahagia karena tidak ada konflik diantara keduanya .. harmoni dan ketenangan akan tercipta dengan sendirinya ..”

Kulihat dia terdiam, namun ada seberkas cahaya samar dimatanya yang membuat pandangannya terlihat lebih hidup.



jakarta,
menjelang tengah malam
2 september 2010

Tidak ada komentar: