Jumat, 02 April 2010

Bebas dari kungkungan konsep

Profesor yang satu ini memang eksentrik.

Rambutnya yang sudah banyak beruban dibiarkan panjang dan diikat ekor kuda, jenggotnya yang panjang dan kumisnya yang juga beruban dibiarkan agak liar memenuhi sekitar mulutnya yang selalu terselip sebatang rokok Jisamsoe kesukaannya.

Salah satu yang diajarkannya adalah mencoba membongkar persepsi yang terkungkung oleh konsep, oleh ide, dan oleh dogma. Pembebasan diri dari kungkungan seperti itu kedengaran mudah, namun ternyata bagi banyak orang tidak selalu semudah membalikkan telapak tangan. Hari itu dia berbicara tentang agama, berbagai belief systems, sistem kepercayaan yang ada di Indonesia.

Dia mendekati salah satu mahasiswa yang sedang mengikuti kuliahnya pada hari itu, dan dengan tatapan matanya yang tajam dibalik kacamata bulat kecil yang nampak lucu, dia bertanya: " .. apa pendapatmu seandainya tuhan tidak ada .. ?" Sebuah pertanyaan yang tidak terduga, dan sebuah pengandaian yang tidak umum dilakukan. Si mahasiswa terlihat gelagapan dan tidak bisa menjawab.

Lalu profesor itu mendekati seorang mahasiswa perempuan dan bertanya: " .. kenapa kamu pakai beha dan celana dalam ..?" Si mahasiswa tidak dapat menjawab dan hanya mampu memperlihatkan wajahnya yang mendadak berubah merah menahan malu.

Setelah itu profesor ini mulai menjelaskan betapa seseorang akan sukar sekali membebaskan diri dari sebuah ide yang selama hidupnya sudah menjadi kebiasaan, sebuah kepercayaan, sebuah dogma, bahkan menjadi sebuah iman, bagian dari sebuah sistem kepecayaan. Ketika diajukan sebuah pernyataan antitesis, seseorang tidak pernah siap untuk menerimanya. Sewaktu seseorang diajak untuk berpikir keluar dari kotak (out of the box), dia sering merasa gamang karena kemudian tidak mempunyai dasar berpijak atau pegangan yang sudah secara umum tersedia atau disediakan oleh orang lain.

Lalu, pertanyaan berikut misalnya: bisakah kita hidup seandainya tidak ada Tuhan?

Barangkali bagi seorang muslim atau kristen, hal ini tidaklah mungkin terjadi. Banyak alasannya, termasuk misalnya, lalu siapa yang menciptakan kita dan alam beserta semua isinya ini? Namun bagi seorang buddhis, ada tuhan ya syukur, tidak ada juga tidak apa-apa. Lain lagi bagi seorang atheist, yang misalnya akan bertanya kembali, memang Tuhan pernah ada? Kalaupun ada itu kan ciptaan manusia, sehingga "keberadaannya" gak penting amat.

Manusia hidup dan berkembang berdasarkan opini. Opini yang diterima dan berlaku umum kemudian menjadi sebuah nilai yang dianut dan diagungkan. Mempertanyakan dan mengajukan anti-thesis terhadap nilai-nilai ini menjadi sebuah anomali perspektif. Bahkan bisa dianggap pemberontakan terhadap tradisi, konvensi dan budaya.

Bagiku, kebebasan dari konsep, mempunyai ide kreatif, keberanian menerobos dan mendobrak perspektif untuk menemukan nilai universal merupakan awal dari kebahagiaan dalam hidup. Karena kebebasan seperti itu mampu menjangkau nilai-nilai yang lebih luas, lebih dalam dan berlaku bagi siapapun dan apapun. Kemampuan ini juga merupakan keterbukaan terhadap sesuatu yang baru, sebuah proses pembelajaran yang diperlukan untuk memperkaya pemahaman kita tentang hidup dan kehidupan ini. Sebuah sifat yang universal dan menjadi obyektif, tidak lagi relatif. Realitas adalah nilai2 yang tidak relatif. Di situlah kita bisa memahami realitas, hidup lebih membumi tidak mengawang, akan lebih mampu menemukan kemanusiaan kita sendiri. Kearifan akan lebih mudah kita pupuk dari pemahaman akan nilai kemanusiaan kita.


menjelang jumat agung,
jakarta, april 2010

Tidak ada komentar: