Sabtu, 20 Maret 2010

Kebenaran

Siang itu habis makan bersama beberapa teman dari berbagai LSM yang berkantor di Bandung. Kami baru saja membicarakan rancangan sebuah program lingkungan yang menggabungkan antara energi alternatif dengan konservasi.

Semangat diskusi sudah mulai agak menurun, kami lebih banyak diam sambil menyeruput sisa2 minuman, ketika seseorang mulai bicara soal agama dan kepercayaan. Entah bagaimana awalnya, topik itu bisa muncul dalam pembicaraan. Gayung pun bersambut. Mata yang tadi sudah setengah terpejam kembali terbuka lebar, seolah ada energi baru yang tiba-tiba merasuki pikiran kami semua.

" .. bagi saya, aturan2 dalam agama tidak begitu penting .. " kata teman yang mengawali diskusi ini, " .. yang saya hadapi sekarang adalah masalah pikiran saya sendiri, sakit batin saya sendiri, bahkan kerusakan lingkungan di desa saya sendiri, .. agama kayanya gak punya aturan2 yang dapat membantu saya dalam menghadapi masalah2 itu .. ", dia terus nyerocos tanpa henti.

" .. yang disuruh ustadz adalah beriman dan takwa kepada Allah, berbuat baik misalnya dengan berzakat, sholat lima waktu jangan bolong, perangi hawa nafsu, dan masih banyak lagi .. "

Teman-teman lain pada diam mendengarkan. Belum ada protes dari yang lain. Akupun masih diam menunggu kalimat2 lain yang ingin dilepaskan dari pikirannya.

" .. di situlah seharusnya ada keseimbangan antara hablumin allah dan hablumin anas .." seseorang mencoba menimpali. " .. Kita perlu tahu mana porsi yang untuk manusia dan kehidupan sehari-hari, namun juga tidak boleh lepas dari kewajiban kita untuk terus bergerak vertikal dalam menjaga hubungan dengan Allah Sang Pencipta .. di situlah keseimbangan iman kita kepadaNya .."

Aku masih mendengarkan dinamika diskusi ini, dan rasanya topik ini sangat familiar kedengaran di telingaku. Topik yang seringkali muncul dalam diskusi-diskusi tentang kehidupan dan bagaimana hidup dengan baik. Pertanyaan-pertanyaan yang praktis dalam kehidupan sehari-hari, dan jawaban-jawaban yang normatif berdasar nilai-nilai sebuah agama. Juga sebuah kata yang selalu ampuh yang disebut "iman".

Sesuatu yang kita iman-i merupakan kebenaran dalam agama. Keseimbangan dalam hubungan vertikal dan horisontal itu yang harus di-iman-i. Namun bagiku juga masih banyak menimbulkan pertanyaan lanjutan, seperti misalnya: bagaimana kita tahu sebuah keseimbangan tercapai? Bagaimana kita berhubungan dengan Tuhan, apakah cukup mendirikan sholat lima kali sehari? Bagaimana caranya berhubungan dengan sesama secara horisontal - apa saja yang perlu diperhatikan dan dilakukan? Banyak pertanyaan tentang apa dan bagaimana dalam memenuhi aturan tersebut.

Jika untuk menemukan sebuah "kebenaran" seseorang masih harus banyak bertanya, masih harus banyak tergantung dari interpretasi, maka "kebenaran" tersebut menjadi relatif sifatnya. Segala sesuatu yang relatif, bukanlah sebuah realitas. Kebenaran seperti itu tidak dapat digunakan karena tidak bersifat universal. Tidak dapat diterima oleh semua orang karena sangat interpretatif sifatnya.

Adakah sesuatu yang tidak relatif? Adakah sesuatu yang berlaku universal? Adakah sesuatu yang tidak dapat dibantah dan tidak tergantung dari interpretasi? Jika ada, maka sesuatu tersebut bisa disebut sebagai sebuah kebenaran.

Dari pemahaman itu, aku menawarkan sebuah bahan diskusi kepada teman2 lain di siang itu. " .. Tahukah sikap apa yang selalu kita lakukan dalam hidup kita sehari-hari sejak kita lahir sampai kita mati?" Mereka diam dan menggelengkan kepala.

" .. Dalam Buddhisme, dikenal sikap utama: duduk, berdiri, berjalan dan berbaring. Itulah sikap yang kita lakukan setiap hari. Adakah yang bisa membantahnya? .."

Semua diam dan kelihatannya mendengarkan serta menunggu lanjutannya.

" .. Mengapa sikap-sikap itu kita lakukan? Karena kita ingin mengurangi penderitaan. Coba bayangkan seseorang yang duduk di sofa terlembut di dunia. Pada beberapa jam awalnya, pasti sangat menikmati. Namun setelah sehari, dia pasti ingin berdiri, lalu beberapa jam berdiri, pasti ingin berjalan, lalu berbaring ... demikian seterusnya. Mengapa dia melakukan itu? Karena dia ingin mengurangi penderitaannya. Bukankah ini sebuah kebenaran sederhana yang tidak terbantahkan? .. "

" .. Adakah yang membantah bahwa hidup kita penuh dengan derita? Contoh di atas baru derita karena secara fisik kita berada dalam gaya gravitasi. Belum kalau kita memahami derita dalam pikiran, derita batin atau derita dalam hati. Adakah yang sudah hidup bebas dari derita itu? .. " Lalu kulanjutkan, " .. itulah sebuah kebenaran .."

Teman-teman masih diam mendengarkan. Kelihatannya mereka semakin tertarik untuk mendengarkan kelanjutannya.

" .. Perlukah kebenaran seperti itu kita kaitkan dengan iman? Perlukah itu kita kaitkan dengan takwa kepada Tuhan? Perlukah segala aturan tentang sholat dan syariat untuk memahami kebenaran sederhana ini? .."

" .. Ada empat kebenaran sejati dalam ajaran Buddha: pertama, hidup ini penuh dengan penderitaan; kedua, penderitaan dalam hidup kita lebih banyak disebabkan oleh keinginan (tanha). Yang ketiga, ternyata penderitaan itu dapat dihentikan. Keempat, Buddha memberikan ajaran bagaimana menghentikan penderitaan tersebut .. Inilah awal dari pemahaman sebuah kebenaran sejati, kebenaran yang tidak terbantahkan .. Masih banyak lagi yang nanti bisa kita diskusikan lagi bersama, tentang hal-hal yang akan membebaskan pikiran dan batin kita dari genggaman aturan dan kungkungan dogma .."

Masih banyak hal yang kami diskusikan lewat tengah hari itu. Namun diskusi hangat siang itu harus aku hentikan karena aku masih harus kembali ke Jakarta. Aku juga sengaja berhenti di situ agar kami masih banyak bahan diskusi pada kesempatan pertemuan berikutnya ..



jakarta, 21 maret 2010

Tidak ada komentar: