Jumat, 19 Maret 2010

Takengon - Medan

Tugas dua hari di Takengon dan Bener Meriah, Aceh Tengah, sudah selesai. Malam itu aku dan kolega harus kembali ke Medan untuk besoknya terbang ke Jakarta. Alat transportasi yang tersedia adalah bus malam yang siap menembus kegelapan malam selama sekitar 10 jam. Diantar beberapa staf lapangan, kami bersiap untuk berangkat sambil ngobrol dan minum kopi Aceh yang kuat.

Kami mendapat tempat duduk di kursi nomor 8 dan 9. Menjelang jam 9:00 para penumpang sudah masuk ke bus. Kulihat di depan warung tempat pemberangkatan bus ini, ada kelompok kecil laki-laki berjubah dan sebagian berjenggot lebat, hampir semua memakai penutup kepala seperti sorban. Aku lalu menempatkan diri di kursiku, mengatur diriku agar terasa nyaman. Bus-pun berangkat sekitar jam 9:30 malam.

Kulihat salah satu lelaki yang berjubah putih duduk di bangku nomor 10. Dia agak mencolok karena cara berpakaiannya. Ikat kepalanya mengingatkan aku pada berita TV tentang pelatihan teroris di Yaman.

Baru sekitar 15 menit kemudian, saat bus mau keluar dari kota Takengon, bus berhenti dan sekelompok pemuda berpakaian preman yang memperkenalkan diri sebagai polisi dan bersenjata lengkap masuk ke bus. Salah seorang berkata dengan cukup keras: " kursi nomor 10 .. "

Diawali dengan memberi hormat, seorang polisi muda mulai menanyakan kartu identitas kepada lelaki berjubah itu. Kemudian datang yang lainnya dan mulailah serentetan pertanyaan tentang berbagai hal, seperti dari mana, disini ngapain, nginap dimana, apa yang dibawa, dan sebagainya, sambil salah seorang polisi mencocokkan foto KTP dengan foto yang ada di ponselnya. Entah apa yang menarik, tapi pengamatan itu cukup lama. Beberapa pembicaraan yang kudengar misalnya: dia berasal dari Palembang, berada di Takengon untuk ketemu teman lamanya yang sudah 8 tahun terpisah, mengajar agama, tidur di masjid, dan mengaku pernah ke Yaman. Sekitar lima belas menit kemudian baru kami boleh berangkat lagi.

Lewat tengah malam kami dibangunkan lagi, dan sambil setengah ngantuk, semua lelaki harus turun dari bus untuk diperiksa kartu identitasnya. Kulihat papan tempat itu tertulis Polres Bireun. Kembali lelaki berjubah menjadi salah satu fokus utama interogasi, barang bawaannya diaduk-aduk, dan kulihat banyak kertas2 selebaran bertuliskan Arab dan terjemahan Indonesia di bawahnya. Hampir setengah jam kami di Polres itu. Pemeriksaan KTP yang ke tiga terjadi ketika kami akan masuk Medan.

Melewati semua peristiwa itu terutama setelah pemeriksaan ketiga, membuatku merenung, terutama tentang kekerasan dan terorisme.

Mengapa manusia bisa melakukan tindak kekerasan kepada sesama? Mengapa dengan mudah seseorang bisa menghilangkan nyawa sesamanya? Adakah memang agama mengajarkan perilaku seperti itu? Kalau tidak, darimana seseorang merasa mempunyai hak untuk membunuh? Apa yang ada dalam pikiran seseorang ketika dia meledakkan dirinya dan orang lain? Apa arti sebuah kehidupan - dan sebuah kematian - bagi dirinya? Benarkah seseorang selalu melihat orang lain sebagai musuh? Dan sebetulnya, apa sih yang dimusuhinya: tubuh orangnya, atau cara berpakaiannya, atau pikirannya, atau pendapatnya? Atau apa yang dipercayainya? Atau apa yang di-iman-inya? Dengan menghancurkan kehidupan seseorang, apakah juga menghancurkan kepercayaan yang dianutnya? Mengapa .. Betulkah .. Apakah .. ??

Banyak pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk dalam kepalaku yang belum kutemukan jawabannya. Pikiranku terbawa oleh pertanyaan2 itu, dan sejenak kubiarkan dia melanglang kemana-mana. Akibatnya, aku tidak lagi bisa tidur sampai kami tiba di terminal di Medan. Setelah mengunjungi toilet terminal yang lumayan bersih meski sempit, kami carter taksi untuk sarapan, beli oleh-oleh dan early check-in di Bandara Polonia.

Pesawat ke Jakarta kebetulan kosong. Setelah makan, kucari tempat duduk deretan tiga kursi, kurebahkan diriku di tiga kursi itu .. betapa nyaman ..



jakarta, 20maret2010

Tidak ada komentar: