Rabu, 24 Maret 2010

Yanti Mencari Tuhannya

Senja itu udara terasa pengap, setelah gerimis di siang hari tadi meninggalkan uap yang padat dan lembab meskipun sisa-sisa panas matahari siang masih terasa. Karena hari ini hari libur, kubiarkan badan lelahku tergolek di lantai tingkat dua rumahku. Udara pengap membuatku setengah terlelap namun tetap terjaga. Kudengar penjaja keliling lewat di depan rumahku sambil sesekali meneriakkan kata-kata yang kadang terdengar tidak bermakna. Sering seperti sebuah lenguhan, terkadang pekikan, dan selalu tidak menceritakan nama barang yang dijualnya. Sebuah strategi pemasaran yang aneh. Kudengar masjid di ujung gang depan rumahku melantunkan panggilan adzan. Suara setengah parau itu sudah lama kukenal karena hampir tiap hari pada waktu yang sama, selalu melantunkan doa yang sama, dalam susunan nada yang sama, sebuah ritual yang sama. Sesekali aku merasa kehilangan ketika suara yang terdengar bukan miliknya.

Dalam kesadaranku yang hampir hilang menuju tidur, dan barangkali karena suara adzan tadi, tiba-tiba ingatanku menjelajah ke alam pengalaman yang tersimpan dalam benakku, ke masa-masa yang bergelora dengan intensitas tinggi dalam usahaku menemukan Tuhanku. Sebuah gelora kerinduan, sebuah gelegak kehausan, sekaligus sebuah perjalanan spiritual cukup panjang untuk sebuah usaha yang terdengar mulia, dan merupakan sebuah cerita yang mungkin perlu dibagi karena banyak manusia yang mempunyai pengalaman serupa denganku.

Ingatanku membawa diriku terbang ke masa sekitar empat tahun lalu, menjelang tengah malam. Sebuah malam dari banyak malam lain pada penanggalan ganjil di bulan Ramadhan. Setelah kusisir rambutku, dan kubasahi wajahku untuk menghilangkan bekas kantuk sore tadi, kukenakan jaket blujin tebalku. Pelan-pelan kubuka pintu rumahku dan kututup serta kukunci kembali dengan hati-hati, takut membangunkan bapak dan ibuku yang sudah terlelap di ruang tidur dekat kamar tamu. Udara di luar terasa dingin menembus jaket yang kukenakan, dan menyentuh kulitku dengan kelembutan yang tajam. Si Abdul, abang ojeg langganan sudah menungguku sambil menghisap batang rokoknya yang tinggal separuh. Jarang dia melupakan pesanan yang kubuat. Seperti malam itu, sore tadi sudah kupesan agar siap mengantarku sekitar tengah malam. Kulihat dia membuang sisa rokoknya begitu melihatku berjalan menuju tempatnya.

Sambil kupegang ujung jaket Abdul yang merebakkan aroma apek seperti kain yang tidak pernah kena air selama seminggu, kududuk membonceng di belakangnya. Sejenak kemudian motor bebeknya menggerung pelan menuju sebuah masjid besar di bilangan Menteng, yang menjadi tujuanku untuk mencoba menemukan cerahnya seribu bulan. Cerahnya cahaya yang ingin kurengkuh untuk menerangi batinku yang sudah sekian lama menggumamkan tembang kerinduanku akan Pencipta dan Pelindungku. Kerinduan akan kebahagiaan ilahiah, yang kuharapkan akan menyembuhkan segala derita dalam hidup ini.

Ritual tahunan setiap bulan suci Ramadhan, berkunjung dari satu masjid ke masjid lain, dengan rajin kulakukan dengan sepenuh hati. Juga dengan sepenuh harapan agar dilimpahkanNya anugerah seribu cahaya bulan. Seperti itulah yang dikatakan para pandai. Kata-kata yang selalu menggugah kembali harapan-harapan dalam pikiranku akan kehidupan yang lebih baik, yang berarti enteng rejeki dan enteng jodoh. Begitu menyejukkan, begitu menjanjikan, dan begitu enteng dalam mengatakannya. Melakukan ritual berbekal kesungguhan hati yang penuh dengan kehausan akan harapan sering menyentuh ujung syaraf rasa, yang terkadang membuat seluruh bulu tubuhku berdiri, serta air mataku menggenang di pelupuk. Sering seluruh rasaku terhanyut dibawa oleh getaran halus yang deras membuai segenap sel di semesta tubuhku. Namun jauh di dasar palung kalbuku, ada setitik noktah kecil kegelisahan yang aku tak pahami, dan yang kelak menjadi semakin membesar dan mengeras ….

Aku dibesarkan dalam keluarga yang taat menjalankan syariat keagamaan. Ayah seorang ‘pencari’, yang mempunyai kecintaan dan keinginan untuk terus menyempurnakan pemahaman beliau tentang agama. Ibu seorang yang taat menjalankan ritual keagamaan bagai seorang murid yang patuh kepada aturan sekolah. Demikian juga kakak dan adikku, mereka menapaki setiap bekas langkah bapak dan ibu, tanpa sekalipun bertanya mengapa. Hidup mereka terlihat mengalir rapih dalam pola ritual keseharian yang diulang-ulang, dari satu ke yang lain dan kembali ke yang satu, terus dan terus dan terus, tanpa putus atau perubahan yang berarti. Ketaatan pada ritme kehidupan beragama yang seringkali membuatku kagum. Terlihat bagai keikhlasan untuk melakukan semua itu, terlihat bagai ketulusan dan hampir menjadi kekhusu’an dalam menjalankan ritual yang sudah menjadi sebuah kebiasaan dalam kesehariaan.

Sedangkan aku? Aku menilai diriku sebagai orang yang cukup sukses secara materi, terutama dibanding dengan kakak dan adik-adikku. Sebagai seorang sekretaris eksekutif di sebuah perusahaan yang cukup besar, pendapatanku jauh lebih dari cukup sehingga sebagian dapat kusisihkan untuk membantu anggota keluargaku. Barangkali karena kesibukanku membantu keluargaku itulah yang membuatku masih belum mempunyai niat untuk segera berumahtangga.

Angin dingin Jakarta pada malam itu menyeruak masuk melalui sela-sela jaketku, dan membuatku tetap terjaga dibelakang bang Abdul. Bangunan masjid di daerah Menteng itu kelihatan gagah, dengan pilar-pilar kekar yang menyangga kubahnya yang berkilau memantulkan berkas-berkas cahaya bulan. Siluet banyak orang di halaman masjid terlihat bergerak-gerak akibat sinar dari dalam, bagai wayang yang sedang dimainkan oleh seorang dalang yang mempunyai kuasa atas segala wayangnya. Sesekali terdengar kelepak sayap burung malam yang masih terjaga di sela-sela dedaunan pohon beringin yang kokoh berdiri menjaga masjid besar itu. Beberapa katak di rerumputan mengurangi suaranya ketika kulewati jalan setapak menuju pintu masjid.

Rupanya udara dingin tengah malam itu tidak menyurutkan semangat banyak orang untuk datang dan khusu’ berdoa sambil banyak memohon. Barangkali mereka mempunyai kerinduan yang sama denganku, atau barangkali alasan lain yang tidak akan pernah kutahu. Jika itu sebuah kerinduan, maka sebentuk kerinduan yang bagaikan gatal di kulit yang selalu ingin digaruk untuk mengurangi kegatalannya. Datang ke masjid malam itu memberikan sedikit garukan yang terasa menyenangkan, karena aliran darah yang menghangatkan permukaan kulit yang gatal dan mengurangi rasa gatalnya. Mendengarkan ceramah seorang pandai malam itu membuat kegelisahanku sebentar menghilang. Anehnya, memang hanya sebentar.

Masjid, lailatul qadar, khotbah si pandai, ritual, dan segala atribut keagamaan ternyata tidak mampu menghilangkan noktah kegelisahanku yang sekarang mungkin sudah sebesar bola sepak dan semakin membesar namun berongga. Kegelisahan yang terasa kosong, meskipun padat dipenuhi dengan ramainya pertanyaan-pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. Seperti sebuah gua yang dalam yang penuh dengan suara pantulan yang berulang muncul tanpa pernah tahu asalnya dari mana. Salah satunya, mengapa aku tidak menemukan Tuhanku di masjid, tidak di malam lailatul qadar, tidak juga di mulut para pandai? Dimanakah Dia berada? Dimanakah sumber kebahagiaan itu? Dimanakah bisa kudapatkan dokter yang mampu menyembuhkan kegatalan berupa kerinduan dalam diriku, sekali untuk selamanya?

Aku terjaga dari jelajah ingatan ini, kesadaranku membawa kembali pikiranku kepada diriku, dan kudapati diriku masih tergolek di lantai dua rumahku dengan keringat yang mulai membasahi lipatan-lipatan tubuhku. Pelan-pelan, pengapnya udara sore itu mulai mencair sejalan dengan makin gelapnya alam, digantikan oleh kesejukan udara kota besar yang masih tidak pernah bisa seharum udara desa yang beraroma pepohonan. Namun begitu, kesejukan angin malam itu mampu mengusap segenap permukaan tubuhku, seolah membasuh butiran keringat yang tadi membalutku. Pelan-pelan aku bangkit dan duduk tegak lurus, kulipat kedua kakiku, bersila dengan posisi setengah lotus, lalu kuamati sebuah titik di lantai di depanku sampai pelan-pelan mataku tertutup dengan sendirinya. Kubiarkan alunan nafas timbul dan tenggelam dengan sendirinya. Kuamati nafasku yang keluar dan masuk melalui hidung, kuamati proses nafasku, proses sederhana yang menghidupiku, proses yang vital namun selalu tidak pernah menjadi perhatianku, apalagi bersyukur karenanya. Kumulai meditasi malamku. Semakin lama nafas yang keluar masuk menjadi semakin jelas terasa. Kurasakan kenyamanan dalam proses bernafas, kurasakan ketenangan menghampiriku. Kedamaian mulai melingkupi dan merasuki pikiranku, kedamaian yang menenangkan, kedamaian yang membahagiakan.

Kurasa benar kata pembimbing meditasiku,bahwa selama ini aku mencari sumber kebahagiaan di tempat yang keliru, karena aku selalu mencari sumber itu di luar diriku, yang seringkali membuatku kebingungan karena ‘luar diriku’ itu tidak jelas, kabur, sangat luas, dan tak pernah berujung. Pembimbingku mengatakan bahwa ternyata kebahagiaan ada dalam pikiranku, dalam diriku sendiri. Sumber kebahagiaan sudah tersedia dalam diri ini, di tataran kesadaran yang dalam, hidup dalam sumber dari segala rasa. Hanya ketenangan dan kejernihan batinlah yang dapat mengantarkan kita kepadanya. Kesucian tidak ada di masjid atau bangunan yang disebut rumah Tuhan, melainkan ada dalam batin kita yang bersih dari segala keserakahan, kebencian dan kegelapan batin.

Meditasi sederhana yang diajarkan pembimbingku dengan pelan tapi pasti membuatku mengalami kebahagiaan itu. Kebahagiaan yang muncul dari dalam, bukan dari luar diriku seperti hasil dari kesuksesanku, dari banyaknya angka dalam tabunganku, dari rajinnya melakukan ritual agamaku, dari masjid, lailatul qadar, kata-kata para pandai, bahkan bukan juga dari orang-orang yang hidup di dekatku. Kebahagiaan dari dalam yang tidak tergantung kepada kondisi apapun. Dia muncul bak sebuah sumber air yang terbuka di relung kalbuku, melimpahkan kesejukan dan menyuarakan gemericik kedamaian yang menenangkan. Air jernih yang mengalir dan memberi daya luar biasa kepada jiwa dan ragaku.

Sumber kebahagiaan inilah barangkali yang seringkali disebut orang sebagai Tuhan.


Jakarta, Maret 2008
Agus Widianto

Tidak ada komentar: